Anda di halaman 1dari 78

1

Bagian Kedua
TEORI-TEORI
SOSIOLOGI KONFLIK

BAB I
Teori Sosiologi Konflik
Klasisk

BAB II
Teori Sosiologi Konflik Kontemporer

BAB III
Teori Sosiologi Konflik
Eklektik

BAB IV
Teori Sosiologi Konflik
Multidisipliner
2

BAB I
Teori-Teori Sosiologi Konflik Klasik

POKOK BAHASAN

Dinamika Masyarakat
Latar Lahirnya Sosiologi Konflik

Konflik Kelompok
dan Perjuangan Kelas Perpektif
Ibn Khaldun dan Karl Mark

Stratifikasi Sosial
Konflik Kesadaran Kolektif
dan Gerakan Sosial

Sosialisasi
dan Konflik Alamiah

Refleksi
Atas Sosiologi Konflik
3

DINAMIKA MASYARAKAT
Latar Sosiologi Konflik
Sosiologi konflik lahir dari konteks masyarakat yang
mengalami pergeseran-pergeseran nilai dan struktural dan dinamika
kekuasaan dalam negara. Konteks sosiohistoris inilah yang
membentuk pemikiran dalam sosiologi konflik. Istilah sosiologi
konflik pertama digunakan oleh George Simmel dalam American
Journal of Sociology tahun 1903 dalam artikelnya yang berjudul
The Sociology of Conflict: I. Bryan S. Turner melalui Classicial
Sociology secara tidak langsung juga memberi penghargaan kepada
Simmel sebagai penggagas sosiologi konflik. 1 Sedangkan para
ilmuan social klasik lainnya tidak menspesifikasi karya mereka
sebagai sosiologi konflik, namun merupakan bangunan akademis
ilmu social secara umum. Banyak diantara mereka bahkan
merupakan ilmuan yang membahas filsafat, matematika, astronomi,
kedokteran, dan sejarah, seperti Ibnu Khaldun yang merupakan ahli
astronomi, sejarah, filsafat, dan sosiologi. Sehingga bisa disebutkan
dalam buku ini, George Simmel adalah Bapak dari sosiologi
konflik.
Tokoh-tokoh sosiologi konflik klasik, seperti Ibnu Khaldun
(1332-1406), Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-
1912), Max Weber (1864-1920), dan George Simmel (1858-1918)
mempunyai peran dasar dalam meletakan mainstream teori sosial
secara umum dan mempengaruhi sosiologi konflik kontemporer
pada khususnya. Dalam bagian kedua buku ini akan diuraikan
secara singkat garis pemikiran sosiologi konflik. Bagian ini
memetakan empat tema sosiologi konflik klasik yaitu konflik
kelompok dan kelas, konflik dan statifikasi social, kesadaran
kolektif dan gerakan social, dan sosialisasi dan konflik alamiah.
Sebelumnya buku ini membahas secara umum latar belakang

1
Bryan Turner, Classical Sociology, London : Sange Publications, 1999,
hal.147
4

masyarakat yang menjadai konteks kelahiran sosiologi konflik


klasik.
Istilah ilmu sosiologi diciptakan oleh Aguste Comte (1798-
1857), seorang ilmuan social dari Prancis. Awalnya Comte
menamai ilmu sosiologi sebagai fisika social namun diubanya
karena istilah itu sudah digunakan oleh orang lain. Comte meyakini
ilmu sosiologi harus bersifat sains (scientific) dengan landasan
filsafat positif (positive philosophy). Kelahiran ilmu sosiologi ini
tidak lepas dari dinamika social masyarakat Eropa, Prancis
khususnya dimana Comte hidup, pada waktun itu. Revolusi politik
di Prancis pada tahun 1789 melahirkan harapan baru terhadap
politik liberal yang diperjuangkan sejak kekuasaan monarki absolut
para kaisar di Eropa. Walaupun demikian, revolusi ini
menyebabkan kekacauan social dan ketidakmapanan struktur
masyarakat. Comte merumuskan filsafat positif yang semangatnya
adalah mengembalikan masyarakat yang damai tanpa mereduksi
kemerdekaan berpolitik.
Revolusi industry di Eropa yang mengubah model produksi
tradisional menjadi model produksi modern menghasilkan produk
secara masal telah ikut berperan dalam mengubah struktur social
masyarakat Eropa di awal abad ke-19. Kemunculan kelompok-
kelompok pemilik modal yang menguasai sistem produksi telah
menyebabkan ketertindasan kalangan yang tidak memiliki modal
kecuali tenaga. Latar belakang masyarakat inilah yang menjadi
perkembangan analisis konflik dalam sosiologi di Eropa seperti
konflik kelas Karl Marx.
Pengamatan terhadap fenomena konflik dan dinamika social
juga sudah muncul di Afrika beberapa abad sebelum kelahiran
sosiologi secara formal di Eropa. Pada abad ke-14 pada awal masa
keruntuhan khafilah Abbasiyah akibat invasi bangsa Mongol. Masa
ini ditandai oleh kekuasaan yang silih berganti dan tataan politik
yang labil. Berbagai kelompok kepentingan berbasis pada tribal
melakukan gerakan kudeta terhadap kekuasaan negara sehingga
5

menciptakan masyarakat dinamis secara politik. Konteks dinamika


masyarakat dan konflik ini yang kemudian dianalisis oleh Ibnu
Khaldun. Analisis tersebut melahirkan teori konflik kelompok dan
hokum social konflik masyarakat.
Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada
nilai dan strukturnya baik secara revolusioner maupun evolusioner.
Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh gerakan-gerakan
sosial dari individu dan kelompok sosial yang menjadi bagian dari
masyarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunia bias
muncul dalam bermacam bentuk kepentingan, seperti mengubah
struktur hubungan sosial, mengubah pandangan hidup, dan
kepentingan merebut peran politik (kekuasaan). Ilmu sosiologi,
khususnya sosiologi konflik dilahirkan oleh perubahan-perubahan
sosial dan dinamika gerakan sosial dari masa klasik sampai
kontemporer. Bisa dikatakan, menurut Kornblurn, sosiologi
menjadi bagian dari gerakan sosial itu sendiri karena seseorang
ilmuan sosial dalam sejarahnya adalah reformer.
6

KONFLIK KELOMPOK DAN PERJUANGAN KELAS


Dalam Lensa Ibn Khaldun
Ibnu Khaldun merupakan seseorang ilmuan sosial dari
Afrika di abad ke-14. Sesungguhnya dia selalu menjadi bagian dari
kekuasaan kesultanan karena ia menjadi penjabat negara di
Tursina, Algeria, Maroko, dan Spanyol. Dia melahirkan banyak
karya dalam berbagai disiplin ilmu termasuk sosiologi. Terutama
sekali kajian berkaitan dengan konflik sebagai hukum sosial dalam
sejarah manusia
Nama lengkap Ibnu Khladun adalah Abdurrahman Abu zaid
Waliuddin Ibn Khaldun. Lahir di Tunisia pada tanggal 1
Ramadhan 732 H (27 Mei 1332 M) dari keluarga yang terkemuka
dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik. Sebelum usia 20
tahun Ibn khaldun telah terlibat dalam berbagai intrik Politik, dia
menjadi tokoh-tokoh penting dalam setiap peegantian kekuasaan.
Ibnu khaldun hidup dipenghujung abad pertengahan zaman
renaissance, yaitu abad ke-14 (empat belas) masehi). Abad ini
merupakan periode dimana terjadi perubahan-perubahan historis
besar, baik di bidang politik maupun pikiran. Bagi Eropa, periode
ini merupakan periode tumbuhnya cikal bakal zaman renaissance.
Sementara bagi dunia Islam periode ini merupakan periode
kekhalifahan. Tapi kekhalifahan disini mengalami kerusakan akibat
perebutan kekuasaan. Akibatnya konflik begitu kerap terjadi.
Sedangkan di Afrika Utara, tanah air Ibnu Khaldun, pada abad ke-
14 ditandai oleh kemandegan pemikiran dan kekacauan politik.
Kekuasaan Muslim Arab telah jatuh sehingga banyak Negara
bagian melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Pertentangan,
intrik, perpecahan, dan kericuhan meluas dalam kehidupan politik,
dan setiap orang berusahan meraih kekuasaan. Berdasarkan
pengalaman empirik, Ibnu Khaldun dapat dengan mudah
mengetahui perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok
dalam mastarakat, karena pengalaman langsungnya pada setiap
kekhalifahan. Perbedaan tersebut tidak hanya antara masyarakat
7

nomad dan menetap, tetapi juga dalam hubungan antar kelompok-


kelompok baik dari suku nomad maupun menetap.
Menurut Ibnu Khaldun watak psikologis manusia
merupakan suatu faktor yang penting untuk diperhitungkan.
Manusia pada dasarnya mempunyai sifat agresif di dalam dirinya.
Potensi ini muncul karena adanya pengaruh animal power dalam
dirinya. Karena potensi inilah manusia juga dikenal sebagai
rational animal. Potensi lain yang ada didalam diri manusia adalah
potensi akan cinta dengan kelompoknya. Ketika manusia hidup
bersama-sama dalam suatu kelompok maka fitrah ini mendorong
terbentuknya rasa cinta terhadap kelompok (ashobiyah).Ashobiyah
merupakan faktor pendukung yang sangat mempengaruhi
terjadinya konflik. Menurut Abdul Raziq al-Makhi, „ashobiyah‟
dibagi menjadi 5, yaitu :
a) Ashobiyah kekerabatan dan keturunan, adalah Ashobiyah
yang paling kuat.
b) Ashobiyah pesekutuan, terjadi karena keluarnya seseorang
dari garis keturunanya yang semula ke garis keturunan
yang lain.
c) Ashobiyah kesetiaan yang terjadi karena peralihan
seseorang dari garis keturunan dan kekerabatan ke
keturunan yang lain akibat kondisi-kondisi sosial. Dalam
kasus yang demikian, Ashobiyah timbul dari persahabatan
dan pergaulan yang tumbuh dari ketergantungan seseorang
pada garis keturunan yang baru.
d) Ashobiyah penggabungan, yaitu Ashobiyah yang terjadi
karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya dan
bergabung pada keluarga dan kaum lain.
Ashobiyah perbudakan yang timbul dari hubungan antara
para budak dengan tuan-tuan mereka. Manusia tidak akan rela jika
salah satu anggota kelompoknya terhinakan dan dengan segala
daya upaya akan membela dan mengembalikan kehormatan
kelompok mereka. Ada perbedaan rasa integrastif ini, jika di
8

masyarakat primitif (nomad) faktor pengikatnya adalah pertalian


darah atau garis keturunan. Sedangkan dalam masyarakat menetap
atau modern yang ikatan darahnya sudah tidak murni satu suku lagi
maka ikatanya didasarkan atas kepentingan-kepentingan anggota
kelompok maupun secara imaginer menjadi kepentingan kelompok.
Potensi lainya adalah agresi, manusia sejak awal memiliki watak
agresif sebagai akibat adanya animal power dalam dirinya yang
mendorong untuk melakukan kekerasan serta penganiayaan.
Agresifitas ini bisa berakibat terjadinya pertumpahan darah dan
permusuhan. Agresifitas tersebut kemudian menjadi pemicu
terjadinya konflik. Teori ini kemudian ditentang dengan teori yang
menyebutkan bahwa agresifitas tersebut bukan hanya karena faktor
animal power dalam diri manusia, tetapi juga karena frustasi, yakni
ketika manusia tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan.
Menurut teori ini bukan karena instink manusia dalam melakukan
kekerasan melainkan juga frustasi
Masa Khaldun ditandai oleh dinamika konflik perubutan
kekuasaan oleh kelompok-kelompok yang hidup di zaman itu.
Masa itu ditandai oleh kemunculan kelompok-kelompok yang
memperebutkan kekuasaan dalam Negara kekhalifahan. Sehingga
negara sering berada dalam keadaan ketidakstabilan politik.
Kondisi inilah yang mempengaruhi pemikiran sosiologi konflik
Ibnu Khaldun. Sosiologi Konflik Ibnu Khaldun memperlihatkan
bagaimana dinamika konflik dalam sejarah manusia sesungguhnya
ditentukan oleh keberadaan kelompok sosial (‘ashobiyah) berbasis
pada identitas, golongan, etnis, maupun tribal. Kelompok sosial
dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia member
konstribusi terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi oleh
sifat asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah
kekuatan hewani yang mampu mendorong berbagai kelompok
sesial menciptakan berbagai gerakan untuk memenangi (to win)
dan menguasai (to rule) (lihat dalam The Muqadimmah, 1969).
9

Suatu kelompok sosial akan mampu mendominasi


kekuasaan tatkala secara internal kelompok tersebut mampu
menjaga soldaritas kelompoknya. Loyalitas para anggota dalam
menjaga persatuan kelompok sosial. Namun begitu solidaritas
dalam kelompok mengalami kegoyahan, maka bias dipastikan
suatu kelompok tidak dapat mempertahankan lebih lama dominasi
kekuasaanya. Pemikiran kelompok sosial, dominasi kekuasaan, dan
dinamika konflik dalam sejarah manusia sebagai hokum sosial dari
Ibnu Khaldun memiliki kemiripan dengan pemikiran Karl Marx
yang muncul lima abad kemudian. Tidak ada dokumen yang
memperlihatkan bahwa sosiologi konflik Marx juga dipengaruhi
oleh sosiologi konflik Ibnu Khaldun. Namun pembahasan
mengenai konflik dan hukum sosial dari usaha dominasi kekuasaan
antar kelompok sosial memberi rangkaian pemikiran sosiologi
konflik yang serupa.
10

KONFLIK KELOMPOK DAN PERJUANGAN KELAS


Dalam Lensa Karl Mark
Karl Marx lahir dari keluarga Yahudi, ahyahnya harus
mengubah keyakinan menjadi Katolik karena situasi politik di
Jerman pada waktu itu, Marx menjadi murid Hegel yang cerdas dan
kritis. Marx adalah salah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai
perkembangan ilmu sosial secara umum. Marx hidup di masa
revolusi industry pertama di Eropa dan liberalism politik akibat
pengaruh revolusi Prancis. Pertumbuhan industrialism yang
mengubah struktur sosial masyarakat secara dramatis member
pijakan orientasi pemikiran Marx, terutama sekali pengembangan
sistem kapitalisme yang membagi struktur sosial dalam dua posisi
berbeda yang ekstream, yaitu antara mereka yang memiliki modal
dan mereka yang hanya memiliki tenaga.
Sosiologi Karl Marx dipengaruhi oleh filsafat dialektika
idea menjadi dialektika material, yang diambil dari filsafat menjadi
Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus-
menerus secara material. Menurut penafsiran Cambell, melalui
Tujuh Teori Sosial (1994), Marx adalah penganut materialism
historis yang menjelaskan proses dialektika sosial masyarakat,
penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatan-kekuatan
ekonomis, dari masyarakat komunis primitive menuju feodalisme,
berlanjut ke kapitalisme, dan berakhir pada masyrakat tanpa kelas
komunisme (classless society).
Marx mengajukan konsepsi penting tentang konflik, yaitu
tentang masyarakat kelas dan perjuangan kelas. Marx menyatakan
“… of all instruments of production the greatest force of
production is the revolutionary class itself”2 (… dari instrument-
instrumen produksi yang paling besar kekuatan produksi itu adalah
kelas revolusioner itu sendiri) (dikutip oleh Dahrendorf, 1959: 9).
Pernyataan Marx melalui artikelnya The Clasess tersebut member
2
Ralf Dahrendolf, Class and Class Conflicflict in Industrial Society,
California : Stanford University Pers, 1959, hal. 9
11

penekanan bahwa perubahan sosial yang dimaksud oleh Marx


adalah kelas proletariat. Kelas, menurut Marx, adalah entitas dari
perubahan-perubahan sosial. Kelas dan perjuangan kelas kemudian
dalam konteks masyarakat kapasitas Marx, berbeda dalam
kontradiksi sistem ekonomi kapitalis: (1) polarisasi radikal dari
sistem kelas dalam dua kelas bermusuhan, yaitu borjuis dan
proletar; (2) proses segregasi sistem kelas, yaitu kelas pemilik
modal (kaum borjuis) yang kikir dan pemiskinan kelas pekerja; dan
(3) radikalisasi kelas pekerja yang ditransformasikan melalui
perjuangan politis3
Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi
ia menunjukan bahwa dalam masyarakat, pada waktu itu, terdiri
dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai
kelas proletar. Pendefinisian struktur kelas ini tidak lepas dari
konteks pada waktu itu ketika perubahan struktur masyarakat
begitu dominan dipengaruhi oleh distribusi capital dalam
perubahan mode production (cara produksi). Kedua kelas ini
berada dalam struktur sosial yang herarkhis, dan borjuis melakukan
eksploitasi terhadap proletar dalam sistem produksi kapitalis.
Eksploitasi ini terus berjalan karena masih mengakarnya kesadaran
semu, false consciousness, dalam diri proletar, yaitu berupa rasa
berserah diri, menerima keadaan, dan berharap balasan akhirat.
Melalui perspektif ini, Marx menilai agama adalah candu yang
mengantar manusia pada halusinasi kosong dan menipu. Agama
sebagai lembaga sosial tidak lebih dari instrument pragmatis kelas
borjuis dan proletar melahirkan gerakan sosial besar dan radikal,
yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas
proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka.
Namun, Marx tidak membahas bagaimana kesadaran ini terbentuk
dan terorganisasi menjadi gerakan sosial melawan kapitalisme. Ini
nantinya menjadi kritik Dahrendorf nantinya menjelaskan

