Kamera adalah alat optik yang dapat merekam suatu peristiwa atau kejadian
penting dalam bentuk gambar atau foto sehingga peristiwa dalam bentuk
gambar atau foto sehingga peristiwa itu dapat kita lihat kembali. Cara
kerja kamera sama seperti cara kerja mata. Bayangan nyata dari sebuah objek
atau benda dibentuk oleh lensa cembung pada kamera.
Kamera juga menjadi alat yang sangat penting bahkan menjadi kebutuhan dalam
dunia wartawan dalam memanfaatkan teknologi di era teknologi yang semakin
canggih untuk menghadapi revolusi industri 4.0.
Tidak hanya di dunia wartawan, banyak pemuda milenial menjadikan kamera
sebuah alat untuk mencari penghasilan, bahkan dunia bisnis pun menggunakan
alat tersebut. Banyak pemuda milenial menjadi kaya dengan inovasi dan
kreatiritas dalam memanfaatkan kamera untuk mengunggah sebuah foto atau
video yang menginspirasi, memotivasi,menghibur dan berbagi pengalaman di
internet melalui media sosial seperti Youtube, Facebook, Twitter, Instagram,
BBM, Line, WhatsApp dan sebagainya.
Di zaman modern di mana teknologi yang semakin canggih ini, alat kamera
tidak lagi asing. Namun tidak sedikit anak muda yang belum tahu siapa orang
pertama yang menciptakan alat tersebut.
Kamera adalah hasil temuan seorang ilmuwan Muslim pada abad ke-10, yang
bernama Abu Ali Muhammad Al-Hassan ibnu Al-Haytham atau Ibnu Haytsam,
di barat lebih dikenal dengan nama Alhazen. Al-Haytham dilahirkan di
Bashrah, (kota terbesar kedua setelah Bagdad di Irak) tahun 965 masehi.
Perjalanan Hidup
Sejak kecil Al-Haytham berotak encer dalam menempuh pendidikan di tanah
kelahirannya. Saat remaja ia merintis kariernya sebagai pegawai pemerintah di
Basrah. Namun ternyata ia tak betah berlama-lama berkarir di dunia birokrasi.
Al-Haytham justru lebih tertarik untuk menimba ilmu, akhirnya memutuskan
untuk berhenti sebagai pegawai pemerintah.
Ia pun lalu pergi ke Ahwaz dan pusat intelektual dunia saat itu, yakni kota
Baghdad. Di kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Semangat mempelajari
ilmu yang tinggi membawanya terdampar hingga ke Mesir. Di negeri piramida
itu, Ibnu Haitham meneliti aliran dan saluran sungai Nil serta menerjemahkan
buku-buku tentang matematika dan ilmu falak.
Penemuan Kamera
Al-Haytham, ilmuan yang digelari sebagai “First Scientist” menciptakan
penemuannya yang sangat fenomenal ini pada tahun 1020 masehi di Al-Azhar,
Mesir.
Karya Al-Haytham paling menumental merupakan penemuan yang sangat
inspiratif saat dilakukan bersama muridnya bernama Kamaluddin Al-Farisi.
Keduanya berhasil meneliti dan merekam fenomena kamera obscura.
Penemuan kamera itu berawal ketika keduanya mempelajari gerhana matahari.
Untuk mempelajari fenomena gerhana, Al-Haytham membuat lubang kecil pada
dinding yang memungkinkan citra matahari semi nyata diproyeksikan melalui
permukaan datar.Kata kamera, Haytham menamakan alat ciptaannya dengan
sebutan “Qumroh” yang berasal dari kata “Qomar” dalam bahasa Arab yang
berarti Bulan.
Karyanya ini terinspirasi oleh bulan. Pertama ia membuat sebuah kamar kecil,
semua sudutnya tertutup rapat tak ada cahaya sekali, hanya ada lubang kecil di
depannya dengan lubang itu cahaya akan masuk kemudian menyimpan
bayangan yang terbayang masuk oleh cahaya kedalam qumroh yang di
dalamnya sudah disediakan media untuk menyimpan bayangan tersebut.
Ibarat bulan, yang bersinar di tengah kegelapan. Demikian juga qumroh yang
gelap kemudian ada cahaya kecil yang masuk kedalamnya dan menyimpan
obyek yang terbawa oleh cahaya tersebut. Kajian ilmu optik berupa kamera
obscura itulah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan umat
manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai
”ruang gelap.”
Al-Haytham adalah orang pertama yang menulis dan menemukan berbagai data
penting mengenai cahaya. Setelah penemuan itu, ia menuangkannya ke
tulisannya dalam Kitab Al-Manadhir (Buku optic). Dunia mengenal Al-
Haytham sebagai perintis di bidang optik yang terkenal lewat bukunya Al-
Manadhir orang-orang barat menyebutnya dengan “The Optics.”
Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin.
Namun, kekurang pedulian umat Islam terhadap karya-karya ilmuwan
terdahulu, telah membuat Islam tertinggal.
Banyak karya-karyanya yang memberikan inspirasi dan modal dasar bagi para
ilmuan setelahnya. Salah satunya Kitab Al-Manadhir, teori optik pertama kali
dijelaskan. Hingga 500 tahun kemudian, teori Ibnu Haytham ini dikutip banyak
ilmuwan. Tak banyak orang yang tahu bahwa orang pertama yang menjelaskan
soal mekanisme penglihatan pada manusia yang menjadi dasar teori optik
modern adalah ilmuwan Muslim asal Irak.
Selama lebih dari 500 tahun, Al-Manadhir terus bertahan sebagai buku paling
penting dalam ilmu optik. Hingga tahun 1572, karya Al-Haytham ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Opticae Thesaurus.
Buku ini mengupas ide-ide Al-Haytham tentang cahaya. Ia meyakini bahwa
sinar cahaya keluar dari garis lurus di setiap titik di permukaan yang bercahaya.
Ia membuat percobaan yang sangat teliti tentang lintasan cahaya melalui
berbagai media dan menemukan teori tentang pembiasan cahaya. Ia jugalah
yang melakukan eksperimen pertama tentang penyebaran cahaya terhadap
berbagai warna.
Dalam buku tersebut, ia juga menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul
saat matahari terbenam, dan juga teori tentang berbagai macam fenomena fisik
seperti bayangan, gerhana, dan juga pelangi. Ia juga melakukan percobaan
untuk menjelaskan penglihatan binokular dan memberikan penjelasan yang
benar tentang peningkatan ukuran matahari dan bulan ketika mendekati horison.
Haytham mencatat dalam bukunya dua nama ilmuwan Yunani, Ptolemy dan
Euclid sebagai orang pertama yang menggambarkan seluruh detil bagian indra
pengelihatan manusia. Ia memberikan penjelasan yang ilmiah tentang
bagaimana proses manusia bisa melihat. Namun teori kedua ilmuan tersebut
dibantah.
Kedua ilmuwan Yunani ini menyatakan bahwa manusia bisa melihat karena ada
cahaya yang keluar dari mata yang mengenai objek. Berbeda dengan keduanya,
Ibnu Haitham mengoreksi teori ini dengan menyatakan bahwa justru objek yang
dilihatlah yang mengeluarkan cahaya yang kemudian ditangkap mata sehingga
bisa terlihat.
Pada buku itu, ia juga menjelaskan bagaimana mata bisa melihat objek. Ia
menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja syaraf di otak hingga kinerja
mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan secara detil bagian dan fungsi mata seperti
konjungtiva, iris, kornea, lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing
terhadap penglihatan manusia.
Haytham juga membuat buku tentang kosmologi yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan Ibrani di abad pertengahan. Karya lainnya adalah buku tentang
evolusi, yang hingga kini masih menjadi perhatian ilmuwan dunia.
Prestasinya bukan hanya sebagai pencipta kamera saja. Masih banyak karya-
karyanya baik berupa buku-buku atau juga barang yang banyak memberikan
inspirasi bagi para ilmuan setelahnya.
Salah satu ciri yang dapat dilihat pada para tokoh ilmuan Muslim ialah mereka
tidak sekadar dapat menguasai ilmu tersebut pada usia muda, tetapi dalam masa
yang singkat dapat menguasai beberapa bidang ilmu secara bersamaan. Hinga
setelah 19 tahun penemuannya itu dia meninggal dunia di kota yang sama,
Mesir tahun 1039 mMasehi. (A/R10/RS1)
Sejarah mencatat salah satu peletak dasar ilmu fisika optik adalah sarjana
Muslim Ibnu al-Haitham atau yang dikenal di Barat dengan sebutan Alhazen,
Avennathan, atau Avenetan.
Ilmuwan besar yang bernama lengkap Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haitham al-
Basri al-Misri ini lahir di Basrah, Irak, pada 965 M. Ia mengecap pendidikan di
Basrah dan Baghdad.
Alhazen tidak hanya menguasai fisika atau ilmu optik, tapi juga filsafat,
matematika, dan obat-obatan atau farmakologi. Tidak kurang, 200 karya
ilmiah mengenai berbagai bidang itu dihasilkan Ibnu Haitham sepanjang
hidupnya.
Optik
Karya utamanya tentang optik, naskah aslinya dalam bahasa Arab hilang.
Tapi, terjemahnnya dalam bahasa latin masih ditemukan. Ibnu Haitham
mengoreksi konsep Ptolemeus dan Euclides tentang penglihatan.
