Anda di halaman 1dari 15

FILSAFAT HUMANISME

         Humanisme
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang
memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang
berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang
cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-
sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu. 
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari
tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan
para cendekiawan dalam kesenian bebas.
Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari
keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia. Humanisme sekular
mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama.
Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan untuk
memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini
menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang
tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama.
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual
dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi.
Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa.
Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang
menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang
sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis
hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran
penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia
itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau
alam). 
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya
merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan
humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal
budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala
bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan. 
Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang
absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan
yang dilakukan oleh orang-orang  Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada
waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di
balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan jalan
hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu
oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan.
 Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu dipertahankan dan
di expresikan.  Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas,
sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada
manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang
kejadian atau
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan
existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
         faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada
pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan
masyarakat buruh.
         Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia pada
posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu  dihubungkan
dengan  kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik.
         Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar
dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi yang paling sentral.
[1]
Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan
pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia,
melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar
tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu? Wilhelm Dulthey
(1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita jadikan ancang-
ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas. Istilah Geisteswissenchaften bisa kita
terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey
menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya
ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik. Pertanyaan
berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal
apakah Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik?
 Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala
manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja
dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek. Jawaban tentang
pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri humanistik
Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan kerohanian
manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan martabatnya. Namun
ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang Geisteswissenchaften
yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang natural).
Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan
peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak
mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya
menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka,
diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan
ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek,
sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.
         HUMANISME ISLAM ABAD XXI
Apakah humanisme Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat
manusia pada abad XXI, ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada
jawaban pasti hingga kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam
perkembangan sejarah kaum Muslim pada abad XXI. Memang, Islam hadir sebagai agama
berpengaruh di dunia justru karena mengandung ajaran yang menjunjung tinggi humanisme.
Islam memandang bermakna kehidupan umat manusia (Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10).
Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil mendorong lahirnya kebudayaan dan peradaban
yang kemudian memberikan penekanan pada pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani Kuno. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai “Renaisans Islam”. Sekitar
dua abad kemudiaan setelah itu, yakni pada abad XII, Renaisans Islam diduplikasi oleh
Renaisans Barat .Apa yang kemudian bisa disimpulkan adalah ini.
 Jika Renaisans Islam pada abad X merupakan momentum waktu bagi terjadinya
penyerapan terhadap warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans
abad XII di Barat merupakan sebuah kurun waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap
warisan Yunani Kuno dan warisan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. 
         Realitas Suram
Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad
X itu dapat humanisme?
Ternyata, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan.
Abad XXI kini justru ditandai oleh munculnya apa yang disebut the problem with Islam .[2]
Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat Islam kini tak sejalan dengan cita-cita
humanisme Islam yang muncul pada abad X. Realitas yang terbentang dalam kehidupan
kaum Muslim pada abad XXI kini justru mengingkari keagungan Islam sendiri sebagai
agama yang mampu menyuntikkan spirit untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (Al
Qur’an, 58/Al Mujaadilah:11).
Umat Islam  malah lekat dengan gambaran radikalisme, terorisme dan
keterbelakangan dalam bidang sosial maupun ekonomi. Umat Islam yang besar secara
kuantitas bukanlah kekuatan yang berdiri di garda depan perkembangan dahsyat ilmu
pengetahuan dan filsafat. Umat Islam benar-benar laksana buih di lautan yang dihempaskan
ombak ke pantai. Para cendekiawan Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan
dengan pertanyaan besar: Apakah abad XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat Islam
hingga pada titik nadir yang sangat dalam? Realitas suram dalam kehidupan umat Islam pada
abad XXI dapat disimak pada berbagai kontras yang terjadi antara dulu dan kini. Ketika para
ilmuwan Muslim pada abad pertengahan berhasil menemukan aljabar, mengembangkan ilmu
pengetahuan eksperimental serta menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles dalam
bidang filsafat, humanisme Islam abad X sesungguhnya memiliki bentuk secara lebih
kongkret dibandingkan dengan humanisme sekuler yang berkembang kemudian di Eropa
sejak sekitar abad XII. Mengingat tak pernah ada jejak anti-ilmu pengetahuan yang tertoreh
ke dalam Al Qur’an, maka warisan paling berharga dari Renaisans Islam adalah the great
kingdom of reason.
Itulah mengapa, secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik
pertentangan antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation). Sebagaimana tampak pada
pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di Spanyol, keberagamaan kaum
Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban. Sementara, kebudayaan dan
peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada humanisme. Sayangnya, kenyataan
itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini. Umat Islam telah mencerai-beraikan keyakinan
keagamaan mereka dengan humanisme. Tak mengherankan jika muncul pola-pola
keberagamaan yang garang, tetapi kemudian dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-
an yang gagah perkasa.
 Pada berbagai negara bangsa dengan umat Islam sebagai yang terbesar secara
demografis, perbenturan wahyu dan rasio benar-benar mengemuka sebagai persoalan.
Tragisnya lagi, persoalan tersebut mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik
keberagamaan Islam dalam konteks ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas
nama Islam, sekelompok orang dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret
ke dalam aksi-aksi teror. Bukan saja umat Islam semakin tampak gamblang kejumudannya,
lebih dari itu ekspresi keber-Islam-an kaum Muslim telah sedemikian rupa mengingkari arti
penting penghargaan terhadap humanisme.

         Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme


Sejarah perkembangan aliran filsafat pendidikan humanisme ditelusuri pada masa
klasik barat dan masa klasik timur. Dasar pemikiran filsafat aliran filsafat pendidikan
ditemukan dalam pemikiran filsafat klasik cina konfusius dan pemikiran filsafat klasik
yunani. Aliran psikologi humanis itu muncul sebagai gerakan besar psikologi dalam tahun
1950-an dan 1960-an. Dimana perkembangan peradapan baru itu dikenal dengan nama
renaisans yang terjadi pada abad 16. zaman renaisans dikenal dengan sebutan jaman
kebangkitan kembali. Selain itu juga dikenal dengan nama jaman pemikiran (age of reason),
perkembangan filsafat, ilmu, dan kemanusiaan mengalami kebangkitan setelah lama di
kungkung oleh kekerasan dogma-dogma agama[3]
Humanisme sebagai suatu gerakan filsafat dan geerakan kebudayaan berkembang
sebagai suatu reaksi terhadap dehumanis yang telah terjadi berabad-abad. Terjadi dalam
dunia Eropa sebagai akibat langsung dari kekuasaan para pemimpin agama yang merasa
menjadi satu-satunya otoritas dalam memberikan intepretasi terhadap dogma-dogma agam
yang kemudian diterjemahkan kedalam segenap bidang kehidupan di Eropa. Dalam kontek
reaksi ini, pelopor humanisme menjelaskan bahwa manusia dengan segenap kebebasan
memiliki potensi yang sangat besar dalam menjalankan kehidupan ini secara mandiri untuk
mencapai keberhasilan hidup didunia.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad 18. periode perkembangan ini dimasukan
kedalam masa penceraha (aufklarung). Tokoh humanis yang muncul adalah J.J Rousseu.
Tokoh ini mengutamakan pandangan tentang perkembangan alamiah manusia sebagai
metode untuk mencoba keparipurnaan tujuan-tujuan pendidikan. Pada abad 20 terjadi
perkembangan humanistic yang disebut humanisme kontemporer. Humanisme kontemporer
merupakan reaksi protes atau gerakan protes terhadap dominasi kekuatan-kekuatan yang
mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri manusia di era modern.
Perkembangan lebih lanjut dari filsafat humanis ini adalah berkenaan dengan peran dan
kontribusi filsafat eksistensialisme yang cukup memberikan kontribusi dalam filsafat
pendidikan humanistic.
         Pemikiran filsafat eksistensialisme menyebutkan bahwa:
mannusia memilki keberadaan yang unik dalam dirinya berbeda antara mannusia satu
dengan manusia lain. Dalam hal ini telaah tentang manusia diarahkan pada individualitas
manusia sebagai unit analisisnya. Eksistensialis lebih memperhatiakn pemahaman makna dan
tujuan hidup manusia ketimbang melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah, dan
metafisika tentang alam semesta. Kebebasan individu sebagai milik manusia adalah sesuatu
yang paling utama dan paling unik, karena setiap individu memilki kebebasan untuk memilki
sikap hidup, tujuan hidup dan cara hidup sendiri.[4]
Aliran filsafat eksistensialis ini kemudian dikembangkan dalam dunia pendidikan
karena fungsi pendidikan adalah memberikan proses perkembangan manusia secara otentik.
Manusia otentik adalah manusia yang dalam kepribadian diri memilki tanggung jawab dan
kesadaran diri untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup dalam alam hidup modern
Kedua aliran tersebut memberikan perkembangan pada aliran filsafat pendidikan humanisme.
 Hal ini dapat ditunjukan melalui pengembangan konsep perkembangan psikologis
peserta didik dan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan humanistic setiap
individu.Aliran psikologi humanistic memiliki pandangan tentang manusia yang memilki
keunikan tersendiri, memilki potensi yang perlu diaktualisasikan dan memilki dorongan-
dorongan yang murni berasal dari dalam dirinya. Individu manusia yang telah bersasal dari
dirinya (Hanurawan,2006). indonesia belum merupakan sesuatu yang menarik. Seperti di
belahan dunia Muslim yang lain, Islam di Indonesia masih harus bercermin untuk
memperbaiki diri. Dan apa boleh buat, cermin itu adalah Renaisans Islam yang pernah ada
dalam sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN FILSAFAT HUMANISME
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang
memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang
berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang
cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-
sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu.
Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar
dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah, dan
para cendekiawan dalam kesenian bebas. Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat
dan kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.
Humanisme sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya
kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan
kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk
dalam kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah
filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan
agama.