3
Bryan Turner, Op.Cit., hal. 222
12

bagaimana perjuangan kelas terbentuk melalu formasi kepentingan


dan gerakan kelompok kepentingan (1959).
Wallace dan Wolf menengarai tiga prinsip utama dalam
sosiologi konflik Marx. Pertama, manusia secara alamiah memiliki
angka kepentingan. Jika seseorang bertindak tidak di atas
kepentingan alamiah tersebut, berarti mereka telah dicurangi dari
kepentingan yang sebenarnya (true interest). Kedua, konflik dalam
sejarah dan masyarakat kontemporer adalah akibat benturan
kepentingan kelompok-kelompok sosial. Ketiga, Marx melihat
keterkaitan ideology dan kepentingan. Bagi Marx gagasan dari
suatu zaman adalah refleksi dari kepentingan „rulling class‟4
Selain seorang „reformer’, Marx adalah seseorang yang
meyakini perubahan sosial radikal. Tetapi lepas dari komitmen
moralnya, Marx memberi esensi akademik mengenai realitas
kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah dan konflik kelas
atas fakta eksploitasi. Ia melihat perubahan sosial melalui proses
dialektis sejarah material yang syarat konflik dan determinisme
ekonomi. Berkaitan dengan konflik sebagai bagian dari sejarah
manusia, Marx menyatakan, “… without conflict, no progress; that
is the law which is civilization has followed the present day 5(tanpa
konflik, tidak ada perkembangan (peradaban, penulis); itu adalah
hukum pada peradaban sampai sekarang.” Pernyataan ini juga telah
disampaikan oleh Ibnu Khaldun beberapa bab sebelumnya melalui
Muqadimmah bahwa sejarah manusia selalu dicirikan oleh konflik
kelompok, dan hal ini adalah hukum sosial dalam peradaban
manusia.
Pemikiran Marx nantinya sangat berpengaruh dan
berkembang sebagai tradisi sosiologi konflik neo-Marxis, mahzab
Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik structural lainnya.

4
Wallace & Wolf, Reading in Contemporary Sociological Theory from
Modernity to Postmodernity, New Jesey : Prentice Hall, 1995, hal. 79
5
Ralf Dahrendolf, Op. Cit., hal.8
13

STRATIFIKASI SOSIAL
Teori Konflik Max Waber
Marx Weber terlahir di tahun 1864 dari keluarga kaya
(borjuis) di Jerman. Ia menikmati kemewahan posisi sosial ayahnya
yang menjadi anggota penting parlemen di Jerman dari Partai
Liberal Jerman. Walaupun demikian, ia mengalami pengalaman
pahit dari hubungan pernikahan ayah dan ibunya. Weber sendiri
merupakan pendiri Partai Demokrat Jerman (Deutshce
Democratishe Partie). Hal ini menunjukan ketertarikannya pada
dunia politik di Jerman pada waktu itu. Latar belakang aktivitas
dan lingkungan ini akan member pengaruh besar terhadap sosiologi
konflik Weber.
Max Weber sejalan dengan filsafat Marx yang melihat ada
kepentingan alamiah dalam setiap diri manusia. Kepentingan
alamiah inilah yang mendorong manusia untuk terus bergerak
mencapai kekayaan (wealth) serta menciptakan tujuan-tujuan
penting dan niali-nilai dalam masyarakat. Namun Weber tidak
sepakat dengan apa yang dipikirkan Marx tentang determinisme
ekonomi. Bahkan Weber menyebut Marx sebagai sosiologi
dogmatis, dan menyebutn sosiologinya sebagai sosiologi empiris.6
Selanjutnya menurut Turner, perbedaan teoretis antara Weber dan
Marx ini juga terlihat dari komitmen metedologi Weber yang
mengikuti individualism, sosiologi sebagai perspektif interpretative
pada tindakan sosial. Sedangkan Marx mengacu pada epistemology
realis, strukturalisme, dan materialism sejarah sebagai ilmu
pengetahuan dari cara produksi7
Weber menciptakan tipe ideal tindakan sosial untuk
memahami pola dalam sejarah dan masyarakat kontemporer. Ia
menciptakan tipe ideal tindakan, hubungan sosial, dan kekuasaan
(power). Weber mengklasifikasikan tindakan individu kedalam

6
Karl Lowith, Max Waber and Karl Marx, London and New York :
Routledge, 1993, hal. 121
7
Bryan Turner, Op.Cit., hal. 50
14

empat tipe ideal, yaitu zwecrational, wertrational, tindakan afektif,


dan tindakan tradisional. Zwectradisional berkaitan dengan means
and ends, yaitu tujuan-tujuan (ends) dicapai dengan mengunakan
alat atau cara (means), perhitungan yang tepat, dan bersifat
matematis. Wertrational adalah tindakan nilai yang orientasi
tindakan tersebut tidak berdasarkan pada alat atau caranya tetapi
pada nilai, atau moralitas misalnya. Tindakan afektif individu
didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah
tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai
sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama (Campbell,
1994).
Sebagian ilmuan sosial menempatkan Weber sebagai
seseorang teoritikus micro anlaysis karena ia berangkat dari
tindakan sosial. Terapi, seperti pendapat George Ritzer (2000),
Weber memang memulai konsepsi sosiologisnya dari tindakan
individu tetapi ia sendiri memberi analisis tentang masyarakat.
Bahkan menjangkau lebih luas dari definisi kelas Karl Marx.
Berkebalikan dengan Marx bahwa kelas adalah determinisme
ekonomi, Weber dalam The Theory of Social and Economic
Organization (1947) memberikan konsep sosiologis yang
komprehensif. Statifikasi tidak hanya ditentukan oleh ekonomi
semata melainkan juga prestige (status), dan power
(kekuasaan/politik).
Konflik muncul dalam setiap entitas stratifikasi sosial.
Setiap stratifikasi adalah posisi yang pantas diperjuangkan oleh
manusia dan kelompoknya. Sehingga mereka memperoleh posisi
yang lebih tinggi. Ini berarti stratifikasi sosial Weberian bisa
disebut sebagai lembaga pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Untuk itulah relasi-relasi sosial manusia diwarnai oleh usaha-usaha
untuk meraih posisi-posisi tinggi dalam stratifikasi sosial. Usaha-
usaha bisa dibaca sebagai betuk dan kombinasi berbagai tipe ideal
tindakan. Pada satu kasus tindakan meraih posisi tinggi dalam
stratifikasi sosial diwarnai oleh tindakan zwectrational saja, dan
15

pada kasus lain diwarnai oleh kombinasi tipe-tipe ideal tindakan.


Keadaan inilah yang membuat konflik muncul dalam banyak
relaitas sosial. Weber sendiri sebenarnya membagi tipe ideal
hubungan sosial menjadi tiga, yaitu hubungan sosial tradisional-
komunal, sosial konflik, dan asosialisasi.
Yang menarik dari sosiologi konflik Max Weber adalah
unsur dasar dari setiap tipe ideal hubungan sosial, yaitu power.
Weber memperlihatkan tiga model kekuasaan. Pertama adalah
kekuasaan berbasis pada karisma yang berpusat pada kualitas
pribadi. Seperti karisma seseorang Soekarno di Indonesia dan
Ahmad Dinejaad di Iran. Kedua adalah wewenang tradisional
(traditional authority) yang diwarisi melalui adat kebiasaan dan
nilai-nilai komunal. Ketiga adalah wewengan legal formal
(legalformal authority) yang merupakan kekuasaan berbasis pada
aturan hukum resmi.8
Kekuasaan merupakan generator dinamika sosial yang
mana individu dan kelompok dimobilisasi atau memobilisasi. Pada
saat bersamaan kekusaan menjadi sumber dari hubungan konflik.
Pada banyak kasus terjadi kombinasi kepentingan dari setiap unsur
statifikasi sosial sehingga menciptakan dinamika konflik. Seperti
keinginan seseorang yang inggin meraih posisi ekonomi yang lebih
tinggi pada saat bersamaan ia juga menginginkan posisi politik
juga. Kombinasi ini menciptakan pola hubungan sosial dan
keterangan kekuasaan yang rumit. Mereka terlibat dalam gerakanan
tersebut akan memobilisasi sumber-sumber kekuasaan yang
dimiliki. Tugas seorang ilmuan sosial menurut Weber adalah
member penafsiran sekaligus menjelaskan kompleksitas konflik
tersebut.

8
Wallace & Wolf, Op. Cit. Hal. 81-82
16

KESADARAN KOLEKTIF DAN GERAKAN SOSIAL


Teori Konflik Perspektif Emile Durkheim

Pemikiran Marx cendrung determinis ekonomi dan Weber


masuk menimbang aspek tindakan subjektif, kemudian di Prancis
pada kurun waktu yang sama Emile Durkheim memberikan
perhatian di luar pemikiran Marx dan Weber, pada apa yang
disebutnya sebagai social fact (fakta sosial). Fakta sosial bersifat
exteriority, yang diluar atau eksternal, dan memaksa terhadap
tindakan individu-indiviu. Individu bergerak atas dasar nilai sosial
yang eksternal, si luar dirinya yang terpaksa. Hal ini adalah suatu
aturan yang tidak tertulis, unwritten, dan merupakan pembahasaan
sosiologi ilmiah.
Giddens merinci dua makna yang paling berkaitan dari
fakta sosial Durkheim. Pertama, tiap orang dilahirkan dalam
masyarakat yang terus berkembang dan telah mempunyai satu
organisasi atau struktur yang pasti serta yang mempengaruhui
keperibadiannya. Kedua, fakta-fakta sosial merupakan hal yang
berada di luar bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu
mana pun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas
pola hubungan yang membentuk masyarakat.9 Baik Marx, Weber
dan Durkheim, sebenarnya menurut Giddens, mempunyai
kehendak terhadap kerangka teori yang mereka bangun terhadap
realitas kontemporer masing-masing.
Konsepsi sosiologis Durkheim dapat dipahami melalui
pembagian masyarakat dalam masyarakat mekanik dan organic.
Masyarakat mekanik mempunyai conscience collective, kesadaran
umum, yang mendasari tingkatak-tingkatan yang bersifat kolektif.
Kesadaran umum dapat juga sebagai moral bersama yang koeresif
pada setiap anggota-anggotanya. Bentuk masyarakat berkesadaran

9
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern : Suatu
Analisis Karya Tulis Marx, Dhurkheim dan Max Waber, Jakarta, UI Press, 1986,
hal. 108
17

kolektif ini seperti kelompok etnis tradisional dan kelompok tribal.


Sedangkan kesadaran organik bersifat lebih kompleks dimana
individu-individu terhubung satu sama lain menjadi dasar fungsi
kebutuhan. Kesadaran organis ini menjadi dasar dari
berkembangnya masyarakat modern.
Selain membahas dua bentuk kesadaran, Durkheim juga
membahas bunuh diri (suicide) sebagai fakta sosial. Ia
mengklasifikasi bunuh diri menjadi bunuh diri egois
(egoisticsuicide), bunuh diri pengorbanan (altruism suicide), dan
bunuh diri fatalistic (fatalistic suicide). (Durkheim, 1951: 106-200).
Durkheim tidak secara khusus membicarakan konflik dalam
masyarakat. Namun secara tersirat melalui teori bunuh diri, analisis
konflik bias dikembangkan. Bahkan konflik yang dibayangkan oleh
Durkheim adalah antara manusia dan sistem seperti peng-
gambarannya mengenai bunuh diri anomie. Bunuh diri anomi
adalah hasil dari tercabutnya individu dari tatanan sosial. Individu
berhadapan secara dimetrikal dengan nilai dan norma
lingkungannya. Artinya, individu mengalami persengketaan dengan
nilai dan norma di lingkungannya, Hal ini juga berarti individu
bersengketa dengan lembaga-lembaga penjaganorma yaitu
masyarakat lingkungannya.
Bryan Turner memosisikan Durkheim dalam golongan
konservatif karena pemikiran sosiologinya lebih memperhatikan
tatanan sosial (social order) dari pada perubahan sosial (social
change).10 Sehingga Durkheim sering disebut sebagai ilmuan sosial
yang mempengaruhi perkembangan teori fungsionalisme struktual.
Suatu perspektif ilmu sosiologi yang berat menimbang aspek
consensus dan harmoni sosial.
Sebenarnya sosiologi Durkheim tidak lepas dari carut-marut
politik di Prancis pada abad ke-19 atau tahun 1870-an ketika
revolusi politik pada waktu itu ditandai oleh berkembangnya
ketegangan-ketegangan sosial antara konservatisme Katolik,
10
Bryan Turner, Op. Cit., hal. 89
18

nasionalisme, dan anti-semitisme, melawan kelompok liberal,


sekuler, dan borjuis. Ketegangan di Prancis tersebut menciptakan
konflik berdarah dari the Paris Commune (kelompok borjuis Paris)
pada tahun 1871. Struktur sosial yang ditandai oleh konflik ari
berbagai kelompok melalui kesadaran kolektifnya dan pergesean-
pergeseran moral (kesadaran) itulah yang mempengaruhi Durkheim
dalam menciptakan sosiologi memperhatikan tataan sosial.
Durkheim merupakan seseorang yang konservatif namun
sesungguhnya juga memperhatikan gerakan sosial masyarakat
sipil.11
Pemikiran Durkheim sebenernya dapat dimanfaatkan dalam
menganalisis gerakan sosial dan konflik. Durkheim sendiri
menunjukan istilah „social current’ yang diterjemahkan oleh
Turner sebagai gerakan sosial (social movement) sebagai salah satu
pembahasan sosiologi melalu metode fakta sosial. 12 Salah satu
kunci analisis gerakan sosial Durkheim adalah konsepnya
mengenai kesadaran kolektif yang mengikat individu-individu
melalui berbagai symbol dan norma sosial. Kesadaran kolektif ini
merupakan unsur mendasar dari terjaganya eksistensi kelompok.
Anggota dari kelompok bias menciptakan bunuh diri altruistik.
Fenomena kontemporer saat ini bias dilihat dari berbagai kasus
bom bunuh diri kelompok-kelompok radikal di India dan Timur
Tengah. Artinya melalui kesadaran kolektif, gerakan sosial bisa
memunculkan berbagai ketegangan dan konflik berdarah. Seperti
yang terjadi dalam masyarakat Prancis pada masa revolusi
politiknya.

