Anda di halaman 1dari 18

Pertemuan ke 9

SISTEM RELIGI

Capaian Pembelajaran
1. Mahasiswa dapat menjelaskan agama atau religi dalam perspektif antropologi
2. Mahasiswa dapat menjelaskan persamaan dan perbedaan agama dengan
kebudayaan
3. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan agama tradisi besar dengan agama
tradisi lokal
4. Mahasiswa dapat membedakan upacara dengan ritual

Pembahasan:
1. AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Pengertian Agama

Agama secara mendasar merupakan seperangkat aturan yang mengatur


kehidupan manusia di dunia. Aturan untuk mengatur kehidupan di dunia itu diyakini
sebagai aturan yang suci atau sakral dan menjadi keyakinan yang sulit untuk dibantah.
Dengan adanya aturan sekaligus berisikan sanksi apabila penganutnya melakukan
pelanggaran. Agama selalu berhubungan dengan alam gaib atau supernatural dan
memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu setelah kematian. Aturan mengenai
kehidupan di dunia ini merupakan aturan suci yang diyakini penganutnya berasal dari
wahyu atau titah Tuhan yang diturunkan melalui malaikat dan nabinya atau juga bisa
berasal dari orang-orang yang juga diyakini orang banyak memiliki kelebihan secara
spiritual atau kesucian yang kemudian menyebarkan ke individu-individu berpengaruh
dan kemudian menyebar ke tengah-tengah masyarakat. Dalam pernyataan lain dapat
dikatakan agama juga bisa berasal dari sesuatu yang dianggap gaib yang diterima
seseorang dan kemudian disebarkan ke orang lain sehingga menjadi keyakinan dan
dipraktekkan oleh banyak orang. Mengenai asal usul agama ini yang kemudian oleh
banyak ahli bisa menjadi pembeda antara satu agama dengan agama lainnya, yang akan
diulas pada bagian selanjutnya dari hand out ini.
Banyak ahli telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan agama. Durkheim
menyatakan agama (religion) ...is a unfied system of beliefs and practices relative to
sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs ang practices
1
which unite into one single moral community called a church, all those to adhare to
them (agama adalah kesatuan kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan
yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang – kepercayaan dan praktek-
praktek yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut
ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja).1 Defenisi ini boleh dikatakan
dilihat hanya dari sisi satu kelompok penganut agama tertentu saja. Namun defenisi ini
telah memberikan beberapa poin penting dari sebuah agama berupa praktek atau
aktivitas sakral atau dianggap suci yang tentu saja dengan keyakinan tertentu serta
dilakukan di dalam kelompok.
Geertz menyatakan agama adalah..(1) a system of symbols which acts to (2) establish
powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating
conceptions of a general order of existence and (4) clothing this conceptions wiuth
such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seen uniquely realistic 2
[(1) sebuah sistem simbol-simbol yang (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-
motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3)
merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4)
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pencaharian faktualitas, sehingga (5)
suasana hati dan motivasi- motivasi itu tampak khas realistis]. Defenisi ini menjelaskan
agama dari perlakuan manusia melalui seperangkat simbol yang merupakan ekspresi
dari motivasi dan suasana hati.

1
Durkhiem, The Elementary Forms of the Religious Life. 2011.Hal.80.
2
Geertz, The Interpretation of Culture. 1973. Hal.90

2
Dari beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa agama merupakan seperangkat
aturan yang dijalankan untuk mengatur kehidupan manusia sebagai individu dan
anggota masyarakat, yang menjadi petunjuk mengenai kehidupan manusia dan
penjelasan akan sesuatu yang dianggap sakral. Oleh karena adanya petunjuk yang sakral
maka juga terdapat pantangan dan larangan yang diberikan kepada manusia. Di dalam
banyak masyarakat agama memberikan argumentasi religius mengenai asal usul
manusia, bagaimana dan untuk apa hidup di dunia, masa depan yang akan dihadapi dan
kemana manusia setelah kematiannya. Penjelasan-penjelasan inilah yang berupa aturan
atau petunjuk dan sekaligus sebagai larangan yang tidak bisa dibantah.

Untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai agama, penjelasan dari ciri-
cirinya seperti yang pernah diberikan oleh Durkheim yang kemudian juga dipakai oleh
Koentjaraningrat dikutip di sini sebagai berikut. Dalam penjelasan ini agama terdiri dari
empat komponen, sebagai berikut.

