Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PERSOALAN-PERSOALAN POKOK DALAM EPISTEMOLOGI

1.1 SOAL PENGETAHUAN KEKAGUMAN SEBAGAI AWAL MUNCULNYA

EPISTEMOLOGI

Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan “Setiap manusia dari

kodratnya ingin tahu”. Dia disebut “master” dari mereka yang tahu. Manusia adalah makhluk

paling “aneh karena merupakan makhluk paling dekat dan paling jauh dari rahasia segala

yang dialamainya. Yang jelas, keinginan untuk mencapai pengetahuan filosofis yang

dibicarakan Aristoteles tidak dapat dicapai dengan sikap yang dimiliki oleh budi yang bekerja

di dalam kegiatan harian. Unsur kekaguman di hadapan misteri eksistensi merupakan bagian

dari pertanyaan filosofis dan tidak ada pengetahuan filosofis tercapai kecuali bagian integral

dari rasa kagum.

Filsafat pengetahuan sama luasnya dengan filsafat. Usaha menyelidiki dan

mengungkapkan kenyataan selalu seiring dengan usaha untuk menentukan apa yang sya

ketahui di bidang tertentu. Filsafat terutama merupakan relfleksi dan refleksi bersifat kritis.

Maka saya tidak mungkin mempunyai suatu metafisika yang tidak sekaligus merupakan

epistemology dari metafisika, atau psikologi yang tidak sekaligus epistemology dari

psikologi, atau bahkan suatu sains yang bukan epistemology dari sains.

Zaman baru mulai sewaktu Descartes menjadikan usahanya untuk mengetahui sendiri

sebagai objek penyelidikan lebih lanjut: bagaimana saya tahu bahwa saua dapat tahu? Apa

hak saya untuk bertanya? Mungkin rasa kagumku tidak mempunyai hak unutk ada – mungkin

tak ada gunanya dan saya selamanya tertutup dari kenyataan yagn saya usahakan untuk saya

pahami.

1
2

1.2 SOAL COMMON SENSE (ANGGAPAN UMUM/ AKAL SEHAT)

Anggapan umum benar-benar sadar bahwa seseorang seing tertipu, bahwa kesalahan

mungkin terjadi. Ilusi optis, kesalahan di dalam menentukan jarak atau warna, halusinasi,

dst., merupakan hal yang umum terjadi. Tetapi anggapan umum tidak menggunakan yakinan

keyakinan salah ini dengan menyelidinya untuk mempertanyakan kedudukan dari keyakinan-

keyakinannya yang benar.

Itulah sebabnya mengapa orang modern tidak begiru merasa tenang untuk tetap

tinggal di dalam sikap anggapan umum ini. sebab penemuan sains tidak mau didamaikan

dengan keyakinan-keyakinan bahwa dunia terdiri dari sekumpulan atom, ia mau tidak mau

mempertanyakan mengapa dunia ini bisa cocok dengan gambarannya sendiri. Ia melihat

warna, mendengar suara, merasa hangat dan dingin. Tetapi rupanya di semesta yang

diselidiki sains hal-hal itu tidak ada, mau tidak mau dia menjadi heran dan mulai

mempertanyakan keadaan benda-benda yang dipersepsikannya. Apakah persepsi-persepsinya

itu berada di dalam kepalanya sebagai suatu semesta yang bersifat privat, yang sangat

berbeda dengan keadaan senyatanya?

Kesadarana menangkap dirinya sebagai subjek yang berbeda dari objek

pengetahuannya, dan kemudian terjerumus ke dalam seluruh kesulitan mendasar mengenai

bagaimana mungkin dia yakin bahwa dirinya telah mencapai objek sebenarnya dan bukan

objek menurut anggapannya. Maka, epistemology bersifat reflekstif.

1.3 SKEPTISISME

Beberapa pemikir seperti Etienne Gilson beranggapan bahwa tidak ada masalah

mengenai pengetahuan, sebab pertanyaan kritis tidak dapat diajukan secara konsisten. Bagi

mereka realism adalah suatu pengandaian pemikiran yang besifat absolut dan setiap usaha
3

untuk membenarkan realism telah memberikan konsesi atau usaha untuk membenarkan

realism telah memberikan konsesi atau menyerah. Bagi mereka, pengertian menempatkan

kita pada posisi yang bersentuhan dengan kenyataan dan hal ini merupakan akhir semua

jawaban.

Itulah sebabnya posisi dari seseorang skeptic absolute merupakan hal yang paling

rapuh di dalam seluruh bidang filsafat. Menurut seorang skeptic absolute, pikiran manusia

tidak dapat mencapai kebenaran objektif. Secara objektif, manusia tidak dapat mengetahui

kebenaran objektif; ia yakin bahwa dia tidak dapat yakin. Misalnya dia merasa puas dengan

meragukan apakah pikiran kita bisa menyentuh kenyataan.

Meskipun sanggahan terhadap skeptisisme cenderung bernada negatuf, tetapi

mempunyai akibat positif. Sebab apa yang dinyatakan oleh pendapat Gilson ialah: pada tahap

tertentu pikiran secara niscaya disangkal. Maka kita sampai keapda nilai tanpa syarat dari

pernyataan, bila kita menyadari bahwa tidak mungkinlah menyatakan ketidakmampuan kita

untuk menyatakan. Kemungkinan positif yang bisa dipetik dari skeptisisme ialah menjawab

pertanyaan bagaimana manusia bisa mengetahui.