11
Ibid. hal.90-92
12
Ibid.
19

SOSIALISASI DAN KONFLIK ALAMIAH


Dalam Lensa George Simmel
Perkembangan ilmu sosial telah memperoleh fondasi tradisi
pemikiran yang berkembang di Eropa dari determinisme ekonomi
dan perjuangan kelas dari Marx, teori-teori tindakan dan stratifikasi
sosial Weber, dan fakta sosial dari Durkheim. George Simmel,
meramaikan diskursus intelektual (school of thought) melalui
pemikiran yang bercorak realis dan interaksionis. Ia tumbuh di
pusat kebudayaan dagang orang-orang Yahudi di Berlin. Pada saat
dewasa ia mempelajari filsafat dan sejarah. Hal ini menjadikan
Simmel seseorang ilmuan murni, tidak berprestasi membangun
ideologi perubahan seperti Marx. Simmel adalah bapak dari
sosiologi konflik, setelah istilah yang ia berikan terhadap disiplin
ini namun juga analisisnya yang komprehensif mengenai sosiologi
konflik.
Menurut Turner, kunci perspektif sosiologi Simmel secara
utama adalah relasionisme, sosialisasi, dan bentuk-bentuk sosial.
Relasionisme mejelaskan bahwa tidak ada satu pun unsur-unsur
sosia; dapat dipahami melalui isolasi tetapi selalu dalam kondisi
saling keterkaitan dengan totalitas. Sedangkan bentuk-bentuk sosial
menunjukan pada keberadaan lembaga-lembaga sosial seperti
keluarga, bentuk pertukaran sosial, jaringan, dan lain-lainnya. 13
Sedangkan bentuk sosiologi formal Simmel ditunjukkan melalui
sosialisasi (socialization: Vergesellschaftung). Sosialisasi
merupakan proses yang menghubungkan bagian-bagian menjadi
suatu keseluruhan sistem, menghubungkan antar-individu menjadi
masyarakat. Sosialisasi adalah bentuk (dinyatakan dalam berbagai
cara yang begitu banyak) para individu tumbuh bersama ke dalam
kesatuan dan di dalam kepentingan –kepentingan mereka yang
terealisasikan.14

13
Ibid. hal.147-149
14
George Simmel, On Individuality and Social Form, Cicago :
Univercity of Cicago Press, 1971, hal. 24
20

Sosialisasi melihat pada proses interaksi sosial sebagai cara


menciptakan kesatuan terebut. Menurut Lallement “Simmel
mengajukan sebuah konsep kunci, yaitu konsep tindakan timbul
balik. Melalui tindakan timbul balik secara sederhana ia memahami
pengaruh yang diberikan kepada seseorang kepada sesamanya.
Tindakan ini dituntun oleh keseluruhan motivasi yang beragam
(insting erotis, kepentingan praktis, keyakinan realigius, keharusan
untuk bertahan hidup atau untuk menyerang, kesenangan bermain-
main, pekerjaan dan sebagainya…) dan – tanpa pernah berhenti
bergerak itulah totalitas seluruh tindakan yang member kontribusi
untuk mempersatukan totalitas individu menjadi satu masyarakat
global”15
Fenomena konflik pun dipandang sebagai proses sosialisasi.
Sosialisasi bisa menciptakan asosialisasi, yaitu para individu yang
berkumpul sebagai kesatuan kelompok masyarakat. Sebaliknya,
sosialisasi juga bisa melahirkan disasiolisasi yaitu para individu
mengalami interaksi saling bermusuhan karena adanya feeling of
hostility secara alamiah. Simmel menyatakan: “The actually
dissociating elements are the couses of the conflict – hatred and
envy, want and desire” 16 (Unsur-unsur yang sesungguhnya dari
disasosialisasikan adalah sebab-sebab konflik – kebencian dan
kecemburuan, keinginan, dan nafsu).
Teori sosialisasi Simmel mengenai konflik, bisa dipahami
melalui konsep “geometry of social space”. Simmel memberi
perspektif hubungan konflik dan mediasi yang menarik. Simmel
menggambar hubungan dyad (dyadic relationship) dan triad (triadic
relationship). Dalam hubungan dyad yang terdiri dari dua peserta,
sifat hubungan itu adalah konfrontatif. Pengertian integratifnya,
dua peserta saling bergantung satu sama lain. Karena kepergian
15
Michel Lallement, George Simmel, Bapak Interaksionis yang Tidak
Dikenal, dalam Philippe Caben & Jean Franois Dortier (ed) Sosiologi sejarah
dan Berbagai Pemikirannya, Yogjakarta, Kreasi Wacana,2004, hal. 64
16
George Simmel, The Sociologi of Conflict :I, Amercan Journal of
Sociology, 1903, hal.409
21

satu partisipasi akan menghancurkan hubungan tersebut. Perubahan


populasi, dari dyad menjadi triad memberi perubahan kualitatif
yang mendasar. Dalam hubungan triad, salah satu peserta mungkin
akan ditinggalkan oleh koalisi dua peserta lainnya. Strategi lainnya
yang mungkin adalah kemunculan satu peserta sebagai mediator
yang menjaga kelompok terus berinteraksi positif dalam
menciptakan kesepakatan. Sebaliknya moderator bisa menciptakan
konflik terus-menerus untuk keuntungannya sendiri.17
Selanjutnya menurut Simmel, ketika konflik menjadi bagian
dari interaksi sosial, maka konflik menciptakan batasan-batasan
antar kelompok dengan memperkuat kesadaran internal yang
membuat kelompok tersebut terbedakan dan terpisah dari
kelompok lain. Hal ini berlaku secara resiprokal antagonistic atau
permusuhan timbal balik. Akibat dari “reciprocal antagonisms”
antar kelompok itulah terbentuk divisi-divisi sosial dan sistem
stratifikasi. Permusuhan timbal balik tersebut mendirikan indentitas
dari berbagai macam kelompok dalam sistem dan sekaligus juga
menolong untuk memelihara keseluruhan sistem sosial.
Walaupun konflik menjadi perhatian Simmel, integrasi
sistem sosial adalah proses organis yang dituju oleh Simmel.
Menurut Jonathan Turner, Simmel concern pada hubungan-
hubungan sosial yang terjadi di alam konteks sistematik yang
hanya dapat ditipekan sebagai suatu percampuran organis dari
proses asosiatif dan disasosiatif. Proses itu adalah satu refleksi dari
impuls naluriah dari pelaku an ketentuan yang memerintah oleh
berbagai macam tipe hubungan sosial. Oleh sebab itu, proses
konflik adalah satu karakter di mana pun dari sistem sosial, tetapi
tidak memerlukan, dalam banyak kasus, petunjuk mengenai
kerusakan sostem, dan/ atau perubahan sosial. Kenyataanya,
konflik dalam satu proses prinsip pengoperasian pada pemeliharaan

17
Wallace & Wolf, Op.Cit., 185
22

keselurahan sosial dan/atau beberapa sub bagiannya.18 Pemikiran


ini nantinya banyak memengaruhi Lewis Coser yang melahirkan
teori fungsi-fungsi konflik, yaitu konflik secara alamiah membawa
struktur sosial pada kondisi yang lebih mapan dan baru.
Jonathan Turner mencatat, perbedaan antara Marx dan
Simmel terletak pada pandangan Simmel terhadap hubungan sosial
terjadi didalam konteks sistematik yang hanya dapat ditipekan
sebagai pencampuradukan organis dari proses sosialisasi dan
dissosialisasi, konflik terjadi dimana-mana dalam sistem sosial,
kenyataannya konflik adalah saru prinsip operasional memelihara
keseluruhan sosial dan/atau beberapa bagiannya. Sedangkan Marx
cendrung pada kelas dan dominasi, bukan suatu yang alami.

18
Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory,
Homewood Illionis, The Dorsey Press, 1978, hal. 128
23

REFLEKSI KRITIS
Atas Sosiologi Konflik Klasik
Ibnu Khaldun dan Karl Marx berhasil memperlihatkan
konflik kelompok sosial dan kelas. Konflik ini mempengaruhi
dinamika masyarakat dalam sejarah masyarakat. Walaupun kritik
terhadap pemikiran mereka juga muncul. Seperti pembagian
struktur sosial Marx yang determinisme ekonomi Max Weber
berhasil member analisis mengenai stratifikasi yang lebih luas
dalam dimensi ekonomi, status, dan politik. Weber
memeperlihatkan konflik adalah manifestasi tindakan manusia
yang ingin meraih posisi-posisi dalam setiap stratifikasi sosial
tersebut. Sehingga setiap relasi sosial dipengaruhi dan dibentuk
oleh tindakan merai posisi dalam stratifikasi sosial. Emile
Durkheim member analisis pada fakta sosial an bunuh diri. Banyak
kalangan menyebutnya sebagai peletak batu pertama
berkembangnya tradisi sosiologi fungsional structural yang
mengabaikan fakta konflik. Walaupun demikian analisisnya
mengenai bentuk soldaritas dan bunuh diri sangatlah relevan untuk
menganalisis gerakan sosial dan konflik. Sedangkan Simmel bisa
dikategorikan sebagai pelopor sosiologi konflik melalui analisis
akademisnya mengenai sosialisasi dan fungsi konflik dalam
masyarakat.
Sebenarnya ada beberapa ilmuan klasik lainnya yang ikut
meletakkan fondasi sosiologi konfli, seperti Vilvredo Pareto dan
Italia melalui „governings‟ elitnya, Thortein Veblen (1857-192)
dari Amerika melalui konflik kelompok ekonomi, Joseph
Schumpeter dari Austria (1883-1950) melalui teori legitimasinya
dan Rober Park melalui konflik sebagai prinsip kehidupan sosial.
Turner menilai sosiologi merupakan bagian dari gerakan-
gerakan intelektual yang merespon sosiologi klasik terhadap
revolusi industry dan revolusi Prancis di Eropa. Respon ini disaring
oleh tiga doktrin utama yang berkembang pada waktu itu, yaitu:
sosialisme, konservatisme, dan liberalism. Walaupun demikian,
24

kekuatan yang paling mempengaruhi sosiologi adalah


konservatisme. Kunci-kunci gagasan atau „unit ideas‟ seperti
masalah wewenang, kesucian, komunitas, masalah individual,
status dalam kaitan perubahan sosial, dan keseluruhan organic
adalah sebagai aspek utama dari warisan intelektual konservatif.19
Apakah teori-teori sosiologi klasik di atas masih cukup
relevan jika dimanfaatkan untuk member analisis kenomena
konflik? Ada asumsi umum yang melihat teori-teori klasik ini
sudah tidak lagi bisa dimanfaatkan untuk member analisis
fenomena konflik kontemporer. Ada tiga alas an dari ansumsi ini
yang sering muncul dalam diskusi-diskusi teori sosial. Pertama,
teori sosial klasik diciptakan dari konteks kesejahteraan yang
berbeda dengan konteks kekinian. Kedua, perubahan struktur
masyarakat dan dinamika sosial telah melampaui imajinasi pada
ilmuan sosial klasik. Asumsi mengenai tidak relevannya sosiologi
konflik klasik untuk melihat fenomena kontemporer bisa benar.
Walaupun demikian, asumsi tersebut perlu melihat fakta
keterkaitan perubahan sosial kontemporer tidak lepas dari pengaruh
pemikiran-pemikiran tersebut. Kedua perbedaan konteks ruang dan
waktu sesungguhnya bisa diatasi dengan merefleksi pemikiran
klasik tersebut untuk mencari revekasi analisis. Ketiga, sosiologi
konflik klasik sebenarnya telah mempengaruhi soaiologi konflik
kontemporer. Sosiologi konflik klasik dari Ibnu Khaldun, Karl
Marx, Max Weber, Emile Durkheim, dan George Simmel faktanya
memberi pengaruh besar terhadap perkembangan sosiologi konflik
kontemporer yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

19
Briyan Turner, Op. Cit., hal. 91
25

BAB II
TEORI SOSIOLOGI KONFLIK
KONTEMPORER

MAZHAB POSITIVIS
Teori Koersi Struktur Sosial Ralf Dahrendorf
Fungsi Positif Konflik Lewis Coser
Tindakan Kosrsif dan Fase Konflik Ottoman J. Bartos

MAZHAB HUMANISME
Interpretasi Simbolis dan Konflik Blumer dan Herbert Mead
Konstruksi Sosial Konflik Peter L. Berger dan Luckman

MAZHAB KRITIS
Dominasi Struktural dan KomunikasiJurgen Habermas
Dominasi dan Oligarki EliteCharles W.Mills
Reproduksi dominasi Sistem Posisi Pierre Bordeo
26

MAZHAB POSITIVIS

Teori Koersi Struktur Sosial


Ralf Dahrendorf

Fungsi Positif Konflik


Lewis Coser

Tindakan Koersif dan Fase Konflik


Ottoman J. Bartos
27

PROLOG

Sesungguhnya membahas sosiologi konflik


kontemporer masih mengikuti peta tiga mazhab besar
ilmu-ilmu sosial dan teori sosiologi konflik klasik. Aliran
positivism, humanism, dan kritikdalam ilmu sosial
sampai saat ini masih menjadi perspektif yang sering
dimanfaatkan dalam studi konflik. Bab ini secara khusus
melacak perkembangan teori sosiologi konflik
kontemporer. Walaupun demikian, saat ini ada
kecendrungan dari beberapa ilmuan sosiologi konflik
yang mengkaji konflik dengan pendekatan eklektik dan
multidisipliner. Pendekatan yang mencoba
mencampurkan mazhab-mazhab utama ilmu sosial dalam
menganalisis konflik. Sehingga buku ini membagi
sosiologi konflik kontemporer menjadi empat aliran, yaitu
sosiologi konflik mazhab positivis, mazhab humanis,
mazhab kritis, eklektik, dan multidisipliner.
Sosiologi konflik mazhab positivis pada dasarnya
melahirkan sosiologi konflik structural. Beberapa
kalangan menyebutnya sebagai aliran makro. Sehingga
mazhab sosiologi konflik positivis bisa disebut sebagai
sosiologi konflik makro. Ada dua ciri utama dari mazhab
ini: (1) Generalisasi teori yang bisa berlaku secara
universal. (2) Melihat konflik sebagai bagian dari
dinamika gerakan struktural.
28

Teori Koersi Struktur Sosial


Ralf Dahrendorf
Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme,
namun, sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan
suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodoks. Seperti Ralf
Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-
kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated associantion),
dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elite dominan,
daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal
dan buruh.20
Dahrendorf muda dikirim ke kamp Nazi karena
keanggotaanya sebagai anggota oposisi dari keterlibatannya dalam
aktivitas politik. Dia merupakan anggota Free Democratic dari
parlemen regional Baden-Wurtemberg Landtag dan parlemen West
German Bundestag. Dahrendorf menjadi anggota komisi
Komunitas Eropa yang bertanggung jawab di bidang ilmu
pengetahuan, pendidikan, dan penelitian. Dahrendorf menolak
utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan consensus
dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat
menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan
saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan
konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia
kelompok-kelompok terkoordinasi (ICAslimperatively coordinated
associations) yang mewakili peran-peran organisasi yang dapat
dibedakan. Organisasi ini dilarekteri oleh hubungan kekuasaan
(power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai
kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.21
Bagi Dahrendorf konflik hanya muncul melalui relasi-relasi
sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak
terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat dalam konflik.