B. KEDUDUKAN MENUSIA DALAM FILSAFAT HUMANISTIK  DAN ILMU-ILMU


SOSIAL  HUMANISTIK

Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual
dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi.
Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa.
Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang
menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang
sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis
hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu ukuran
penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi dikembalikan kepada manusia
itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau
alam).

Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya


merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan
humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan akal
budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu, segala
bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan.

Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang
absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad pertengahan
yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan berarti Humanisme pada
waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di
balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi manusia untuk menentukan jalan
hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu
oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka Tuhan. Mereka berpedoman bahwa, kebebasan
manusia itu ada, dan perlu dipertahankan dan di expresikan.

Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas, sehingga segala
sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan
demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau gejala
manusiawi yang menempatkan manusianya sendiri sebagai entitas-entitas marginal atau
pinggiran (peripheral).
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme, pragmatisme, dan
existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.

1.  faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh) pada
pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan kemanusiaan
masyarakat buruh.
2.  Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia pada
posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu
dihubungkan dengan  kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik.
3 . Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia diluar
dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi yang paling sentral.

Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan


pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu manusia,
melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering mendengar tentang
ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu?
Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang
akan kita jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas.
Istilah Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin
keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut
ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu hukum, ilmu
politik.
Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak humanistiknya Geisteswissenchaften, atau
dalam hal apakah Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik? Konsep Dilthey tentang
manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak
berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain.
Manusia adalah subyek, bukan obyek.
Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat
ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan
kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan martabatnya.
Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang
Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam fisik yang
natural). Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran
statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak
mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi
trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka,
diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan
ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian
rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.

