Anda di halaman 1dari 13

PAPER

Kearifan Lokal Pada Masyarakat Batak

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Nusantara

Program study Aqidah dan Filsafat Islam

Dosen Pengampu: Mardhiah Abbas

Oleh:

SYAHRUL MAULANA 0401183027

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

MEDAN

2018
2

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
Karena atas limpahan Karunia, Rahmat, dan Hidayah-Nya yang berupa kesehatan dan
kelapangan waktu, sehingga paper yang berjudul kearifan lokal pada masyarakat batak
dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.
Terima kasih sekali penulis ucapkan kepada :
Yang pertama, Ayah dan Ibu Tentunya, karna berkat dorongan motivasi serta
nasihat-nasihatnya penulis dapat terus semangat belajar untuk mengusahakan masa depan
yang lebih baik lagi,
Yang kedua, Para dosen Fakultas Ushuluddin dan studi Islam karena berkat
bimbingannya serta ilmunya penulis dapat memaksimalkan diri untuk terus semangat
belajar serta terus mengoreksi diri bahwa kafabilitas ilmu yang penulis miliki msih sangat
kurang,
Yang Ketiga, Kepada para teman-teman penulis yang mana selalu bisa penulis
ajak untuk Sharing-Sharing ilmu Atau seputar informasi di lingkungan perkuliahan yang
mana dapat penulis jadikan bahan referensi untuk aktivitas di Dalam dan luar kampus,
Dan, utnuk semua kerrabat dekat yang penulis tidak dapat ucapkan satu persatu
karna berkat Do’a dan dorongan Motivasinya penulis dapat bangun setelah berkali-kali
jatuh.
Paper ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah filsafat Nusantara, penulis
berusaha menyusun paper ini dengan segala kemampuan, namun penulis menyadari
bahwa paper ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi
penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan penulis
terima dengan senang hati demi perbaikan makalah yang lebih baik lagi.
Semoga paper ini bisa memberikan informasi mengenai kearifan lokal pada
masyarakat batak dan bermanfaat bagi penulis dan kepada para para pembacanya. Atas
perhatian dan kesempatan yang diberikan untuk membuat paper ini penulis ucapkan
terima kasih.
Medan, 12 oktober 2021
Penulis

BAB I
3

Pendahuluan
1.1 Layar belakang

Kearifan lokal adalah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang
menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang
berasal dari luar/bangsa lai menjadi watak dan kemampuan sendiri Wibowo (2015:17).
Identitas dan Kepribadian tersebut tentunya menyesuaikan dengan pandangan hidup
masyarakat sekitar agar tidak terjadi pergesaran nilai-nilai. Kearifan lokal adalah salah
satu sarana dalam mengolah kebudayaan dan mempertahankan diri dari kebudayaan asing
yang tidak baik.Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat
lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam
bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau
pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat local genious Fajarini
(2014:123). Berbagai strategi dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga
kebudayaannya.Hal senada juga diungkapkan oleh Alfian (2013: 428) Kearifan lokal
diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan
yang berwujud aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam

memenuhi kebutuhan mereka. Berdasarkan pendapat Alfian itu dapat diartikan


Sekarang ini orang lagi keranjingan, getol dan latah dengan istilah kearifan lokal (local
wisdom). Hampir di setiap seminar, lokakarya dan pertemuan ilmiah para pakar
menggunakan istilah kearifan lokal dan kata ini tampaknya menjadi trend dalam setiap
pembicaraan ilmiah, terutama dalam konteks ilmu-ilmu sosial-humaniora. Seseorang
merasa kurang trendy apabila ia tidak menggunakan atau membicarakan masalah kearifan
lokal. Kearifan lokal tampaknya menjadi semacam permainan bahasa (languages game
atau semacam kemasan dalam berbagai pembicaraan. 1

Kearifan lokal tampaknya seperti obat mujarab (panacea) dalam upaya melihat
kompleksitas permasalahan yang dihadapi manusia modern akibat perilaku yang tidak
rasional dalam menaklukkan alam. Kegagalan manusia modern dalam mengelola
kompleksitas permasalahan yang dihadapi memaksanya untuk mencari pilihan-pilihan
(alternatives). Pilihan-pilihan tersebut menunjukkan adanya satu jalan buntu dan mungkin
4

dapat pula dikatakan frustasi sehingga memaksanya untuk menengok kembali pada nilai-
nilai budaya yang sudah lama mereka tinggalkan dan malahan boleh jadi struktur dan
nilai budaya tersebut mungkin pula telah rusak oleh perilaku manusia itu sendiri. Secara
sederhana kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam kekayaan budayalokal. Namun ada kalanya kearifan lokal boleh
jadi merupakan slogan “ kembali ke alam” (back to nature) atau natura magistra dan
banyak sekali interpretasi yang diberikan oleh para pengguna istilah tersebut seperti
halnya juga tentang pengertian kebudayaan. 1

