Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

BID’AH

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah

ASWAJA

Dosen Pembimbing:

Disusun Oleh

Muhammad Yoga Arrosyied

Kurnia Sandi Aliyafi

Yoga Wahyu Pratama


BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Dengan demikian tidak cukup bagi seseorang dalam beribadah hanya
mengetahui sunnah saja, akan tetapi juga harus mengenali lawannya yakni bid’ah,
seperti dalam hal keimIslam memberikan tuntunan kepada manusia dalam hal
pergaulan,bahwa pergaulan itu hendaknya didasarkan atas moral atau budi pekerti
yang luhur,bukan atas dasar kemuliaan status sosial maupun materi dan
sesungguhnya dalam kehidupan ini sangat dibutuhkan adanya pengenalan antara
manusia yang satu dengan yang lain.
Selaras dengan ungkapan sebuah syair:”Aku mengenali kejelekan bukan
untuk kejelekan, namun agar berjaga-jaga darinya siapa yang tak kenal kebaikan
dari kejelekan, ia akan terjerumus ke dalamnyaanan tidak cukup mengerti tauhid
saja tanpa mengetahui syirik. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengisyaratkan hal
ini dalam firmanNya (yang artinya), “Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
thoghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Al Baqoroh: 256).
Tak dapat disangkal lagi bila fenomena yang ada menunjukkan tak sedikit
dari kaum muslimin yang begitu hobi melakukan praktek bid’ah dan khurafat,
yang lebih mengenaskan bid’ah dan khurafat itu dikemas sedemikian rupa agar
tampak seolah-olah suatu ibadah yang disyariatkan, lebih tampil menarik dan
mampu memikat perhatian banyak orang. Lebih dari itu ternyata bid’ah dan
khurafat kini gemar dikampanyekan orang-orang yang bergamis dan berjenggot,
tetapi mana gamis dan mana jenggot?! -yang jelas keduanya tengah didzalimi-.
Ironinya model-model yang seperti inilah yang dijadikan tokoh-tokoh penting
bangsa ini, naik daun dan melambung namanya di hadapan rakyat yang awam
akan ilmu agamanya.
Sementara Allah berfirman (yang artinya), “Dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu
dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertakwa.” (QS Al An’am: 153).
Bidah merupakan pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui
batasan-batasan hukum Allah dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas
bahwa hal ini menyalahi dalam meyakini kesempurnaan syariat.Menuduh
Rasulullah Muhammad SAW menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam
masih kurang dan membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara
umum dapat diketahui bahwa semua bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah
haram atau dilarang sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah
haram kecuali bila ada perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah
hasanah jika dikaitkan dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang
banyak, namun masih relevan jika dikaitkan dengan hal-hal baru selama itu
berupa urusan keduniawian murni misal dulu orang berpergian dengan unta
sekarang dengan mobil, maka mobil ini adalah bid’ah namun bid’ah secara bahasa
bukan definisi bid’ah secara istilah syariat dan contoh penggunaan sendok makan,
mobil, mikrofon, pesawat terbang pada masa kini yang dulunya tidak ada inilah
yang hakekatnya bid’ah hasanah.
Al-qur’an dan Al-Hadist sangat kaya dengan berbagai ajaran untuk
pedoman iman dan kehidupan ini. Para penganut ajaran sesat biasanya memberi
tekanan khusus pada satu atau dua ajaran, lalu diinterpretasikan sedemikian rupa
dan ditambah dengan ajaran-ajaran pemimpinnya sehingga menjadi satu doktrin
utama dalam aliran itu.
Terilhami oleh suatu ungkapan “saya mendengar dan melihat saya ingat,
saya berbuat lalu saya mengerti”, maka penulis berasumsi bahwa dengan kajian
tentang “BID’AH” ini menjadikan masyarakat dengan mendengar,melihat dan
berbuat dapat mengerti.
Dan banyak perkataan terlontar, dari orang yang belum paham (atau mungkin
salah paham) tentang bid’ah. Inti perkataannya menunjukkan bahwa bid’ah itu
sesuatu yang boleh dikerjakan. Untuk itulah pada makalah ini penulis akan
membahas berbagai kerancuan yang sering terdengar di kalangan masyarakat dan
melalui makalah ini diharapkan akan dihasilkan suatu kajian tentang “ BID’AH”.

