BAB I
EPISTEMOLOGI
kodratnya ingin tahu”. Dia disebut “master” dari mereka yang tahu. Manusia adalah makhluk
paling “aneh karena merupakan makhluk paling dekat dan paling jauh dari rahasia segala
yang dialamainya. Yang jelas, keinginan untuk mencapai pengetahuan filosofis yang
dibicarakan Aristoteles tidak dapat dicapai dengan sikap yang dimiliki oleh budi yang bekerja
di dalam kegiatan harian. Unsur kekaguman di hadapan misteri eksistensi merupakan bagian
dari pertanyaan filosofis dan tidak ada pengetahuan filosofis tercapai kecuali bagian integral
mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang sya
ketahui di bidang tertentu. Filsafat terutama merupakan relfleksi dan refleksi bersifat kritis.
Maka saya tidak mungkin mempunyai suatu metafisika yang tidak sekaligus merupakan
epistemology dari metafisika, atau psikologi yang tidak sekaligus epistemology dari
psikologi, atau bahkan suatu sains yang bukan epistemology dari sains.
Zaman baru mulai sewaktu Descartes menjadikan usahanya untuk mengetahui sendiri
sebagai objek penyelidikan lebih lanjut: bagaimana saya tahu bahwa saua dapat tahu? Apa
hak saya untuk bertanya? Mungkin rasa kagumku tidak mempunyai hak unutk ada – mungkin
tak ada gunanya dan saya selamanya tertutup dari kenyataan yagn saya usahakan untuk saya
pahami.
1
2
Anggapan umum benar-benar sadar bahwa seseorang seing tertipu, bahwa kesalahan
mungkin terjadi. Ilusi optis, kesalahan di dalam menentukan jarak atau warna, halusinasi,
dst., merupakan hal yang umum terjadi. Tetapi anggapan umum tidak menggunakan yakinan
keyakinan salah ini dengan menyelidinya untuk mempertanyakan kedudukan dari keyakinan-
Itulah sebabnya mengapa orang modern tidak begiru merasa tenang untuk tetap
tinggal di dalam sikap anggapan umum ini. sebab penemuan sains tidak mau didamaikan
dengan keyakinan-keyakinan bahwa dunia terdiri dari sekumpulan atom, ia mau tidak mau
mempertanyakan mengapa dunia ini bisa cocok dengan gambarannya sendiri. Ia melihat
warna, mendengar suara, merasa hangat dan dingin. Tetapi rupanya di semesta yang
diselidiki sains hal-hal itu tidak ada, mau tidak mau dia menjadi heran dan mulai
itu berada di dalam kepalanya sebagai suatu semesta yang bersifat privat, yang sangat
bagaimana mungkin dia yakin bahwa dirinya telah mencapai objek sebenarnya dan bukan
1.3 SKEPTISISME
Beberapa pemikir seperti Etienne Gilson beranggapan bahwa tidak ada masalah
mengenai pengetahuan, sebab pertanyaan kritis tidak dapat diajukan secara konsisten. Bagi
mereka realism adalah suatu pengandaian pemikiran yang besifat absolut dan setiap usaha
3
untuk membenarkan realism telah memberikan konsesi atau usaha untuk membenarkan
realism telah memberikan konsesi atau menyerah. Bagi mereka, pengertian menempatkan
kita pada posisi yang bersentuhan dengan kenyataan dan hal ini merupakan akhir semua
jawaban.