Kearifan Lokal suku Batak dan tradisi unik warisan leluhur banyak terukir hingga
menjadi warisan budaya dari generasi ke generasi seperti tarian khas suku Batak
yaitu Tortor. Batak merupakan suku yang terdapat di Sumatera Utara kota Medan
sekitarnya. Ragam Suku Batak meliputi batak toba, batak karo, batak simalungun dan
batak mandailing yang memiliki banyak tradisi.

Suku Batak merupakan salah satu suku di Indonesia yang banyak ditemui di
Pesisir Danau Toba, Sumatera Utara, dari keseluruhan suku batak ini gaes memiliki
turunan atau sub-suku lagi seperti Batak Simalungun, Karo, Angkola, Mandailing,
Pakpak, dan Toba.Semua suku batak memiliki marga dan menjadi Identities Suku ketika
diperantauan, jadi kalau ketemu sesama batak tinggal sebut marga maka udah tau assal
dan rumpun marganya.2

BAB II

1
Irawan, “kearifan Lokal”, diakses dari https//eprints.umm.ac.id, pada tggl12 oktober hlm. 2
2
Kampret junior, “ kearifan lokal suku batak dan budayanya”, diakses dari www.
Kampretnews.com.codnamproject.org, pada 12 oktober 2021, hlm. 1
5

Isi

2.1 sejarah singkat masyarakat batak

Suku Batak merupakan salah satu bangsa terbesar di Indonesia, berdasarkan


sensus dari Badan Pusat Satistik pada tahun 2010. Nama ini merupakan sebuah tema
kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal
dari Pantai Barat dan Pantai Timur di Provinsi Sumatra Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai batak adalah angkola, karo, Mandailing, pakpak, simalungun,
dan toba. Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah
Sumatera Utara. Namun sering sekali orang menganggap penyebutan Batak hanya pada
suku Toba, padahal Batak tidak hanya suku Toba.

Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen
katolik, dan islam. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tradisional yakni:
tradisi malim (penganutnya disebut Parmalim) dan juga menganut kepercayaan animisme,
walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia, tetapi tidak diketahui kapan
nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatra Timur.
Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia
dari Taiwan telah berpindah ke wilayah filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu,
yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum)2. Karena hingga sekarang belum ada
artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak, maka dapat
diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang tamil asal india mendirikan kota dagang
bernama barus, yang terletak di pesisir barat Sumatra Utara. Mereka berdagang kapur
Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak
bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan.
Pada abad ke-10, Barus diserang oleh sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya
pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatra. Pada masa-masa berikutnya,
perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang
6

mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatra Utara. Koloni-koloni mereka
terbentang dari Barus, sorkam, hingga natal.

Hingga saat ini, teori-teori masih diperdebatkan tentang asal usul dari Bangsa Batak.
Mulai dari pulau farmosa (Taiwan), indochina, mongolia, Mizoram dan yang paling
kontroversial sepuluh Suku yang hilang dari israel. 3

2.2 Identitas Batak

Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah di dirikan dan
tergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun, Pakpak
di organisasi yang di namakan jongkok batak tahun 1926, tanpa membedakan Agama
dalam satu kesepahaman: Bahasa Batak kita begitu kaya akan Puisi, Pepatah dan
Pribahasa yang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri, Bahasanya sama dari
Utara ke Selatan, tapi terbagi jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri,
Aksara sendiri, Seni Bangunan yang tinggi mutunya yang sepanjang masa tetap
membuktikan bahwa kita mempunyai nenek moyang yang perkasa, Sistem marga yang
berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata negara
yang bijak, kita berhak mendirikan sebuah persatuan Batak yang khas, yang dapat
membela kepentingan kita dan melindungi budaya kuno itu. 4

R. W. Ridlle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara


tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai
abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu,
antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk
menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. 5 Pendapat lain
mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak

3
Bennylin, “suku batak”, diakses dari https;//id.m.wikipedia.org pada tggl 12 oktober 2021
4
Hans Van Miert ( 2003 ).dengan semangat berkobar,hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu-KITLV.Hlm 475
5
Liddle,R.W ( 1970 ). ”Etnchally,Party, And National Integration : an Indonesia Case Study. New
Heaven : Yale University Press
7

baru terjadi pada zaman kolonial. 6 Dalam disertasinya J.pardede mengemukakan bahwa
istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, siti
omas manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum
kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun simalungun mengakui dirinya
sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok
tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa pusuk
buhit, salah satu puncak di barat danau toba, adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak.
Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak
berasal dari samosir.