2. RUMUSAN MASALAH

Perlu diketahi di Indonesia negara yang memiliki berbagai suku bangsa dan
budaya serta agama yang berbeda-beda, maka bisa di pastikan memiliki
pemahaman yang berbeda-beda juga. Didalam agama Islam juga memiliki
pemahaman yang berbeda-beda tentang sebuah pengamalan perilaku, kebiasaan,
dan amalan, contoh ketika kita mengamalkan sesuatu ada dari golongan lain ada
yang bilang kalau perbuatatan kita itu salah (bid’ah). Di bawah ini mari kita ulas
lebih dalam agar tidak ada nya kesalahfahaman.

1. Apa yang dimaksud dengan Bid’ah?


2. Macam-macam Bid’ah itu apa saja?
3. Apa hukum ketika melakukan Bid’ah?

3. TUJUAN

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan Penulis menyusun makalah ini adalah
sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian bid’ah


2. Untuk mengetahui macam-macam bid’ah dalam agama Islam

3. Untuk mengetahui hukum-hukum bid’ah


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN BID’AH

Menurut Bahasa

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada
contoh. Sebelumnya Allah berfirman.

“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117]

Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Ibtida’(membuat sesuatu yang baru) ada dua makna;

1. Membuat sesuatu yang baru dalam hal adat(urusan keduniaan),seperti


penemuan-penemuan modern,hal semacam ini boleh saja karena hukum asal
dalam adat itu adalah mubah.

2. Membuat sesuatu yang baru dalam agama,dan hal ini haram hukumnya.karena
hukum asal dalam agama adalah tawqif(terbatas pada apa yang diajarkan oleh
syari’at).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang


mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang
bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di
dalam riwayat lain disebutkan

Artinya : “Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan
kami, maka perbuatannya di tolak”.

Hukum dari bidaah ini adalah haram. Perbuatan dimaksud ialah perbuatan baru
atau penambahan dalam hubungannya dengan peribadatan dalam arti sempit
(ibadah mahdhah), yaitu ibadah yang tertentu syarat dan rukunnya.

Pemakaian kata tersebut di antaranya ada pada :

‫ت لواَللرر ض‬
Firman Allah ta’ala : ‫ض‬ ‫بلضديِعع اَلسسلماَلواَ ض‬

” (Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Q.s.2:117)

Firman Allah ta’ala : ‫ت بضردعْاَ ا ممرن اَلررعسضل‬


‫قعرل لماَ عكنُ ع‬
” Katakanlah (hai Muhammad), “ Aku bukanlah rasul yang pertama di antara
rosul-rosul.” (Q.s:46:9)

Dari makna bahasa diambil oleh para ulama.

‫ضاَبتدع فلنن بدعْة‬

Maknanya: Dia telah merintis suatu cara yang belum pernah ada yang
mendahuluinya.

‫هذاَأمنربديِنع‬

Maknanya: sesuatu yang dianggap baik yang kebaikannya belum pernah ada yang
menyerupai sebelumnya.

1. Jadi membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikuti disebut
bid’ah (dalam segi bahasa).

2. Sesuatu perkerjaan yang sebelumnya belum pernah dikerjakan orang juga


disebut bid’ah (dalam segi bahasa).

3. Terlebih lagi suatu perkara yang disandarkan pada urusan ibadah (agama) tanpa
adanya dalil syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada contohnya (tidak
ditemukan perkara tersebut) pada jaman Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
maka inilah makna bid’ah sesungguhnya.

Bid’ah Menurut Istilah

Bid’ah menurut istilah (syar’i/terminologi) adalah : sesuatu yang diada-adakan


menyerupai syariat tanpa ada tuntunannya dari Rasulullah yang diamalkan
seakan-akan bagian dari ibadah. Dalam hal ini Rasūlullôh Shallallahu ’alaihi wa
Salam bersabda : ”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tiada ada
tuntunannya dariku, maka tertolak” (HR Bukhari Muslim) dan hadits : ”Setiap
bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan neraka tempatnya.” Adapun menurut
etimologi (bahasa), makna bid’ah adalah al-ikhtira’, sesuatu yang diada-adakan
tanpa ada contohnya sebelumnya. Seperti firman Alloh : ”Allôhu Badî’us
Samâwât..” (Allôh-lah yang menciptakan langit, maksudnya mengadakan langit
tanpa ada contoh sebelumnya). Termasuk makna etimologi ini adalah, ucapan
Sahabat ’Umar : ”sebaik-baik bid’ah adalah ini” ketika beliau memerintahkan
untuk sholat tarawih berjama’ah…

Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini beberapa poin penting mengenai


bid’ah :
1. Makna bid’ah secara bahasa diartikan mengadakan sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya.

2. Makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam beragama yang
menyerupai syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah.

3. Tiga unsur yang selalu ada pada bid’ah adalah; (a) mengada-adakan, (b) perkara
baru tersebut disandarkan pada agama, (c) perkara baru tersebut bukan bagian dari
agama.

4. Setiap bid’ah adalah sesat.

B. MACAM-MACAM BID’AH

Izzu bin Abdu Assalam dalam bukunya Qawaidu Alahkam fi mashalihi alanam
hal:204, ia menganggap bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak pernah
dikerjakan oleh Rasulullah SAW adalah Bid’ah yang terbagi menjadi lima bagian,
Bid’ah Wajiba (Wajib), Bid’ah Muharramah (Haram), Bid’ah Makruha (Makruh),
Bid’ah Mandubah (Sunnah) dan Bid’ah Mubaha (boleh) dan untuk
mengetahuinya maka bidah tersebut haruslah diukur berdasarkan Syar’i, apabila
bid’ah tersebut termasuk ke dalam sesuatu yang diwajibkan oleh syar’i berarti
bida’ah itu wajib, apabila termasuk perbuatan yang diharamkan berarti haram dan
seterusnya. Defenisi ini kemudian diperkuat oleh Imam Nawawi dalam Fath
Albari karangan Ibnu hajar hal:394, bahwa segala sesuatu yang belum dan tidak
pernah ada pada zaman Nabi adalah bid’ah namun ada yang terpuji dan ada pula
yang tercela.

Imam Nawawi dalam kitabnya Alazkar, mengatakan bahwa bid’ah itu terbagi
menjadi:

a. Bid’ah Wajiba
Contoh:mempelajari ilmu Nahwu untuk lebih memahami kalamullah dan
sunnah rasul adalah sesuatu yang wajib dipelajari dan untuk menjaga
syariat maka bid’ah itu adalah wajib
b. Muharramah
Contoh:Mazhab-mazhab yang sesat, seperti Qadariyah, jabariah dan
Khawarij, juga termasuk menciptakan sesuatu yang mendatangkan
mudharat bagi diri dan orang lain.
c. Mandubah
Contoh Bid’ah Mandubah: Pembangunan sekolah, jembatan, shalat
tarawih berjamaah di mesjid dan lain-lain.
d. Mubaha
Contoh Bid’ah mubaha: menambah kelezatan makanan dan minuman serta
memperindah pakaian

Dan beliau pun berbicara mengenai berjabat tangan setelah menunaikan shalat,
dimana berjabat tangan adalah sunnah pada setiap kali bertemu, namun orang-
orang terbiasa dengan berjabat tangan dan menjadikannya adat hanya pada setiap
kali selesai shalat subuh dan ashar saja, padahal tidak mempunyai dasar dalam
syara’, namun tidak apa-apa karena asal hukum berjabatan tangan adalah sunnah.

Dalam kitab Annihayah,Ibnu Atsir berkata: Bid’ah itu terbagi menjadi dua yaitu
Bid’ah hasanah dan dhalalah, jika bertentangan dengan perintah Allah dan
rasulnya maka bid’ah itu termasuk golongan sesat dan tercela (bid’ah dhalalah)
conthnya :

a. Mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara menjadi Rahib.


b. Menyerahkan hukum agama kepada ‘aqal-fikiran manusia, dan menolak
nash-nash yang terang dari Allah dan Rasul-Nya.
c. Menyamakan urusan riba dengan jual beli dengan dalih sama2 mencari
keuntungan.

namun jika sesuai dengan nilai-nilai yang telah dianjurkan oleh agama maka
bid’ah itu tergolong kedalam bid’ah yang terpuji, bahkan menurut beliau, bid’ah
hasanah pada dasarnya adalah sunnah. hal serupa pun dikemukakan oleh Ibnu
Mandzur, dan di dalam Alquran Allah berfirman: yangdi artikan bahwa sesuatu
yang baru selama tidak bertentangan dengan agama meskipun tidak ada dasar
hukumnya adalah baik dan terpuji dan mendapat pahala. Contohnya :

a. Membaca shalawat dan salam sehabis adzan dengan nyaring, dan


menjadikannya sebagai lafaz adzan.
b. Membaca adzan dan iqamat dengan suara keras pada saat menguburkan
mayat.
c. Membaca istighfar sehabis sholat berjamaah dengan suara nyaring dan
dibacakan bersama-sama.