Itulah sebabnya posisi dari seseorang skeptic absolute merupakan hal yang paling
rapuh di dalam seluruh bidang filsafat. Menurut seorang skeptic absolute, pikiran manusia
tidak dapat mencapai kebenaran objektif. Secara objektif, manusia tidak dapat mengetahui
kebenaran objektif; ia yakin bahwa dia tidak dapat yakin. Misalnya dia merasa puas dengan
mempunyai akibat positif. Sebab apa yang dinyatakan oleh pendapat Gilson ialah: pada tahap
tertentu pikiran secara niscaya disangkal. Maka kita sampai keapda nilai tanpa syarat dari
pernyataan, bila kita menyadari bahwa tidak mungkinlah menyatakan ketidakmampuan kita
untuk menyatakan. Kemungkinan positif yang bisa dipetik dari skeptisisme ialah menjawab
“Apa yang saya ketahui?” merupakan segi lain dari pertanyaan metafisis, “apa itu?”
atau “apakah yang nyata itu?” pengetahuan manusia adalah suatu upaya untuk menyatakan
kepada dirinya sendiri keterlekatannya pada ‘ada’. Manusia bukanlah suatu pengada dengan
batasan-batasan, tetapi ia adalah pengada terbatas. Maksudnya, tidak ada dua faktor di dalam
manusia, yang satu sebagai pengada seutuhnya dam yang lain sejenis batas yang
pengetahuannya muncul dari keadaan itu, sehingga di mana pengetahuan itu ada, dapat
dikatakan dengan cukup meyakinkan bahwa ‘ulat kecil’ ketiadaan dapat mulai
menggerogotinya. Katakana bahwa kita tahu bahwa dunia ada: tetapi tunggu, dan sebelum
ada bebungaan mungkin saya salah, mungkin saya tertipu, mungkin saya mimpi.
momok yang mengancam keadaan manusia dengan segala tipu dayanya. Misalkan peranan
kematian, waktu, perpisahan dari yang lain, kesepian, kegagalan, pertentangan terhadap
kehendak saya, dosa, putus asa- semua pengalaman di mana kehadiran dari ketiadaan terasa
membakar.
Eksistensi manusia selalu belum terpenuhi: ia adalah makhluk yang tidak selesai,
yang berada dalam proses pembentukan diri. Keberadaan manusia tidaklah sama dengan
kebradaan batu. Ada benda-benda yang melulu identik dengan dirinya sendiri, lengkap,
seutuhnya terwujudkan, tegas, tanpa cacat di dalam eksistensinya. Mereka adalah mereka,
titik. Epistemologi harus mulai dengan pengakuan kembar: pengetahuan manusia ada, tetapi
Apa artinya “mengetahui?” yang jelas tidak ada pertanyaan mengenai definisi
lain yang lebih dimengerti. Hal ini tidak mungkin karean “pengetahuan” adalah “sui generis”,
artinya berhubungan dengan apa yang paling sederhana dan paling mendasar. Sebab
mengetahui merupakan peristiwa paling dasar dan tak dapat direduksikan, tidak dapat
arti dari “pengetahuan”. Kita harus tetap membuka pintu bagi kemungkinan bahwa cara-cara
mengetahui mungin ada bermacam-macam dan setiap cara mungkin secara sahih bisa disebut
“pengetahuan”.
Bila keberadaan manusia, batu, keindahan, keadilan, pikiran, warna, angka hanyalah
mirip secara analog, maka pengetahuan yang diarahkan kepada kesadaran terhadap manusia,
batu, keindahan, dsb., haruslah pengetahuan yang juga bersifat analog. Pengetahuan adalah
pernyataan dari diri ada. Pengetahuan adalah peristiwa yang menyebabkan kesadaran
manusia memasuki terang ada. Kita tidak bisa meramalkan bagaimana ada itu dinyatakan.
Sikap awal yang tepat bagi filsuf pengetahuan adalah kerendahan hati di dalam menghadapi
De Facto, hal itu merupakan dasar bagi konsepsi kebenaran umum sebagai
“kesesuaian antara pikiran dengan kenyataan”. Jika apa yang saya nyatakan ternyata baik,
maka pertimbangannya saya dikatakan seusai dengan kenyataan, maka benar. Sampai
pertimbangan tertentu dibuat, persoalan mengenai kebenaran tidak dirumuskan secara jelas.