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga,


sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di
Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh j.h neumann, berdasarkan
sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu pustaka kembaren dan pustaka
ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari pagaruyung di
Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat
Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari bahasa
tamil. Orang-orang Dari Suku Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatra akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14
untuk menguasai Barus.7

2.3 kearifan lokal masyarakat Batak

Batak terdiri dari berbagai subetnis, antara lain Mandailing dan Karo. Setiap
subetnis jelas mempunyai kekhasan, tetapi ada beberapa kesamaan di antaranya. Dalam
buku ini akan diuraikan beberapa kearifan lokal yang ada terutama di lingkungan Batak
Mandailing dan Batak Karo. Satu ciri yang melatarbelakangi seluruh cara berbudaya
masyarakat Mandailing adalah pemahaman tentang ikatan erat antara adat dan ajaran

6
Castles,L.. “ Statelesnes and States formingTendencies Among The BatakBefore Colonial Rule. Kuala
Lumpur : Monograph no.6 Hlm. 67-66
7
Tideman, J.” Hindoe-Invloed in Noordelijk Batakland”. Amsterdam : Uitgave van het Batakshe Institut
no 23. Hlm.56
8

agama. Dalam istilah Mandailing hombar do adat dohat ibadat yang artinya adat dan
ibadah tidak dapat dipisahkan. Dalam hal ini nilai agama lebih dipentingkan, nilai adat
tidak boleh bertentangan dengan agama.

Jika nilai adat bertentangan dengan Islam, maka nilai Islamlah yang lebih
diutamakan. Salah satu pandangan hidup dan acuan dasar berperilaku masyarakat
Mandailing adalah struktur hukum adat yang dikenal dengan dalihan na tolu (tungku yang
ketiga). Konsep in dimanifestasikan dalam struktur sistem kekerabatan yang terdiri dari
Kahanggi, Boru, dan Mora. Relasi sosial di masyarakat harus mengikuti struktur ini
meskipun tidak status sifatnya. Setiap orang harus mengetahui posisinya, meskipun ada
kemungkinan posisinya dapat berubah dalam konteks yang lain. Seseorang dapat
berposisi sebagai kahanggi tetapi dalam konteks yang lain dapat berposisi sebagai boru
atau mera. Dalam setiap urusan adat diperlukan kesepakatan dari tiga unsur adat ini. Hasil
kata sepakat dari ketiganya ini yang disebut dalihan na tolu dan ini merupakan dasar
demokrasi Dalam istilah Batak Karo konsep ini disebut Sangkep Si Telu, dan merupakan
produk dari sistem yang paling dasar dalam kehidupan sosial yaitu sistem religi
tradisional Karo . Meskipun di dalamnya dibolehkan "bertengkar", tetapi tujuannya
adalah untuk saling mengeluarkan pendapat dan mempererat hubungan, untuk
mengetahui benar dan salah, dan mengetahui kekekurangan dan kelebihan masing-
masing. Konsep ini di samping sebagai perwujudan demokrasi ia juga merupakan
perwujudan nilai gotong royong. Gotong royong dilakukan pada saat pesta (horja) ,
membangun tempat ibadah, dan kegiatan lain. Kegiatan ini menjadi dasar terwujudnya
rasa solidaritas Khusus untuk adat Karo, terdapat sembilan nilai yang dijunjung
masyarakat dan ketiga darinya dipandang sebagai misi budaya Batak yaitu hagabeon
(keturunan dan panjang umur), hamoroan (kaya raya), dan hasangapon (kemuliaan,
kewibawaan, kharismea). Di bawah ini kesembilan nilai dikutip dari Robinson Sembiring
(dalam Tim Puspar, 2004: 195-196):

1. Kekerabatan, merupakan hubungan primordial suku, hubungan keturunan atau darah,


kerukunan sosial, unsur unsur Dalihan Na Tolu (Hula-hula, Dongan Sabutuha),
hatobangan (cendekiawan) termasuk kekerabatan akibat perkawinan, dan lainnya.
9

2. Religi, yaitu nilai keagamaan yang kemudian mengatur hubungan antara manusia
dengan pencipta, dengan manusia lain, dan dengan alam lingkungannya.