C. HUKUM BID’AH

Lima Kategori Bid’ah: Haram, Sunnah, Wajib, Makruh, dan Mubah

Secara umum bid’ah adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh
sebelumnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Masúd radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:

‫ لوإضسن عكسل بضردلعْةة ل‬، ‫ لوإضسن عكسل عمرحلدثلةة بضردلعْةن‬، َ‫ فلإ ضسن لشسر اَلععموُضر عمرحلدلثاَتعلها‬، ‫ت اَلععموُضر‬
‫ضلللةن‬ ‫لوإضسيِاَعكرم لوعمرحلدلثاَ ض‬
Artinya: “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru,
karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (baru) dan setiap yang baru
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Kita tidak menolak bahwa bid’ah memang ada baik secara faktual maupun secara
konsep sebagaimana pengertian yang disebutkan di atas. Bahkan sebagian bid’ah
adalah dlalalah atau sesat kita mengakuinya. Hanya saja kita menolak pemahaman
bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah karena memang tidak setiap
bid’ah adalah dlalalah. Ada bid’ah yang bisa dibenarkan meski Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak
pernah melakukannya.

Selain itu, frasa “setiap bid’ah” yang merupakan terjemahan dari ‫عكععسل بضردلعْععةة‬
sebagaimana termaktub dalam hadits di atas tidak bisa dipahami secara denotatif
bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah sebab ungkapan dalam frasa itu
menggunakan gaya bahasa yang disebut totum pro parte, yakni sebuah majas yang
digunakan untuk mengungkapkan keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah
sebagian saja.

Gaya bahasa seperti itu dalam ilmu balaghat disebut majâz mursal ‘alâqatuhu al-
kulliyyat sebagaimana yang kita temukan dalam ‫ عكسل لسفضرينُلةة‬dalam surat Al-Kahfi,
ayat 79 sebagai berikut:

‫ك يِلأرعخعذ عكسل لسضفينُلةة لغ ر‬


َ‫صابا‬ ‫ت ألرن ألضعْيبللهاَ لولكاَلن لولراَءعهم سملض ن‬
‫ت لضلملساَضكيلن يِلرعلمعلوُلن ضفيِ اَرلبلرحضر فلأ للردَ ر‬
‫ألسماَ اَلسسضفينُلةع فللكاَنل ر‬

Artinya: “Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja
di laut, dan aku ingin membuat perahu itu cacat karena di belakang mereka ada
seorang raja yang merampas setiap perahu (yang tidak cacat).”

Frasa “setiap perahu” yang merupakan terjemahan dari ‫ عكسل لسفضرينُلةة‬dalam ayat di atas
tidak bermakna seluruh perahu tanpa kecuali, tetapi seluruh perahu yang
kondisinya baik saja sehingga dalam konteks ayat ini perahu yang dilubangi Nabi
Khidzir milik orang-orang yang miskin tidak dirampas oleh raja karena
kondisinya cacat.

Oleh karena tidak setiap bid’ah adalah dlalalah, maka secara fiqih bid’ah dapat
dikategorikan menjadi 5 (lima), yakni: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
Kategorisasi ini berdasarkan keterangan dari Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin
Abdussalam As-Salami, dalam kitab Al-Qawaídu Al-Kubra, Al-Mausum bi
Qawaidil Ahkam fi Ishlahil Anam, Darul Qalam, Damaskus, Cetakan I, Tahun
2000, Juz II, Halaman 337, sebagai berikut:

‫ لوبضردلعْععةة‬،‫ بضردلعْةة لواَضجبلةة‬:َ‫ لوضهليِ عمرنُقلضسلمةن إللى‬.- ‫اع لعْللريضه لولسلسلم‬


‫صسلىَ س‬ ‫اَرلبضردلعْةع فضرععل لماَ للرم يِعرعهلرد ضفيِ لعْ ر‬
‫صضر لرعسوُضل س‬
‫ ل‬- ‫اض‬
‫ لوبضردلعْةة عملباَلحةة‬،‫ لوبضردلعْةة لمركعروهلةة‬،‫ لوبضردلعْةة لمرنُعدوبلةة‬،‫عملحسرلمةة‬
Artinya, “Bid‘ah adalah melakukan apa yang tidak dijumpai di masa Rasulullah
‫ﷺ‬. Hukum Bid‘ah terbagi menjadi: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.”