Pengalaman dianggap bukanlah masalah benar atau salah, tetapi tetaplah kenyataan. Akan
BAB II
penyelidikan filosifis. Maka, upaya kritis di dalam epistemology untuk memeriksa kembali
nilai pengetahuan harian, kita dapat diperlakukan sebagai suatu usaha untuk membedakan apa
Salah satu usaha paling radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini telah dibuat
oleh Rene Descartes. Descartes menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah
satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat
seberapa jauh hal itu bisa diragukan. Prosedur yang disarankan oleh Descartes disebut
Menurut Descartes, filsafat pada msa lampau terlalu mudah memasukkan penalaran
yang hanya bisa jadi benar ke dalam khasanah penalaran yang sebenarnya dikhususkan bagi
insight niscaya. Apa yang dicari filsafat adalah kepastian dan kepastian hanya diterima dan
didasarkan pada evidensi yang mau tidak mau harus diterima dan diakui. Descartes mengakui
bahwa tampaknya tidak masuk akal untuk meragukan banyak hal. Sebagaimana badan saya
yang tampaknya begitu jelas, demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi juga begitu
jelas. Padahal kenyataannya, badan saya di dalam mimpi hanyalah khayalan saya.
6
7
Makah hal ini merupakan karang di atas mana keraguan Descartes akhirnya diatasi:
“Cogito, ergo sum”, saya berpikir, maka saya ada. Perlu dicatat bahwa cogito bukanlah
dicapai melalui penyimpulan, dan “ergo” nukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes
adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan
meragukan.
2.3 SUBJEKTIVISME
Di sini perlu diperkenalkan perbedaan antara kaum realis epistemology dan kaum
konsepsinya tentang kesadaran, dia pernah menyadari sesuatu yang lain dari dirinya sendiri?
kesimpulan solipsistic.
Hal ini begitu jelas di dalam konsepsinya mengenai Allah sebagai Pengada Sempurna.
pengalaman sebafai tidak sempurna hanya mungkin bisa saya mempunyai pengertian lebih
positif mengenai Yang Sempurna. Sebab yang sesuai bagi eksistensi ide yang tak terbtas
mengenai pengada yang sempurna adalah pengada yang sempurna, tak terbatas. Sekarang
8
menjadi jelas bagi Descartes bahwa esendi dari budi adalah pikiran dan esensi dari material
adalah kelausan.
Mungkin Descartes mempunyai maksud yang tidak begitu bodoh, mungkin maksud
yang tidak begitu bodoh. Mungkin maksudnya ialah bahwa keadaan terjaga sama tertutupnya
dari kenyataan lain seperti keadaan mimpi. Bukan dimaksudkan sebagai “mimpi” dalam arti
biasa, tetapi melulu bersifat sama subjektifnya dengan mimpi. Maka keadaan (buruk) kita ini
inderawi adalah suatu ilusi. Sejauh ini Descartes hanya membedakan anatara benda sebagai
yang diterima dengan jelas dan disting oleh pikiran dari benda sebagai yang diterima dengan
BAB III
Setiap telaah mengenai Descartes harus dipusatkan bukan pada keraguan metodisnya,
tetapi pada ketepatan deskripsinya mengenai kesadaran. Apa yang saya sadari terdapat “di
dalam” kesadaranku; apa yang tidak saya sadari berada “di luar” kesadaranku. Kenyataan
sebagaimana ada pada saya setiap saat berada “di dalam” kesadaranku. Kadang-kadang kita
mengatakan bahwa hal itu berada “di dalam budi saya”. Sering juga gambaran yang ada kita
Maka, objek yang diketahui berada “di dalam” subjek, tetapi pada pengertian
interioritas – yaitu identifikasi. Objek berada di dalam subjek sedemikian rupa sehingga tidak
mungkin untuk membedakan batas-batas antara yang diketahui dan yang mengetahui.
Kesadaran selalu bersifat bi-polar, kesadaran secara esensial selalu bersifat relasional.