1.4 ASPEK EKSISTENSIAL

“Apa yang saya ketahui?” merupakan segi lain dari pertanyaan metafisis, “apa itu?”

atau “apakah yang nyata itu?” pengetahuan manusia adalah suatu upaya untuk menyatakan

kepada dirinya sendiri keterlekatannya pada ‘ada’. Manusia bukanlah suatu pengada dengan

batasan-batasan, tetapi ia adalah pengada terbatas. Maksudnya, tidak ada dua faktor di dalam

manusia, yang satu sebagai pengada seutuhnya dam yang lain sejenis batas yang

melingkupinya, tetapi bahkan di dalam hal keberadaannya, ia bukanlah keberadaan itu.


4

Seluruh keberadaan manusia terlemparkan bersama dengan ketiadaan;

pengetahuannya muncul dari keadaan itu, sehingga di mana pengetahuan itu ada, dapat

dikatakan dengan cukup meyakinkan bahwa ‘ulat kecil’ ketiadaan dapat mulai

menggerogotinya. Katakana bahwa kita tahu bahwa dunia ada: tetapi tunggu, dan sebelum

ada bebungaan mungkin saya salah, mungkin saya tertipu, mungkin saya mimpi.

Peranan ketiadaan di dalam pengetahuan hanyalah merupakan satu manifestasi dari

momok yang mengancam keadaan manusia dengan segala tipu dayanya. Misalkan peranan

kematian, waktu, perpisahan dari yang lain, kesepian, kegagalan, pertentangan terhadap

kehendak saya, dosa, putus asa- semua pengalaman di mana kehadiran dari ketiadaan terasa

membakar.

Eksistensi manusia selalu belum terpenuhi: ia adalah makhluk yang tidak selesai,

yang berada dalam proses pembentukan diri. Keberadaan manusia tidaklah sama dengan

kebradaan batu. Ada benda-benda yang melulu identik dengan dirinya sendiri, lengkap,

seutuhnya terwujudkan, tegas, tanpa cacat di dalam eksistensinya. Mereka adalah mereka,

titik. Epistemologi harus mulai dengan pengakuan kembar: pengetahuan manusia ada, tetapi

keberadaannya di bawah syarat-syarat dari eksistensi manusia.

1.5 ANALOGI PENGETAHUAN

Apa artinya “mengetahui?” yang jelas tidak ada pertanyaan mengenai definisi

pengetahuan, sebab mendefinisikan sesuatu berarti meletakkan sesuatu di dalam istilah-istilah

lain yang lebih dimengerti. Hal ini tidak mungkin karean “pengetahuan” adalah “sui generis”,

artinya berhubungan dengan apa yang paling sederhana dan paling mendasar. Sebab

mengetahui merupakan peristiwa paling dasar dan tak dapat direduksikan, tidak dapat

dijelaskan dengan istilah yang lebih dasar daripadanya.


5

Yang dituntut filsafat pengetahuan adalah keterbukaan awal terhadap macam-macam

arti dari “pengetahuan”. Kita harus tetap membuka pintu bagi kemungkinan bahwa cara-cara

mengetahui mungin ada bermacam-macam dan setiap cara mungkin secara sahih bisa disebut

“pengetahuan”.

Bila keberadaan manusia, batu, keindahan, keadilan, pikiran, warna, angka hanyalah

mirip secara analog, maka pengetahuan yang diarahkan kepada kesadaran terhadap manusia,

batu, keindahan, dsb., haruslah pengetahuan yang juga bersifat analog. Pengetahuan adalah

pernyataan dari diri ada. Pengetahuan adalah peristiwa yang menyebabkan kesadaran

manusia memasuki terang ada. Kita tidak bisa meramalkan bagaimana ada itu dinyatakan.

Sikap awal yang tepat bagi filsuf pengetahuan adalah kerendahan hati di dalam menghadapi

pengalaman. Filsuf pengetahuan harus memiliki keterbukaan total.

1.6 METODE DI DALAM EPISTEMOLOGI

De Facto, hal itu merupakan dasar bagi konsepsi kebenaran umum sebagai

“kesesuaian antara pikiran dengan kenyataan”. Jika apa yang saya nyatakan ternyata baik,

maka pertimbangannya saya dikatakan seusai dengan kenyataan, maka benar. Sampai

pertimbangan tertentu dibuat, persoalan mengenai kebenaran tidak dirumuskan secara jelas.

Pengalaman dianggap bukanlah masalah benar atau salah, tetapi tetaplah kenyataan. Akan

tetapi, epistemology benar-benar berurusan dengan [ertanyaan mengenai dasar dari

pertimbangan. Nilai kebenaran pertimbangan harus diputuskan bedasar evidensi, yaitu

sesuatu yang jelas dari dirinya sendiri.


6

BAB II

KERAGUAN KRITIS: DESCARTES

2.1 PARADOKS KELIRU

Dengan menyangkal skeptisisme absolute, epistemology barulah sampai ke ambang

penyelidikan filosifis. Maka, upaya kritis di dalam epistemology untuk memeriksa kembali

nilai pengetahuan harian, kita dapat diperlakukan sebagai suatu usaha untuk membedakan apa

yang mantap dengan apa yang rapuh dalam keyakinan-keyakinan umum.

Salah satu usaha paling radikal dan cerdik untuk menjawab persoalan ini telah dibuat

oleh Rene Descartes. Descartes menggunakan keraguan untuk mengatasi keraguan. Salah

satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan ialah melihat

seberapa jauh hal itu bisa diragukan. Prosedur yang disarankan oleh Descartes disebut

“keraguan metodis universal”.