3. Hagabeon, yang pemahaman tentang banyak keturunan dan panjang umur. Istilah
lainnya adalah ertuah/mehaga.

4. Hasangapon, yaitu pemahaman tentang kemuliaan, kewibawaan, kharisma, suatu nilai


utama yang memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Kata lainnya adalah sangap

5. Hamoroan, yaitu kaya raya, baik dalam bentuk kepemilikan harta maupun uang yang
melimpah. Kata lairunya adalah bayak.

6. Hamajuon, yaitu kemajuan yang diraih karena merantau dan menuntut ilmu. Kata
lainnya adalah pentur.

7. Hukum, patik dohot uhtum, aturan dan hukum. Atau istilah lainnya adalah meteh mela,
yaitu menghargai hukum dan aturan

8. Pengayoman, dapat diartikan saling melindungi, memiliki kepedulian membantu


kerabat diistilahkan melumbar. kesusahan, atau

9. Konflik. Hal ini dapat dipahami sebagai keadaan dibolehkannya "bertengkar" untuk
memperoleh pemahaman bersama.

aktivitas ketika masyarakat mengerjakan pertanian. Setiap bentuk kerjasama ini


mempunyai nama yang khas.

1. Pla'ran, senguyun, beharian, merupakan istilah-istilah yang pada kerjasama pengerjaan


ladang dengan cara menunju tenaga kerja secara bergilir. gusa, merupakan istilah yang
digunakan untuk Bethan, ngusa,

2. kerjasama dalam pengerjaan hasil hutan.

3. Pumap, pembun, merupakan istilah dalam kerjasama pengerjaan ladang berupa


pengerahan tenaga kerja untuk membantu keluarga yang pengerjaan ladangnya belum
selesai supaya tidak tertinggal dengan yang lain.
10

4. Niwa, meto, merupakan kerjasama dengan sistem upah untuk pengerjaan ladang
terutama pada waktu merumput atau menyiangi ladang dan waktu panen. Kerjasama ini
terutama ditujukan untuk membantu keluarga yang kekurangan, dengan menyediakan
kesempatan kerja dan pemberian upah.

Hubungan sosial pada masyarakat ini juga dilakukan dengan berbagi kasih dan
saling membantu. Misalnya, ketika mendapat tangkapan dari berburu atau menangkap
ikan dalam jumlah besar, maka di samping mereka berbagi dengan anggota juga mereka
berbagi dengan tetangga dan kerabat dekat. Hal ini juga dilakukan masyarakat Dayak
Kenyah di Apo Kayan. Ketika mereka pulang berusaha dan belanja dari kota (beselai),
mereka akan membagi hasil belanja pada tetangga dan kerabat dekat. Biasanya yang
dibagi adalah garam dan tembakau. Ketika mereka mendapatkan panen melimpah,
mereka akan berbagi pada tetangga sebagai sumbangan. Subsidi silang, yang lebih
banyak hasil panen atau ternaknya menyumbang lebih banyak, dilakukan ketika
dilangsungkan acara-acara kampung seperti pesta panen (damai ajou), dan pelaksanaan
gotong royong untuk kepentingan umum (ga'gan pembun).

Meskipun kerjasama dalam pekerjaan dan saling membantu dan berkasih sayang
sesama pada masyarakat pedalaman sangat kuat dalam hidup mereka ada kompetisi dan
penghargaan dan prestasi individual, Warga yang rajin ke butan akan mempunyai
kesempatan lebih banyak untuk memanfaatkan hasil hutan daripada warga yang malas.
Warga yang rajin ke hutan dapat menemukan pohon yang kayunya bagus untuk membuat
rumah atau perahu. Warga tadi bisa memberi tanda seperti "cek, sip atau tak" sesuai
keperluan dan membersihkan semak belukar disekelilingnya, Dia berhak
memanfaatkannya dan warga lain tidak diperkenankan mengambil. Begitu juga dalam
kegiatan berburu. Di antara mereka ada pengaturan, siapa yang terlebih dulu menombak
binatang dan kena, ia akan mendapat bagian kepala (ulu) terlebih dahulu, ditambah
mendapatkan bagian yang sama dengan anggota lain. Jadi dapat dilihat di sini terdapat
penghargaan atas prestasi individual meskipun pada umumnya kerjasama tetap dilakukan
secara baik

Dalam hal pendidikan terdapat orientasi bahwa pendidikan adalah untuk


keperluan hidup (pekalay murip). Pendidikan merupakan proses pembudayaan agar
11

seseorang dapat membawa diri di tengah keluarga, dan lingkungan di samping aspek
kemandirian dalam hidup Nilai utama dalam proses pendidikan adalah kematangan diri
(nga pedang murip). Dengan kemampuan dan kemandirian dalam hidup diharapkan
seseorang dapat hidup di tengah keluarga dan masyarakat secara memadai.