Berdasar pada kategorisasi bid’ah sebagaimana disebutkan dalam kitab tersebut,


Mbah KH Abdullah Asy’ari, Pengasuh Pondok Pesantren Darus Sholihin
Surakarta, dalam sebuah ceramah Ramadhan di Masjid Tegalsari Surakarta pada
bulan Ramadhan 1439 H, memberikan contoh bid’ah yang hukumnya haram,
yakni shalat Subuh 4 rakaat.

Shalat Subuh 4 rakaat jelas bid’ah dlalalah karena tidak ada dasar dan contohnya.
Shalat Shubuh 2 rakaat bersifat qath’i karena begitulah Rasulullah ‫ ﷺ‬telah
menetapkannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Majah,
Al-Baihaqiy, Ad-Daru Quthniy dan Ahmad sebagai berikut:

‫ح لرركلعلتاَضن‬ ‫صللةع اَل ر‬


‫صرب ض‬ ‫ل‬

Artinya: “Shalat Shubuh itu (hanya) dua rakaat.”

Adapun contoh bid’ah yang hukumnya sunnah, Mbah Kiai Abdullah Asyári
memberikan contoh, yakni shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rakaat.

Memang ada hadits yang diriwayatkan dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat. Tetapi di zaman Khalifah
Umar bin Khattab, shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rakaat. Hal ini
memang bid’ah. Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan Sayyidina Umar
tersebut merupakan bid’ah dlalalah.

Tentu saja tidak sebab Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri pernah berwasiat agar umatnya
mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khulafaur Rasyidin sebagaimana
dinyatakan dalam hadits yang diriwayatakan Abu Dawud dan At-Tirmidzi sebagai
berikut:

‫ت‬ ‫فللعللريعكرم بضعسنُسضتيِ لوعسنُسضة اَرلعخلللفاَضءاَلسراَضشضدريِلن اَرللمرهضدميِيلن اَلسراَضشضديِلن تللمسسعكوُاَ بضلهاَ لولعْ ر‬
‫ضوُاَ لعْللريلهاَ ضباَلنُسلوُاَضجضذ لوإضسيِعاَعكرم لوعمرحعلدلثاَ ض‬
‫ضللللةن‬ ‫راَلععموُضر فلإ ضسن عكسل عمرحلدثلةة بضردلعْةن لوعكسل بضردلعْةة ل‬

Artinya: “Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur


Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada
di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian
padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-
perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap
bid’ah adalah sesat.“

Jadi sunnah Khulafur Rasyidin itu ada dan legal karena dibenarkan oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri. Oleh karena itu, shalat tarawih dengan 23 rakaat tidak
termasuk bid’ah yang haram, tetapi sunnah sebab mengikuti sunnah Sayyidina
Umar sebagai salah seorang dari Khulafaur Rasyidin.

Sedangkan bid’ah yang hukumnya wajib, Mbah Kiai Abdullah Asy’ari


memberikan contoh, yakni membukukan ayat-ayat Al-Qur’an. Di zaman
Rasulullah ‫ ﷺ‬ayat-ayat Al-Qur’an memang tidak dibukukan, tetapi ditulis di kulit
binatang, batu yang tipis, pelepah kurma, tulang binatang dan sebagainya.

Perkembangan zaman menuntut agar ayat-ayat Al-Qur’an dibukukan menjadi satu


mushaf karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an telah meninggal dunia
dan kondisi tulisan ayat-ayat Al-Quran dalam benda-benda tersebut semakin
buruk karena faktor usia. Maka dilakukanlah pembukuan ayat-ayat Al-Quran yang
berlangsung mulai zaman kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin
Khattab hingga Sayyidina Utsman bin Affan.

Andaikan ayat-ayat Al-Qur’an tidak pernah dibukukan menjadi mushaf, kita yang
hidup di zaman sekarang tidak akan pernah menjumpainya. Umat Islam akan
hidup tersesat karena tidak memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup. Memang
harus diakui bahwa upaya membukukan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan
Khulafaur Rasyidin adalah sesuatu yang baru alias bid’ah, tetapi tidak dlalalah –
tidak haram - karena hukumnya malah wajib.