2.2 KEPASTIAN PERTAMA: “COGOTO ERGO SUM”

Menurut Descartes, filsafat pada msa lampau terlalu mudah memasukkan penalaran

yang hanya bisa jadi benar ke dalam khasanah penalaran yang sebenarnya dikhususkan bagi

insight niscaya. Apa yang dicari filsafat adalah kepastian dan kepastian hanya diterima dan

didasarkan pada evidensi yang mau tidak mau harus diterima dan diakui. Descartes mengakui

bahwa tampaknya tidak masuk akal untuk meragukan banyak hal. Sebagaimana badan saya

yang tampaknya begitu jelas, demikian pula halnya badan saya di dalam mimpi juga begitu

jelas. Padahal kenyataannya, badan saya di dalam mimpi hanyalah khayalan saya.

6
7

Makah hal ini merupakan karang di atas mana keraguan Descartes akhirnya diatasi:

“Cogito, ergo sum”, saya berpikir, maka saya ada. Perlu dicatat bahwa cogito bukanlah

dicapai melalui penyimpulan, dan “ergo” nukanlah ergo silogisme. Yang dimaksud Descartes

adalah bahwa eksistensi personal saya yang penuh diberikan kepada saya di dalam kegiatan

meragukan.

2.3 SUBJEKTIVISME

Di sini perlu diperkenalkan perbedaan antara kaum realis epistemology dan kaum

idealis epistemology. Di sini sengaja akan dirumuskan secara luas:

a) Realisme epistemologis berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya

dengan apa yang lain dari diri saya.

b) idealism epistemologis berpendapat bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di

dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif murni.

Persoalan bagi idealis epistemologis atau sebjektivis adalah bagaimana, berdasarkan

konsepsinya tentang kesadaran, dia pernah menyadari sesuatu yang lain dari dirinya sendiri?

Rupanya seorang idealis sunggug-sunguh akan menemukan kesulitan untuk menghindari

kesimpulan solipsistic.

2.4 JALAN KELUAR YANG DITEMPUH DESCARTES

Hal ini begitu jelas di dalam konsepsinya mengenai Allah sebagai Pengada Sempurna.

Kesempurnaan merupakan pengertian pertama dan pemahaman pengada-pengada dari

pengalaman sebafai tidak sempurna hanya mungkin bisa saya mempunyai pengertian lebih

positif mengenai Yang Sempurna. Sebab yang sesuai bagi eksistensi ide yang tak terbtas

mengenai pengada yang sempurna adalah pengada yang sempurna, tak terbatas. Sekarang
8

menjadi jelas bagi Descartes bahwa esendi dari budi adalah pikiran dan esensi dari material

adalah kelausan.

2.5 KRITIK BAGI DESCARTES: MIMPI DAN KENYATAAN

Mungkin Descartes mempunyai maksud yang tidak begitu bodoh, mungkin maksud

yang tidak begitu bodoh. Mungkin maksudnya ialah bahwa keadaan terjaga sama tertutupnya

dari kenyataan lain seperti keadaan mimpi. Bukan dimaksudkan sebagai “mimpi” dalam arti

biasa, tetapi melulu bersifat sama subjektifnya dengan mimpi. Maka keadaan (buruk) kita ini

dapat dinyatakan sebagai semacam perbandingan: sebgaimana gambaran mimpi terhadap

objek, demikian juga arti objek bagi x, atau:

gambaran mimpi objek inderawi


seperti
objek inderawi x
Dengan kata lain, mungkin di dalam hubungan dengan “yang benar-benar real”, objek

inderawi adalah suatu ilusi. Sejauh ini Descartes hanya membedakan anatara benda sebagai

yang diterima dengan jelas dan disting oleh pikiran dari benda sebagai yang diterima dengan

kabur dan kacau oleh indera.


9

BAB III

TITIK TOLAK EPISTEMOLOGI

3.1 “DI DALAM” DAN “DI LUAR”

Setiap telaah mengenai Descartes harus dipusatkan bukan pada keraguan metodisnya,

tetapi pada ketepatan deskripsinya mengenai kesadaran. Apa yang saya sadari terdapat “di

dalam” kesadaranku; apa yang tidak saya sadari berada “di luar” kesadaranku. Kenyataan

sebagaimana ada pada saya setiap saat berada “di dalam” kesadaranku. Kadang-kadang kita

mengatakan bahwa hal itu berada “di dalam budi saya”. Sering juga gambaran yang ada kita

katakana berada “di dalam kepala saya”.

Maka, objek yang diketahui berada “di dalam” subjek, tetapi pada pengertian

interioritas – yaitu identifikasi. Objek berada di dalam subjek sedemikian rupa sehingga tidak

mungkin untuk membedakan batas-batas antara yang diketahui dan yang mengetahui.

3.2 BIPOLARITAS KESADARAN

Kesadaran selalu bersifat bi-polar, kesadaran secara esensial selalu bersifat relasional.

Kesadaran terutama berarti kesadaran diri akan yang lain. Kedua kutub secara empiris nyata.

Kesadaran selalu diterima sebagai hubungan bi-polar ini. maka kita tidak bisa menghilangkan

salah satu di dalam hubungan itu tanpa menghilangkan hubungan sendiri.

3.3 BERADA DI DUNIA

Yang hilang dari cogito adalah permahaman mengenai kegiatan refleksif sebagai

tambahan terhadap kenyataan yang lebih mendalam yang disebut Dasein oleh Heidegger.