Kesadaran terutama berarti kesadaran diri akan yang lain. Kedua kutub secara empiris nyata.
Kesadaran selalu diterima sebagai hubungan bi-polar ini. maka kita tidak bisa menghilangkan
Yang hilang dari cogito adalah permahaman mengenai kegiatan refleksif sebagai
tambahan terhadap kenyataan yang lebih mendalam yang disebut Dasein oleh Heidegger.
Dunia merupakan gejala utama, yang selalu di sana di dalam totalitas bagi Dasein; dunia
adalah suatu keseluruhan dari arti, dan selalu di sana di dalam hubungan dari Dasein dengan
9
10
setiap benda khusus duniawi. Bahkan Descartes sendiri telah menggunakan bahasa dan dia
seharusnya sudah menyadari bahwa bahsa secara esensial bersifat sosial. Bahasa adalah suatu
kenyataan-batas. Ahasa bukanlah milik dari diri tertentu tetapi berada di bagian terdepan dari
keyakinan kita bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diir sendiri. Sudahkah kita
mulai penafsiran ini hanya dengan menyatakan bahwa kita benar-benar tahu kenyataan yang
lain dari diri sendiri? Kesulitannya adalah bahwa pertanyaan dari filsafat pengetahuan sendiri
Maka, di dalam menjawab pertanyaan “Bagaimana saya tahu bahwa saya bukanlah
satu-satunya yang ada?” tidak salahlah untuk mengatakan “Saya tahu karena saya tahu bahwa
pribadi-pribadi lain ada”. Awal dari epistemology tidak harus berfungsi sebagai suatu premis
Kebutuhan untuk menemukan suatu awal yang bulan dirasakan oleh filsuf bukan
terutama karena kodrat pengetahuan, tetapi karena kodrat dari usaha kritisnya. Apa yang telah
dinyatakan di sini adalah bahwa pertanyaan merupakan bentuk pertama dari pengetahuan.
Arti pertama diberikan kepada kita dalam bentuk pertanyaan. Eksistensi manusia adalah
pertanyaan ini. Mengapa saya menegaskan sesuatu? Karena secara implisit saya telah
bertanya sebelumnya. Pertanyaan pertama meruakan dasar dari adanya pertanyaan apapun.
11
BAB IV
Kesadaran naïf yang berarti kesadaran yang dialami tanpa sikap reflektif atau teoretis,
didukung oleh “di sananya” sesuatu yang dinikmatinya dan selanjutnya tidak
mempertanyakan “di sananya” ini. “Realisme naïf” adalah penerimaan yang hanya dialami
begitu saja, terhadap objektivitas keseluruhan tanpa penegasan filosofis mengenai nilaid ari
penerimaajn yang dialami. Sering dikatakan bahwa realism naïf mempertahankan bahwa
kualitas-kualitas yang kita rasakan adalah secara formal lepas dari sensasi, cara subjek
menerimanya.
Menurut Locke, apa yang kita ketahui adalah ‘ide’. Kebanyakan orang mengatakan
bahwa mereka sadar akan benda-benda. Tetapi, mennurut Locke, objek kesadaran adalah ide.
Ide adalah “objek akal sewaktu seseorang berpikir; saya telah menggunakannya untuk
menyatakan apa saja yang dimaksud dengan fanrasma, maksud, species, atau apa saja yang
digunakan budi untuk berpikir…” Juga dia mengatakan bahwa ide adalah demikian: apa yang
saya sadari hadir bagi kesadaranku; maka hal itu hadir di dalam kesadaranku; kalau hadir di
dalam kesadaranku, maka hal itu merupakan datum mental. Maka dapat dikatakan bahwa
Locke adalah seorang realis “tidak langsung” atau “representative”. Titik tolaknya adalah
idealisme epsitemologis: apa yang menjadi titik akhir dari kesadaranku adalah sebuah ide.