1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religieus;


2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib
(supernatural); serta segala nilai, norma serta ajaran dari religi yang
bersangkutan.
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk
mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk
halus yang mendiami alam gaib;
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut
dalam sub 2, dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut
di dalam sub 3.3

Penjelasan ciri-ciri agama tersebut di dalam tulisan ini masih perlu ditambahkan satu
lagi ciri dari agama yaitu; setiap agama pada umumnya mengajarkan kebenaran yang
suci, karena dengan kebenaran yang suci ini

3
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Hal. 145.
melahirkan keyakinan yang kuat dari kesatuan sosial/ ummat/ masyarakat/ jamaah/
jemaat/ pengikut dari suatu agama tersebut. Dengan keyakinan inilah suatu agama bisa
bertahan karena diyakini kebenaran yang diajarkan di dalam agama tersebut kepada
pengikutnya. Keyakinan kepada kebenaran yang diajarkan inilah yang kemudian
menjadi dogma yang kuat dan bertahan lama atau pervasif seperti dinyatakan oleh
Geertz.

Agama, Perspektif Antropologis

Seringkali diperdebatkan, apakah agama sebagai bagian atau suatu pranata dari
kebudayaan tertentu atau justru kebudayaanlah yang ditentukan oleh agama. Dari sudut
pandang sebagai seorang yang beragama dan dengan keyakinan agamanya maka
pastilah agama yang menentukan, karena manusia hidup di dunia dianjurkan untuk
berusaha dan Tuhanlah yang menentukan. Pendapat ini tidaklah salah sebagai seorang
yang beragama. Antropologi agama atau antropologi religi sebagai sebuah spesialisasi
yang berkembang di dalam antropologi yang mempelajari mengenai bagaimana agama
diyakini, dijalankan atau dipraktekkan di dalam masyarakat. Umumnya antropolog
menyatakan bahwa agama (religion) merupakan sebuah pranata seperti banyak pranata
lainnya di dalam sebuah kebudayaan atau suatu masyarakat. Bagaimana hal ini dapat
dijelaskan, berikut ini penjelasannya.
Agama sebagai pranata tidaklah sama dengan agama sebagai sebuah keyakinan
yang menjadi milik anggota masyarakat. Pranata merupakan suatu aturan yang
digunakan untuk mengatur manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan khusus
tertentu. Kebutuhan manusia dibagi menjadi tiga oleh Malinowski, yaitu kebutuhan
biologis, psikologis dan adap-integratif. Agama atau religi sebagai pranata adalah dalam
rangka untuk pemenuhan kebutuhan psikologis, terhadap ketenangan jiwa dan untuk
menjelaskan segala sesuatu dengan keyakinan, yang tidak dapat dijelaskan secara
rasional atau oleh akal manusia.4 Agama yang dipelajari di dalam antropologi adalah
fenomena religius yang ada di tengah-tengah masyarakat. Fenomena religius yang
mana? Jawaban pertanyaan ini mengacu kepada semua fenomena atau aktivitas religius
yang terdapat di dalam masyarakat, apakah yang berasal di dari fenomena agama
tradisional yang dilakukan untuk kepentingan tertentu seperti santet, voodoo,
penyembahan kepada arwah leluhur, agama tradisional seperti arat sabulungan di
Mentawai ataupun fenomena religius yang dilakukan oleh ummat Islam, Katolik
maupun Hindu yang khas di daerah tertentu.
Agama sebagai pranata adalah agama yang diyakini, diajarkan, dijalankan atau
dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Ini berbeda dengan agama di dalam teks
sucinya atau alkitab seperti Al Qur’an, Injil, Taurat, Zabur atau kitab Weda, Tripitaka
yang sudah dituliskan di dalam agama-agama tradisi besar di dunia. Teks-teks suci ini
diyakini oleh penganut agama tersebut sebagai sebuah kebenaran yang tidak bisa
dibantah, yang berasal dari Tuhan. Kitab-kitab ini bukanlah produk kebudayaan, bukan
pranata. Agama menjadi pranta adalah agama yang diyakini, dijalankan atau
dipraktekkan itu yang bisa berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya
walaupun masing-masing sama menganut agama yang sama. Artinya orang Betawi di
Jawa bisa mempraktekkan atau menjalankan agama Islam secara berbeda dengan orang
Minangkabau yang juga Islam. Bahkan, di daerah tertentu di Sumatera Barat saja,
praktek agama Islam bisa berbeda-beda. Keyakinan keagamaan mereka ternyata ada
yang berbeda, padahal sama-sama mempunyai kitab suci yang sama. Mengapa hal ini
terjadi?
Proses turunnya dan tersebarnya agama sehingga menjadi keyakinan sampai ke
tengah-tengah masyarakat adalah melalui proses-proses sosial budaya yang panjang.
Suparlan menyatakan bahwa “kita menjadi umat beragama (manusia pada umumnya)
adalah melalui proses transmisi kebudayaan, yaitu dengan melalui (1) pengalaman dan
(2) belajar secara instruksional dalam