Dunia merupakan gejala utama, yang selalu di sana di dalam totalitas bagi Dasein; dunia

adalah suatu keseluruhan dari arti, dan selalu di sana di dalam hubungan dari Dasein dengan

9
10

setiap benda khusus duniawi. Bahkan Descartes sendiri telah menggunakan bahasa dan dia

seharusnya sudah menyadari bahwa bahsa secara esensial bersifat sosial. Bahasa adalah suatu

kenyataan-batas. Ahasa bukanlah milik dari diri tertentu tetapi berada di bagian terdepan dari

dialog. Bahasa adalah gejala dari dialog.

3.4 LINGKARAN EPISTEMOLOGIS

Epistemology adalah usaha untuk menafsif dan di mana mungkin membuktikan

keyakinan kita bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diir sendiri. Sudahkah kita

mulai penafsiran ini hanya dengan menyatakan bahwa kita benar-benar tahu kenyataan yang

lain dari diri sendiri? Kesulitannya adalah bahwa pertanyaan dari filsafat pengetahuan sendiri

didasarkan kepada kesadaran bahwa di dalam hal pengetahuan mamusia mungkinlah

membuat perbedaan antara kesan (appearance) dan kenyataan (reality).

Maka, di dalam menjawab pertanyaan “Bagaimana saya tahu bahwa saya bukanlah

satu-satunya yang ada?” tidak salahlah untuk mengatakan “Saya tahu karena saya tahu bahwa

pribadi-pribadi lain ada”. Awal dari epistemology tidak harus berfungsi sebagai suatu premis

yang berperan sebagai sumber kebenaran-kebenaran yang dideduksikan daripadanya.

3.5 PERTANYAAN SEBAGAI AWAL YANG TAK TEREDUKSIKAN

Kebutuhan untuk menemukan suatu awal yang bulan dirasakan oleh filsuf bukan

terutama karena kodrat pengetahuan, tetapi karena kodrat dari usaha kritisnya. Apa yang telah

dinyatakan di sini adalah bahwa pertanyaan merupakan bentuk pertama dari pengetahuan.

Arti pertama diberikan kepada kita dalam bentuk pertanyaan. Eksistensi manusia adalah

pertanyaan ini. Mengapa saya menegaskan sesuatu? Karena secara implisit saya telah

bertanya sebelumnya. Pertanyaan pertama meruakan dasar dari adanya pertanyaan apapun.
11

BAB IV

KUALITAS PRIMER DAN KUALITAS SEKUNDER

4.1 REALISME NAIF

Kesadaran naïf yang berarti kesadaran yang dialami tanpa sikap reflektif atau teoretis,

didukung oleh “di sananya” sesuatu yang dinikmatinya dan selanjutnya tidak

mempertanyakan “di sananya” ini. “Realisme naïf” adalah penerimaan yang hanya dialami

begitu saja, terhadap objektivitas keseluruhan tanpa penegasan filosofis mengenai nilaid ari

penerimaajn yang dialami. Sering dikatakan bahwa realism naïf mempertahankan bahwa

kualitas-kualitas yang kita rasakan adalah secara formal lepas dari sensasi, cara subjek

menerimanya.

4.1.1 LOCKE DAN REPRESENTASIONALISME

Menurut Locke, apa yang kita ketahui adalah ‘ide’. Kebanyakan orang mengatakan

bahwa mereka sadar akan benda-benda. Tetapi, mennurut Locke, objek kesadaran adalah ide.

Ide adalah “objek akal sewaktu seseorang berpikir; saya telah menggunakannya untuk

menyatakan apa saja yang dimaksud dengan fanrasma, maksud, species, atau apa saja yang

digunakan budi untuk berpikir…” Juga dia mengatakan bahwa ide adalah demikian: apa yang

saya sadari hadir bagi kesadaranku; maka hal itu hadir di dalam kesadaranku; kalau hadir di

dalam kesadaranku, maka hal itu merupakan datum mental. Maka dapat dikatakan bahwa

Locke adalah seorang realis “tidak langsung” atau “representative”. Titik tolaknya adalah

idealisme epsitemologis: apa yang menjadi titik akhir dari kesadaranku adalah sebuah ide.

4. 2 GEORGE BERKELEY

George Berkeley (1685-1753), uskup dari gereja Anglikan, di dorong oleh maksud-

maksud rohani di dalam filsafatnya. “Substansi material”-nya Locke yang dianggap lepas dari

budi, merupakan sebuah mitos di dalam pandangan Berkeley. Jika kenyataan sejati bersifat

11
12

spiritual, maka semua keberatan mengenai eksistensi Allah dan kebakaan jiwa akan runtuh

pula. Bagi Berkeley, merupakan hal yang paling mudah untuk menunjukkan bahwa setiap

dan semua kenyataan bersifat spiritual.

Untuk mengevaluasi Berkeley, kita dihadapkan pada kesulitan pokok untuk

menentukan bagaimana menginterpretasikan dia. Dia, mungkin memaksudkan bahwa yang

saya sadari secara langsung adalah ide saya sendiri atau yang saya sadari adalah ide Allah.

4.3 PANDANGAN KONTEMPORER

4.3.1 Sientisme

Penegasan mengenai ketepatan gambaran kenyataan sebgaimana diberikan oleh sains

mempunyai akibat samping yang hanya memperparah masalah epistemologis mengenai

persepsi. Sebab sains telah menekan refleksi untuk memilih atau pandangan sains atau

anggapan umum. Sientisme adalah sebuah versi dari representasionalisme yang dipermodern.