4. 2 GEORGE BERKELEY
George Berkeley (1685-1753), uskup dari gereja Anglikan, di dorong oleh maksud-
maksud rohani di dalam filsafatnya. “Substansi material”-nya Locke yang dianggap lepas dari
budi, merupakan sebuah mitos di dalam pandangan Berkeley. Jika kenyataan sejati bersifat
11
12
spiritual, maka semua keberatan mengenai eksistensi Allah dan kebakaan jiwa akan runtuh
pula. Bagi Berkeley, merupakan hal yang paling mudah untuk menunjukkan bahwa setiap
saya sadari secara langsung adalah ide saya sendiri atau yang saya sadari adalah ide Allah.
4.3.1 Sientisme
persepsi. Sebab sains telah menekan refleksi untuk memilih atau pandangan sains atau
anggapan umum. Sientisme adalah sebuah versi dari representasionalisme yang dipermodern.
merupakan hal yang benar-benar subjektif, yang disebabkan di dalam diri saya oleh pengada-
Istilah bel sebagai suatu “objek material” mengandung hipotesis-hipotesis yang tidak
dapat dibuktikan melalui persepsi langsung. Anggapan umum mengandaikan bahwa bel
sebagai suatu objek material adalah suatu kesatuan, suatu pengada komplit, yang bertahan
melalui jangka waktu tertentu, yang selalu siap untuk ditangkap oleh pengamat lain. Tidak
ada sesuatu pun mengenai hal ini dapat dibuktikan. Apa yang dinyatakan kepada persepsi
adalah data inderawi, banyak/ berulang, sementara, dan mengapung. Istilah mengenai suatu
13
objek disusun berdasarkan gejala-gejala yang pasti tetapi lekas hilang, tetapi tidak dapat
istilah dari suatu objek lebih merupakan suatu konstruksi logis pikiran daripada sesauatu yang
bahwa bahasa tersebut menunjuk kepada sesuatu tertentuu adalah jelas karena bahasa
menarik artinya dari penggunanya. Kata tidak dapat digunakan untuk meragukan kenyataan
dari objeknya. Maka Stebbing dengan mentah-mentah menolak lelucon Eddington mengenai
Pandangan ini mengatakan bahwa saya tidak dapat bertanya terus-menerus mengenai
“kenyataan” dari objek pengalaman biasa, karena arti paradigmatic dari kenyataan ditemukan
dalam pengalaman yang masih berlangsung dan jika benda-benda itu tidak riil, saya bahkan
tidak tahu apa yang saya maksud dengan kenyataan. Martin Lean adalah contoh penting dari
pendapat ini.
persoalan ini dapat dianggap muncul dari kegagalan untuk menghargai mcam-macam cara
memberi arti kepada kata-kata. Kenyataannya adalah bahwa kata-kata saintifik tidaklah
14
berfungsi dengan cara yang sama seperti kata-kata bahasa harian. Kata-kata sains tidaklah
memberikan lukisan.
15
BAB V
OBJEKTIVITAS
Hakikat dari realism naïf ialah tanpa refleksi dan kebenaran hanya diandalkan begitu
saja. Padahal hakekat filsafat adalah refleksi. Maka tidak seorang filsuf pun yang dapat
dikatakan memeluk realism dalam arti sebenarnya. Tetapi beberapa filsuf Skolastik
menganggap perlu untuk memperbaiki beberapa keyakinan harian kita. Beberapa hal perlu
dicatat, yaitu 1) masalah tidak dapat diperdebatkan dengan meletakkan “kesalahan” pada
indera karena indera tidak pernah salah; 2) untuk mempercayai kebenaran kesaksian
pengalaman inderawi, objek harus disesuaikan dengan jenis indera, organ indera harus
normal dan sehat, dan harus terdapat medium; 3) perlu mengingat objek khusus dan objek
umum.
sekunder yang lain dapat dimengerti dengan mempertimbangkan badan sebagai susunan
atomic yang berhubungan melalui medium elektromagnetik dengan badan fisologis manusia.