4
Dalam hal ini, teori keterbatasan akal manusia dari Frazer menjadi relevan untuk menjelaskan agama
sebagai pranata.
kehidupan sosial kita.“ 5Agama-agama tradisi besar yang diyakini berasal dari wahyu
diturunkan Tuhan melalui malaikatnya, lalu disampaikan kepada Nabi atau Rasullullah.
Dari Nabi kepada anggota keluarganya, kepada sahabat-sahabatnya, dan dari para
sahabat ini diteruskan kepada kepada anggota keluarganya kerabatnya dan seterusnya.
Proses ini berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun melalui banyak masyarakat dengan
kebudayaan yang berbeda. Walaupun kitab suci itu diyakini tidak berubah – walaupun
di dalam agama tertentu ada beberapa versi kitab sucinya – tetapi di dalam
masyarakat penganut agama tersebut bisa saja terjadi perbedaan-perbedaan di dalam
agama yang bersangkutan. Mengapa ini terjadi? Jawabannya adalah karena telah terjadi
proses penafsiran atau interpretasi yang berbeda dari teks suci yang sama, baik oleh para
tokoh agama atau oleh anggota masyarakatnya. Inilah yang disebut dengan agama
melalui proses sosial budaya atau transmisi kebudayaan. Proses ini kemudian
melahirkan banyak sekte atau disebut aliran agama di dalam masyarakat. Sekte-sekta
keaagamaan ini lahir di dalam setiap agama tradisi besar, karena proses sosial budaya
yang panjang berlangsung dan pemberian penafsiran dari teks suci yang sama secara
berbeda, yang melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan yang berbeda pula.

Sebagai contoh kasus, pelaksanaan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha yang
diketahui secara umum dilakukan dua rakaat dengan tujuh takbir setelah takbirartul
ikhram di rakaat pertama dan lima takbir setelah takbir bangkit dari sujud, tetapi di
sebuah kelurahan di Depok di antara orang Betawi yang pernah penulis ikuti malah
terjadi sembilan takbir di rakaat pertama dan tujuh takbir di rakaat kedua. Contoh
lainnya juga di dalam masyarakat Betawi di Depok, di dalam menghadapi kematian
seorang perempuan muda yang belum menikah disediakan dua karung besar beras di
masjid untuk diserahkan kepada yang berhak menerima. Dua karung beras tersebut
adalah sebagai pengganti sholat dan puasa almarhum sewaktu hidup yang tidak bisa
dilakukannya baik karena terhalang oleh menstruasi atau oleh sebab lainnya, sehingga
diganti pada waktu jenazah belum

5
Suparlan. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi,” makalah yang disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian Agama
Departemen Agama RI, di IAIN Ciputat, 14 September 1981.
dikuburkan. Ini diucapkan oleh seorang tokoh masyarakat di hadapan orang banyak
pada saat dua karung beras tersebut akan diserahkan. Padahal di dalam ajaran Islam
dinyatakan bahwa terputuslah hubungan seorang yang meninggal dengan orang yang
masih hidup kecuali tiga amalan yang dilakukan seperti ilmu yang bermanfaat yang
telah diajarkan, sedekah jariah dan doa dari anak yang saleh dari almarhum, tentu saja
bagi mereka yang sudah punya anak. Dua contoh di atas menunjukkan telah terjadi
perbedaan interpretasi dari agama yang sama sehingga dijalankan secara berbeda.
Bentuk keyakinan dan praktek keagamaan bisa saja berbeda dari kesamaan kitab suci
yang dimiliki inilah yang dimaksudkan dengan agama sebagai pranata. Di samping itu
aktivitas keagamaan yang sudah terpola atau sudah lama dan tetap dijalankan di dalam
masyarakat seperti ritual perdukunan juga merupakan bagian dari aktivitas atau pranata
keagamaan tradisional. Agama sebagai pranata inilah yang menjadi lapangan studi
antropologi agama/ religi, yang disebut Geertz dengan agama sebagai sistem budaya.