C. HUMANISME ISLAM ABAD XXI


Apakah humanisme Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat manusia
pada abad XXI, ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada jawaban pasti
hingga kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam perkembangan
sejarah kaum Muslim pada abad XXI.
Memang, Islam hadir sebagai agama berpengaruh di dunia justru karena mengandung
ajaran yang menjunjung tinggi humanisme. Islam memandang bermakna kehidupan umat
manusia (Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10). Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil
mendorong lahirnya kebudayaan dan peradaban yang kemudian memberikan penekanan pada
pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno. Inilah yang kemudian ditengarai
sebagai “Renaisans Islam”. Sekitar dua abad kemudiaan setelah itu, yakni pada abad XII,
Renaisans Islam diduplikasi oleh Renaisans Barat .Apa yang kemudian bisa disimpulkan adalah
ini. Jika Renaisans Islam pada abad X merupakan momentum waktu bagi terjadinya penyerapan
terhadap warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans abad XII di Barat
merupakan sebuah kurun waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan Yunani Kuno dan
warisan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. 
1. Realitas Suram
Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad X
itu dapat humanisme?
Ternyata, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan. Abad
XXI kini justru ditandai oleh munculnya apa yang disebut the problem with Islam (lihat Sam
Harris, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason [London: The Free Press,
2005], hlm. 108-152). Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat Islam kini tak sejalan
dengan cita-cita humanisme Islam yang muncul pada abad X. Realitas yang terbentang dalam
kehidupan kaum Muslim pada abad XXI kini justru mengingkari keagungan Islam sendiri sebagai
agama yang mampu menyuntikkan spirit untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (Al Qur’an,
58/Al Mujaadilah:11).
Umat Islam malah lekat dengan gambaran radikalisme, terorisme dan keterbelakangan
dalam bidang sosial maupun ekonomi. Umat Islam yang besar secara kuantitas bukanlah
kekuatan yang berdiri di garda depan perkembangan dahsyat ilmu pengetahuan dan filsafat. Umat
Islam benar-benar laksana buih di lautan yang dihempaskan ombak ke pantai. Para cendekiawan
Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan dengan pertanyaan besar: Apakah abad
XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat Islam hingga pada titik nadir yang sangat dalam?
Realitas suram dalam kehidupan umat Islam pada abad XXI dapat disimak pada berbagai
kontras yang terjadi antara dulu dan kini. Ketika para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan
berhasil menemukan aljabar, mengembangkan ilmu pengetahuan eksperimental serta
menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat, humanisme Islam abad
X sesungguhnya memiliki bentuk secara lebih kongkret dibandingkan dengan humanisme sekuler
yang berkembang kemudian di Eropa sejak sekitar abad XII. Mengingat tak pernah ada jejak anti-
ilmu pengetahuan yang tertoreh ke dalam Al Qur’an, maka warisan paling berharga dari
Renaisans Islam adalah the great kingdom of reason.
Itulah mengapa, secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik
pertentangan antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation).
Sebagaimana tampak pada pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di
Spanyol, keberagamaan kaum Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban.
Sementara, kebudayaan dan peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada humanisme.
Sayangnya, kenyataan itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini. Umat Islam telah mencerai-
beraikan keyakinan keagamaan mereka dengan humanisme. Tak mengherankan jika muncul pola-
pola keberagamaan yang garang, tetapi kemudian dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-
an yang gagah perkasa.
Pada berbagai negara bangsa dengan umat Islam sebagai yang terbesar secara demografis,
perbenturan wahyu dan rasio benar-benar mengemuka sebagai persoalan. Tragisnya lagi,
persoalan tersebut mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik keberagamaan Islam dalam
konteks ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas nama Islam, sekelompok orang
dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret ke dalam aksi-aksi teror. Bukan saja
umat Islam semakin tampak gamblang kejumudannya, lebih dari itu ekspresi keber-Islam-an
kaum Muslim telah sedemikian rupa mengingkari arti penting penghargaan terhadap humanisme.