Dengan demikian sientisme menghadapi kelemahan karena tidak konsisten sebagaimana

melekat dalam semua bentuk representasionalisme. Menurut sientisme, sensasi saya

merupakan hal yang benar-benar subjektif, yang disebabkan di dalam diri saya oleh pengada-

pengada yang benar-benar objektif badan-badan sebagaimana dimengerti oleh sains.

4.3.2 Pendekatan Data-Inderawi: Sebuah Jalan Keluar?

4.3.2.1 Moore, Russell, Broad

Istilah bel sebagai suatu “objek material” mengandung hipotesis-hipotesis yang tidak

dapat dibuktikan melalui persepsi langsung. Anggapan umum mengandaikan bahwa bel

sebagai suatu objek material adalah suatu kesatuan, suatu pengada komplit, yang bertahan

melalui jangka waktu tertentu, yang selalu siap untuk ditangkap oleh pengamat lain. Tidak

ada sesuatu pun mengenai hal ini dapat dibuktikan. Apa yang dinyatakan kepada persepsi

adalah data inderawi, banyak/ berulang, sementara, dan mengapung. Istilah mengenai suatu
13

objek disusun berdasarkan gejala-gejala yang pasti tetapi lekas hilang, tetapi tidak dapat

dibuktikan hanya berdasar mereka sendiri.

4.3.2.2 Ayer dan Fenomenalisme

Ayer memperlakukan pertikaian antara datum inderawi dengan objek material

terutama sebagai pertikaian bahasa. pada umumnya, fenomenalisme mempertahankan bahwa

istilah dari suatu objek lebih merupakan suatu konstruksi logis pikiran daripada sesauatu yang

diberikan langsung di dalam pengalaman.

4.3.3 Analisis Bahasa

4.3.3.1 “Argumen Paradigma” Stebbing

Bahasa mempunyi arti tertentu dinyatakan di dalam penggunaannya dan kenyataan

bahwa bahasa tersebut menunjuk kepada sesuatu tertentuu adalah jelas karena bahasa

menarik artinya dari penggunanya. Kata tidak dapat digunakan untuk meragukan kenyataan

dari objeknya. Maka Stebbing dengan mentah-mentah menolak lelucon Eddington mengenai

perbedaan antara pengalaman orang dan pengalaman saintis.

4.3.3.2 Pengertian Ostensif (Nyata)

Pandangan ini mengatakan bahwa saya tidak dapat bertanya terus-menerus mengenai

“kenyataan” dari objek pengalaman biasa, karena arti paradigmatic dari kenyataan ditemukan

dalam pengalaman yang masih berlangsung dan jika benda-benda itu tidak riil, saya bahkan

tidak tahu apa yang saya maksud dengan kenyataan. Martin Lean adalah contoh penting dari

pendapat ini.

4.3.3.3 Wittgenstein, Ryle, dan “Bahasa Biasa”

Pandangan Wittgenstein mempunyai relevansinya bagi masalah persepsi sebab

persoalan ini dapat dianggap muncul dari kegagalan untuk menghargai mcam-macam cara

memberi arti kepada kata-kata. Kenyataannya adalah bahwa kata-kata saintifik tidaklah
14

berfungsi dengan cara yang sama seperti kata-kata bahasa harian. Kata-kata sains tidaklah

memberikan lukisan.
15

BAB V

OBJEKTIVITAS

5.1 PEMECAH SKOLASTIK: PENDAHULUAN

Hakikat dari realism naïf ialah tanpa refleksi dan kebenaran hanya diandalkan begitu

saja. Padahal hakekat filsafat adalah refleksi. Maka tidak seorang filsuf pun yang dapat

dikatakan memeluk realism dalam arti sebenarnya. Tetapi beberapa filsuf Skolastik

menganggap perlu untuk memperbaiki beberapa keyakinan harian kita. Beberapa hal perlu

dicatat, yaitu 1) masalah tidak dapat diperdebatkan dengan meletakkan “kesalahan” pada

indera karena indera tidak pernah salah; 2) untuk mempercayai kebenaran kesaksian

pengalaman inderawi, objek harus disesuaikan dengan jenis indera, organ indera harus

normal dan sehat, dan harus terdapat medium; 3) perlu mengingat objek khusus dan objek

umum.

5.2 REALISME VIRTUAL

Sains berhasil menunjukkan bahwa gejala-gejala warna, suara, dan kualitas-kualitas

sekunder yang lain dapat dimengerti dengan mempertimbangkan badan sebagai susunan

atomic yang berhubungan melalui medium elektromagnetik dengan badan fisologis manusia.

Banyak filsuf mengambil kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun untuk melawan

objektivitas kualitas primer, tetapi banyak hal bisa dikatakan mengenai kualitas sekunder

yang bertentangan dengan pandangan umum. Para filsuf menerima gambaran santifik sebagai

datum sentral filosofis.

5.3 EVALUASI MENGENAI REALISME VIRTUAL

Realisme virtual kritis menyelsaikan masalah persepsi dengan mempertahankan

bahwa di dalam kualitas-kualitas spasial atau kualitas primer, penulis buku ini tahu hal yang

secara formal termasuk di dalam objek sebgaimana adanya terlepas dari persepsi. Sebaliknya

15
16

mengenai kualitas sekunder penulis buku ini tahu hanya secara virtual di dalam objek terlepas

dari persepso. Realis virtual biasanya mulai dengan pengandaian bahwa persepsi adalah kerja

dari kesadaran badani bahwa persepsi terjadi berkat kuasalitas organ sensoris.