Gambar 01. Proses Ringkas Turun agama sampai ke Masyarakat


2. KEBUDAYAAN, MASYARAKAT DAN AGAMA

Kebudayaan

Antropologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia dengan


kebudayaannya. Studi kebudayaan ini menjadi perkembangan yang pesat dari
antropologi di dunia. Antropologi agama atau religi tidak bisa lepas dari kebudayaan,
karena sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama bahwa secara antropologi
agama merupakan sebuah pranata di dalam masyarakat. Apa yang dimaksudkan dengan
kebudayaan itu haruslah jelas, karena sangat banyak defenisi yang bisa saja saling
bertolak belakang.
Dari banyak ahli antropologi mendefenisikan kebudayaan dari berbagai sudut
pandang yang berbeda. Perbedaan sudut pandang ini bahkan melahirkan perbedaan
aliran di antropologi budaya. Secara sederhana perbedaan defenisi kebudayaan yang
sangat banyak itu dapat dikelompokkan menjadi tujuh. Pertama, kebudayaan sebagai
sistem pengetahuan, ide-ide, resep-resep, tata kelakuan yang bersifat abstrak, atau
pola bagi yang terdapat di dalam sistem pengetahuan individu-individu sebagai
anggota masyarakat. Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan inilah yang menjadi
landasan dari munculnya tindakan atau kelakuan yang menghasilkan pola-pola yang
dapat diamati dan dasar dari kemampuan manusia untuk menghasilkan sesuatu. Contoh
defenisi kebudayaan pada level ini seperti dari Spradley yang menyatakan kebudayaan
merupakan serangkaian aturan, petunjuk, resep, rencana dan strategi, yang terdiri dari
serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang
memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. 6 Keesing dan Keesing
menyatakan kebudayaan adalah pola-pola bagi kelakuan manusia.7 Kuper
mendefenisikan kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan
pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun
kelompok. Havilland menyatakan kebudayaan sebagai seperangkat peraturan dan norma
yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para
anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh
semua anggota masyarakat. Parsudi Suparlan seorang antropolog Indonesia menyatakan
kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
digunakannya untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan dan
pengalamannya serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya.
Kedua, kebudayaan sebagai aktivitas, kelakuan, tindakan atau adat istiadat yang
nampak dari setiap sukubangsa. Defenisi kebudayaan pada level ini hanya memahami
kebudayaan pada tahap perilaku atau tingkah laku yang dapat diobservasi dan direkam.
Contoh kebudayaan pada bagian ini adalah dari Kluckhohn yang mengatakan bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku, baik eksplisit maupun implisit
yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk
sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam
benda-benda materi.

6
Suparlan 1983, “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya: Perspektif Antropologi Budaya,” dalam
Mohamad Soerjani dan Bahrin Samad (ed.) Manusia dalam Keserasian Lingkungan. Hal. 66-76.
7
Ibid.
Ketiga, defenisi kebudayaan pada level benda atau hasil karya manusia. Dalam hal ini
kebudayaan dipahami hanya sebagai benda-benda. Defenisi pada bagian ini sebagai
contoh adalah dari Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi yang menyatakan
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. defenisi ini sangat
umum di Indonesia, karena diajarkan berulang- ulang di SLTP atau SLTA karena
tercatat di buku paket sosiologi atau antropologi.
Defenisi yang kedua dan ketiga ini merupakan defenisi kebudayaan yang
tangible, yaitu defenisi kebudayaan yang dapat dilihat atau dirasakan. Sedangkan
defenisi yang pertama merupakan defenisi kebudayaan yang tidak dapat dilihat, karena
berada di dalam sistem pengetahuan. Koentjaraningrat sebagai antropolog Indonesia
pernah memberi defenisi yang justru mencakup kepada ketiga kelompok defenisi, yang
material dan non material tersebut. Oleh karena itu defenisi Koentjaraningrat dapat
dikategorikan sebagai kelompok atau kategori keempat dari banyaknya defenisi
kebudayaan tersebut. Di samping itu defenisi kelompok kelima adalah defenisi
kebudayaan yang pengertiannya termasuk dapat dikelompokkan baik pada tataran ide
maupun pada tataran tindakan. Sebagai contoh defenisi dari Robert H. Lowie yang
menyatakan Sebagai contoh defenisi dari seorang antropolog Amerika Robert H. Lowie
yang menyatakan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang diperoleh individu dari
masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan
makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan
warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal.
Selanjutnya, keenam adalah defenisi yang menggabungkan pada tataran tindakan dan
benda seperti oleh Ralp Linton yang menyatakan kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku dan hasil tingkah laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung oleh
anggota masyarakat tertentu. Ketujuh, adalah defenisi yang menggabungkan tataran ide
dan benda.
Banyaknya defenisi kebudayaan ini tidaklah menjadi persoalan, tergantung
kepada para ahli memahaminya. Dalam antropologi agama kebudayaan dipahami
berada pada tataran ide atau tata kelakuan, bukan pada kelakuan atau pada benda,
karena kelakuan dan benda yang dihasilkan manusia pada dasarnya merupakan hasil
pemikiran manusia itu. Tidak ada tindakan atau kelakuan dan benda sebelum dipikirkan
oleh manusia yang melakukan atau yang membuatnya. Aktivitas keagamaan sebagai
salah satu ciri agama merupakan perwujudan atau perilaku keagamaan yang dihasilkan
dari pemikiran masyarakat atau kelompok keagamaan tersebut.