2. Islam di Indonesia
Di Indonesia, umat Islam mengambil pilihan-pilihan politik tanpa disertai oleh kesadaran
yang utuh terhadap tantangan humanisme abad XXI. Berapa banyak partai Islam yang lahir
selama kurun waktu pasca-Orde Baru, ternyata tidaklah memiliki kejelasan koherensi dengan
tantangan untuk kembali mengutuhkan humanisme Islam yang begitu agung sebagaimana tampak
pada perkembangan selama abad X. Partai-partai Islam justru hadir hanya untuk mempertegas
kecenderungan politisasi agama. Dengan demikian berarti, Islam hanya dijadikan basis legitimasi
untuk meraih kekuasaan politik. Maka, bukan hal yang aneh jika kehadiran partai-partai Islam
selama kurun waktu pasca-Orde Baru tak berbanding lurus dengan Renaisans Islam. Bahkan,
Renaisans Islam tak tercakup ke dalam agenda partai politik Islam.
Dalam contoh soal lahirnya qanon atau peraturan daerah di Aceh berisikan
hukum jinayat, sekali lagi sebuah persoalan dalam kaitannya dengan humanisme Islam muncul
ke permukaan. Salah satu bentuk sanksi yang disahkan dalam hukumjinayat itu adalah hukuman
rajam hingga meninggal dunia bagi pelaku zina yang terbukti serta pelakunya sudah memiliki
pasangan resmi atau telah menikah. Partai-partai Islam yang mendukung qanon ini sesungguhnya
tak cukup memiliki argumentasi untuk menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum jinayat koherens
dengan humanisme Islam pada abad XXI. Seorang politikus dari sebuah partai Islam hanya
berbicara tentang tak adanya alasan untuk menunda pengesahan dan penerapan
hukum jinayat dan hukum acara jinayat di Aceh. Namun apa landasan pelaksanaan
hukum jinayat sejalan dengan realitas sosiologis masyarakat Aceh, ternyata tak pernah jelas
filosofinya.

Dalam humanisme Islam, manusia didewasakan untuk mencapai kesadaran eksistensial


melalui pedagogi yang bersifat dialogis. Humanisme Islam meniscayakan tak adanya distorsi
antara dimensi sakral dan profan, baik pada realitas hidup personal yang kreatif maupun dalam
orde kemasyarakatan yang dinamis. Artikulasi peran sosiologis seseorang di tengah kancah
kehidupan publik dipersyaratkan oleh tak adanya benturan antara dimensi sakral dan profan (Al
Qur’an, 91/Asy-Syams: 9). Pedagogi dalam konteks humanisme Islam melahirkan perilaku sakral
dalam ruang profan. Inilah hakikat rahmatan lil ‘alamin dalam maknanya yang hakiki. Maka,
masyarakat zero perzinaan bukanlah resultante dari berlakunya hukum jinayat, tetapi lebih karena
berlangsungnya pedagogi humanisme Islam.
Masyarakat zero perzinahan, dengan demikian, dikonstruksi melalui: (1) ketepatan materi
dan proses pengajaran dalam dunia pendidikan, (2) terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi,
serta (3) terselenggaranya kesetaraan gender dalam relasi maskulinitas-feminitas. Ini berarti,
dibutuhkan cara hidup berbangsa dan bernegara berlandaskan pada kebenaran. Tentu saja,
pembicaraan tentang perzinahan dalam konteks ini hanyalah sebuah contoh soal yang
mengilustrasikan adanya jalan pragmatis partai-partai politik Islam. Mereka lebih memilih upaya-
upaya heroik melalui jalan legal-formal ketimbang mengambil opsi pedagogis ke arah
terwujudnya humanisme Islam.
Jelas pada akhirnya, bahwa pada abad XXI Islam di Indonesia belum merupakan sesuatu
yang menarik. Seperti di belahan dunia Muslim yang lain, Islam di Indonesia masih harus
bercermin untuk memperbaiki diri. Dan apa boleh buat, cermin itu adalah Renaisans Islam yang
pernah ada dalam sejarah.
D. Sejarah Perkembangan Filsafat Humanisme
Sejarah perkembangan aliran filsafat pendidikan humanisme ditelusuri pada masa klasik
barat dan masa klasik timur. Dasar pemikiran filsafat aliran filsafat pendidikan ditemukan dalam
pemikiran filsafat klasik cina konfusius dan pemikiran filsafat klasik yunani.
Aliran psikologi humanis itu muncul sebagai gerakan besar psikologi dalam tahun 1950-
an dan 1960-an. Dimana perkembangan peradapan baru itu dikenal dengan nama renaisans yang
terjadi pada abad 16. zaman renaisans dikenal dengan sebutan jaman kebangkitan kembali. Selain
itu juga dikenal dengan nama jaman pemikiran (age of reason), perkembangan filsafat, ilmu, dan
kemanusiaan mengalami kebangkitan setelah lama di kungkung oleh kekerasan dogma-dogma
agama. (cooper dalam Hanurawan, 2006).