Banyak filsuf mengambil kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun untuk melawan
objektivitas kualitas primer, tetapi banyak hal bisa dikatakan mengenai kualitas sekunder
yang bertentangan dengan pandangan umum. Para filsuf menerima gambaran santifik sebagai
bahwa di dalam kualitas-kualitas spasial atau kualitas primer, penulis buku ini tahu hal yang
secara formal termasuk di dalam objek sebgaimana adanya terlepas dari persepsi. Sebaliknya
15
16
mengenai kualitas sekunder penulis buku ini tahu hanya secara virtual di dalam objek terlepas
dari persepso. Realis virtual biasanya mulai dengan pengandaian bahwa persepsi adalah kerja
dari kesadaran badani bahwa persepsi terjadi berkat kuasalitas organ sensoris.
5.4 RINGKASAN
Bagi kesadaran yang memutuskan, setiap dantum adalah objektif dan lepas. Untuk
kesadaran perceptual, setiap kualitas berada di mana hal itu dialamai sebgai ada. Masalah
persepsi tetap merupakan masalah yang paling besar yang tidak terpecahkan di dalam
keseluruhan epistemologi.
objektivitas ini. pernyataan mengenai realitas selalu merupakan fungsi dari desakan tertentu
dan usaha untuk meremehkan hal ini hanyalah menimbulkan kekacauan yang tak terlukiskan
ke dalam masalah “persepsi”. Refleksi juga harus terus mencari makna dari “objek” yang
merupakan pokok di dalam diskusi, yaitu sesuatu yang tidak pernah cukup jelas. Bahkan
kesadaran aestetis tidak pernah yakin apa yang dimaksudnkannya sewaktu mengatakan
bahwa dia menghendaki agar dunianya berada di sana, di sana untuk dirinya sendiri.
17
BAB VI
PRINSIP-PRINSIP PERTAMA
Pernyataan pertama adalah bahwa “ada sesuatu” atau “sesuatu berada”. Tidak ada
pernyataan yang dapat lepas dari pernyataan itu dan formula tersebut sekaligus memuat
pembagian dari inteligibilitas pertanyaan ke dalam “apa” dan “bahwa”. Di dalam tata
pertanyaan identitas antara apa dan bahwa (yaitu esensi dan eksistensi) tidak mungkin.
Pengalaman sebagai jawaban terhadap pertanyaan selalu memberikan sautu jawaban ganda:
sesuatu … berada. Tidak mungkin satu di antara keduanya direduksi kea tau dideduksi dari
yang lain. Maka usaha mencari yang tak bersyarat di bidang ini harus melampaui jarak yang
memisahkan mereka.
Secara tradisional, prinsip-prinsip itu dinyatakan sebagai 1) prinsip identitas: apa yang
ada, ada; apa yang tidak ada, tidak ada; 2) prinsip alasan memadai: apa pun yang ada
mempunyai alasan yang memadai untuk adanya; 3) prinsip kausalitas/ penyebab efisien: apa
Mereka disebut ‘prinsip’ sebab menurut konsep filosofis prinsip adalah “sesuatu yang
darinya sesuatu yang lain mengalir atau berasal”. Untuk itu hanyalah masalah-masalah
penamaan mereka disebut prinsip pertama atau prinsip ‘terakhir’. Prinsip-prinsip itu sering
kali disebut jelas dari dirinya sendiri dalam arti bahwa mereka tidak dapat dan tidak perlu
dibenarkan.
18
secara niscaya dihubungkan dengan suatu peristiwa sebelumnya, kalau hal itu harus terjadi”
atau “setiap kejadian, kalau hal itu harus terjadi, merupakan konsekuansi dari kejadian
sebelumnya yang tanpanya kejadian tersebut tidak dapat terjadi”. Dalam arti apapun jelaslah
Menurut Hume, kita mendapat pengertian dari keniscayaan dari kebiasaan yang kita
terjadi. Kita sebelumnya telah mengamati urutan-urutan yang demikian itu berulang kali.