Mengenai bid’ah yang hukumnya makruh Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin
Abdussalam As-Salami dalam kitab tersebut, halaman 338, memberikan contoh
yakni menghiasai masjid. Tentu yang dimaksud dengan hiasan di sini adalah
ornamen-ornamen yang tidak mengandung unsur dakwah.

Sedangkan contoh bid’ah yang termasuk kategori mubah, Syekh Izzuddin Abdul
Aziz bin Abdussalam As-Salami pada halaman 339 memberikan contoh yakni
jabat tangan usai shalat Subuh dan Ashar. Sedangkan Mbah Kiai Abdullah Asyári
memberikan contoh bid’ah mubah adalah pergi haji dengan menggunakan
pesawat terbang.

Kelima kategori bid’ah sebagaimana dirumuskan oleh Syekh Izzuddin Abdul Aziz
bin Abdussalam As-Salami tersebut sangat penting dipahami dan dijadikan
pegangan bagi kaum Muslimin secara umum dalam kehidupan beribadah mereka
sehari-hari. Dengan cara ini mereka tidak akan terombang-ambing oleh pendapat-
pendapat dari luar kalangan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah yang
cenderung waton sulaya (asal berbeda).

Muhamad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama


(UNU) Surakarta
Lima Kategori Bid’ah: Haram, Sunnah, Wajib, Makruh, dan Mubah

Secara umum bid’ah adalah segala sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh
sebelumnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Masúd radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:

‫ لوإضسن عكسل بضردلعْةة ل‬، ‫ لوإضسن عكسل عمرحلدثلةة بضردلعْةن‬، َ‫ فلإ ضسن لشسر اَلععموُضر عمرحلدلثاَتعلها‬، ‫ت اَلععموُضر‬
‫ضلللةن‬ ‫لوإضسيِاَعكرم لوعمرحلدلثاَ ض‬

Artinya: “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru,


karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (baru) dan setiap yang baru
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Kita tidak menolak bahwa bid’ah memang ada baik secara faktual maupun secara
konsep sebagaimana pengertian yang disebutkan di atas. Bahkan sebagian bid’ah
adalah dlalalah atau sesat kita mengakuinya. Hanya saja kita menolak pemahaman
bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah karena memang tidak setiap
bid’ah adalah dlalalah. Ada bid’ah yang bisa dibenarkan meski Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak
pernah melakukannya.

Selain itu, frasa “setiap bid’ah” yang merupakan terjemahan dari ‫عكععسل بضردلعْععةة‬
sebagaimana termaktub dalam hadits di atas tidak bisa dipahami secara denotatif
bahwa setiap bid’ah tanpa kecuali adalah dlalalah sebab ungkapan dalam frasa itu
menggunakan gaya bahasa yang disebut totum pro parte, yakni sebuah majas yang
digunakan untuk mengungkapkan keseluruhan tetapi yang dimaksud adalah
sebagian saja.

Gaya bahasa seperti itu dalam ilmu balaghat disebut majâz mursal ‘alâqatuhu al-
kulliyyat sebagaimana yang kita temukan dalam ‫ عكسل لسفضرينُلةة‬dalam surat Al-Kahfi,
ayat 79 sebagai berikut:

‫ك يِلأرعخعذ عكسل لسضفينُلةة لغ ر‬


َ‫صابا‬ ‫ت ألرن ألضعْيبللهاَ لولكاَلن لولراَءعهم سملض ن‬
‫ت لضلملساَضكيلن يِلرعلمعلوُلن ضفيِ اَرلبلرحضر فلأ للردَ ر‬
‫ألسماَ اَلسسضفينُلةع فللكاَنل ر‬

Artinya: “Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja
di laut, dan aku ingin membuat perahu itu cacat karena di belakang mereka ada
seorang raja yang merampas setiap perahu (yang tidak cacat).”

Frasa “setiap perahu” yang merupakan terjemahan dari ‫ عكسل لسفضرينُلةة‬dalam ayat di atas
tidak bermakna seluruh perahu tanpa kecuali, tetapi seluruh perahu yang
kondisinya baik saja sehingga dalam konteks ayat ini perahu yang dilubangi Nabi
Khidzir milik orang-orang yang miskin tidak dirampas oleh raja karena
kondisinya cacat.