Humanisme sebagai suatu gerakan filsafat dan geerakan kebudayaan berkembang sebagai
suatu reaksi terhadap dehumanis yang telah terjadi berabad-abad. Terjadi dalam dunia Eropa
sebagai akibat langsung dari kekuasaan para pemimpin agama yang merasa menjadi satu-satunya
otoritas dalam memberikan intepretasi terhadap dogma-dogma agam yang kemudian
diterjemahkan kedalam segenap bidang kehidupan di Eropa. Dalam kontek reaksi ini, pelopor
humanisme menjelaskan bahwa manusia dengan segenap kebebasan memiliki potensi yang
sangat besar dalam menjalankan kehidupan ini secara mandiri untuk mencapai keberhasilan hidup
didunia.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada abad 18. periode perkembangan ini dimasukan
kedalam masa penceraha (aufklarung). Tokoh humanis yang muncul adalah J.J Rousseu. Tokoh
ini mengutamakan pandangan tentang perkembangan alamiah manusia sebagai metode untuk
mencoba keparipurnaan tujuan-tujuan pendidikan.
Pada abad 20 terjadi perkembangan humanistic yang disebut humanisme kontemporer.
Humanisme kontemporer merupakan reaksi protes atau gerakan protes terhadap dominasi
kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri
manusia di era modern. Perkembangan lebih lanjut dari filsafat humanis ini adalah berkenaan
dengan peran dan kontribusi filsafat eksistensialisme yang cukup memberikan kontribusi dalam
filsafat pendidikan humanistic.
Pemikiran filsafat eksistensialisme menyebutkan bahwa:
1.   mannusia memilki keberadaan yang unik dalam dirinya berbeda antara mannusia satu dengan
manusia lain. Dalam hal ini telaah tentang manusia diarahkan pada individualitas manusia
sebagai unit analisisnya.
2.   Eksistensialis lebih memperhatiakn pemahaman makna dan tujuan hidup manusia ketimbang
melakukan pemahaman terhadap kajian-kajian ilmiah, dan metafisika tentang alam semesta.
3.   Kebebasan individu sebagai milik manusia adalah sesuatu yang paling utama dan paling unik,
karena setiap individu memilki kebebasan untuk memilki sikap hidup, tujuan hidup dan cara
hidup sendiri (Stevenson dalam Hanurawan,2006)

Aliran filsafat eksistensialis ini kemudian dikembangkan dalam dunia pendidikan karena
fungsi pendidikan adalah memberikan proses perkembangan manusia secara otentik. Manusia
otentik adalah manusia yang dalam kepribadian diri memilki tanggung jawab dan kesadaran diri
untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup dalam alam hidup modern
Kedua aliran tersebut memberikan perkembangan pada aliran filsafat pendidikan
humanisme. Hal ini dapat ditunjukan melalui pengembangan konsep perkembangan psikologis
peserta didik dan metode pengajaran yang sesuai dengan perkembangan humanistic setiap
individu.Aliran psikologi humanistic memiliki pandangan tentang manusia yang memilki
keunikan tersendiri, memilki potensi yang perlu diaktualisasikan dan memilki dorongan-
dorongan yang murni berasal dari dalam dirinya. Individu manusia yang telah bersasal dari
dirinya (Hanurawan,2006).