Bagi Hume, meskipun hal ini bisa dimengerti, proyeksi ini tidak dapat dibenarkan secara
logis.
Kant berpendapat bahwa pengalaman muncul dengan bahan mentah dari sensari.
Tetapi indera sendiri tidak memberikan kita “objek”. Untuk itu, bahan mentah dari sensasi
harus dibentuk oleh kategori-kategori formal akal yang menurut Kant ada duabelas.
Pembenaran terhadap kategori sebab sama dengan pembenaran atas semua pengertian
metafisis: tingkat insight yang memadai untuk mempertanyakan mereka adalah suatu tingkat
di mana mereka secara niscaya sahih. Kita tidak dapat mempertanyakan validitas prinsip-
prinsip pertama kalau kita tidak mempertanyakan semua kenyataan. Tetapi justru ide
pertanyaan yang sama sekali tidak bisa kita beri pendapat sebgai jawaban. Hanya saja,
19
evidensi menjamin sautu tanggapan kognitif antara kepastian atau pendapat. Tidak ada
evidensi (atau evidensi yang sama sekali tidak konklusif) hanya memberi keraguan.
20
BAB VII
PENGETAHUAN KONSEPTUAL
konsep itu iya atau tidak, kalau melihat berarti percaya maka tidak melihat (atau tidak
merasa) berarti tidak peracaya, sikap awal budi merupakan sikap akhir budi pula, bila
Bebicara mengenai konsep atau “ide-ide universal “ mempunyai dasar yang berlainan.
Arti konsep yang disebut universal. Arti ini adalah satu di dalam banyak, arti tunggal
7.2 Nominalisme
Menurut kaum nominalis, menyatakan bahwa ide hanyalah “ flatus vocis” dan tidak ada
yang lebih di dalam kesadaran daripada kata-kata dan pengalaman khusus yang diikat
7.3 Konseptualisme
Menurut konseptualisme ide adalah suatu datum universal Satu-satunya cara datum
universal dapat ada hanyalah bagi pikiran. Di luar pikiran semua kenyataan bersifat
individual.
Seagai sesuatu yang ditangkap oleh pikiran, eseni itu bersifat universal, sebagai sesuatu
yang ada di benda-benda esnsi itu bersifat individual. Kalau dipikirkan secara absolute,
22
21
di dalam dirinya sendiri yaitu dipikirkan sebagai terlepas dari status real atu mental atau
7.5 Pertimbangan
bukan hanya bahwa dia mencapai eksisensi, tetapi merupakan sarana bagi munculnya
Pengetahuan kita akan esensi terletak di dalam pengendapan arti di dalam pengalaman.
Esensi tidak dapat dimengerti dengan definisi. Pengalaman berkembang terus dan ide-ide
merupakan alat kreatif yang dipergunakan pikiran untuk menyesuaikan diri dengan
kemudian menceburkan diri pada pengalaman. Konsep-konsep ini merupakan cara yang
mengobjektifikasi.
22
BAB VIII
Esensi adalah “apanya” kenyataan yaitu “ke begituan” nya yang kita coba tangkap
didalam konsep. Esensi mengalami perubahn seauai dengan pengunaanya. Sahihlah untuk
Ajaran pragmatism diringkas dalam formula bahwa kebenaran adalah apa yang membawa
hasil. John Dewey mendekati pendapat filosofis dari sosialogis historis, ia menekankan
kenyataan bahwa arti dari pikiran kita berada didalam interaksi dialektis dengan
pengalaman dan tindakan dan dapat diperkaya terus menerus oleh pengalaman.