20
Ibid., hal. 66
21
Ibid., hal. 67
29

Dahrendorf menyebutnya sebagai “integrated into a common frame


of reference”. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa unit analisis
dalam sosiologi konflik adalah keterpaksaan yang menciptakan
organisasi-organisasi bisa bersama sebagai sistem sosial.22 Hal itu
tentu saja berlawanan dari tradisi fungsionalisme struktural yang
melihat unit analisis sosiologi adalah konsensu diantara berbagai
organisasi sosial sehingga memungkinkan berbagai kerja sama.
Dahrendorf memahami relasi-relasi dalam struktur sosial
ditentukan oleh kekuasaan. Ia mendefinisikan kekuasaan:
“kemungkinan bahwa satu actor dalam suatu hubungan sosial akan
berada dalam posisi melakukan perlawanan tanpa melihat dari asal
kemungkinan itu menyerah” 23 Menurut Wallace dan Wolf, esensi
kekuasaan yang dimaksudkan oleh Dahrendorf adalah kekuasaan
control dan sanksi sehingga memungkinkan mereka yang memiliki
kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang
mereka inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekusaan. Jadi
dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi fakta
tak terhindarkan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan tidak
memiliki kekuasaan. Kekuasaan adalah “lasting source of
friction”24
Kekuasaan dalam masyarakat modern dan industrial bisa
diterjemahkan sebagai wewengan (authority). Model kekuasaan
Dahrendorf ini tampaknya dipengaruhi oleh tipe ideal kekuasaan
dari Max Weber yang menyebut wewengan legal formal sebagai
sumber kekuasaan masyarakat modern.
Dahrendorf melihat wewengan adalah: (1) relasi wewengan
yaitu selalu relasi-relasi antara super dan subordinasi; (2) di mana
ada relasi-realasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi
selalu diharapkan mengontrol perilaku kelompok-kelompok
subordinasi melalui permintaan dan perintah serta peringatan dan

22
Ralf Dahrendolf, Op. Cit., hal. 164-165
23
Ibid. hal. 166
24
Wallaace & Wolf, Op. Cit., hal. 145
30

larangan; (3) berbagai harapan tertanam relative permanen dalam


posisi sosial daripada karakter individual; (4) dengan keberadaan
fakta ini (kekuasaan superordinasi, penulis), mereka selalu
melibatkan spesifikasi subjek-subjek perorangan untul mengontrol
dan spesifikasi dari ruang sosial (spheres) yang kontrol mungkin
dilakukan; dan (5) wewengan menjadi hubungan terlegitimasi,
tanpa protes dengan perintah-perintah otoritatif dapat diberi sanksi;
sesungguhnya ini merupakan fungsi sebenarnya dari sistem legal
untuk mendukung pemberlakuan wewenang yang memiliki
legitimasi.25
Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama
lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi
ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu, dapat
dilihat sebagai hubungan “authority”, beberapa posisi mempunyai
hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain.26
Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara oleh proses
penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-
macam tipe kelompok terkoordinasi yang ada hingga seluruh
lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber
langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing dan
berkelahi. Dahrendorf menyebut teorinya ini sebagai „teori koersi
struktur sosial‟.27
ICAs muncul melalui suatu proses sosiologis yang
sistematis. Pada kondisi awal dalam suatu wilayah sosial (social
field), seperti sebuah perusahaan, mereka yang berada pada posisi
subordinat atau sebagai the ruled class menyadari ketertindasan
mereka. Namun mereka masih belum memiliki kepentingan untuk
mengubah posisi subordinate itu. Pada dasarnya mereka hanya
memiliki kepentingan semu (latent interest). Kepentingan semu

25
Ralf Dahrendolf, Op. Cit., hal. 166-167
26
Jonathan Turner, Op.cit., hal. 144
27
Ralf Dahrendolf, Op. Cit., hal. 173
31

berada di level individu, tersimpan di bawah sadar. Namun,


kepentingan semu ini tersebar pada mereka yang merasa ditindas
sebagai kelompok subordinasi. Sehingga menciptakan kelompok
semu pula (quasi groups). 28
Kepentingan-kepentingan semu dari kelompok semu ini
menjadi kepentingan nyata (manifest interest) tatakala ada proses
penyadaran yang dilakukan oleh beberapa orang yang terlebih
dahulu mengerti kepentingan yang harus diperjuangkan. Mereka
menciptakan kelompok yang benar-benar sadar pada kepentingan
bersama dan perlu diperjuangkan. Proses ini menumbuhkan bentuk
kesadaran pada kepentingan yang nyata, yaitu lepas dari
ketertindasan. Pada fase inilah terjadi proses pembentukan
kelompok terorganisir, kelompok kepentingan (interest groups),
(ICAs) yang siap melakukan gerakan perlawanan terhadap posisi
dominan kelompok terorganisir lainnya. Seperti kelompok
terorganisir buruh terhadap kelompok terorganisir pengusaha.29
Namun, Dahrendorf member beberapa kondisi sosiologis
agar formasi kelompok kepentingan laten bisa menjadi kelompok
kepentingan manifest, yaitu: (1) dalam kelompok laten terdapat
pemimpin yang berani dengan hubungan konflik; (2) kelompok
memiliki ideologi konflik; (3) para anggota kelompok laten
memiliki kebebasan untuk mengorganisasi konflik. Refleksikan
kondisi ini pada Orde Baru; (4) memiliki anggota-anggota yang
komitmen dan berkomunikasi di antara sesame.30
Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu
adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang, kemudian
menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam
sistem sosial. Selanjutnya, sekelompok peran baru memegang
kunci kekuasaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi

28
Ibid., hal. 177
29
Ibid., hal. 178-179
30
Ibid., hal. 472
32

bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewengan


merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang
mengatur (ruling class) versus peranan yang diatur (ruled class),
yaitu dalam kodisi khusus kontes perebutan wewenang akan
kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada,
dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehingga kenyataan
sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang
dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem
sosial.
Dahrendorf menyebut teori konfliknya sebagai sosiologi
konflik dialektis yang menjelaskan proses terus-menerus distribusi
kekuasaan dan wewenang di antara kelompok-kelompok
terkoordinasi (ICAs). Sehingga kenyataan sosial, bagi Dahrendorf,
merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang
dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem
sosial. Anthony Ginddens menyebut dinamika konflik tersebut
sebagai dialektika control dalam sistem sosial (dialectic of control
in social system). Pihak-pihak berkonflik dengan kekuasaan yang
mereka miliki memiliki kapasitas transformative sehingga mereka
mampu menciptakan negosiasi dan menciptakan suatu gerakan
sosial untuk mencapai kepentingan yang menjadi tujuan mereka.31

31
Anthony Giddens, Op. Cit. hal.11
33

Fungsi Positif Konflik


Lewis Coser
Lewis Coser adalah salah satu pelopor sosiologi konflik
struktural. Ia lahir dari keluarga Yahudi di Jerman pada tahun 1913.
Ia menjadi anggota gerakan mahasiswa sosialis di Jerman pada
masa Hitler, dan karena itulah ia harus meninggalkan Jerman. Ia
tinggal di Prancis tanpa pekerjaan dan selalu dalam kondisi
kelaparan. Ia berinisiatif belajar studi komperatif di Universitas
Sorbonne Prancis yang kemudian menjadikannya seorang sosiolog
terkemuka. Ketika perang pecah di Jerman pada masa Hitler, Coser
muda hi-jrah ke Amerika Serikat. Ia mengajar di beberapa
Universitas besar di Amerika Serikat seperti di Chicago University,
State University of New York. Ia sempat menjadi ketua ikatan
sosiologi Amerika Serikat (American Sociology Association/ASA).
Menurut Wallace dan Wolf, Coser telah memberi kontribusi
penting dalam tradisi sosiologi konflik, yaitu: pertama,
pendapatnya mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari
factor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan;
kedua, memperlihatkan konsekuensi konflik dalam stabilitas dan
perubahan sosial. 32 Pada dimensi ini, Coser memperlihatkan
bagaiman konflik memiliki fungi terhadap sistem sosial. Ia juga
menolak bahwa hanya consensus dan kerja sama yang memiliki
fungsi terhadap integrasi sosial.
Menurut Coser, konflik tidak hanya berwajah negative.
Konflik memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui
perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Pendapat ini
sesungguhnya berangkat dari sosiologi konflik Simmel, “… konflik
itu sesungguhnya menunjuk dirinya sebagai seseorang faktor
positif … bisa disebutkan bahwa dalam banyak kasus sejarah
sesungguhnya penyatuan (dari sistem sosial, penulis) dipengaruhi

32
Wallace dan Wolf, Op.Cit., hal. 154
34

oleh faktor positif konflik.33 Sehingga Coser sepakat pada fungsi


konflik sosial dalam sistem sosial, lebih khususnya dalam
hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis,
dan produktivitas, dan kemudian memperlihatkan hubungan antara
konflik dan perubahan sosial Coser melihat konflik sebagai
mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat member peran
positif, atau fungsi positif, dalam masyarakat. Sehingga dalam
suatu hubungan sosial tertentu, konflik yang disembunyikan tidak
akan member efek positif.
Coser (1957) memberikan perhatian terhadap asal muasal
konflik sosial, sama seperti pendapat Simmel, bahwa ada
keagresifan atau bermusuhan dalam diri orang (hostile feeling), dan
dia memperhatikan bahwa dalam hubungan intim dan tertutup,
antara cinta dan rasa benci hadir. Coser mempunyai pendapat yang
sama dengan Simmel dalam melihat unsur dasar konflik, yaitu
hostile feeling. Walaupun demikian, Coser mengkritik pendapat
Simmel yang hanya berhenti pada unsure hostile feeling. Bagi
Coser hostile feeling belum tentu menyebabkan konflik terbuka
(overt conflict). Sehingga Coser menambahkan unsur perilaku
permusuhan (hostile behavior). Perilaku permusuhan inilah yang
menyebabkan masyarakat mengalami situasi konflik.
Coser membedakan dua tipe dasar konflik, yaitun konflik
realistis, dan non realistis. Konflik realistis memiliki sumber yang
konkret atau bersifat material, seperti perebutan suber ekonomi
atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber rebutan itu,
dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan
segera diatasi dengan baik. Konflik nonrealistic didorong oleh
keinginan yang tidak rasional yang cendrung bersifat ideologis,
konflik ini seperti konflik antar-agama, antaretnis, dan konflik
antar-kepercayaan lainnya. Konflik adalah tujuan itu sendiri, baik
diizinkan atau tidak. Konflik nonrealistis merupakan satu cara
menurunkan ketegangan atau mempertegas identitas satu
33
George Simmel, The Sociology..., Op.Cit. hal. 490-491
35

kelompok, dan cara ini mewujudkan bentuk-bentuk kekejian yang


sesungguhnya turun dari sumber-sumber lain. Antara konflik yang
pertama dan kedua, konflik yang nonrealistislah cendrung yang
sulit untuk menemukan resolusi konflik, consensus dan perdamaian
tidak akan mudah diperoleh. Bagi Coser sangat memungkinkan
bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus sehingga
menghasilkan situasi konflik yang lebih kompleks (Coser, 1957).
Menurut Wallace dan Wolf, Coser memperlihatkan fungsi
konflik terhadap kohesi kelompok (group cohesion) yang menjadi
perhatian tradisi fungsionalis struktural. Walaupun demikian, Coser
tidak berniat menjadikan tema kohesi kelompok sebagian
perhataian utama karena konflik tidak harus menciptakan kohesi
kelompok. Bagi Coser kohesi kelompok hanyalah salah satu
konsekuensi dari fungsi konflik.34
Melalui The Function of Social Conflict (1957), Coser
memberi perhatian pada adanya konflik eksternal dan internal.
Konflik eksternal. Konflik eksternal (external conflict) mampu
menciptakan dan memperkuat identitas kelompok. Ia menyatakan
“… konflik membuat batasan-batasan di antara dua kelompok
dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran kembali atas
keterpisahan, sehingga menciptakan kesadaran identitas kelompok
dalam sistem”35 Selanjutnya, konflik eksternal akan menjadi proses
refleksi kelompok-kelompok identitas mengenai kelompok di luar
mereka sehingga meningkatkan partisipasi setiap anggota terhadap
pengorganisasian kelompok. Kelompok identitas di luar mereka ini
merupakan “negative reference group”. (Coser, 1957: 90). Selain
konflik eksternal, konflik internal (internal conflict) member fungsi
positif terhadap kelompok identitas mengenai adanya kesalahan
perilaku. Ada perilaku anggota yang dianggap menyimpang dari
teks norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok

34
Wallace & Wolf, Op. Cit.,1995: 156
35
Lewis Coser, Social Conflict and The Theory Social Change, Britist
Journal of Sociology.8;3, 1957, hal.37
36

tersebut. Selain itu, konflik internal merupakan mekanisme


bertahan dari eksistensi suatu kelompok.
Konflik yang disembunyikan tidak berarti stabilitas
kelompok terjamin. Ketidakhadiran konflik di dalam suatu
hubungan tidak dapat dinyatakan sebagai suatu kondisi stabilitas
yang aman-aman saja. Sebaliknya, pihak-pihak tertentu mungkin
mengekspresikan perasaan benci (hostile feelings) jika mereka
merasa aman dan stabil dalam hubungan tersebut. Mereka lebih
mungkin menghindari suatu tindakan kebencian jika mereka takut
akan mengakhiri hubungan tersebut. Faktanya bahwa suatu
hubungan yang “bebas dari konflik” tidak dapat diindikasikan
bahwa hubungan tersebut bebas dari unsur-unsur yang
menghancurkan. Untuk alasan ini, peristiwa konflik dapat
mengindikasikan kekuatan dan stabilitas dari suatu hubungan.
Konflik dapat berfungsi sebagai sistem penyeimbangan (balancing
system)
Menurut Wallace dan Wolf, fungsi positif konflik internal
terhadap kelompok bisa berlaku tatkala konflik tidak menyertakan
nilai-nilai dan perinsip dasar. Hal ini terkait dengan tipe konflik
yang diciptakan Coser bahwa konflik yang menyertakan nilai-nilai
dan prinsip dasar biasanya bersifat nonrealistic.36 Sosiologi konflik
Lewis Coser mempengaruhi sosiologi konflik pragmatis, atau
multisisipliner, yang dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan
pengelolaan konflik dalam perusahaan atau organisasi modern
lainnya. Melalui pengelolaan konflik yang baik, sebagai safety
valve, maka sistem akan berjalan dengan stabil dan berperan
mengintegrasikan struktur sosial.

36
Wallace dan Wolf, Op Cit., hal. 159
37

Tindakan Koersif dan Fase Konflik


Ottoman J. Bartos
Lewis Coser melihat konflik memiliki fungsi positif ketika
bisa dikelola dan diekspresikan sewajarnya. Seseorang ilmuan
sosiologi konflik lainnya menyatakan bahwa sesungguhnya konflik
itu berkaitan dengan tujuan-tujuan dari seseorang maupun
kelompok dalam masyarakat. Tujuan-tujuan tersebut diperjuangkan
tatkala bergesekan dengan tujuan orang dan kelompok lain. Otomar
J. Bartos dan Paul Wehr mendefinisikan konflik sebagai “situasi
pada saat para actor menggunakan perilaku konflik melawan satu
sama lain untuk menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau
mengekspersikan naluri permusuhan”37
Dalam definisi itu sebenarnnya Bartos dan Wehr
memasukkan unsur dalam perilaku konflik sebagai unsure pemicu
konflik. Karena incompatible goal dan hostility feeling
membutuhkan perilaku konflik secara sosial. Perilaku konflik
merupakan berbagai bentuk perilaku yang diciptakan oleh
seseorang atau kelompok untuk membantu mencapai apa yang
menjadi tujuan atau mengekspresikan permusuhan pada musuh
atau para pesaing mereka. Perilaku konflik dipilah menjadi
tindakan koersif dan non koersif. Menurut Bartos dan Wehr 38
tindakan koeresif (coercive action) merupakan bentuk tindakan
sosial yang memaksa pihak lawan untuk melakukan sesuatu yang
pihak lawan tidak ingin melakukannya. Bartos dan Wehr kemudian
membagi bentuk tindak koeresif menjadi dua, yaitu actual coercion
(koersi nyata) dan threat coercion (koersi ancaman). Actual
coercion muncul dalam bentuk melukai ataupun membunuh lawan.
Selain itu juga bisa muncul dalam bentuk penyiksaan psikologis
yang menghasilkan luka symbolis (symbolic injury). Tujuan utama

37
Wehr & J.O.Bartos, Using Conflict Theory, New York : Cambridge
Univercity Press, 2002, hal. 3
38
Ibid., hal. 13-26
38

dari actual coercion adalah menghentikan kemampuan lawan untuk


meneruskan konflik. Sedangkan threat coercion bertujuan menekan
agar lawan menurunkan keinginan mencapai tujuan pada tinggat
tertentu. Bentuk koeresi ini muncul dalam bentuk intimidasi dan
negosiasi sekaligus.
Non coercive action adalah upaya mencari jalan keluar dari
hubungan konflik. Bartos dan Wehr membagi tiga model non
coercive action, yaitu persuasi, menjajikan penghargaan, dan murni
kerjasama. Biasanaya tindakan model ini dilakukan dalam suatu
negosiasi yang seluruh pihak menyadari pentingnya pemecahan
masalah. Walaupun demikian model tindakan ini juga bisa muncul
sebagai strategi konflik sebelum suatu kelompok menggunakan
coercive action.
Wehr dan Bartos menggunakan logika sebab akibat untuk
melihat tingkat tindakan koeresif (degree of coerciveness) dari
Suatu hubungan konflik. Peningkatan tindakan dari pihak X akan
merangsang peningkatan tindakan Y. Berikut adalah figure tingkat
tindakan koeresif 39