5.4 RINGKASAN

Bagi kesadaran yang memutuskan, setiap dantum adalah objektif dan lepas. Untuk

kesadaran perceptual, setiap kualitas berada di mana hal itu dialamai sebgai ada. Masalah

persepsi tetap merupakan masalah yang paling besar yang tidak terpecahkan di dalam

keseluruhan epistemologi.

5.5 PERSOALAN MENGENAI “OBJEKTIVITAS”

Objektivitas biasanya dibicarakan dengan mengabaikan kesadaran yang menyatakan

objektivitas ini. pernyataan mengenai realitas selalu merupakan fungsi dari desakan tertentu

dan usaha untuk meremehkan hal ini hanyalah menimbulkan kekacauan yang tak terlukiskan

ke dalam masalah “persepsi”. Refleksi juga harus terus mencari makna dari “objek” yang

merupakan pokok di dalam diskusi, yaitu sesuatu yang tidak pernah cukup jelas. Bahkan

kesadaran aestetis tidak pernah yakin apa yang dimaksudnkannya sewaktu mengatakan

bahwa dia menghendaki agar dunianya berada di sana, di sana untuk dirinya sendiri.
17

BAB VI

PRINSIP-PRINSIP PERTAMA

6.1 PERNYATAAN PRIMITIF

Pernyataan pertama adalah bahwa “ada sesuatu” atau “sesuatu berada”. Tidak ada

pernyataan yang dapat lepas dari pernyataan itu dan formula tersebut sekaligus memuat

pembagian dari inteligibilitas pertanyaan ke dalam “apa” dan “bahwa”. Di dalam tata

pertanyaan identitas antara apa dan bahwa (yaitu esensi dan eksistensi) tidak mungkin.

Pengalaman sebagai jawaban terhadap pertanyaan selalu memberikan sautu jawaban ganda:

sesuatu … berada. Tidak mungkin satu di antara keduanya direduksi kea tau dideduksi dari

yang lain. Maka usaha mencari yang tak bersyarat di bidang ini harus melampaui jarak yang

memisahkan mereka.

6.2 PRINSIP-PRINSIP PERTAMA

Secara tradisional, prinsip-prinsip itu dinyatakan sebagai 1) prinsip identitas: apa yang

ada, ada; apa yang tidak ada, tidak ada; 2) prinsip alasan memadai: apa pun yang ada

mempunyai alasan yang memadai untuk adanya; 3) prinsip kausalitas/ penyebab efisien: apa

pun yang mulai ada, menuntut adanya suatu sebab efisien.

6.3 KEUNGGULAN PRINSIP-PRINSIP PERTAMA

Mereka disebut ‘prinsip’ sebab menurut konsep filosofis prinsip adalah “sesuatu yang

darinya sesuatu yang lain mengalir atau berasal”. Untuk itu hanyalah masalah-masalah

penamaan mereka disebut prinsip pertama atau prinsip ‘terakhir’. Prinsip-prinsip itu sering

kali disebut jelas dari dirinya sendiri dalam arti bahwa mereka tidak dapat dan tidak perlu

dibenarkan.
18

6.4 KAUSALITAS DAN DETERMINISME

Hukum penyebaban sains dapat dirumuskan secara berbeda-beda. “Setiap peristiwa

secara niscaya dihubungkan dengan suatu peristiwa sebelumnya, kalau hal itu harus terjadi”

atau “setiap kejadian, kalau hal itu harus terjadi, merupakan konsekuansi dari kejadian

sebelumnya yang tanpanya kejadian tersebut tidak dapat terjadi”. Dalam arti apapun jelaslah

hukum menyebabkan sains ekuivalen dengan prinsip determinisme.

6.5 SANGGAPAN HUME DAN KANT

Menurut Hume, kita mendapat pengertian dari keniscayaan dari kebiasaan yang kita

perkembangkan di dalam mengharapkan peristiwa B untuk terjadi bilamana peristiwa A

terjadi. Kita sebelumnya telah mengamati urutan-urutan yang demikian itu berulang kali.

Bagi Hume, meskipun hal ini bisa dimengerti, proyeksi ini tidak dapat dibenarkan secara

logis.

Kant berpendapat bahwa pengalaman muncul dengan bahan mentah dari sensari.

Tetapi indera sendiri tidak memberikan kita “objek”. Untuk itu, bahan mentah dari sensasi

harus dibentuk oleh kategori-kategori formal akal yang menurut Kant ada duabelas.

6.6 EVALUASI MENGENAI HUME DAN KANT

Pembenaran terhadap kategori sebab sama dengan pembenaran atas semua pengertian

metafisis: tingkat insight yang memadai untuk mempertanyakan mereka adalah suatu tingkat

di mana mereka secara niscaya sahih. Kita tidak dapat mempertanyakan validitas prinsip-

prinsip pertama kalau kita tidak mempertanyakan semua kenyataan. Tetapi justru ide

mengenai ‘ada’-lah yang secara niscaya memuat validitas prinsip-prinsip pertama.

6.7 EVIDENSI, KEPASTIAN, DAN KERAGUAN

Pendapat sering kali merupakan daerah terlarang sebab terdapat pertanyaan-

pertanyaan yang sama sekali tidak bisa kita beri pendapat sebgai jawaban. Hanya saja,
19

evidensi menjamin sautu tanggapan kognitif antara kepastian atau pendapat. Tidak ada

evidensi (atau evidensi yang sama sekali tidak konklusif) hanya memberi keraguan.
20

BAB VII

PENGETAHUAN KONSEPTUAL

7.1 Yang Universal

Masalah epistemology pertama berhubungan dengan konsep ialah pertanyaan apakah

konsep itu iya atau tidak, kalau melihat berarti percaya maka tidak melihat (atau tidak

merasa) berarti tidak peracaya, sikap awal budi merupakan sikap akhir budi pula, bila

sikap dijakdikan pendapat filosofi disebut empirisisme inderawi murni

Bebicara mengenai konsep atau “ide-ide universal “ mempunyai dasar yang berlainan.