Eksprimen Lensa
Untuk semua eksperimen lensa, Ibnu Haitham membuat sendiri lensa dan
cermin cekung melalui mesin bubut yang dimilikinya. Eksperimennya yang
tergolong berhasil saat ia menemukan titik fokus sebagai tempat pembakaran
terbaik. Saat itu, ia berhasil mengawinkan cermin-cermin bulat dan parabola.
Semua sinar yang masuk dikonsentrasikan pada sebuah titik fokus, sehingga
menjadi titik bakar.
Metode Kamar Gelap
Selain masalah cahaya dan atmosfer, Ibnu Haitham juga banyak melakukan
eksperimen mengenai kamera obscura atau metode kamar gelap, gerak
rektilinear cahaya, sifat bayangan, penggunaan lensa, dan beberapa
fenomena optikal lainnya.
Metode kamar gelap atau kamera obscura dilakukan Ibnu Haitham saat
gerhana bulan terjadi. Kala itu, ia mengintip citra matahari yang setengah
bulat pada sebuah dinding yang berhadapan dengan sebuah lubang kecil
yang dibuat pada tirai penutup jendela.
Membicarakan optik, maka tak bisa dilepaskan dari seorang ilmuwan muslim bernama Abu Ali al-Hasan
ibnu al-Hasan ibnu al-Haytham atau Ibnu al-Haytham saja, di dunia barat dia dipanggil Alhazen.
Ibn al-Haytham seorang ilmuwan besar yang salah satu jurnalnya Kitab al-Manazir atau Buku Optik
diakui sebagai rujukan ilmu optik. Maka tak mengherankan dia pun dijuluki Bapak Optik.
"Al-Haytham tak bisa dipungkiri merupakan figur paling signifikan dalam sejarah optik di masa lalu dan
abad ketujuh belas," kata sejarahwan sains David Lindberg, yang dikutip dari Science News.
Dia menambahkan selain memberikan kontribusi besar untuk optik, namun Ibnu al-Haytham adalah
salah satu karakter berbeda dalam sejarah ilmu pengetahuan abad pertengahan.
Sejak kecil Ibnu Haitham memang dikenal cerdas. Tidak heran bila ketika
Dengan begitu, orang hanya bisa mempelajari kitab itu dari terjemahan yang
ditulis latin. Melalui al-Manadhir, teori optik dijelaskan untuk pertama kalinya.
Lewat karyanya tersebut, Ibnu Haitham juga menjadi orang pertama yang
menjelaskan soal mekanisme penglihatan manusia. Selama lebih dari 500
tahun, al-Manadhir masuk dalam jajaran buku penting ilmu optik.
Di dalam Kitab Al-Manazir, dia adalah ilmuwan pertama yang mampu menjelaskan bagaimana cara kerja
optik dalam mata manusia dalam menangkap dan menerima gambar secara visual secara detil.
Dalam menulis buku Optik ini Ibn al-Haytham memang banyak terpengaruh dari Arsitotels, khususnya
visi yang melibatkan penerimaan gambar eksternal. Aristoteles sendiri menunjukkan bahwa masuk akal
untuk menganggap bahwa mata bisa memancarkan sinar yang mampu menjangkau semua bintang-
bintang jauh.
Tapi Ibn al-Haytham tidak berhenti dengan penjelasan Arsiitoles tersebut. Dia juga harus menjelaskan
mengapa citra, katakanlah, gunung, bisa muat dalam bola mata manusia yang relatif kecil.
Dalam hal itu, Euclid dan Ptolemy telah mendeskripsi geometris-matematis rumit tentang bagaimana
sinar dari mata bisa membuat kerucut visual yang mampu mencakup gambar dari objek yang dirasakan
mata.
Ibn al-Haytham melihat bagaimana matematika yang bisa diterapkan untuk "sinar imajiner" melewati ke
mata dari berbagai titik pada objek yang dirasakan.
Dengan kata lain, geometri yang extramission pendukung telah diterapkan pada sinar yang dipancarkan
seharusnya merupakan penerimaan cahaya berbalik untuk menggambarkan mekanisme di balik sinar
yang diterima cahaya.
Menggabungkan pemahaman ini dengan pengetahuan (melalui Galen) fisiologi mata, Ibn al-Haytham
menjelaskan proses visual (mencatat pentingnya lensa) dan bagaimana mengirim gambar ke otak.
"Komitmen al-Haytham untuk teori visi yang menggabungkan fisik, fisiologis dan matematika telah
menentukan ruang lingkup dan tujuan teori optik dari zamannya hingga saat ini," tulis Lindberg.
Organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan Tahun Internasional untuk Cahaya. Seperti
dikatakan Seketaris Jendral PBB Ban Kin-Moon bahwa cahaya memiliki peranan penting dalam
kehidupan manusia.