Setiap kebudayaan berisi aturan dan sanksi, status dan peran, hak dan kewajiban serta
world view atau pandangan hidup. Isi kebudayaan berupa aturan dan sanksi inilah yang
menentukan dan menetapkan segala sesuatu bagi pendukung kebudayaan tersebut.
Aturan dan sanksi menentukan bagaimana seseorang berperilaku atau bertindak di
tengah-tengah masyarakatnya. Jika dia dinilai oleh masyarakatnya berbuat salah maka
diberikan sanksi kepada sesuai dengan aturan yang sudah disepakati di dalam
masyarakat tersebut. Keteraturan di dalam masyarakat justru terjadi karena adanya
aturan, yang secara tradisional sudah ada di dalam setiap kebudayaan sukubangsa.
Dengan status seseorang menjalankan perannya di tengah-tengah masyarakat, juga
sekaligus menjalankan aturan yang sudah ditetapkan sesuai dengan statusnya tersebut.
Isi kebudayaan sebagai pandangan hidup atau world view adalah “berupa nilai-nilai dan
ide-ide tentang prinsip-prinsip hidup dan kehidupan itu sendiri. Kebudayaan itu pada
hakekatnya ada pada dan dipunyai oleh individu-individu atau oleh para anggota
masyarakat; dan bukannya oleh masyarakat tanpa memperhatikan individunya, yang
sebenarnya menjadi pemilik dan yang menggunakan kebudayaan tersebut dalam
kehidupannya.”8
Melalui isi kebudayaan yang dipahami oleh masing-masing anggota masyarakat
ini kemudian menjadi pedoman di dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Inilah
yang dikatakan kebudayaan sebagai petunjuk, atau resep-resep. Pengetahuan
kebudayaan yang dimiliki menjadi pedoman dan pegangan bagi pemahaman dari
model-model pengetahuan yang dikembangkan di dalam

8
Suparlan, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama, Agama sebagai Sasaran Penelitian
Antropologi” makalah yang disampaikan pada kuliah bagi para peserta Pusat Latihan Penelitian Agama
Departemen Agama RI, di IAIN Ciputat, 14 September 1981.
menghadapi lingkungan, termasuk bagaimana individu di dalam masyarakat
menerima pengetahuan keagamaan yang kemudian diyakininya.

Masyarakat
Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, artinya setiap individu selalu
menjadi bagian dari kelompok sosial yang melingkupinya dan dia menjadi bagian dari
kelompok sosial itu. Tidak ada seorangpun yang mampu hidup bertahan lama tanpa
bantuan orang lain, walupun pada kasus-kasus tertentu seseorang bisa saja hidup dalam
jangka waktu tertentu dengan bantuan binatang. Dengan menjadi bagian dari masyarakat
individu dapat menunjukkan eksistensinya, memainkan peran sesuai dengan statusnya.
Sebagai makhluk sosial manusia membentuk kelompok yang terbesar di antaranya
adalah masyarakat.
Masyarakat dapat diartikan sebagai suatu satuan kehidupan sosial manusia yang
menempati suatu wilayah tertentu; yang keteraturan dalam kehidupan sosial tersebut
telah dimungkinkan karena adanya seperangkat pranata- pranata sosial yang telah
menjadi tradisi dan kebudayaan yang mereka miliki bersama.9 Sedangkan pranata dapat
diartikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur manusia dalam rangka pemenuhan
kebutuhan hidup tertentu. Di dalam masyarakat terdapat banyak pranata sesuai dengan
perkembangan masyarakat tersebut, karena semakin maju sebuah masyarakat maka
semakin meningkat jumlah kebutuhannya. Maka pranata-pranata baru akan muncul
dengan sendirinya untuk mengatur dan menciptakan keteraturan di tengah-tengah
masyarakat tersebut. Apabila pranata ada maka sekaligus tumbuh lembaga baru sebagai
wadah dari pranata tersebut.
Telah umum diketahui bahwa tujuh unsur kebudayaan universal ada setiap
masyarakat, tetapi dari tujuh unsur kebudayaan tersebut berkembang dan melahirkan
banyak pranata baru karena kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Sebagai
contoh, keluarga merupakan pranata sekaligus lembaga untuk memperoleh kasih
sayang, prokreasi, dan mendidik anak. Suami yang bekerja di luar rumah tangga
menyebabkan anak-anak diasuh oleh ibu atau isteri di rumah.

9
Ibid.
Sekarang suami isteri bekerja di areal publik, sehingga muncullah pranata baru
berupa pranata pengasuhan dan mendidik anak terutama balita, yang tidak dapat
dilakukan seorang ibu sewaktu sedang bekerja. Maka muncullah apa tempat penitipan
anak dan balita selama ibu bekerja, sebagai sebuah lembaga baru. Bahkan di Jakarta
bahkan telah lahir pekerjaan baru sehubungan dengan penitipan anak ini, yaitu petugas
yang menjemput dan mengantarkan air susu ibu untuk bayi yang dititipkan di lembaga
penitipan anak. Sehubungan dengan itu beberapa kantor perusahaan swasta telah
menyediakan satu ruangan khusus di kantornya khusus untuk karyawan ibu-ibu yang
sudah melahirkan untuk dapat mengambil air susu ibu, dan ruangan itupun telah
disediakan lemari pendingin untuk menyimpan susu ibu. Petugas yang akan
mengantarkan air susu ibu inipun memiliki wadah penyimpanan yang menjamin air susu
ibu tetap segar dan dapat dihangatkan sampai di tempat penitipan anak.