E. Konsep Pemikiran Filsafat Psikologi Humanistik


Konsep pemikiran filsafat psikologi humanistic yang dikemukakan oleh filsuf humanis
meliputi pandangan tentang hakeket manusia, pandangan tentang kebebasan dan otonomi
manusia, konsep diri (self concept), dan diri individu serta aktualisasi diri (Hanurawan,2006).
Konsep pemikiran tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1.Pandangan tentang hakekat manusia
Hakekat manusia dalam pandangan filosuf humanistic adalah manusia memilki hakekat
kebaikan dalam dirinya. Dalam hal ini apabila manusia berada dalam lingkungan yang kondusif
bagi perkembangan potensialitas dan diberi semacam kebebasan untuk berkembang maka mereka
akan mampu untuk mengaktualisasikan atau merealisasikan sikap dan perilaku yang bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat pada umumnya (Hanurawan,2006).
2. Pandangan tentang kebebasan dan otonomi manusia
Penganut aliran humanistic memberikan pandangan bahwa setiap manusia memilki
kebebasan dan otonomi memberikan konsekuensi langsung pada pandangan terhadap
individualitas manusia dan potensialitas manusia. Individualitas manusia yang unik dalam diri
setiap pribadi harus dihormati. Berdasarkan pandangan ini, salah satu upaya pengembangan
sumber daya manusia yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan untuk mencapai hasil yang
maksimal adalah pemberian kesempatan kepada berkembangnya aspek-aspek yang ada dalam diri
individu.
    3. Pandangan tentang diri (the self) dan konsep diri (self concept)
Diri (the self) menurut penganut filsafat humanis merupakan pusat kepribadian yang
pengembangannya dapat dipenuhi melalui proses aktualisasi potensi-potensi yang dimiliki
seseorang. Diri (the self) yang ada dalam diri seseorang digambarkan sebagai jumlah keseluruhan
yang utuh dalam diri individu yang dapat membedakan diri seseorang dengan orang lain. (Ellias
dan Meriam dalam Hanurawan, 2006).
Dalam diri (the self) seseorang terdapat perasaa, sikap, kecerdasan, intelektual,
kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan karakteristik fisik.Sedangkan konsep diri (self
concept) menurut Kendler dalam Hanurawan 2006 merupakan keseluruhan presepsi dan penilaian
subyektif yang memiliki fungsi menentukan tingkah laku dan memiliki pengaruh yang cukup
besar untuk tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan perkembangan individu merupakan
potensialitas individu untuk aktualisasi diri. Aktualisasi diri merupakan kemampuan manusia
menghadirkan diri secara nyata (menurut maslow dalam Hanurawan 2006). Aktualisasi diri
terwujud dalam diri  manusia untuk memperoleh pemenuhan diri (self fulfillment) sesuai dengan
potensi-potensi yang dimilikinya. Dengan aktualisasi diri, manusia mampu mengembang
keunukan kemanusiaannya guna meningkat kualitas kehidupan serta dapat mengubah situasi kea
rah yang lebih baik.