Oleh karena tidak setiap bid’ah adalah dlalalah, maka secara fiqih bid’ah dapat
dikategorikan menjadi 5 (lima), yakni: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
Kategorisasi ini berdasarkan keterangan dari Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin
Abdussalam As-Salami, dalam kitab Al-Qawaídu Al-Kubra, Al-Mausum bi
Qawaidil Ahkam fi Ishlahil Anam, Darul Qalam, Damaskus, Cetakan I, Tahun
2000, Juz II, Halaman 337, sebagai berikut:

‫ لوبضردلعْععةة‬،‫ بضردلعْةة لواَضجبلةة‬:َ‫ لوضهليِ عمرنُقلضسلمةن إللى‬.- ‫اع لعْللريضه لولسلسلم‬


‫صسلىَ س‬ ‫اَرلبضردلعْةع فضرععل لماَ للرم يِعرعهلرد ضفيِ لعْ ر‬
‫صضر لرعسوُضل س‬
‫ ل‬- ‫اض‬
‫ لوبضردلعْةة عملباَلحةة‬،‫ لوبضردلعْةة لمركعروهلةة‬،‫ لوبضردلعْةة لمرنُعدوبلةة‬،‫عملحسرلمةة‬

Artinya, “Bid‘ah adalah melakukan apa yang tidak dijumpai di masa Rasulullah
‫ﷺ‬. Hukum Bid‘ah terbagi menjadi: wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.”

Berdasar pada kategorisasi bid’ah sebagaimana disebutkan dalam kitab tersebut,


Mbah KH Abdullah Asy’ari, Pengasuh Pondok Pesantren Darus Sholihin
Surakarta, dalam sebuah ceramah Ramadhan di Masjid Tegalsari Surakarta pada
bulan Ramadhan 1439 H, memberikan contoh bid’ah yang hukumnya haram,
yakni shalat Subuh 4 rakaat.

Shalat Subuh 4 rakaat jelas bid’ah dlalalah karena tidak ada dasar dan contohnya.
Shalat Shubuh 2 rakaat bersifat qath’i karena begitulah Rasulullah ‫ ﷺ‬telah
menetapkannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ibnu Majah,
Al-Baihaqiy, Ad-Daru Quthniy dan Ahmad sebagai berikut:

‫ح لرركلعلتاَضن‬ ‫صللةع اَل ر‬


‫صرب ض‬ ‫ل‬

Artinya: “Shalat Shubuh itu (hanya) dua rakaat.”

Adapun contoh bid’ah yang hukumnya sunnah, Mbah Kiai Abdullah Asyári
memberikan contoh, yakni shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rakaat.

Memang ada hadits yang diriwayatkan dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha bahwa
Rasulullah ‫ ﷺ‬melaksanakan shalat tarawih 11 rakaat. Tetapi di zaman Khalifah
Umar bin Khattab, shalat tarawih dilaksanakan sebanyak 23 rakaat. Hal ini
memang bid’ah. Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan Sayyidina Umar
tersebut merupakan bid’ah dlalalah?

Tentu saja tidak sebab Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri pernah berwasiat agar umatnya
mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khulafaur Rasyidin sebagaimana
dinyatakan dalam hadits yang diriwayatakan Abu Dawud dan At-Tirmidzi sebagai
berikut:

‫ت‬ ‫فللعللريعكرم بضعسنُسضتيِ لوعسنُسضة اَرلعخلللفاَضءاَلسراَضشضدريِلن اَرللمرهضدميِيلن اَلسراَضشضديِلن تللمسسعكوُاَ بضلهاَ لولعْ ر‬
‫ضوُاَ لعْللريلهاَ ضباَلنُسلوُاَضجضذ لوإضسيِعاَعكرم لوعمرحعلدلثاَ ض‬
‫ضللللةن‬ ‫راَلععموُضر فلإ ضسن عكسل عمرحلدثلةة بضردلعْةن لوعكسل بضردلعْةة ل‬
Artinya: “Wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin Mahdiyyin (para pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada
di atas jalan yang lurus, dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian
padanya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-
perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap
bid’ah adalah sesat.“

Jadi sunnah Khulafur Rasyidin itu ada dan legal karena dibenarkan oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬sendiri. Oleh karena itu, shalat tarawih dengan 23 rakaat tidak
termasuk bid’ah yang haram, tetapi sunnah sebab mengikuti sunnah Sayyidina
Umar sebagai salah seorang dari Khulafaur Rasyidin.

Sedangkan bid’ah yang hukumnya wajib, Mbah Kiai Abdullah Asy’ari


memberikan contoh, yakni membukukan ayat-ayat Al-Qur’an. Di zaman
Rasulullah ‫ ﷺ‬ayat-ayat Al-Qur’an memang tidak dibukukan, tetapi ditulis di kulit
binatang, batu yang tipis, pelepah kurma, tulang binatang dan sebagainya.