Agama

Agama dapat diartikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan


manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan
mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Aturan-aturan tersebut penuh
dengan muatan sistem-sistem nilai, karena pada dasarnya aturan-aturan tersebut
bersumber pada etos dan pandangan hidup. Karena itu juga, aturan-aturan dan
peraturan-peraturan yang ada dalam agama lebih menekankan kepada hal-hal yang
normatif atau yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan, bukannya berisikan petunjuk-
petunjuk yang sifatnya praktis dan tehnis dalam hal manusia menghadapi lingkungannya
dan sesamanya.10

Sebagai seperangkat aturan maka agama merupakan salah satu pranata di dalam
masyarakat. Agama merupakan pranata atau unsur kebudayaan yang penting dan paling
sulit mengalami perubahan, bahkan bisa dikatakan tidak mengalami perubahan, karena
agama berisikan aturan yang diyakini oleh penganutnya. Apabila terjadi perubahan di
dalam keyakinan agama oleh

10
Ibid.

13
kelompok tertentu, sepanjang tidak berhubungan dengan keyakinan yang paling prinsip
maka kelompok yang melakukann pembaharuan tersebut dikatakan sebagai munculnya
aliran atau sekte baru di dalam agama tersebut. Aturan keagamaan itu bahkan diakui dan
diyakini berasal dari Tuhan atau dari kekuatan gaib. Oleh karena itulah di dalam
keyakinan keagamaan sulit terjadi perubahan, karena sentimen keagamaan sudah
menentukan rasa bertuhan atau beragama secara batiniah atau beragama di dalam diri
manusia.

Agama sebagai pranata inilah yang menjadi studi di dalam antropologi


sebagaimana telah dinyatakan di bagian awal dari rangkaian tulisan ini. Lantas jika
agama sebagai pranata yang berisi aturan dalam rangka mengatur hubungan sesama
manusia dan hubungan dengan Tuhannya atau alam gaib, jika dibandingkan dengan
aturan kebudayaan (pranata) lainnya maka agama sesungguhnya memiliki aturan yang
lebih memperkuat terhadap kebudayaan. Hal ini disebabkan karena aturan di dalam
agama diyakini berasal dari Tuhan atau kekuatan gaib dan malah sanksinya terhadap
manusia diyakini pula diperoleh nanti setelah mati. Di dalam kebudayaan tertentu
seperti Minangkabau, agama Islam sudah memperkuat nilai-nilai kebudayaan
Minangkabau, karena nilai dalam ajaran agama Islam sudah menyatu dengan nilai
budaya Minangkabau, seperti dinyatakan dalam jargon adat adat basandi sarak, sarak
(aturan) basandi Kitabullah (Al Qur’an). Demikian juga dengan agama tradisional
orang Mentawai, Arat Sabulungan, nilai-nilai kebudayaan Mentawai sudah sekaligus
merupakan nilai keyakinan tradisionalnya atau keyakinan/ agama lokalnya. Di dalam
setiap agama lokal, aturan dan nilai budaya sudah menyatu dengan aturan dan nilai
agama.

3. AGAMA TRADISI BESAR DAN AGAMA TRADISI LOKAL


Fenomena religius yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat dapat
dipelajari secara antropologi. Antropologi agama/ religi mempelajari pranata dan
fenomena religius terutama yang sudah terpola, baik yang berasal dari keyakinan
keagamaan tradisional atau tradisi lokal maupun yang berasal dari agama-agama
tradisi besar. Di antropologi agama/ religi, agama dibedakan ke dalam dua
kelompok, agama tradisi besar (great tradition) dan agama tradisi lokal/ tradisi
kecil (little tradition). Kedua konsep ini diambil dari konsep yang sama dari
antropolog Robert Redfield, yang membedakan masyarakat petani sebagai
masyarakat folk atau masyarakat terbelah/ half society dengan masyarakat industri
sebagai masyarakat dengan tradisi besar (great tradition) dan masyarakat tribal
sebagai bentuk masyarakat dengan tradisi kecil (little tradition).