Arti konsep yang disebut universal. Arti ini adalah satu di dalam banyak, arti tunggal

yang dapat digandakan.

7.2 Nominalisme

Menurut kaum nominalis, menyatakan bahwa ide hanyalah “ flatus vocis” dan tidak ada

yang lebih di dalam kesadaran daripada kata-kata dan pengalaman khusus yang diikat

bersama-sama secara verbal tidak dapat dipertahankan.

7.3 Konseptualisme

Menurut konseptualisme ide adalah suatu datum universal Satu-satunya cara datum

universal dapat ada hanyalah bagi pikiran. Di luar pikiran semua kenyataan bersifat

individual.

7.4 Arti dan Contoh

Seagai sesuatu yang ditangkap oleh pikiran, eseni itu bersifat universal, sebagai sesuatu

yang ada di benda-benda esnsi itu bersifat individual. Kalau dipikirkan secara absolute,

22
21

di dalam dirinya sendiri yaitu dipikirkan sebagai terlepas dari status real atu mental atau

isi pikiran itu tidk individual dan tidak universal.

7.5 Pertimbangan

Pertimbangan memberikan tambahan kognitif kepada ide.Kekhususan pertimbangan

bukan hanya bahwa dia mencapai eksisensi, tetapi merupakan sarana bagi munculnya

eksistensi didalam dirinya sendiri, entah dicapai atau tidak.

7.6 Konsep Sebagai Pemahaman Kreatif

Pengetahuan kita akan esensi terletak di dalam pengendapan arti di dalam pengalaman.

Esensi tidak dapat dimengerti dengan definisi. Pengalaman berkembang terus dan ide-ide

merupakan alat kreatif yang dipergunakan pikiran untuk menyesuaikan diri dengan

pengalaman tersebut. Melalui konsep-konsep pikiran menjangka arus pengalaman

kemudian menceburkan diri pada pengalaman. Konsep-konsep ini merupakan cara yang

dipergunakan pikiran untuk memsuki waktu kembali. Manusia berpikir berarti

berkomunikasi. Berkmunikasi berarti menggunakan bahasa. Menggunakan bahasa berarti

mengobjektifikasi.
22

BAB VIII

PENGETAHUAN TENTANG ESENSI

8.1 Pengetahuan Mengenai Esensi

Esensi adalah “apanya” kenyataan yaitu “ke begituan” nya yang kita coba tangkap

didalam konsep. Esensi mengalami perubahn seauai dengan pengunaanya. Sahihlah untuk

mencoa mereduksikan kemacam ragaman arti ke jenis-jenis dasar.

8.2 Dewey: Pragmatisme dan Kebenaran

Ajaran pragmatism diringkas dalam formula bahwa kebenaran adalah apa yang membawa

hasil. John Dewey mendekati pendapat filosofis dari sosialogis historis, ia menekankan

kenyataan bahwa arti dari pikiran kita berada didalam interaksi dialektis dengan

pengalaman dan tindakan dan dapat diperkaya terus menerus oleh pengalaman.

8.3 Dimensi Sosial dan Dimensi Historis

Epistemologi bisa mmepertimbangkan dimensi-dimensi social historis pengetahuan

dalam dua cara: pertama sebagai kesulitan didalam membuktikan bahwa kita mencapai

kebenaan objektif, kedua sebagai sumbangan terhadap pemahaman arti objektivitas.

Sejarah ide-ide filosofis hendaknya dipahami tidak sebagai penambahan hal-hal

pengetahuan ataupun sebagai pergesekan antara hal-hal yang bersaing.

Kategori –kategori filosofis bukanlah sesuatu yang “diwariskan “ melalui satu generasi ke

generasi yang lain.Kategori hanya ada sejauh ada proses pikiran.

Dimensi-dimensi historis dan sosial menjadi sangat penting sebab melalui kegiatannya

sebagai makhluk social mansia dan historis member suatu manifestasi nyata bagi arti

yang ditangkap secara kratif didalam konsep-konsep filsofis.


23

BAB IX

PENGALAMAN DAN INSIGHT

9.1 Induksi

Induksi didefinisikan sebagai penalaran dari contoh-contoh particular ke kesimpulan

umum. Induksi lengkap artinya penalaran dari semua contoh yang ada menuju

generalisasi. Sedangkan indksi tidak lengkap berarti penalaran dari tidak semua contoh

yang menuju ke suatu generalisasi.

Induksi tidak lengkap lebih penting, sebab penalaran ini melibatkan suatu proses dari

beberapa ke semua.

9.2 Keberatan Hume

Menurut Hume pengalaman selalu mengenai yang particular.Oleh karena itu sangat jauh

untuk membuat generalisasi tentangnya.

9.3 Pandangan Tautologi Ayer

Ayer mengatakan setiap kebenaran yang tidak dapat dikoreksi pada pokoknya hanyalah

merupakan definisi atau tautology.

Menurutnya berbicara mengenai pengalaman berarti berbicara mengenai urutan data

inderawi. Datum adalah tat urutan dan setiap pernyatan yang mempunyai arti pastilah

mempunyai data hanyalah tautology. Inilah inti dari “ prinsip dapt terbuktikan “ Ayer.