39
Ibid., hal. 26-28
39

TINDAKAN KOERSIF

Lower High
Coerciveness Coerciveness

“Pure” Promising Trying to Threat of Nonviolent Violent


Cooperation a reward persuade coercion coercion coercion

Noncoercive Action Coercive Action

Tingkat tindakan koeresif ketika berada dalam suatu


hubungan konflik akan menciptakan dinamika konflik. Dinamika
konflik ditandai terlebih dahulu oleh fase-fase konflik. Wehr dan
Bartos membagi konflik menjadi dua fase, yaitu fase soldaritas
konflik (conflict resources). Soldaritas konflik adalah terciptanya
konflik, menuju kompleksitas, melalui keterlibatan individu-
individu yang lain, yaitu terdapat interaksi individu-individu
anggota secara intensif, ada rasa suka terhadap anggota yang lain,
dan jika terdapat kesamaan (kemiripan) kepercayaan (keyakinan),
nilai-nilai, dan norma. Ketiga, proses ini akan teraktualisasikan,
dipicu, oleh adanya fakta kekejian (hostility). Ada dua bentuk
kekejian, yaitu fustrasi dan keluhan (grievances). Solidaritas
konflik dicirikan oleh beroperasinya ideologi dalam kelompok,
memberi doktrin dan semangat perlawanan. Selanjutnya terdapat
pengorganisasian anggota dan struktur sehingga bisa dirumuskan
berbagai strategi konflik. Kemudian yang terakhir adalah
mobilisasi massa dengan mengefektifkan seluruh sumber dayanya
untuk memenangkan konflik40
Fase selanjutnya adalah sumber konflik, yaitu proses
kelompok-kelompok berkonflik memanfaatkan instrumen tertentu
untuk menghadapi konflik. Misalnya satu Negara hendak berperang
dengan negara lain, maka yang dibutuhkan adalah tentara, peralatan

40
Ibid., hal. 72-78
40

tempur, dan logistic. Seseorang istri yang menggugat cerai


suaminya, ia membutuhkan keamanan financial dan keamanan.41
Sumbangan orsinal Wehr dalam sosiologi konflik adalah
perahtiannya pada dinamika konflik, yaitu kondisi yang ditandai
oleh eskalasi dan deeskalasi konflik. Eskalasi konflik adalah
meningkatnya berbagai tindakan koeresif kedua belah pihak
berkonflik sehingga aksi kekerasian timbale balik bisa muncul
dalam situasi ini. Eskalasi konflik selalu ditandai dan disebabkan
oleh meningkatnya aktivitas soldaritas konflik, pergerakan sumber
daya konflik, dan eskalasi strategis. Strategis eskalasi adalah
respons „rasional‟ dari satu pihak berkonflik yang melihat tindakan-
tindakan lawan. Deeskalasi konflik akan muncul dengan ditandai
dan disebabkan oleh penurunan aktivitas soldaritas konflik, sumber
daya konflik, dan eskalasi strategis.42
Sosiologi konflik Paul Wehr memberi pengaruh besar
terhadap kajian konflik multidisipliner dan model pragmatis
intervensi konflik. Melalui sosiologi konflik Wehr suatu kasus bisa
dicermati berbagai bentuk tindakan yang bisa meningkatkan
eskalasi dan deeskalasi konflik. Bagi seseorang peneliti dan praktisi
perdamaian, analisis Wehr bermanfaat sekali untuk menciptakan
bentuk-bentuk strategi dan taktik penanganan konflik.

41
Ibid., hal. 78
42
Ibid., hal. 111-114)
41

MAZHAB HUMANISME

Interpretasi Simbolik dan Konflik


(Herbert Mead)

Konstruksi Sosial Konflik


(Berger & Luckman)
42

PROLOG

 Teori sosiologi humanis secara umum


berkembang sebagai respons terhadap analisis
makro fungsionalisme structural.
 Ritzer mentipekan aliran ini sebagai sosiologi
mikro seperti aliran etnometodologi dari
Garfinkel dan interaksionisme simbolis John
Dewey, Herbert Mead, dan Erving Goffman.
 Aliran ini sangat mungkin dimanfaatkan untuk
menganalisis konflik masyarakat. Terutama
konflik makro dan konflik antar-individu dan
individu terhadap kelompok.
 Hal ini tidak lepas dari kunci analisis
interaksionisme simbolis yang menekankan
individu, symbol (bahasa dan makna), dan dunia
sosial. Selain pendekatan interaksionisme
simbolik, teori konstruksi sosial atau
fenomenologi juga merupakan pendekatan
dalam sosiologi konflik humanis.
43

Interpretasi Simbolik dan Konflik


Herbert Mead
Interaksionisme simbolik sebenarnya adalah salah satu
respon terhadap dominasi fungsionalisme struktural yang melihat
proses makro sosial. Istilah Interaksionisme simbolik sendiri
merupakan sumbangan orisinal Berbert Blumer melalui artikel Man
and Society (1969), sebenarnya teori ini tidak spesifik melakukan
analisis konflik. Interaksionisme simbolik membahas interpretasi
aktor terhadap simbol-simbol, termasuk bahasa, yang dibawa oleh
aktor lain dalam proses interaksi sosial. Tradisi interaksionisme
simbolik muncul dikalangan sosial Amerika Serikat melalui
Universitas Chicago. Hal ini tidak lepas dari kemunculan tradisi ini
sebagai respons terhadap fungsionalisme struktural yang tumbuh
kuat dan dominan. Jika melihat kunci perspektif interaksionisme
simbolik, bisa dilihat ada pengaruh besar dari Weber dan Simmel.
Saat ini intraksionisme simbolik telah mendapatkan sentuhan baru
oleh Paul Atkinson dan Willian Housley (2003), mewakili tradisi
dari British sociology, dengan member analisis yang lebih luas
melalui konteks perkembangan masyarakat post-industrial. Mereka
menyebut istilah ‘interactionism’ sebagai pembaharuan dari
interaksionisme simbolik. Namun, buku ini memanfaatkan
interaksionisme simbolik untuk menganalisis fenomena konflik.
Salah satu perintis tradisi interaksionalisme simbolik,
Herbert Mead, memaparkan pentahapan respons individual dari
suatu interaksi. Mead memulai dari konsep self (diri sendiri), self
interaction (interaksi dengan diri sendiri), dan symbolic meaning
(pemaknaan simbolis).43
Self adalah organism aktif, kreatif, dan independen. Bukan
merupakan organism yang pasif, hanya menjadi menerima dan
merespons rangsangan. Bahkan, bagi Mead self tidak merupakan

43
Wallace & Wolf, Op.Cit.188-196
44

representasi kebudayaan ataupun struktur sosial. Akan tetapi,


merupakan bagian dari proses sosial. Asumsi teoritis ini sungguh
berkebalikan dengan asumsi fungsionalisme struktual, dan konflik
struktural, yang melihat individu dibentuk oleh kondisi-kondisi
struktural yang telah mapan. Self menurut Mead menyimpan dua
materi yaitu “things” yang eksis secara independent, dan “objects”
yang hanya eksis melalui hubungan antar tindakan. Sehingga
“things” akan menjadi “object” ketika para individu menciptakan
interaksi.
Fase self interaction merupakan proses melihat dirinya
sendiri melalui “internal conversation” (percakapan internal).
Individu melihat dirinya sendiri melalui proses pencerminan
sendiri, member banyak pertanyaan terhadap diri sendiri, dan
mendefinisikan diri melalui bentuk-bentuk simbol yang paling
nyaman. Ketika individu berada dalam lingkungan sosial,
berhubungan dengan individu lainnya yang terjadi adalah
pertukaran tindakan atau simbol. Pada awalnya, setiap individu
tidak memberi makna terhadap simbol orang lain. Namun ketika
terjadi koneksi self image (gambaran sendiri) dengan simbol orang
lain, seperti gerak tumbuh dan pakaian, maka terbangunlah makna
yang penting. Proses ini disebut interpretasi simbolis (symbolic
interpretation).
Menurut Ritzer, dengan mengutip Blumer (1969), Manis
and Meltzer (1978), serta A. Rose (1962), ada tujuh prinsip utama
teori interaksionisme simbolik. Pertama, manusia memiliki
kapasitas berpikir yang kreatif. Kedua, kapasitas berfikir kreatif itu
dibentuk melalui interaksi sosial. Ketiga, interaksi sosial individu-
individu bisa mempelajari berbagai makna dan simbol yang
member peluang mereka menguji perbedaan kapasitas berfikir.
Keempat, makna dan simbol memberi peluang manusia
menciptakan tindakan dan interaksi yang berbeda-beda. Kelima,
individu mampu memodifikasi atau membuka berbagai makna dan
simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasar
45

pada penafsiran dari situasi mereka. Keenam, para individu mampu


menciptakan modifikasi dan perubahan karena kapasitas
kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang
memberi peluang mereka menguji berbagai kemungkinan tindakan,
menilai keuntungan dan kerugian dari kemungkinan tindakan itu,
dan kemudian memilih salah tindakan yang menguntungkan
mereka. Ketujuh, pola-pola kesalingterkaitan dari tindakan dan
interaksi memoles kelompok dan masyarakat.44
Melalui tujuh prinsip teori interaksionisme simbolik,
sesungguhnya ada tema utama teori ini, yaitu individu kreatif,
bahasa (simbol), tindakan dan antar-tindakan, lingkungan dan
situasi, dan pemaknaan. Individu merupakanunsur utama dalam
dunia sosial karena mereka selalu kreatif menciptakan bahasa
tertentu yang teraktualisasi melalui berbagai bentuk tindakan dalam
konteks lingkungan dan situasi tertentu. Tindakan-tindakan tersebut
menjadi simbol yang dimaknai oleh diri sendiri dan ditujukan
untuk lingkungan yang terdiri dari berbagai individu berbeda yang
juga member makna dalam bentuk respons tindakan. Respons
tindakan inilah yang disebut sebagai interaksi simbolik.
Sosiologi konflik menggunakan analisis interaksi simbolik
untuk melihat berbagai fenomena konflik pada skala mikro dan
lingkungan sepesifik. Simbol bisa dimaknai secara variatif oleh
masing-masing aktor dalam interaksi sosial. Makna negative dalam
bentuk kebencian bisa membentuk prasangka (prejudice) dan
tindakan permusuhan (hostile action), seperti antarmassa partai
politik ketika pawai kampanye. Interaksionisme simbolik sangat
bermanfaat untuk melihat fenomena konflik yang muncul dalam
masyarakat dengan segregasi sosial tinggi seperti di Maluku dan
Kalimantan. Seperti masyarakat transmigran dalam lingkungan
sosial baru yang sedang beradaptasi dengan berbagai individu baru
dengan simbolik asing bagi mereka. Kasus konflik dalam hubungan

44
George Ritzer, Modern Sociological Theory, New York : The
McGrow-Hill Companis, 2000, hal. 357
46

kerja di kantor dan perusahaan juga menarik untuk mendapatkan


kajian interaksionisme simbolik. Secara pragmatis, seseorang
manajer kantor harus menguasai teori ini dalam kaitannya dengan
dinamika pengelolaan konflik.
47

KONSTRUKSI SOSIAL KONFLIK


Peter L. Berger & Thomas Luckman dan John Paul Lederach
Studi konflik dalam perspektif konstruksi sosial merupakan
langkah cukup menantang, dan beresiko. Karena analisis ini akan
mengeksplor konflik dengan memasukan analisis proses sosial
(historisisme) dari kenyataan masyarakat atau proses dialektika
kenyataan sosial. Konstruksi sosial dalam sosiologi merupakan
kajian yang berkembang dan sosiologi pengetahuan yang melihat
konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika kenyataan.
Sosiologi pengetahuan, dalam pemikiran Berger dan
Luckman (1966/1990), memahami dunia kehidupan (lebenswelt/life
world) selalu dalam proses dialektis, antara the self (individu) dan
dunia sosiokultural. Proses dialektis ini mencakup tiga momen
simultan, yaitu eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia
sosiokultural sebagai produk manusia), objektivasi (interaksi dalam
dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami
institusionalisasi), dan internalisasi (individu mengidentifikasikan
dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat
individu menjadi anggotanya).
Fase eksternalisasi dan objektivasi merupakan
pembentukan masyarakat yang disebut sebagai sosialisasi primer,
yaitu saat seseorang berusaha mendapatkan dan membangun
tempatnya dalam masyarakat. 45 Kedua fase ini membuat orang
memandang masyarakat sebagai realitas objektif, disebut juga man
in society. Tahap internalisasi, yang lebih lanjut agar pranata itu
dapat dipertahankan dan dilanjutkan, haruslah ada pembenaran
terhadap pranata tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh
manusia itu sendiri melalui proses legitimasi yang disebut
objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang objektif,
independen dan tak tertolak yang dimiliki oleh individu secara

45
Thomas Luckman & Peter L. Berger, The Social Construction of
Reality : A Treaty of Sociology of Knowledge, New York : Anchor Books, 1966,
hal. 150-151
48

subjektif. Ketiga momen dialektis itu mengandung fenomena-


fenomena sosial yang saling bersintesis dan memunculkan suatu
konstruksi kenyataan sosial, yang dilihat dari asal mulanya
merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi subjektif.
Kenyatan sosial objektif yang terlihat dalam hubungan
individu dengan lembaga-lembaga sosial dilandasi oleh aturan-
aturan atau hukum merupakan produk manusia itu sendiri, bukan
merupakan hakikat dari lembaga-lembaga itu. Ciri koeresif yang
menyertai struktur sosial yang objektif merupakan suatu
perkembangan aktivitas manusia dalam proses eksternalisasi atau
interaksi manusia dengan struktur-struktur sosial yang sudah ada.
Kenyatanya aturan sosial tersebut akan terus berhadapan dengan
proses eksternalisasi. Perubahan sosial dan strukturnya akan sangat
tergantung bagaimana eksternalisasi ternyata membongkar tatanan
yang sudah terbentuk. Sedangkan dalam masyarakat stabil proses
eksternalisasi individu-individu akan mengindentifikasi dirinya ke
dalam peranan-peranan yang sudah mapan. Peranan menjadi unit
dasar dari aturan-aturan yang terlembaga secara objektif. Struktur
objektif masyarakat tidak menjadi produk akhir dari suatu interaksi
sosial, karena strukrur berada dalam suatu proses obyektivitas
menuju suatu bentuk baru internalisasi yang akan melahirkan suatu
proses-proses eksternalisasi baru.
Struktur kesadaran subjektif individu dalam sosiologi
pengetahuan menepati posisi yang sama dalam memberikan
penjelasan kenyataan sosial. Setiap individu menyerap bentuk
tafsiran tentang kenyataan sosial secara terbatas, sebagai cermin
dari dunia objektif. Dalam proses internalisasi, tiap individu
berbeda-beda dalam dimensi penyerapan ada yang lebih menyerap
bagian intern. Tidak setiap individu dapat menjaga keseimbangan
dalam penyerapan dimensi objektif dan dimensi subjektif
kenyataan sosial itu. Kenyataan yang diterima idividu dari lembaga
sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan
49

pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan


dipraktikkan.
Pelembagaan pandangan atau pengetahuan oleh masyarakat
itu akhirnya memperoleh generalitas yang paling tinggi, yaitu
dibangun suatu dunia arti simbolik yang universal, yang kemudian
disebut sebagai pandangan hidup atau ideologi. Pandangan hidup
yang diterima umum itu dibentuk untuk menata dan member
legitimasi pada konstruksi sosial yang sudah ada serta memberikan
makna pada berbagai bidang pengalaman mereka sehari-hari.
Legitimasi di sini adalah proses penjelasan (unsur kognitif) dan
pembenaran (unsur normatif) dari suatu interaksi anatar individu.
Dengan memandang masyarakat sebagai proses yang
berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan dan
masalah legitinasi, maka kenyataan sosial itu merupakan suatu
kontraksi sosial buatan masyarakat sendiri dalam perjalanan
sejarahnya dari masa silam, kemasa kini dan menuju masa depan.
Konstruksi sosial itu sendiri pada gilirannya berkarakter plural,
ralitif, dan dinamis. Dalam arti, bahwa kelompok-kelompok sosial
dalam masyarakat memiliki kehendak dalam membangun realitas
sosial, dan setiap kehendak tersebut harus berhadapan satu sama
lain dan berusaha saling mendominasi. Masyarakat dalam dunia
kehidupan mereka selalu terlibat dalam usaha dominasi, oleh sebab
itu pertikaian di antara kelompok-kelompok sosial sering muncul.
Perspektif konstruksi sosial juga dikembangkan secara
khusus oleh seseorang sosiolog perdamaian bersama John Paul
Lederach. Lederach memusatkan analisis konfliknya pada
dinamika bahasa dalam struktur hubungan sosial. Lederah di dalam
Preparing for Peace Conflict Transformation Across Culture
secara urut menjelaskan bagaimana konflik dalam perspektif
kontruksi sosial. 46
Ada tujuh asumsi yang dituliskannya, yaitu:

46
John P. Lederach, Preparing for Peace : Conflict Transformation
Across Culture, Syracus, NY : Ciracus Univercity Press, 1996, hal. 9-10
50

1. Konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah, suatu


pengalaman-pengalaman umum hadir di setiap hubungan
dan budaya.
2. Konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan
secara sosial. Konflik tidak hanya terjadi pada seseorang,
tetapi orang merupakan peserta aktif dalam menciptakan
situasi dan interaksi yang mereka ambil pengalaman
sebagai konflik.
3. Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan
pada pencarian dan penciptaan makna bersama.
4. Proses interaktif disempurnakan melalui dan diakarkan
dalam persepsi manusia, interpretasi, ekspresi, dan niatan-
niatan, yang semuanya tumbuh dari dan berputar kembali
ke kesadaran umum mereka (common sense).
5. Pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakan diri
mereka sendiri dan sesuatu yang sosial seperti situasi,
kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan terkumpul
mereka.
6. Kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan
skema-skema dan digunakan oleh sekelompok orang untuk
merasakan, menafsirkan, mengekspresikan, dan merespons
kenyataan sosial di sekitar mereka.
7. Pemahaman hubungan konflik sosial dan budaya tidak
hanya satu pertanyaan sensitive dari kesadaran, tetapi lebih
jauh petualangan yang dalam dari penemuan dan
penggalian arkeologis dari pengetahuan umum bersama dari
sekelompok orang.
Selanjutnya Lederach menyatakan bahwa pandangan
konstruksionis mengusulkan bahwa manusia bertindak pada
basis suatu pemaknaan yang ada pada mereka. Pemaknaan
diciptakan melalui pengetahuan bersama dan terakumulasi.
Konflik sosial politik pun didorong oleh proses pemaknaan
aktor-aktor yang terlibat dalam konflik. Sehingga dalam
51

menganalisis konflik, bahasa dalam struktur hubungan


sosial menjadi sangat penting. Analisis inilah yang
kemudian menciptakan segitiga negoisasi kepemimpinan
yang banyak dipakai dalam menciptakan resolusi konflik
damai.
52

MAZHAB KRITIS

DOMINASI STRUKTURAL DAN


KOMUNIKASI
(Hebermas)

DOMINASI DAN OLIGHARKI ELITE


(Charles W. Mills)

REPRODUKSI SISTEM POSISI


(Pierre Bourdieu)
53

PROLOG

Tradisi kritis meyakini bahwa ilmuan sosial


mempunyai kewajiban moral mengajak dalam melakukan
kritik terhadap hubungan dominatif pengusaha pada
masyarakat dalam struktur sosial. Karena itulah
kepentingan teori sosial kritis adalah emansipasi yang
membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial
memindas yang dikuasai oleh kelompok kekuasaan. Mereka
menolak memisahkan analisis dari pertimbangan atau fakta
dari nilai.
Kelompok ini diwakili oleh tradisi pemikiran
Frankurt yang ditokohi Herbert Marcuse, Adorno, dan
Jurgen Habermas (Jerman) serta Charles Wright Mills
(Amerika) yang secara keseluruhan mereaka banyak
dipengaruhi oleh kerja-kerja intelektual Marx dan Max
Weber dalam beberapa hal. Pierre Bourdieu juga termasuk
mewakili tradisi sosiologi konflik bermazhab kritis.
54

DOMINASI STRUKTURAL DAN KOMUNIKASI


(Hebermas)
Habermas memahami konflik sebagai seseuatu yang
inheren dalam sistem masyarakat. Hal ini tidak lepas dari fakta
hubungan kekuasaan dalam sistem sosial, dan sifat kekuasaan
adalah mendominasi dan diperebutkan. Fakta ini menciptakan
steering problem (masalah yang selalu muncul). Sosiologi konflik
dari mazhab kritis yang dikembangkan oleh Habermas melihat
pada kondisi dari dominasi struktural. Kelompok yang berada
dalam struktur engan berbagai perangkat wewenang mampu
mengarahkan berbagai bentuk kebijakan pada orang lain diluar
struktur wewenang tersebut. Kondisi ini merupakan bentuk
dominasi. Habermas kemudian melihat komunikasi yang
diciptakan dari kondisi ini selalui dimuati oleh kepentingan
manguasai dan menundukan, yang disebutnya sebagai komunikasi
instrumental. Komunikasi instrumental hanya member peluang
pada pemilik kekuasaan, tidak akan menciptakan kesepahaman atau
mutual understanding (Verstandigung). Kesepahaman adalah
representasi tercapainya kesepakatan bersama yang baik. 47
Kesadaran instrumental (zwectrationale) Max Weber
menjadi konsep komunikasi instrumental. Kesadaran instrumental
yang menjadi dasar bagi kemajuan dari masyarakat modern
berpijak pada konsep means dan ends (alat dan tujuan). Bentuk
kesadaran selalu diupayakan termanifestasi sebagai instrument
untuk mencapai tujuan. Dalam masyarakat modern kesadaran
instrumental ini berakar pada rasionalisme. Tujuan harus dicapai
melalui perhitungan yang matang dan akurasi tinggi. Segala
perhitungan ini menciptakan langkah-langkah teknis yang harus
diikuti tanpa interupsi atau keluar dari perhitungan tersebut,

47
Jurgen Habermas, On The Pragmatic of Communication,
Massacusetts, Thr MITT Press, 1998, hal. 2
55

termasuk pertentangan dan perbedaan yang muncul dalam konflik


harus diperlakukan dalam kesadaran ini.
Menurut Vitale (2006), Habermas dalam karyanya The
Theory of Communicative Action memperlihatkan bagaimana
kesadaran instrumental menciptakan model komunikasi
instrumental yang sifatnya menguasai. Sifat kesadaran instrumental
yang percaya pada susunan perhitungan yang matang dan akurasi
tinggi mampu mengabaikan kesadaran lain yang dianggap tidak
logis. Sehingga Habermas kemudian menyatakan bahwa
komunikasi instrumental memiliki kepentingan menguasai melalui
pengetahuan teknisnya. Birokrasi modern adalah struktur Negara
yang menggunakan kesadaran dan komunikasi instrumental. Kata
lain, birokrasi memiliki pengetahuan teknis yang sifatnya
menguasai sebagaimana telah dibahas dalam bab pertama. Kondisi
inilah yang menciptakan ketertindasan masyarakat dalam bentuk
ketidakmampuan berpendapat mengenai keinginan mereka. Negara
dan birokrasinya menutup ruang berpendapat masyarakat (public
sphere) melalui control keamanan. Untuk itulah dalam kasus-kasus
di dunia, termasuk di Indonesia selama periode Orde Baru, control
keamanan oleh Negara hadir dengan kuat.
Karya pemikiran Habermas sesungguhnya didorong oleh
gagasan membentuk masyarakat dan kekuatan nir kekerasan dari
suatu argumentasi yang lebih baik.48. Terkuncinya ruang diskursif
bisa mengakibatkan kekesalan, frustasi, dan bentuk kekerasan
dalam perlawanan politik. Beberapa kasus konflik separatism di
Indonesia adalah contonya. Untuk itu komunikasi instrumental
yang mendistori verstandigung melalui pengetahuan teknisnya
perlu diubah dengan komunikasi yang saling mengisi dan
memahami. Habermas menyebutnya sebagai komunikasi
intersubjektif.

48
Waeny Freundlieb D. Hudson, & John Rundell, Criticall Theory After
Habermas, Encounters and Departures, Bodson : Brill, 2004, hal. 3
56

Teori sosial kritis Jurgen Habermas mengenai teori tindakan


komunikatif nentinya member pengaruh kepada pendekatan
transformasi konflik diskursif (discursive conflict transformation)
dari Vivienne Jabri. Transformasi konflik diskursif menekankan
pada kemampuan aktor dalam menciptakan wacana-wacana
keadilan, tentang hak-hak mereka. Bersamaan itu perlu dibukanya
ruang-ruang dialog yang bebas dari dominasi kekuasaan. Mereka
yang bisa mengatur bentuk struktur dan wewenang-wewenang
yang melegitimasi segala kebijakan dan keputusan harus bersedia
menggunakan komunikasi setara. Kondisi ini bisa dibentuk oleh
cosmopolitan demokrasi dan kewarganegaraan.49

49
T. Woodhouse, O. Rombostam & H. Miall, Contemporary Conflict
Resolution : the Prevention, Management, and Transformation of Dealy
Conflict, New York : Polity, 2006, hal. 298
57

DOMINASI DAN OLIGHARKI ELITE


(Charles W. Mills)
Analisis sosiologi konflik dari aliran kritis juga telah
dilakukan oleh Charles W. Mills dalam risetnya tentang struktur
kekuasaan di Amerika (The Power, 1956). Mills juga tidak sepakat
terhadap dua hubungan konflik yang hanya terdiri dari dimensi
ekonomi, dia lebih sepakat terhadap paparan Weber tentang
terbaginya stratifikasi sosial ke dalam tiga dimensi, ekonomi,
prestise, dan politik.
Hubungan dominasi itu sendiri diciptakan oleh jaringan
segelintir orang menguasai ekonomi dan politik. Mills
menyebutnya sebagai jaringan. Mills mempunyai pengertian bahwa
elite kekuasaan dikomposisikan dari orang-orang yang
memungkinkan mereka melebihi lingkungan biasa dari orang-orang
yang memungkinkan mereka melebihi lingkungan biasa dari orang-
orang biasa, laki-laki dan perempuan; mereka ada di posisi
pembuatan keputusan yang memiliki konsekuensi besar. Mereka
menempati posisi pemimpin strategis dari struktur sosial, seperti
pemimpin partai politik atau keagamaan yang memusatkan alat-alat
efektif dari kekuasaan, kekayaan, dan kemasyhuran. Elite
kekuasaan bukan penguasa negara. Mereka adalah para politisi
professional dari level menengah kekuasaan, dalam kongres
(legislatif; MPR/DPR untuk Indonesia) dan dalam kelompok-
lelompok penekan, sama halnya di antara golongan kelas baru dan
lama kota atau wilayah. Posisi penting mereka dalam
mempengaruhi opini public dan mengarahkan tindakan sosial
massa merupakan keahlian yang dimiliki karena tingkat
pengetahuan dan kepemilikan mereka terhadap alat-alat kekuasaan,
seperti usaha ekonomi, politik, dan militer.
Tokoh-tokoh sebelum Mills, seperti Vilvedro Pareto,
Gaetano Mosca (1859-1941), dan Robert Michels (1876-1936),
memberikan argumentasi bahwa hanya sebagian kecil orang dalam
organisasi dapat memegang wewenang, dan kedudukan posisi-
58

posisi ini secara otomatis mendapatkan mereka pada perselisihan.


Elite biasanya berbagi budaya umum, dan mereka terorganisir,
tidak perlu formal, tetapi mereka melakukan tindakan bersama
mempertahankan posisi mereka, bersama dengan menggunakan ini
pada keuntungan individu mereka sendiri. Pada saat seperti itulah
biasanya terjadi tarik-menarik antara massa pendukung para elite.
Lain kata, teori elite menjelaskan secara eksplisit argument bahwa
kepentingan pribadi orang-orang dan kekuatan instrisik yang tak
sama membuat konflik yang tak terhindarkan dan permanen. 50
Mills melakukan riset terhadap struktur kekuasaan Amerika
yang dari penelitian itu diperoleh suatu hubungan dominatif, yaitu
struktur sosial dikuasai elite dan rakyat adalah pihak di bawah
control politisnya. Hubungan dominative itu muncul karena elite-
elite berusaha memperoleh dukungan politis rakyat demi
kepentingan mobilitas vertical mereka secara ekonomi dan politik.
Elite-elite itu adalah militer, politisi, dan para pengusaha
(ekonomi). Mills menemukan bahwa mereka, para elite kekuasaan,
mempunyai kecendrungan untuk kaya, baik diperoleh melalui
investasi atau duduk dalam posisi eksekutif. Satu hal penting lagi,
mereka yang termasuk dalam elite kekuasaan sering kali pindah
dari sutu bidang yang posisinya tinggi dalam bidang yang lain.
Kasus Amerika, Mills memberi contoh Jendral Eisenhower yang
kemudian menjadi Presiden Eisenhower. Ada contoh lain yang
diungkapkan Mills, seperti seseorang laksamana yang juga seorang
banker, direktur, dan menjadi pimpinan perusahaan ekonomi
terkemuka.
Elite-elite kekuasaan mempunyai keinginan besar terhadap
perkembangan diri mereka dan tentu saja secara politis mereka
membutuhkan dukungan dari rakyat. Media massa yang
mempunyai posisi dan peran strategis dalam menyampaikan isu-isu
nasional merupakan alat bagi elite kekuasaan untuk meraih
50
Wallace & Wolf, Op.Cit. hal. 68-69
59

dukungan itu, yaitu melalui proses komunikasi informasi satu arah


bukan dialog. Prose situ merupakan bagian dari indoktrinisasi dan
persuasi elite-elite kekuasaan. Masyarakat hanya bersifat pasif
sebagai penadah informasi-informasi elite kekuasaan. Satu hal
penting lainnya, rakyat tidak cukup mengetahui realitas atau
kebenaran sehingga begitu mudah menjadi salah satu pendukung
dari isu atau informasi yang disebarkan elite melalui media massa.
Mills menyebut mereka sebagai masyarakat massa (mass society).
Masyarakat massa seperti kerbau yang dicocok hidungnya karena
tidak memiliki pengetahuan dan kesadaran kritis terhadap
informasi.
Di Indonesia elite-elite kekuasaan yang disebutkan Mills
dari golongan politisi, militer, dan pengusaha ekonomi mempunyai
karakter dan gerakan yang serupa. Elite-elite kekuasaan di
Indonesia menciptakan hubungan dominative antara mereka dan
rakyat. Mereka juga bergerak mencapai posisi yang tinggi ke posisi
(lebih) tinggi lainnya. Pada pemilihan presien dapat ditemukan dua
orang elite dari militer berusaha mencapai posisi yang lebih tinggi
dari yang sebelumnya, yaitu presiden atau wakil presiden.
Elite kekuasaan tidak melepaskan kegiatan dan tindakannya
dari kepentingan-kepentingannya. Studi Mills di Amerika tentang
Elite yang berkuasa melalui militer, ekonomi, dan wilayah politik
atau partai politik mempunyai kesempatan yang besar dan
kemampuan meningkatkan posisinya sebagai orang-orang yang
terpandang dalam public. Privilage. Mereka dalam struktur
masyarakat adalah karena faktor-faktor penguasaan mereka
terhadap kekayaan, politik, dan juga militer. Kepentingan para elite
dalam memperoleh dan memperkuat posisinya tidak cukup hanya
menjadi perjuangan dalam rapat-rapat kongres tetapi mereka
menghendaki adanya dukungan dan situasi yang menguntungkan
mereka. Dukungan itu adalah masyarakat yang mereka kendalikan
dengan kekuatan mereka, secara ekonomi maupun pengaruh sosial.
60