Pembedaan (agama) ini dilakukan dengan memperhatikan perbedaan-


perbedaan di antara agama-agama yang ada di dunia. Dalam hal ini ciri-ciri
sebuah agama mengacu kepada empat ciri-ciri yang sudah diberikan oleh
Durkheim dan ditambahkan satu ciri lainnya seperti yang dinyatakan di dalam
bagian awal dari hand out ini sehingga menjadi lima ciri agama atau religi.
Agama yang di dalam bahasa Inggrisnya disebut religion pada dasarnya sama atau
tidak dibedakan, selama memiliki ciri-ciri yang sama. Koentjaraningrat
membedakan antara agama dengan religi, tetapi pada bagian lain dinyatakannya
agama Islam adalah religi bagi orang Islam. Ini artinya agama sama saja dengan
religi. Koentjaraningrat menyatakan agama adalah religi yang diakui oleh negara,
sedangkan religi adalah agama yang tidak diakui oleh negara.11 Diduga pernyataan
akademis Koentjaraningrat masih terikat kepada kepentingan politik, atau tidak
mau dicap berseberangan dengan pemerintah orde baru yang sangat dominan pada
waktu itu. Apalagi pemerintah orde baru tidak mengakui dan memaksa banyak
sukubangsa di Indonesia untuk memeluk agama yang sudah diakui secara resmi di
Indonesia, sehingga agama-agama lokal yang terdapat di dalam suku bangsa
tertentu seperti arat sabulungan pada orang Mentawai dipaksa untuk dihilangkan
dan harus memilih satu agama yang sudah diakui negara. Di samping itu penulis
tidak menggunakan konsep kepercayaan, sebagaimana ditulis di dalam judul
tulisan Koentjaraningrat. Di dalam beragama yang ada adalah keyakinan (believe)
bukan kepercayaan (trust). Seseorang yakin kepada sesuatu yang gaib sehingga
dia patuh dan menjalankan ajaran yang diyakininya tersebut. Kalimat sebelum ini
lebih tepat jika dibandingkan dengan...seseorang percaya kepada sesuatu yang
gaib sehingga dia patuh dan menjalankan ajaran yang dipercayainya tersebut.
Percaya kepada seseorang bukan berarti kita meyakininya. Konsep yakin lebih
dalam maknanya secara religius jika dibandingkan dengan konsep percaya.

Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa agama dibedakan menjadi dua,


agama tradisi besar dan agama tradisi lokal. Konsep lain yang bisa diberikan
adalah agama universal dan agama lokal. Universal dimaksudkan di sini sebagai
lintas batas kebudayaan dan/ lintas batas bangsa, bahkan lintas batas benua.
Sedangkan lokal dalam pengertian pada masyarakat atau kebudayaan lokal atau
setempat. Pembedaan agama ke dalam dua kelompok ini adalah berdasarkan ciri -
cirinya, sebagai berikut.

Sebuah agama dikatakan sebagai agama tradisi besar apabila memiliki


ciri-ciri:

1. Adanya keyakinan kepada Pencipta yang Maha Besar.


2. Bercorak universal
3. Penganut agama tersebut mempunyai keyakinan yang isinya adalah
penyerahan diri terhadap pencipta secara mutlak.
4. Semua agama tradisi besar berbicara mengenai kehidupan setelah mati,
dengan konsekuensi sorga atau neraka.
5. Cenderung atau selalu mengorganisasikan diri.
6. Melampaui batas-batas suku bangsa, negara dan geografis yang luas.

Dari ciri-ciri tersebut dapat diketahui bahwa beberapa agama di dunia


bisa dikatakan sebagai agama tradisi besar, seperti Islam, Katolik, Protestan,
Hindu, Budha, Yahudi dan Konghuchu. Agama-agama tersebut dikatakan sebagai
agama tradisi besar karena memiliki keyakinan dan penyerahan diri kepada sang
pencipta atau Tuhan yang Maha Besar, sudah bersifat universal atau melampaui
batas-batas sukubangsa, negara dan bahkan benua, dan semua agama tersebut
meyakini konsekuensi kepatuhan dan kesalahan selama hidup di dunia kepada
sorga atau negara serta selalu cenderung untuk mengorganisasikan diri. Organisasi
keagamaan ini didirikan untuk selalu memperbesar dan menyebarkan agama
tersebut ke seluruh masyarakat di dunia.

Selanjutnya apa yang disebut dengan agama tradisi lokal atau kecil
adalah pertama, sepanjang Tuhan atau dewa agama lokal tersebut masih dapat
dimanipulasi atau disuap dengan pemberian sesajen. Kedua, orang yang sudah
meninggal diyakini arwahnya bisa menjadi dewa, tuhan atau setan, sesuai dengan
perilakunya di dunia. Ketiga, agama tersebut hanya diyakini oleh satu kelompok
sukubangsa atau tidak/ belum mampu melampaui batas-batas kesukubangsaan,
bangsa dan benua.
Ciri ketiga dari agama tradisi lokal tersebut merupakan ciri yang utama,
karena agama-agama tradisi besar yang ada di dunia sekarang pada awalnya adalah
agama tradisi lokal, tetapi karena tokoh-tokoh dan pengikut agama tersebut mampu
mengembangkan/ menyebarkan sehingga melampaui batas-batas kesukubangsaan
sehingga menjadi agama tradisi besar, karena sudah diyakini oleh masyarakat dari
sukubangsa atau kebudayaan yang berbeda.