9.4 Von Hildebarand dan Insight Filosofis

Semua pikiran filosofis harus mengendap di sekitar datum yang mempunyai dasar

pengalamanyang lebih penuh dan harus setia kepada sumber itu.

23
24

Kita dapat mengungkap arti dalam pengalaman sebab di dalam pengalaman terdapat

secara real dan dapat dimengerti sebagai yang memberi kemungkinan begi pernyataan

yang selalu benar.


25

BAB X

KEBENARAN EKSTENSIAL

10.1 Hakikat dari Evidensi

Definisi kebenaran yang secara umum dianggap standar , yaitu kesesuaian antara

pikiran dan kenyataan. Konsepsi evidensi juga menyarankan hal ini. Kenyataan

memaksakan diri kita kepada saya dan saya menyerah terhadap evidensi. BahAsa kita

mengenai budi dan evidensi cenderung menegaskan penggambaran tersebut. Namun

pertanyaan tentang kebenaran juga mengandung pertanyaan mengenai asal evidensi.

10.2 Kierkegaard dan Subjektivisme

Kierkegaard menyatakan bahwa ketepatan konseptual tidak akan pernah mampu untuk

memaksa persetujuan di dalam diri manusia. Manusia bukan hanya akal tetapi dia

adalah akal yang bereksistensi.Eksistensinya memasukkan baji di antarapikirannya dan

ide. Ia mendefinisikan kebenaran sebagai sesuatu ketidakpastian objektif yang

dipertahankan didalam proses pemberian dari pembatinan yang paling mendalam

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:

Pertama, peranan dari subyektivitas bukanlah keadaan faktual yang merugikan

Subyektivitas bersifat essensial. Menghapuskan subyektivitas berarti menghapuskan

inteligiblitas. Kedua, Inteligibilitas ini dapat diterapkan hanya pada suatu jenis

kebenaran tertentu. Ketiga, Formula Kebenaran adalah subyektivitas masih bisa

diperluas.

25
26

10.3 Marcel : Masalah dan Misteri

Masalah adalah suatu objek penyelidikan yang ditangkap oleh subjek sebagai sesuatu

yang di luar dirinya. Di lain pihak misteri adalah persoalan yang tidak dapat dipisahkan

dari subjek sendiri. Terdapat data yang berdasarkan kodratnya tidak bisa dipisahkan

dari subjek.

10.4 Transendeni dan Bukti

Bukti merupakan ciri khas didalam memecahkan problem/masalah tidakdapat

digunakan di dalam bidang misterti dan tidak dapat digunakan sebagai patokan bagi

segala penalaran. Tidak ada argumen bagi eksistensi Allah yang mungkin diberikan.

Hanya pengertian asli dari ada akan memberikan pendekatan kepada bukti.

10.5 Kepastian Bebas

Evidensi masuk akal yang termuat di dalam pengalaman mengenai harapan atau

kegembiraan benar-benar ada hanya bagi diri singular. Tetapi tidak bagi pengamat

impersonal.Subjek logico sensoris . Maka evidensi itu hanya bagi kebebasan .


27

BAB XI

PENGETAHUAN INTERSUBJEKTIF

11.1 Budi-Budi Lain

Masalah “budi lain” cukup berbeda dari masalah “ diri yang lain “. Budi secara khusus

dimengerti sebagai segi psikis batiniah dari proses badani.

11.2 Pengetahuan Langsung Akan yang Lain

Max Scheler menyatakan ekspresi merupakan datum utama , ekspresi tersebut

merupakan pernyataan langsung dari diri yang lain. Kodrat simpati sebagai suatu

contoh tetap dari usaha menangkap pegalaman yang lain. Apa yang disajikan oleh

simpati dan rasa malu ini dapat diperluas dengan rasa kagum.

11.3 Aku dan Engkau

Individu tidaklah pertama-tama mengetahui dirinya sebagai pengada sadar rasional dan

kemudian mencari apakah di balik semua yang tampak. Gabriel Marcel dan Martin

Buber, menempatkan seluruh kemampuan diri di dalam pertemuan dengan

engkau.Apapun artinya “ aku” selalu unik.Hubungan aku-engkau merupakan jalan

menuju kepada yang transenden.


28

BAB XII

DARI SAIN SAMPAI PENGALAMAN ESTETIK

12.1 Filsafat Ilmu

Tiga sumber persoalan adalah sebagai berikut:

a. Terdapat Prinsip Ketidakpastian Heisenberg yang menegaskan bahwa tidak

mungkin untuk menyatakan posisi dan kecepatan sebuah elektron bersama-sama.

b. Ada paradoks terkenal berkaitan dengan kodrat cahaya , yang sekarang juga

mempunyai status tidak pasti dalam fisika.

c. Akhirnya kita dapat mengutip yang memulai seluruh kesulitan yaitu penemuan

Max Plank mengenai kenyataan bahwa atom hanya ada di dalam bentuk energi.

12.2 Pengalaman Moral Estetik

Pertanyaan pokok adalah apakah filsafat seni dan etika mempunyai sesuatu untuk

dipertahankan? Apakah pembicaraan mereka mempunyai nilai kognisional? Nilai-

nilai moral dan estetik dinyatakan hanya kepada orang yang mengalami urgensinya.

Menurut Martin Heidegger pengalaman puitis merupakan pernyataan dari trans –

fenomenal dari Dasein.

27

Anda mungkin juga menyukai