Meskipun cara hidup yang baik sudah diajarkan dalam pendidikan informal
mereka, disharmoni tetap saja muncul. Hal ini tentu saja dikarenakan adanya keragaman
sifat dan cara berlaku di samping kepentingan-kepentingan yang berbeda. Pemulihan
keadaan disharmoni ini dilakukan dengan ritual adat dan pembayaran denda-denda adat
(kipau). Mekanisme penyelesaian konflik ini dilakukan dengan memanggil orang yang
dianggap mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan yang dianggap
menyebabkan rusaknya hubungan sesama warga. Pemanggilan dilakukan oleh tetua
keluarga atau pengurus adat, dan orang yang dianggap sebagai sumber konflik tersebut
diminta untuk meminta maaf kepada orang yang disakiti.

Kuatnya kehidupan dan ikatan sosial dalam kuatnya adat masyarakat Karo
memunculkan rasa solidaritas antaranggota. Oleh karena itu kerjasama sering terlaksana
dengan mengalir begitu saja di samping koordinasi menjadi lebih menguat. Tidak perlu
sesuatu itu diucapkan secara eksplisit, pihak lain diharap kan sudah memahaminya. Di
samping mudah berorganisasi, perilaku menonjolkan diri sebagai individu untuk
menunjukkan kebolehan kurang dipandang baik. Mereka lebih mengutamakan penilaian
orang lain. Bila dianggap baik oleh masyarakat, maka sudah semestinya seseorang akan
diamanati sebagai pimpinan. Pada masyarakat Karo dikenal budaya malu, meteh mela
(tahu malu). Hal ini dapat dikaitkan dengan nilai pentingnya orang mengikuti hukum dan
aturan. Menurut adat masyarakat ini, seharusnya orang malu untuk melakukan hal yang
buruk, melanggar aturan bersama dan melanggar hukum formal sehingga konsep ini
semestinya dapat mengendalikan individu melakukan hal yang salah. Dengan demikian
diharapkan anggota masyarakat akan menjadi warga yang patuh terhadap adat dan
ketentuan formal kenegaraan. 8

8
Sartini. Mutiara Kearifan Lokal ( Yogyakarta : Kepel Pess, 2009), Hlm. 39-46
12

BAB III

Penutup

3.1 kesimpulan

Mempertahankan kearifan lokal bukanlah soal yang mudah. Hegemoni


globalisme –terutama hegemoni medsos- tanpa disadari sudah menjadi bagian dari hidup.
Ada kecenderungan mengendurnya nilai-nilai moral akibat dari kemauan iptek
pada satu sisi, dan pada sisi lain tumbuh kesadaran tentang pentingnya nilai-nilai tersebut.

Dikotomi tentang mengendurnya nilai-nilai dan kesadaran akan pentingnya nilai-


nilai kearifan lokal mesti disikapi dengan bijak. Kegamangan berada pada posisi
dikototomi ini melahirkan sebuah sikap baru untuk kembali pada kearifan lokal sebagai
jati diri dan melanjutkan kebudayaan secara diferensial. Selain masyarakat pemilik
kearifan lokal pemerintah juga diharapkan ikut ambil bagian untuk bertanggung jawab.
Melalui kebijakan dan strategi kebudayaan pemerintah menjadi salah satu mitra penting
bagi pendukung kebudayaan dan kearifan lokal agar eksistensinya tetap terjaga.
13

DAFTAR PUSTAKA

1. 1
Irawan, “kearifan Lokal”, diakses dari https//eprints.umm.ac.id, pada tggl12 oktober hlm. 2
2. 1
Kampret junior, “ kearifan lokal suku batak dan budayanya”, diakses dari www.
Kampretnews.com.codnamproject.org, pada 12 oktober 2021, hlm. 1
3. 1
Bennylin, “suku batak”, diakses dari https;//id.m.wikipedia.org pada tggl 12 oktober 2021
1
4. Hans Van Miert ( 2003 ).dengan semangat berkobar,hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu-
KITLV.Hlm 475
5. 1
Liddle,R.W ( 1970 ). ”Etnchally,Party, And National Integration : an Indonesia Case Study.
New Heaven : Yale University Press
1
6. Castles,L.. Statelesnes and States formingTendencies Among The BatakBefore Colonial Rule.
Kuala Lumpur : Monograph no.6 Hlm. 67-66
7. 1
Tideman, J.” Hindoe-Invloed in Noordelijk Batakland”. Amsterdam : Uitgave van het Batakshe
Institut no 23. Hlm.56
1
8. Sartini. Mutiara Kearifan Lokal ( Yogyakarta : Kepel Pess, 2009), Hlm. 39-46

Anda mungkin juga menyukai