Pertanyaan selanjutnya apakah agama tradisi lokal yang masih ada sekarang
mampu menjadi agama tradisi besar dan apakah agama tradisi besar yang ada
sekarang bisa menjadi agama tradisi lokal? Dua pertanyaan ini menarik untuk
dijawab. Jawaban pertanyaan pertama tetap kepada sepanjang agama tradisi lokal
tersebut telah diyakini dan dijadikan sebagai agama dari masyarakat sukubangsa
yang berbeda. Sebagai contoh, agama Konghuchu dahulu merupakan agama tradisi
lokal yang diyakini oleh orang Tionghoa di negeri Cina, tetapi sekarang agama ini
telah menjadi agama tradisi besar, karena diyakini dan dijalankan juga oleh orang
Indonesia.

Agama tradisi besar bisa menjadi agama tradisi lokal apabila agama tradisi
besar tersebut teks-teks sucinya diinterpretasikan secara lokal oleh masyarakat di
daerah tertentu atau sukubangsa tertentu sehingga agama tradisi besar tersebut
nampak berbeda dengan yang diyakini dan dipraktekkan oleh masyarakat atau
sukubangsa lainnya. Agama tradisi besar dengan interpretasi lokal inilah yang
kemudian mampu melahirkan banyak sekte atau aliran di dalam agama-agama tradisi
besar di dunia, dan dalam realitasnya inilah yang terjadi pada banyak agama di dunia.
Agama tradisi besar dengan interpretasi lokal yang berbeda ini yang menyebabkan
agama tradisi besar bida menjadi agama tradisi lokal, karena sudah berbeda dengan
agama tradisi besar di daerah yang berbeda.
4. UPACARA DAN RITUAL
Upacara (ceremony) berbeda dengan ritual/ ritus (rites). Perbedaan antara keduanya
adalah sangat mendasar, walaupun di dalam kehidupan sehari-hari seakan-akan keduanya
disamakan saja. Penekanan perbedaannya adalah kepada kekhusukan atau keseriusan dari
aktivitas yang disebut dengan ritual, sedangkan upacara penekanannya adalah kepada
kegembiraan. Semua aktivitas religius, baik di dalam agama tradisi besar, tradisi lokal dan magi
di dalamnya terdapat ritual.di dalam ritual tidak terdapat upacara, tetapi di dalam upacara bisa
saja terdapat ritual.
Sebagai contoh, upacara bendera sering dilakukan pada setiap hari Senin atau setiap
tanggal 17 di sekolah-sekolah dan di kantor-kantor. Di dalam upacara tersebut sangat diharapkan
keseriusan peserta, terutama pada saat menaikkan bendera merah putih atau saat mengheningkan
cipta. Pada saat itulah yang disebut dengan aktivitas ritual di dalam upacara. Pesta pernikahan
merupakan bentuk upacara (ceremony), yang bisa saja diselenggarakan sehari semalam, atau
bahkan sampai tujuh hari tujuh malam. Ini semua adalah bentuk upacaranya, yang menampakkan
kegembiraan. Ritualnya adalah pada saat pengucapan ijab kabul atau proses pernikahan yang
mensyahkan hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri.
Di dalam antropologi dipelajari banyak ativitas upacara dan sekaligus merupakan ritual
dalam rangka memperingati masa-masa peralihan sepanjang hidup manusia, yang dikenal
dengan les rites de passege (the rite of passage) atau ritus peralihan. Konsep ini berasal dari
antropolog Perancis keturunan Jerman, A.A. van Gennep, yang menulis mengenai mengenai
ritus peralihan pada cerita rakyat Perancis. Sepanjang hidup manusia sejak bayi menjadi balita,
anak-anak, remaja, dewasa, menjadi tua dan meninggal dunia, di dalam masyarakat tertentu
sering dilaksanakan ritual tertentu untuk memasuki tingkat usia atau kelompok usia tersebut.
Ritual yang paling sering dilakukan di dalam banyak masyarakat di dunia adalah peralihan dari
masa anak-anak ke masa dewasa.
Di dalam masyarakat sederhana tidak dikenal apa yang disebut dengan masa remaja,
konsep masa remaja justru ada di dalam masyarakat industri. Oleh karena itu di dalam
masyarakat sederhana ritual peralihan menjadi sangat penting sebagai perubahan status dari
anak-anak menjadi dewasa, karena setelah melalui masa menstruasi pada perempuan dan mimpi
basah pada laki-laki perkawinan sudah boleh dilaksanakan, sebagai simbol telah memasuki masa
dewasa.

Anda mungkin juga menyukai