Anda di halaman 1dari 2

A Pandulum Swing Theory of Islam

Ernest Gellner

(Ratna Junyekawati Sholikah / 20200012079)

Menurut Ernest Gellner, sosiologi islam memiliki alasan dalam minat ahli sosiologi.
Pertama, menjadi sebuah landasan keteraturan sosial yang keberhasilan maupun kegagalan
dalam membangun model yang teruji merupakan daya tarik dalam teori yang berhubungan
antara agama dan kenyataan sosial. Kedua, adanya sebuah gerakan sosial.

Ernest Gellner menjelaskan bahwa terdapat pendekatan untuk melihat aspek menarik
dalam sosiologi islam yakni dari David Hume. Dalam buku karya David Hume yang berjudul
The Natural History of Religion, Hume menyajikan teori tentang agama yang tidak selalu
konsisten satu sama lain. Hume menyebutkan dimulai dari suatu perkembangan politeisme
(penyembahan/ kepercayaan lebih dari satu Tuhan) ke monoteisme (kepercayaan bahwa
Tuhan itu satu/tunggal dan berkuasa atas segala sesuatu). Teori tersebut semata-mata sejarah
mengenai hal yang terjadi tanpa makna sosiologis atau teoritis. Menurut Hume, masyarakat
mempunyai kecenderungan dari politeisme ke monoteisme, kemudian kembali ke politeisme,
dan seterusnya. Hal tersebut karena kecenderungan interpretasi teoritis dan penerapan praktis
dalam jiwa manusia.

Dari teori perkembangan politeisme ke monoteisme, kemudian bandul berayun balik


dan terjadi proses yang sebaliknya yang disebut dengan gejala Sidney Stanley. Gejala
tersebut dimana pada waktu itu terdapat argumentasi sosiologi yang menyampaikan bahwa
terdapat kekuatan luar biasa yang hadir di negara modern sehingga para petisi membutuhkan
bantuan untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, Hume melihat hal yang sama terkait konteks
agama, misalnya yakni tuhan adalah segenap kekuatan, bersembunyi, tidak dapat dimengerti,
dipuja-puja, dan hal ini yang akan mendorong kembali pada pantheon (tempat pemujaan).

Teori yang berkaitan dengan bandul berayun balik di atas, Hume juga memberikan
tanda-tanda perspektif dalam agama islam. Menurut Ernest Gellner, polarisasi dan proses
timbal balik antara kutub-kutub merupakan fakta menarik mengenani kehidupan agama
masyarakat islam, yang disebut misalnya P dan C. Ciri-ciri P diantaranya monoteisme yang
ketat, puritanisme, penekanan wahyu skriptual yang tertulis, dan egalitarian. Kemudian, ciri-
ciri C, diantaranya kecenderungan hirarkis di dalam maupun di luar. Untuk itu, karakteristik
P lebih sesuai dengan tatanan urban, sedangkan C lebih sesuai bagi masyarakat rural.

Paradigma masyarakat tradisional islam merupakan suatu masyarakat dimana


kehidupan kota dan tribal berjalan. Kemudian, di dalam dinamika sistem politik tersebut
dapat diskematisasi dalam teori Ibnu Khaldun sebagai teori sirkulasi tribal dari kaum elit.
Dalam teori tersebut, menyebutkan faktor penting yaitu ketergantungan ekonomi, spiritual,
konseptual, dan masyarakat marginal dalam peradaban kota. Masyarakat bekerja pada suatu
tingkatan dan dalam hal ini memerlukan kerangka konseptual agama maupun kota-kota.
Akan tetapi, pada saat yang sama, organisasi dan etos menjadikan pertentangan antaran
kohesi sosial dan kekuasaan militer. Selain itu, adanya antithesis antara peradaban dan
masyarakat dengan kohesi sosial dan kehidupan kota-kota menjadi tidak sesuai. Untuk itu,
hanya masyarakat tribal yang mempunyai kohesi dan hanya kota-kota yang mempunyai
peradaban.

Masyarakat tribal memberikan dasar untuk kekuasaan politik dan militer. Kemudian,
pada saat yang sama, kekuasaan sentral terdapat di kota-kota dan akibatnya lahir dinasti baru
dalam masyarakat tribal marginal yang memiliki kohesi dan kekuatan sosial. Masyarakat
tribal membutuhkan kesakralan untuk memperoleh jaminan, sanksi, dan tanggungjawab
terhadap proses hukum. Selain itu, masyarakat tribal tedapat bagian masyarakat, yakni
kelompok di dalam dan di luar yang bertumpang tindih satu sama lain. Dalam kasus tertentu,
esensi sakral berfungsi dalam masyarakat tribal bahwa seharusnya memiliki validitas bebas
dan eksternal. Dalam kenyataannya esensi dikalangan masyarakat tribal sebagai contoh di
Afrika Utara, menggambarkan kerukunan dilingkungannya. Untuk itu, karakteristik C di atas,
ditemukan dalam lingkungan tertentu.

Pada hakikatnya, kekuatan islam berlandaskan kota, sedangkan di desa cenderung


tribal. Untuk itu, tidak mengherankan bentuk kota dari agama, seharusnya menghapus tradisi
yang dianggap menyimpang. Jadi, asal mula atau titik tolak agama diwujudkan dari gerakan
baru dalam islam dan dalam hal ini islam berfungsi sebagai simpul pengikat keteraturan.

Suatu gerakan keagamaan akan memiliki bentuk yang sesuai dengan kontekas dimana
gerakan tersebut berkembang. Kemudian, juga dapat pula berubah, tergantung pada
lingkungan gerakan tersebut. Jadi, dalam hal ini, islam menciptakan konsesi terbesar dalam
mewujudkan keteraturan dunia dan merupakan tradisi sentral yang menciptakan konsesi
paling kecil.

Anda mungkin juga menyukai