dalam dua cara: pertama sebagai kesulitan didalam membuktikan bahwa kita mencapai
Kategori –kategori filosofis bukanlah sesuatu yang “diwariskan “ melalui satu generasi ke
Dimensi-dimensi historis dan sosial menjadi sangat penting sebab melalui kegiatannya
sebagai makhluk social mansia dan historis member suatu manifestasi nyata bagi arti
BAB IX
9.1 Induksi
umum. Induksi lengkap artinya penalaran dari semua contoh yang ada menuju
generalisasi. Sedangkan indksi tidak lengkap berarti penalaran dari tidak semua contoh
Induksi tidak lengkap lebih penting, sebab penalaran ini melibatkan suatu proses dari
beberapa ke semua.
Menurut Hume pengalaman selalu mengenai yang particular.Oleh karena itu sangat jauh
Ayer mengatakan setiap kebenaran yang tidak dapat dikoreksi pada pokoknya hanyalah
inderawi. Datum adalah tat urutan dan setiap pernyatan yang mempunyai arti pastilah
mempunyai data hanyalah tautology. Inilah inti dari “ prinsip dapt terbuktikan “ Ayer.
Semua pikiran filosofis harus mengendap di sekitar datum yang mempunyai dasar
23
24
Kita dapat mengungkap arti dalam pengalaman sebab di dalam pengalaman terdapat
secara real dan dapat dimengerti sebagai yang memberi kemungkinan begi pernyataan
BAB X
KEBENARAN EKSTENSIAL
Definisi kebenaran yang secara umum dianggap standar , yaitu kesesuaian antara
pikiran dan kenyataan. Konsepsi evidensi juga menyarankan hal ini. Kenyataan
memaksakan diri kita kepada saya dan saya menyerah terhadap evidensi. BahAsa kita
Kierkegaard menyatakan bahwa ketepatan konseptual tidak akan pernah mampu untuk
memaksa persetujuan di dalam diri manusia. Manusia bukan hanya akal tetapi dia
inteligiblitas. Kedua, Inteligibilitas ini dapat diterapkan hanya pada suatu jenis
diperluas.
25
26
Masalah adalah suatu objek penyelidikan yang ditangkap oleh subjek sebagai sesuatu
yang di luar dirinya. Di lain pihak misteri adalah persoalan yang tidak dapat dipisahkan
dari subjek sendiri. Terdapat data yang berdasarkan kodratnya tidak bisa dipisahkan
dari subjek.
digunakan di dalam bidang misterti dan tidak dapat digunakan sebagai patokan bagi
segala penalaran. Tidak ada argumen bagi eksistensi Allah yang mungkin diberikan.
Hanya pengertian asli dari ada akan memberikan pendekatan kepada bukti.
Evidensi masuk akal yang termuat di dalam pengalaman mengenai harapan atau
kegembiraan benar-benar ada hanya bagi diri singular. Tetapi tidak bagi pengamat
BAB XI
PENGETAHUAN INTERSUBJEKTIF
Masalah “budi lain” cukup berbeda dari masalah “ diri yang lain “. Budi secara khusus
merupakan pernyataan langsung dari diri yang lain. Kodrat simpati sebagai suatu
contoh tetap dari usaha menangkap pegalaman yang lain. Apa yang disajikan oleh
simpati dan rasa malu ini dapat diperluas dengan rasa kagum.
Individu tidaklah pertama-tama mengetahui dirinya sebagai pengada sadar rasional dan
kemudian mencari apakah di balik semua yang tampak. Gabriel Marcel dan Martin
BAB XII
b. Ada paradoks terkenal berkaitan dengan kodrat cahaya , yang sekarang juga
c. Akhirnya kita dapat mengutip yang memulai seluruh kesulitan yaitu penemuan
Max Plank mengenai kenyataan bahwa atom hanya ada di dalam bentuk energi.
Pertanyaan pokok adalah apakah filsafat seni dan etika mempunyai sesuatu untuk
nilai moral dan estetik dinyatakan hanya kepada orang yang mengalami urgensinya.
27