Perkembangan zaman menuntut agar ayat-ayat Al-Qur’an dibukukan menjadi satu


mushaf karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an telah meninggal dunia
dan kondisi tulisan ayat-ayat Al-Quran dalam benda-benda tersebut semakin
buruk karena faktor usia. Maka dilakukanlah pembukuan ayat-ayat Al-Quran yang
berlangsung mulai zaman kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar bin
Khattab hingga Sayyidina Utsman bin Affan.

Andaikan ayat-ayat Al-Qur’an tidak pernah dibukukan menjadi mushaf, kita yang
hidup di zaman sekarang tidak akan pernah menjumpainya. Umat Islam akan
hidup tersesat karena tidak memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup. Memang
harus diakui bahwa upaya membukukan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan
Khulafaur Rasyidin adalah sesuatu yang baru alias bid’ah, tetapi tidak dlalalah –
tidak haram - karena hukumnya malah wajib.

Mengenai bid’ah yang hukumnya makruh Syekh Izzuddin Abdul Aziz bin
Abdussalam As-Salami dalam kitab tersebut, halaman 338, memberikan contoh
yakni menghiasai masjid. Tentu yang dimaksud dengan hiasan di sini adalah
ornamen-ornamen yang tidak mengandung unsur dakwah.

Sedangkan contoh bid’ah yang termasuk kategori mubah, Syekh Izzuddin Abdul
Aziz bin Abdussalam As-Salami pada halaman 339 memberikan contoh yakni
jabat tangan usai shalat Subuh dan Ashar. Sedangkan Mbah Kiai Abdullah Asyári
memberikan contoh bid’ah mubah adalah pergi haji dengan menggunakan
pesawat terbang.
Kelima kategori bid’ah sebagaimana dirumuskan oleh Syekh Izzuddin Abdul Aziz
bin Abdussalam As-Salami tersebut sangat penting dipahami dan dijadikan
pegangan bagi kaum Muslimin secara umum dalam kehidupan beribadah mereka
sehari-hari. Dengan cara ini mereka tidak akan terombang-ambing oleh pendapat-
pendapat dari luar kalangan Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah yang
cenderung waton sulaya (asal berbeda).

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Bid’ah adalah sebuah pendapat mengada-adakan sesuatu yang belum jelas


kebenarannya menurut syari’at.

2. Bidah terbagi menjadi 2 macam yaitu bid’ahyang hukumnya mubah/di


perbolehkan selagi tidak bertentangan dengan Al-quran dan hadist.

Dan bid’ah yang hukunya haram/tidak di perbolehkan karena merupakan


pelanggaran yang sangat besar dari sisi melampaui batasan-batasan hukum Allah
dalam membuat syariat, karena sangatlah jelas bahwa hal ini menyalahi dalam
meyakini kesempurnaan syariat. Menuduh Rasulullah Muhammad SAW
menghianati risalah, menuduh bahwa syariat Islam masih kurang dan
membutuhkan tambahan serta belum sempurna. Jadi secara umum dapat diketahui
bahwa semua bid’ah dalam perkara ibadah/agama adalah haram atau dilarang
sesuai kaedah ushul fiqih bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali bila ada
perintah dan tidaklah tepat pula penggunaan istilah bid’ah hasanah jika dikaitkan
dengan ibadah atau agama sebagaimana pandangan orang banyak.

3. Lima Kategori Bid’ah: Haram, Sunnah, Wajib, Makruh, dan Mubah yang harus
kita tahu

B. SARAN

1. Setelah disadari bahwa Bid’ah kesalahan yang besar yang menyalahi hukum-
hukum Allah dan tidak diajarkan dalam agama Islam maka hendaklah masyarakat
mampu meramu pendidikan agama Islam yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
yang diajarkan dalam agama islam.
2. Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca akan lebih dapat mencari tahu
tentang bid’ah yang diwajibkan dan diharamkan.

3. Masyarakat hendaknya mampu mengadakan penelitian-penelitian sederhana


yang bertujuan untuk menemukan formula-formula baru bagi system
pembelajaran agam islam yang lebih inovatif untuk meningkatkan mutu
pendidikan tentang agama islam yang menambah dan memperkuat iman kita
terhadap Allah.

Anda mungkin juga menyukai