F.     Implikasi Pendidikan Psikologi Humanis dalam Prose Pendidikan


Pandangan utama aliran filosofis pendidikan humanistic adalah proses pendidikan
berpusat pada subyek didik. Roger dalam Dimyati dan Mudjiono (2002) berpendapat belajar akan
optimal apabila siswa terlibat secara penuh dan sungguh serta berpartisipasi secara bertanggung
jawab dalam proses belajar. Proses pendidikan berpusat pada subyek didik, dalam hal ini peran
guru dalam proses pendidikan sebagai fasiltator dan proses pembelajaran dalam kontek proses
penemuan yang bersifat mandiri (Hanurawan,2006). Searah dengan pandangan tersebut maka
hakekat pendidik adalah fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk
itu seorang pendidik harus mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar
mandiri. Proses belajar hendaknya merupakan kegiatan untuk mengeksploitasi diri yang
memungkinkan pengembangan keterlibatan secara aktif subyek didik untuk memperoleh
pengetahuan dan pengalaman belajar.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka system belajar yang cocok untuk pendidikan
humanis ini adalah Enquiry Discovery yakni belajar penyelidikan dan penemuan. Dalam proses
belajar mengajar system Enquiry Discovery ini guru tidak akan menyajikan bahan pelajaran
dalam bentuk final, dengan kata lain guru hanya menyajikan sebagian, selebihnya siswa yang
mencari atau menemukan sendiri.
Adapun tahapan dalam prosedur Enquiry Discovery adalah:
1.   Stimulation (stimulasi/ pemberi rangsangan), yakni memulai kegiatan PBM dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, aktifitas belajar lainnya yang mengarah pada
persiapan pemecahan masalah.
2.   Problem statement (pernyataan / identifikasi masalah), yakni memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasikan sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan
bahan pelajaran, kemudian dipilih salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis.
3.   Data collection (pengumpulan data), yakni memberi kesempatan kepad para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis.
4.   Data prosesing (pengolahan data), yakni mengolah data dan informasi yang telah diperoleh
para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sabagainya lalu ditafsirkan.
5.   Verification (pentahkikan), yakni melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dihubungkan dengan data prosesing.
6.   Generalization (generalisasi), yakni menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum.( Syah, Muhibbin,2004)
Melalui pembelajaran Enquiry Discovery / penemuan menurut Hanurawan (2006) akan
dapat membawa pengalaman pada diri pembelajar dalam mengidentifikasi, memahami masalah-
masalah yang dihadapi sehingga menemukan sesuatu pengetahuan yang bermakna bagi dirinya.
Seperti telah dikemukakan diatas, dalam proses pembelajaran dengan enqiry discovery
ini guru berperan sebagai fasilitator. Menurut Hanurawan (2006) fungsi tugas kefasilitatoran guru
dalam KBM harus dapat menumbuhkan keyakinan dalam diri pebelajar dalam kegiatan yang
dilakukan. Yang berarti guru harus dapat menstimulus pebelajar untuk berpartisipasi secara aktif
dalam pembelajaran. Hal ini sesuai dengan kontek pembelajaran humanistic menurut Maslow
bahwa guru adalah pembantu sekaligus mitra dalam melakukan aktualisasi diri.
Peran guru sebagai fasilitator menurut Abu dan Supriono,W (2004) dapat diwujudkan
dengan memperhatiakan penciptaan suasana awal, situasi kelompok atau pengalaman kelas,
memperjelas tujuan di dalam kelas. Menyediakan sumber-sumber belajar untuk dimanfaatkan
pebelajar dalam rangka mencapai tujuannya, dan mengambil prakarsa untuk ikut dalam kelompok
kelas.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran menurut pandangan
psikologi humanistic yaitu:
1.   Setiap individu mempunyai kemampuan bawaan untuk belajar.
2.   Belajar akan bermanfaat bila siswa menyadari manfaatnya.
3.   Belajar akan berarti bila dilakukan lewat pengalaman sendiri dan uji coba sendiri.
4.   Belajar dengan prakarasa sendiri penuh kesadaran dan kemampuan dapat berlangsung lama.
5.   Kreatifitas dan kepercayaan dari orang lain tumbuh dari suasana kebebasan.
6.   Belajar akan berhasil bila siswa berpartisipasi secara aktif dan disiplin setiap kegiatan belajar.

Anda mungkin juga menyukai