Analisi kritis Mills sesungguhnya tidak langsung disebutkan


sebagai bangunan teori konflik. Tetapi cirri-ciri penting dalam
analisinya menunjukkan hubungan dominative dalam struktur
sosial antar kelompok-kelompok elite yang berusaha menambahkan
kekanyaanya dengan masyarakat. Sampai di sini, secara singkat,
dapat ditemukan bahwa teori Mills tentang elite adalah pembuktian
terhadap teorinya sebagai bagian dari teori konflik beraliran kritis.
61

REPRODUKSI SISTEM POSISI


(Pierre Bourdieu)
Salah satu ilmuan sosial yang masuk dalam tradisi „kritis‟
adalah Pierre Bourdieu dari Perancis. Ia berasal dari kota kecil di
sebelah selatan Perancis dengan berbagai keterbatasan dan
ketertinggalan masyarakat secara ekonomi dan pendidikan.
Bourdieu hidup di dunia kehidupan Perancis yang didominasi oleh
politik dan bisnis dari Paris. Dominasi politik ini member pengaruh
terhadap sosiologi konflik Bourdieu yang bercorak kritis dan
mendorong gerakan sosial.
Bourdieu menolak determinisme kelas Marxisme yang
melihat masyarakat sebagai hubungan kelas dan kelas yang
ditentukan oleh kepentingan dan ideology. Bourdieu menggunakan
istilah field (lapangan) untuk menganalisis masyarakat dan
dinamikanya. Field adalah arena sosial orang-orang menciptakan
berbagai maneuver, seperti permainan dalam game, menciptakan
berbagai strategis, dan perjuangan emi sumberdaya yang
diinginkan. Ia menyatakan, “.. lapangan dapat didefinisikan sebagai
jaringan, atau konfigurasi, dari suatu jaringan objektif diantara
berbagai posisi”. 51 Wallace & Wolf merangkum pengertian field
sebagai sistem posisi sosial yang terstrukturkan melalui relasi kuasa
(Wallace dan Wolf, 1995: 135). Sesungguhnya arena menjelaskan
hubungan dari berbagai posisi berbeda yang ditentukan oleh
perbedaan sumber kekuasaan.
Posisi tertentu memiliki kekuasaan yang besar dari posisi
lain tidak memiliki kekuasaan. Menurut Bourdieu sumber
kekuasaan bisa diperoleh dari modal (capital) berbeda dalam
berbagai arena. Bourdieu menganalisis tiga sumber modal sumber
kekuasaan, yaitu modal ekonomi, sosial, dan budaya. Modal
ekonomi (economic capital) merupakan sumber kekuasaan dari
kekayaan material. Semakin banyak harta yang dimiliki, akan
51
Pierre Bourdieu, Language and Simbolic Power, Massuchasetts,
Harvard Univercity Press, 1991, hal. 97
62

semakin besar kekuasaanya. Modal sosial (social capital)


merupakan sumber kekuasaan yang diperoleh melalui jaringan
(network) dan pengaruh sosial. Sedangkan modal budaya (cultural
capital) menunjukan pada cara sesorang merasakan dan
mempersepsikan sesuatu, menimbang hal baik atau buruk, boleh
atau tidak. Bagi Bourdieu modal budaya berbeda dari satu kelas ke
kelas yang lain. Pada dimensi ini, sumbangan original Bourdieu,
modal budaya beroprasi secara massif dalam menciptakan sistem
hubungan posisi. Melalui modal budaya inilah dominasi kelas-kelas
direproduksi untuk menjaga sistem posisi dalam masyarakat.
Legitmasi modal budaya menjadi sangat penting bagi
proses reproduksi-dominasi. Legitimasi inilah yang sering
melahirkan kekerasan simbolik, yaitu kekerasan terhadap agen
sosial lain melalui praktik bahasa. Reproduksi dari sistem posisi
melalui modal budaya bisa dipahami melalui praktik habitus.
Habitus bisa didefinisikan sebagai suatu sistem dari skema persepsi
(pikiran dan tindakan) yang diciptakan oleh kondisi objektif tetapi
cendrung terus berlansung walaupun ada perubahan-perubahan
pada kondisi objektif. Menurut Wallace, bagi Bourdieu Habitus
adalah kunci dari reproduksi karena mendorong keteraturan dan
keterulangan berbagai praktik yang menetapkan kehidupan sosial.52
Analisis terhadap hobitus kemudian memanfaatkan analisis
bahasa dan makna. Hal ini berkaitan dengan beroprasainya
kekerasan simbolik dalam habitus. Melalui bukunya Languange
and Symbolic Power (1992), Bourdieu memperlihatkan bagaimana
habitus muncul melalui praktik kompentesi bahasa dalam setiap
field. Kompetensi bahasa bisa didefinisikan sebagai wewenang
untuk mengucapkan sesuatu. Seperti pada sebuah perusahaan,
membicarakan gaji buruh dianggap merupakan kompetesi seorang
manajer. Kompetensi inilah yang kemudian mendapatkan
perlawaan dari mereka yang tidak dianggap memiliki kompetensi
seperti kaum buruh.
52
Wallace & Wolf, Op.Cit. hal. 138
63

Sosiologi konflik Bourdieu awalnya adalah usaha


menyingkap dominasi kelas melalui sistem pendidikan di Perancis.
Masyarakat bawah selalu menepati posisi atas. Walaupun
demikian,, analisis konflik Bourdieu bisa dimanfaatkan untuk
menganalisis konflik buruh, konflik gender, juga konflik
pembangunan.
64

BAB III
SOSIOLOGI KONFLIK EKLEKTIK

Penulis melihat perkembangan sosiologi konflik semakin


kompleks dan kadang pragmatis. Sosiologi konflik yang
berkembang melalui proses tersebut bisa disebut sebagai sosiologi
konflik elektik. Sosiologi konflik elektik mengkaji konflik melalui
beberapa pendekatan yang bisa disatukan secara pragmatis seperti
pendekatan sosiologi konflik kritis dan humanis. Pendekatan kritis
dan humanis menghasilkan analisis sosiologi konflik yang berfokus
pada dominasi wacana dan konflik. Melalui sosiologi konflik
elektik ini wacana dan dominasi kekuasaan menjadi tema sentral.
Persoalan wacana adalah kepentingan apa dan siapa yang
mendominasi di dalamnya. Negara, menurut Berger dan Luckman
(1966), adalah lembaga terbesar yang paling kuat dalam menanam
kepentingan di wilayah public. Negara mempunyai aparat-aparat,
seperti birokrasi dan militer yang merupakan kekuatan untuk
memeaksa sehingga dapat membentuk atau menentukan realitas
sosial dalam koridor kepentingan mereka. Berger dan Luckman
(1966) menunjukan negara sebagai lembaga kekuasaan yang paling
besar dalam menentukan wacana individu-individu.
Gramsci menyebut istilah hegemoni untuk melihat proses
menguasai kesadaran public oleh negara. Menurut Simon, Gramsci
meyakini bahwa kekuasaan negara selalu melakukan proses
hegemoni. Untuk menciptakan masyarakat loyal yang merasa
kepentingan negara adalah kepentingan masyarakat, maka
hegemoni dilakukan melalui apparatus negara. Hegemoni adalah
program cultural, dengan menampilkan dirinya sebagai pemimpin
moral dan intelektual secara konseksual. Sebuah hubungan
hegemonic ditegakan ketika kelompok berkuasa berhasil
mendapatkan persetujuan kelompok subordinat menerima ide-ide
dan kepentingan politik kelompok berkuasa seperti layaknya milik
mereka sendiri. Dengan demikian, legitimasi kekuasaan kelompok
65

berkuasa tidak ditentang karena ideology, kultur, nilai-nilai, norma


dan polotiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri
oleh kelompok-kelompok subordinat. 53 Hegemoni selalu
memanfaatkan bahasa yang dilempar ke ruang-ruang publik
sebagai wacana. Melalui teori ini, setiap wacana di ruang public
tidak pernah lepas dari kepentingan menghegemoni dari kekuasaan.
Namun negara sendiri, bagi Marx adalah instrument
sekumpulan kelas swasta yang mendominasi kelas proletar. Negara
adalah organisasi politik yang diperebutkan sebagai alat untuk
memiliki sumber daya langka, ekonomi dan politik, oleh
kelompok-kelompok politik, atau kelompok-kelompok strategis
dalam istilah Hans Diesters-Ever (1990), dalam masyarakat. 54
Setiap kelompok memiliki figure elite yang berpengaruh dan
memiliki kekuasaan dalam mengarahkan tindakan individu-
individu melalui wacana public.
Menurut Mills, negara bukan organ yang tunggal, yaitu
negara yang berdiri sebagai kesatuan kekuasaan dan kesatuan
perwakilan masyarakat, namun lebih sebagai presentasi minoritas
kelompok yang berkuasa mengatur kelompok yang lebih besar.
Para elite menekankan kepentingannya dengan mengelola
masyarakat sebagai kekuatan politisnya melalui pembentukan
opini, membangun wacana dalam publik, dan melakukan
pengorganisiran kelompok-kelompok militant yang
mendukungnya. Kaum elite yang berada dalam struktur kekuasaan
dapat mengambil keuntungan dari situasi ini dengan menggunakan
media massa sebagai alat indroktrinisasi dan persuasi.55Ketika elite
kekuasaan menyatakan kepentingannya, orang merasa itu juga

53
Roger Simon, Gagasan Politik Gramsci, Yogjakarta : Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan Insistet, 1999, hal. 37
54
Lihat dalam Wallace & Wolf, Op.Cit., hal. 103, Bandingkan dengan
Lowith, Max Waber and Karl Marx, London and New York : Routlegde,1993
55
C. Wrigh Mialls, The Power Elites, New York : Oxford Univercity,
1956, hal. 243-268
66

sebagai kepentingannya sendiri. Posisi dominan kelompok elite di


dalam masyarakat melakukan komunikasi politik, dan kemudian
terbentuklah suatu pola hubungan member dan menerima, artinya
bagaiman elite masyarakat mengunakan kekuasaanya kepada
kelompok masyarakat, dan bagaimana masyarakat itu menanggapi
serta menerima keinginan-keinginan kelompok politik. 56 Wacana
yang dibangun elite tertanam dalam setiap orang yang terhegemoni;
dengan mengikutinya, membenarkanya, dan terlibat dalam
perdebatan wacana dengan orang-orang lain yang berbeda.
Kepentingan para elite dalam wacana itu, yang telah dibenarkan
masyarakat grass root, menjadi selaras dengan kepentingan
masyarakat tanpa harus menyadari bahwa di balik itu semua telah
terjadi penindasan terhadap kepentingan mereka sebenarnya.
Kondisi ini adalah kondisi alienasi, seperti yang dipikirkan Marx,
atau Marcuse (1995) sebagai desublimasi represif. Bagi kalangan
postmodernisme hal itu adalah regime of significance yang
cendrung melakukan dominasi dan hegemoni makna atas berbagai
peristiwa, pengetahuan, kesadaran, dan wacana.
Foucault melihat bahwa wacana tertentu menghasilkan
kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa.
Kebenaran di sini, oleh Foucoult tidak ipahami sebagai sesuatu
yang dating dari langit, bukan juga sebuah konsep abstrak, akan
tetapi diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan
memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring
untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkam tersebut. Di sini,
setiap kekuasaan berpretensi menghasilkan rezim kebenaran
tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh
kekuasaan (Foucault, 1998).
Wacana para elite merupakan suatu pesan politik yang
dikemas dengan teknik pemasaran yang sebaiknya dibaca sebagai
perembesan nilai komersial ke dalam politik dan perembesan itu,

56
Syamsu Suryadi, Indonesia dan Komunikasi Politik, dalam Maswadi
Rouf dan Mappa Nasrun (ed), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal. 72
67

tanpa disadari oleh semua pelaku politik, tiba-tiba sebuah budaya


baru muncul, atau lebih tepatnya kerangka besar kolonialisme
budaya itu menjadi nyata dan amat bersifat politis. 57 Kelompok-
kelompok politik dan para elite itu menciptakan kerangka besar
kolonialisme budaya yang pada dasarnya berusaha mengontrol
kehidupan sosial politik masyarakat dan dengan begitu masyarakat
kapan pun bisa menjadi prajurit yang mendukung kepentingan
mereka tanpa harus membayar dengan apa pun terhadap
masyarakat.
Wacana yang diproduksi sebagai pemasaran komersial oleh
para elite terabsorpsi oleh kesadaran masyarakat. Menciptakan
tindakan-tindakan konflik tertentu. Pada gilirannya wacana yang
plural dari berbagai elite yang bersaing akan dopraktikan melalui
bahasa yang tidak lepas dari kooptasi, dominasi, dan hegemoni.
Bahasa bukan semata-mata alat komunikasi atau sebuah nilai yang
menunjuk pada realitas momolitik. Bahasa adalah suatu praktik
sosial, yang secara sosial, terikat, dikonstruksi, dan direkonstruksi
dalam kondisi khusus dan social setting tertentu daripada menurut
hukum yang diatur secara universal. Melalui sosiologi pengetahuan
Karl Manheim (1991), melalui bahasa setiap elite kekuasaan
kepentingan memiliki „daerah jajahan‟ wacana, sebagai rezim
kebenaran dalam relasi mereka dengan massa. Kepentingan
menjadikan wacana yang merupakan pengetahuan tertentu itu tidak
lagi bersifat universal sehingga bersifat ideologis. Artinya bahasa
adalah ideologi yang menjadi instrument kekuasaan.
Melalui analisis elektik, antara humanis dan kritis, konflik
menjadi terlihat lebih rumit dan dinamis. Sosiologi konflik elektik
ini menjadi penting dimanfaatkan untuk menciptakan kesadaran
kritis masyarakat. Sehingga mereka mampu menilai berbagai
kemungkinan provokasi elite dan mobilisasi massa menjadi bentuk-
bentuk tindakan koeresif.

57
Emmanuel Subangun, Politik Kekuasaan Pasca Pemilu, Yogjakarta,
1999, hal. 46
68

BABIV
SOSIOLOGI KONFLIK MULTIDISIPLINER

SEGITIGA KONFLIK GALTUNG


Pendekatan Multidisipliner Melalui Intervensi Konflik

PENDEKATAN KONFLIK KOMUNAL


Analisis Primordial,Iinstrukmental, dan Konstruksi Sosial
69

PROLOG

Peta sosiologi konflik Berelief Dahrendorf, Coser,


Paul Wehr yang mewakili tradisi positivism, Berger,
Lederach, dan Mead dalam mazhab konstruksi sosial,
serta Habermas, Mills, dan Bourdieu mewakili mazhab
kritis. Semua pendekatan tersebut pada dasarnya bisa
dimanfaatkan untuk menganalisis konflik dan
menciptakan praktik intervensi konflik. Kita bisa
menyebutnya menjadi analisis konflik multidisipliner.
Ilmuan sosial seperti John Galtung dan Charles Webel
bisa disebutkan sebagai ilmuan studi konflik yang
memanfaatkan pendelatan multidisipliner ini.
Pendekatan multidisipliner dalam hal ini berarti
penedekatan analisis konflik tidak hanya berpijak pada
satu metologi dan teori, seperti disiplin psikologi,
hubungan internasional, dan ekonomi. Pijakan dasar
analisis konflik multidisipliner adalah kebutuhan
analisis. Kepentingan yang paling terlihat dari
multidisipliner analisis konflik adalah ukuran efektivitas
analisis dan bentuk intervensi untuk penyelesain konflik.
70

SEGITIGA KONFLIK GALTUNG


Pendekatan Multidisipliner Melalui Intervensi Konflik
Pendekatan multidisipliner ini diperlihatkan oleh Galtung
dalam penjelasanya mengenai intervensi konflik. Menurut Galtung
intervensi harus dilakukan secara netral. Posisi ini merupakan ciri
dari mazhab positivis. Namun demikian Galtung pun menyarankan
perubahan-perubahan tertentu dilakukan untuk menciptakan
hubungan konflik yang konstruktif melalui intervensi yang netral.
Galtung menyebutnya sebagai pendekatan transcend method.58
Analisis konflik multidisipliner diperlihatkan oleh Galtung
dalam penjelasannya mengenai intervensi konflik. Menurut
Galtung intervensi harus dilakukan secara netral. Posisi ini
merupakan cirri dari mazhab positivis. Namun demikian, Galtung
pun menyarankan perubahan-perubahan tertentu dilakukang untuk
menciptakan hubungan konflik yang konstruktif. Pendekatan ini
yang kemudian disebut sebagai transcend approach. 59 Salah satu
sumbangan sosiologi konflik Galtung memperlihatkan sebagai
individu, kelompok dan organisasi membawa angka
kepentingannya masing-masing. Kepentingan bisa terwujud dalam
bentuk ekonomis maupun politis. Dua kelompok sosial dengan
kepentingan ekonomis dalam satu lingkaran yang sama, misalnya
dua kelompok pedagang di pasar, masing-masing akan
menciptakan perspesi terhadap kepentingan kelompok di luarnya,
Proses ini akan membawa pada bentuk perilaku-perilaku tertentu
yang menciptakan kontradiksi dan situasi ketegangan. Lihat pada
bagan di bawah ini:

58
Johan Galtung, Leaving The Twentieth Century, Entering The Twenty-
First : Some Basic Conflict Formation dalam Searching Peace, the Road to
Trancend Method, USA : Pluto Press, 2000, hal. 51-52
59
T. Woodhouse, O. Rombostam & H. Miall, Op.Cit., hal. 10
71

KONTRADIKSI

SIKAP PERILAKU

Gambar 3.1

Segitiga konflik ini merupakan analisis hubungan sebab


akibat atau interaksi yang memungkinkan terciptanya konflik
sosial. Ada tiga dimensi dalam segitiga konflik Galtung, yaitu
sikap, perilaku dan kontradiksi. Sikap adalah persepsi anggota etnis
tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelomopok lain.
Perilaku dapat berupa kerja sama, persaingan atau paksaan, suatu
gerakan tangan dan tubuh yang menunjukan persahabatan dan
permusuhan.
Kontradiksi adalah kemunculan situasi yang melibatkan
problem sikap dan perilaku sebagai suatu proses, artinya
kontradiksi diciptakan oleh unsure persepsi dan gerak etnis-etnis
yang hidup dalam lingkaran sosial. Secara sederhana, sikap
melahirkan perilaku, dan pada gilirannya melahirkan kontradiksi
atau situasi. Sebaliknya, situasi bisa melahirkan sikap an perilaku.60
Misalnya persepsi etnis A terhadap etnis B adalah negatif, maka
60
Ibid.
72

muncul perilaku etnis A yang tidak komperatif terhadap etnis B,


sehingga menimbulkan situasi yang kurang baik atau kontradiksi.
Sebaliknya sikap etnis A akan dibalas dengan sikap dan perilaku
etnis B dalam konteks antagonistic (melawan).
73

PENDEKATAN KONFLIK KOMUNAL


Analisis Primordial,Iinstrukmental, dan Konstruksi Sosial.
Analisis konflik multidisipliner juga berkembang dalam
konteks komunal yang mengalami peningkatan pascaperang dingin
pasca-Orde Baru dalam konteks Indonesia. Berbagai tinjauan dari
disiplin ilmu sosial dan humaniora berkembang menjadi beberapa
perspektif analisis konflik komunal, yaitu analisis konflik
primordial, instrukmental, dan konstruksi sosial.
Pertama, menurut Giddens, persoalan konflik dalam
masyarakat juga mendapatkan perhatian dari para pengamat
etnisitas dan ras sebagai satu kelompok indentitas dan kepentingan
mereka dalam struktur sosial. 61 Analisis ini disebut pendekatan
primodial yang melihat konflik sebagai akibat dari pergeseran
kepentingan kelompok identitas, seperti identitas berbasis etnis dan
keagamaan. Teori ini memahami konflik sebagai akibat
bertemunya berbagai kebudayaan, ras, dan geografis yang
melahirkan identitas dan kesetiakawanan. Pendekatan ini berasumsi
bahwa konflik adalah hal biasa di semua negara dunia di mana
orang-orang terbagi menjadi kelompok-kelompok terpisah berbasis
rasis, etnis, bangsa, linguistic, tribal, religious, kasta, atau lainnya.
Aliran ini menolak teori-teori modern yang menyangka bahwa
perkembangan masyarakat kea rah modern akan menghapus bentu-
bentuk kesadaran primodial.
Menurut Isaacs pendekatan konflik primodial melihat
identitas etnis, budaya, agama, ras, bahasa, dan lain-lainnya adalah
kuat atau stabil, tidak bisa diubah, yang terbentuk melalui proses
yang panjang sehingga hanya bisa hilang dalam waktu yang
panjang pula. Etnis dan apa yang menjadi bagian-bagiannya
tersebut, seperti religi dan kepercayaan, adalah sesuatu given atau
terwariskan. Pada dasarnya, dalam pandangan ini, identitas etnis
dilahirkan dari sentiment primodial, kesadaran budya yang
61
Anthony Giddens, Human Societies A Reader, Cambridge : Polity
Press, 1992, hal. 162
74

terbangun di dalam komunitas etnis melalui institusi dasar seperti


keluarga, keyakinan kelompok, loyalitas di mana individu lahir
sebagai anggota.62
Ethnic Conflicts Explained by Nepotism yang ditulis
Vanhanen (1999), menjelaskan primordialisme sebagai batas-batas
penting permanen etnis dalam semua tipe masyarakat. Ia melihat
bahwa kelompok etnis adalah kelompok sosial primodial, perluasan
kelompok keluarga, terseleksi sampai jutaan tahun untuk
memaksimalkan pemasukan individu keluarga dari anggota-
anggotanya sampai operasi nepotisme.
Nepotisme etnis, dalam konsepsi Vanhanen, adalah suatu
perlakuan khusus anggota etnis yang lain. Anggota-anggota
kelompok etnis cendrung memperlakukan dengan baik anggota
kelompok mereka melebihi yang bukan anggota sebab mereka
lebih menutup hungungan kepada kelompok mereka daripada di
luar mereka (eksklusif). Susunan ini memperlakukan baik keluarga
(kin) lebih dari non keluarga menjadi penting dalam kehidupan
sosial dan politik ketika orang-orang dan kelompok-kelompok
orang harus berkompetisi untuk suberdaya yang langka. Perspektif
ini mampu menjelaskan bahwa modernisasi yang menurut sebagian
kalangan mampu menghapus peredaran etnisitas ternyata tidak
sama sekali. Seperti yang ditenggarai Huntington (1996) bahwa
pascaperang dingin atarnegara adidaya, pada masa globalisasi,
konflik akan diambil alih oleh bentuk-bentuk perdaban seperti
agama dan termasuk etnis.
Kedua, adalah pendekatan instrumental yang mempunyai
gagasan tentang adanya dorongan kuat dari kepentingan politik,
kemunculan provokator dalam masyarakat, yang memiliki tujuan-
tujuan tertentu dalam suatu keadaan masyarakat yang ricuh.
Identitas komunal dimanfaatkan secara manipulative untuk

62
Harold R. Isaacs, Basic Group Identity : the idol of the Trible, dalam
Etnicity Theory and Experience, Nathan Glazer and Daniel P. Moyniham (ed),
Cambridge :Harvard univercity Press, 1975, hal. 29-52
75

mencapai tujuan politik tersembunyi. Dorongan politik lokal


maupun nasional mendorong masyarakat medan konflik kekerasan.
Seperti pendapat Ratnawati melalui kasus konflik kekerasan
Ambon Maluku tahun 1999 lalu: Ada sesuatu peningkatan bahwa
primodial atau kedekatan tradisional, utamanya berbasis pada
agama masih terasa sangat kuat dalam komunitas masyarakat
Ambon… Dan pihal-pihak berkonflik akan selalu berkelahi untuk
mendapatkan kekuasaan mereka. Dalam hal ini, tragedy Ambon
sangat mungkin adalah bagian dari permainan kekuasaan yang
lebih besar.
Pandangan ini melihat identitas cultural merupakan hasil
manipulasi dan mobilisasi para elite politik untuk kepentingan dan
tujuan politik mereka (Brass, 1991). Nilai-niali sosial etnis, bentuk-
bentuk cultural, dan cirri-ciri penting ernis menjadi sumber politik
bagi para elite dalam persaingan memperoleh kekuasaan politik dan
ekonomi. Para elite memanfaatkan sentiment etnis dan melakukan
mobilisasi untuk mendapatkan keuntungan dari situasi yang
tercipta.
Ketiga, adalah pendekatan konstruksi sosial konflik.
Pendekatan ini melihat konflik sebagai dialektika kenyataan dalam
masyarakat. Individu dan kelompok-kelompok sosial menyadari
bahwa konflik itu eksis dalam dunia sehari-hari mereka. Sehingga
konflik menjadi proses sosial untuk perubahan atau
mempertahankan tatanan sosial. Konflik adalah inhern dalam
struktur kesadaran masyarakat sehingga selalu ada gambaran yang
nyata tentang konflik. Pendekatan ini terlibat dalam pembahasan
proses soaial masyarakat tentang pengalaman sehari-hari yang par
excellence, interaksi, dan tindakan yang muncul sebagai bentuk
imperatif struktur kesadaran.
76

BAB V
Refleksi Kritis Atas Sosiologi Konflik
Sosiologi konflik berkembang memalui tokoh-tokoh
sosio;ogi kontemporer seperti Ralf Dahrendorf (soklis konflik),
Lewis Coser (fungsi konflik dan perubahan sosial), John Bartos dan
pail wehr („incompatoble goal‟ dan tondakan konflik), J.Habermas
(Mahzab kritis; teori tindakan komunilatif), C.Wright Millis
(Dominasi dan olirgaki Elite). Analisis konflik multidisipliner dari
Johan Galtung pun memberi pengaruh yang besar dalam sosiologi
konflik dan umumnya pada studi konflik multidisipliner.
Sosiologi konflik mempunyai asumsi dasar bahwa
masyarakat selalu dalam kondisi bertentangan, pertikaian, dan
perubahan. Semua itu adalah sebagai bagaian dari terlibatnya
kekuatan-kekuatan masyarakat dalam saling berebut sumber daya
langka dalam menggunakan nilai-nilai dan ide (ideology) ebagai
alat untuk meraihnya. Kita melihat optomosme radikal tentang
perubahan struktur kelas kapitalisme marx dan peimisme
konserfative weber dalam perhatiannya tentang rasionalisasi telah
membentuk tema taj terpecahkan dalam sosiologi modern.
Sosiologi konflik terbagi menjadi tiga perspektif mengikuto
mahzab ilmu sosial, sospologi ilmu positifis, sosiologi konflik
humanis, dan sosiologi konflik kritis. Tradisi sosiologi konflik
positivis mempertimbangkan konflik jadi tak terhindarkan dan
aspek permanen kehidupan sosial; dan mereka juga menolak ide
bahwa keimpulan ilmuan sosial sarat nilai. Sebaliknya,
pendukungnya tertarik dalam pendirian ilmu sosial dengan ukuran
sama objektovitas sebagai ilmu alam. Kelompok kedua ini masih
dipengaruhi oleh Marx, Max weber dan Simmel. Seperto Lewis
coser yang dipengaruhi pemikiran realos George simmel
(1956,1967) dengan fingsi-fungsi konfliknya, Rafl dahrendorf
yang banyak terpengaruh oleh maex weber dan Marx (1958/1959)
dalam konflik dialektis yang ia kembangkan.
77

Tradisi sosiologi konflik kritis adalah kelompok yang


meyakini bahwa ilmuan sosial mempunyai kewajiban moral
mengajak dalam melakukan krotok masyarakat. Kepentingan teori
sosial adalah emansipasi yang membebaskan masyarakat dari
kekejaman struktur sosial menindas. Mereka menolak memisahkan
analisis dari pertimbangan atau fakta dari nilai. Kelompok ini
diwakili oleh tradisi pemikiran Frankurt yang ditokohi Herbert
Marcise, Adorno, dan Jurgen Habermas (Jerman) serta Charles
Wright Millis (amerika) yang secara keseluruhan mereka banyak di
pengaruhi oleh kerga-kerja intelekrual marx dan marx weber
dalam bebrapa hal.
Sedangkan tradisi sosiologi konflik humanis
mempertimbangkan analisis kontekstual, analisis bahasa, dan
proses sosial. Konflik dipandang sebagai proses tak terelakkan.
Kepentingan utama sosiologi konflik dalam perspektif ini adalah
menciptakan kesepahaman bahasa dalam struktur sosial seperti
yang di kembangkan oleh J.Paul lederach. Mahzab kritis, terutama
dalam pemikiran Juergan Habermas, sering diposisikan sejajar
dengan sosiologi pengetahuan. Terutama dalam penjelasannya
tentang hubungan antara sosem pengtahuan dan kepentingan.
Walaupun sosiologi pengetahuan tIdak memiliki semangat
melakukan transformasi sosial seperti semangat mahzab kritis.
Kedua mahzab ini melahirkan perspektif sosiologi konflik elektik
yang berfokus pada dominasi wacana dan konflik.
Pada dasarnya, walupun analisis konflik terbagi menjadi lima
tradisi, orentasi mereka dihubungkan oleh tiga asumsi umum yang
menghubungkannya: Pertama, bahwa setiap orang mempunyai
angka dasar kepentingan, mereka ingin an mencoba
mendapatkannya, masyarakat selalu terlibat dalam situasi yang
diciptakan oleh keinginan-keinginan dari setiap orang dalam
meraih kepentingannya. Kedua, pusat pada perspektif teori konfli
secara keselurahan, adalah satu pemusatan perhatian pada
kekuasaan sebagai inti hubungan sosial. Teori konflik selalu
78

melihat kekuasaan tidak hanya sebagai kelangkaan dan pembagian


tak merata, dan oleh sebab itu satu sumber konflik, dan juga
sebagai paksaan. Ketiga, Aspek khusus teori konflik adalah bahwa
nilai dan ide-ide dilihat sebagai instrument yang digunakan oleh
kelompok-kelompok sosial dalam mempermudah pencapaian
tujuan mereka. Sekaligus merupakan cara-cara pendefinisian satu
identitas masyarakat keseluruhan dan tujuannya.
Analisis konflik multidisipliner merupakan perkembangan
kontemporer dari srudi konflik multidisipliner. Tokoh yang bisa
disebut pelopor ini adalah Johan Galtung. Analisis konflik
multidisipliner pada dasarnya mempertimbangkan kepentingan
pragmatis analisis konflik. Sehinggga analisis konflik menjadi lebih
konperhensif dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-
kepentingan pembangunan, perdamaian, tata kelola konflik, dan
pendidikan perdamaian. Sosiologi konflik memberi pengaruh
terhadap perkembangan analisis konflik, bersifat multidisipliner,
kedalam pendekatan primodial, instrumental, dan konstruksi sosial.
Pendekatan instrumental pun mendapatkan pengaruh dalam
beberapa hal dari sosialogi konflik kritis.
SOSIOLOGI METODOLOGI TEORI KUNCI ANALISIS
KONFLIK
Mazhap Bebas nilai, Konflik Struktural, Melihat dinamika dan
Positivis universal, dialektika konflik pergeseran kelembagaan dari
ahistoris, makro wewnag, fungsi konflik, struktur sosial, konflik
dan obyektif Incompatible goal perebutan wewenang
Humanis Bebas niali, Interaksi Simbolis dan Simbol dalam tindakan,
kontektual,mikro konflikm makna subyektif dan
dan pemaknaan,konstruksi kesalahpahaman makna,
makro,penafsiran sosial konflik,konstruksi wacana/bahasa, dialektika
bahasa sosial perdamaian kenyataan sosial
Kritis Pembebasan Dominasi Struktural, Dominasi kekuasaan, posisi
Dominasi fungsi komunikasi, dan struktur sosial, eksistensi
Kekuasaan Dominasi, reproduksi, rang publik dan masyarakat
dominasi sisten, posisi sipil
Eklektik Pembebasan Kritik dominasi Dominasi wacana dan
Dominasi dan struktural dan kepentingan elite kekuasaan,
kontektual kepentingan bahasa pemahaman dan gerakan
sosial, eksistensi ruang
publik dan dialektika wacana
Analisis konflik Pragmatis : sesuai Teori konflik dan Variasi kunci Analisis dari
Multidisipliner kepentingan dan kekerasan, tranced Mazhap-mazhap utama
kebutuhan aproach Galtung kajian konflik

Anda mungkin juga menyukai