Anda di halaman 1dari 16

EKSISTENSIALISME

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat umum

Dosen Pengampu : Asep Furqonudin M. Pd

Disusun Oleh : kelompok 09

Zaenal Amin (181410127)


Nina Herlina (181410148) Zidan
Rizkia Devara (181410153)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN 2018/2019
Kata Pengantar

Tiada kata yang paling indah selain mengucapkan Alhamdulillah, puji dan syukur
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, berkah dan rahmat serta
hidayah-Nya yang senantiasa selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “EKSISTENSIALISME”. Dalam
penyusunan makalah ini, semua yang penulis lakukan tidak lepas dari doa dan dukungan
beberapa pihak yang telah memberikan bantuan baik secara moril maupun materil.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk
menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata, besar harapan penulis semoga makalah ini dapat memberi manfaat,
khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pihak-pihak yang terkait.

Serang, April 2018

Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I Pendahuluan

A. Latar belakang masalah


Bab II Pembahasan

A. Hakikat Eksistensialisme
B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
C. Ciri-ciri Aliran Eksistensialisme
D. Tokoh-tokoh Eksistensialisme

Bab III Penutup


A. Kesimpulan
B. Saran

Daftar Pustaka
Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah


Sebagai salah satu aliran besar dalam filsafat, secara khususnya dalam periodisasi
filsafat barat yang juga pernah menjadi salah satu aliran sangat penting di abad ke-20.
Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada
eksistensi, yang secara umum diartikan sebagai keberadaan.
Paham ini memusatkan perhatiannya kepada manusia, maka kerena itulah filsafat ini
bersifat humanitis, yang mempersoalkan seputar keber-Ada-an manusia dan keber-Ada-an itu
dihadirkan lewat kebebasan.
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul
Sartre, yang terkenal dengan diktumnya “human is condemned to be free”, manusia dikutuk
untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan
yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana
kebebasan tersebut bebas? atau “dalam istilah orde baru”, apakah eksistensialisme mengenal
“kebebasan yang bertanggung jawab”? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-
satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah
kebebasan individu lain.
Eksistensi adalah cara manusia berada dalam dunia, yang mana cara berada manusia
di dunia ini amatlah berbeda dengan cara berada benda-benda yang tidak sadar akan
keberadaannya, juga benda yang satu berada di samping lainnya, tanpa hubungan.
Namun, disamping itu semua manusia berada bersama-sama dengan sesama manusia.
Maka, untuk membedakan antara benda dengan manusia dapat kita katakan bahwa benda
“berada” dan manusia “bereksistensi”.
Sehubungan dengan itu semua maka, dalam makalah pengantar filsafat kali ini,
penulis ingin membahas tentang Eksistensialisme dan cara berfikirnya.
Bab II
Pembahasan

A. Hakikat Eksistensialisme
Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar,
dan sistensi atau sisto yang berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam
keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh
akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya
untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan - merencanakan, yang
berdasar pada pengalaman yang konkret.

Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan


berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu
filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi
seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing
individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai
suatu mahluk yang harus bereksistensi (berbuat), mengkaji cara manusia berada di dunia
dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia
konkret.

B. Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang
biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji.
Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga
filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat
yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
a. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti
halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama
dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya,
pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan
kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul
ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
b. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
c. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa
Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak
menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan
manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu
yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang
mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama
di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.

C. Ciri-ciri Eksistensialisme
Dari sekian banyak filsuf eksistensialisme atau eksistensialis yang memiliki pendapat
dan pemikiran berbeda dalam ke-eksistensialimeannya, dapat kita temukan ciri-ciri yang
sama, yang menjadikan sistem itu dapat di cap sebagai eksistensialisme. Menurut Harun
Hadiwijono (1990) ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada.
Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada.
Pusat perhatian ini adalah manusia. Oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanitis.
2. Bereksistensi harus diartikan bersifat dinamis. Bereksistensi berarti
menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi,
merencanakan. Setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3. Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya
manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih lagi pada manusia sekitarnya.
4. Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret,
pengalama yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger
memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel
kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang
bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.
.
D. Tokoh-tokoh Eksistensialisme

a. Soren Aabye Kiekegaard


Soren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal
di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah
seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat
dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap
sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti
misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen,
dan emosi serta perasaan individu ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial.
Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagaieksistensialisme
Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan
menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-
karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit
untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang
dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir
yang paling mendalam dari abad ke-19".
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
1) Tentang Manusia
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi"
bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan,
keputus asaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama
di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial
termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah
artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia
memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami
agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua,
yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam
bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan
membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi,
khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak
menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa
artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya
adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan
idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu
"aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat
dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha
untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak
menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-
pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor
perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang
percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2) Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan
pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau
eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya
manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini
sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena
manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada
manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu
muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil
keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani
mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti
sebenarnya.
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius.
· Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di
sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan
pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya
keyakinan akan iman yang menentukan.
· Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang
konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma
umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur
perkawinan (etis).
· Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu
Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran
logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
3) Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk
terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas
segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan
seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini,
seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan,
maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan
suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang
dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah
bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard
iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya
atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak
tetapi bisa juga salah secara mutlak.
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis
tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada
keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan.

b. Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super
(uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini
hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

c. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua
pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran
Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

d. Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 –meninggal 26 Mei
1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas
Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi
profesor di sana 1928. Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und
Zeit, 1927).
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-
benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia
karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan
dan tujuan mereka.

e. Jean Paul Sartre


Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April
1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap
mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada
dibanding esensi.
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih
hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre
selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia
meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara
pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah seorang filsuf
wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan
diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
1) Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan
kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan
bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-
aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat
manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un
Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi
dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan
sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau
memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada
hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni
memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk
pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada
watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia.
Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah
ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari
adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya
sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre,
pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia.
Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung
keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
2) Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant
(Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-
pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a) L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga
paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai
arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan:
tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang
berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang
lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di
dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa
pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya
sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang
diam.
b) L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi.
Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia
seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar
bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada
yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
3) Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak
mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini
menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung
pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri
tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
4) Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan
manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu
eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri
seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan
memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek.
Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya
adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia
menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat
kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada
kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-
satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit
dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan
konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang
pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah.
Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan
filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan
filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat
mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa
depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.
Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia
yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri
sendiri.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
1. Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan
berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam
dunia.
2. Filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis seperti materialisme, idealisme, serta
situasi dan kondisi dunia.
3. Ciri-ciri aliran eksistensialisme:
a. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada.
Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia
berada. Pusat perhatian ini adalah manusia. Oleh karena itu, filsafat ini bersifat
humanitis.
b. Bereksistensi harus diartikan bersifat dinamis. Bereksistensi berarti
menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi,
merencanakan. Setiap manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
c. Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada
hakikatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya, terlebih lagi pada
manusia sekitarnya.
d. Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret,
pengalama yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda.
Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala
sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada
pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan,
perjuangan dan kesalahan.
4. Tokoh-tokoh eksistensialisme:
 Soren Aabye Kiekegaard
 Friedrich Nietzsche
 Karl Jaspers
 Martin Heidegger
 Jean Paul Sartre
B. Saran
Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan
mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita. Sebaiknya, manusia
mampu menginterpretasikan semuanya atas pengalamannya. Sebab tujuan pendidikan adalah
memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Peranan guru
adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru harus sebagai
motivator dan fasilitator.
Daftar Pustaka

Surajiyo, Drs. 2005. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar), Jakarta: Bumi Aksara.

Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.

Surajiyo, Drs. 2005. Ilmu Filsafat (Suatu Pengantar), Jakarta: Bumi Aksara

http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme

Anda mungkin juga menyukai