Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah
untuk “rahmatalil alamin”, rahmat disini dimaknai untuk ummat manusia bahkan
untuk semua yang ada di alam ini, baik itu manusia (non muslim), hewan,
tumbuh-tumbuhan dan yang lainnya, dengan tujuan kemapanan, kebaikan,
keselarasan, keadilan, kemakmuran, dan lainnya,serta membimbing pula untuk
menuju jalan yang bersifat ukhrowi.
Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah
memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang
agama (hukum agama) dengan jelas.1 Menurut Mochtar Kusumatmadja, sila
ketuhanan Yang Maha Esa2 pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada
produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak
atau bermusuhan dengan agama.
Secara normatif hukum Indonesia setidaknya terbentuk atau dipengaruhi
oleh tiga pilar sub-sistem hukum, yaitu sistem hukum Barat, hukum Adat dan
sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam
sistem hukum Indonesia.3
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang
selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh
pada sistem hukum nasional. Sementara Sistem Hukum Adat bersendikan atas
dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem
hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam
masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem
hukum yang bersumber pada kitab suci AI-Qur’an dan hadis serta dikonkretkan
1
Reza Fikri Febriansyah, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Struktur Hukum Nasional
Indonesia”, Dikirim/ditulis pada 23 April 2007/http.hukum Islam dan hukum nasional.
google.co.id, diakses pada 22 November 2019.
2
Lihat, Hamdan Zoelva, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila,
blog/hamdanzoelva.com, diakses 1 November 2012.
3
Fachruddin, “Esai: Hukum Adat dalam Hukum Islam” Lampung Post, Jumat, 3
November 2006, dalam www.google.co.id. Akses 20 November 2019.
oleh para mujtahid dengan ijtihadnya4. Sedangkan dalam pengertian lain hukum
Islam merupakan produk hukum yang di dalamnya terdapat nilai-nilai dan moral
dari ajaran Islam kemudian dilegeslasikan dalam hukum nasional.5
Hukum Islam merupakan istilah yang dikonstruksi oleh budaya dan bahasa
Melayu, karena dalam bahasa asalnya yakni Arab hanya ditemukan istilah syariah
dan fiqih, dengan demikian istilah hukum Islam yang digunakan oleh orang
Indonesia setidaknya memiliki relevansi sebagai proses ijtihad (mencari
kebenaran hukum) dan proses adaptif-akomodatif terhadap adat-kebiasaan lokal
kedaerahan yakni bangsa Melayu-Indonesia. 6
Pada wilayah-wilayah tertentu terjadi perdebatan mengenai relasi hukum
Islam dan hukum Positif dalam kontek Indonesia, menjadi perdebatan yang tidak
ada usainya, Di akui atau tidak, hukum Islam sangat dekat dengan kehidupan
masyarakat Indonesia, sehingga kehadirannya dapat dengan mudah diterima oleh
masyarakat luas, pada sisi lain sosio-antropologis juga mempengaruhi fenomena
maraknya upaya formalisasi pemberlakuan syari'at Islam di berbagai wilayah di
Indonesia.
B. Rumusan
1. Bagaimana syariat Islam dan sejarah hukumnya di Indonesia
2. Bagaimana keberlakuan hukum Islam di Indonesia
3. Hukum Islam di bernagai daerah.
4. Syariat Islam Dalam Otonomi Daerah
5. Perda Syari’ah di Indonesi

4
Aceh Institut, Syariat Islam Versus Falsafah Negara Pancasila, 01 October
2019/http.google.co.id.
5
Sirajudin, Legeslasi hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Januari
2008), hlm. 94.
6
A. Qodari Azizy, Eklektisme Hukum Islam; Komposisi antara Hukum Islam dan
Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, Februari 2002), hlm. 15.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syari’ah Islam dan Sejarah Hukum

Dalam peta sistem hukum global, syariah telah menempatkan dirinya


sejajar dengan dua sistem hukum lainnya yaitu: Roman Law (hukum Romawi)
dan Common Law (hokum dari Inggris). Sistem Roman Law yang mulai
berkembang abad 12 dan 13 melahirkan system hukum dibeberapa Negara Eropa
seperti di Belanda, Prancis (French Civil Code/Napoleon Code) 1804, Jerman
(German Civil Code) abad 17 dan Itali (Italian Civil Code) juga ikut melahirkan
sistem hukum.
Belanda yang selama tiga setengah abad menerapkan sistem hukum
tersebut di Indonesia. Ciri utama system hukum Romawi ini mendasarkan pada
ketersusunan peraturan perundang-undangan dalam suatu kitab undang-undang
yang tertulis. Berbeda dengan system Common Law yang mendasarkan pada
ketentuan hukum yang lebih dulu (judicial precedent), yang berasal dari hukum
tidak tertulis bukan pada undang-undang. Salah satu pengaruh System Roman
Law yang memperkaya khazanah terminologi hukum antara lain stare
decisis, culpa in contrahendo atau pacta sunt servanda.7
Begitu juga dengan system Common Law Inggris yang mulai berproses
sekitar abad 11 (1154). Raja Henry II menjadi orang yang berperan
melembagakan Common Law dalam sebuah unifikasi sistem hokum Common
Law yang tidak tertulis, antara lain melalui:
[1] Penggalian tradisi lokal menjadi aturan nasional,
[2] Memberdayakan sistem juri pada kasus warga negara untuk menyelidiki
tuduhan kriminal yang lebih realistis dan klaim publik.
Walaupun didasarkan pada bentuk hukum tidak tertulis, namun Common
Law tetap menekankan pada keberadaan kaidah-kaidah hukum yang bersumber
dari pengalaman-pengalaman empirik akan tetapi antara Roman

7
http://en.wikipedia.org/wiki/Roman_law
Law dan Common Law sempat bertemu dalam satu garis yaitu sama-sama
menekankan akal, nalar dan rasionalitas.8
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui secara umum ciri dari
kedua sistem hukum dipengaruhi oleh akal, nalar dan rasio. Bila akal, nalar dan
rasio menjadi ciri dua sistem hukum tersebut, syariah selain juga logika,
menambahkan kekhasannya dengan unsur-unsur yang tidak sekedar berdiri
sebagai sebuah sistem aturan kehidupan tapi juga merupakan wahyu yang
diturunkan (revealed). Namun demikian menurut George Abraham hukum Islam
juga memiliki kesamaan dengan system Common Law pada awal perkembangnya
pada pertengahan abad, yaitu sama-sama terletak pada: keaslian (Indigenous),
hukum nasional (National Laws), berdasarkan pengalaman (based on custom)
antara lain berupa yurisprudensi hakim dengan sistem pengadilan juri dan saksi
yang disumpah. Itulah mengapa hukum Islam lebih dekat dengan sistem Common
Law daripada Roman Law. Perbedaan utama keduanya terletak pada sumber
utama yaitu wahyu pada hukum Islam dan logika pada Common Law dan Roman
Law.

Berdasarkan pernyataan di atas sudah menjadi bagian dari perjalanan


sejarah pemberlakuan hukum nasional bahwa antara Hukum Islam dan Hukum
Belanda pada waktu itu saling mengisi ‘berebut posisi’ sebagai hukum yang
mengatur masyarakat Indonesia. Namun begitu, jauh sebelum Belanda menjajah
Indonesia, hukum adat antar suku-suku di Indonesia yang kebanyakan tidak
tertulis mulai di warnai oleh Hukum Islam.9
Sejak kurun waktu tahun 1400-1500 Masehi, para ahli hukum kerajaan
Islam Malaka sering datang ke Kerajaan Samudera Pasai di Aceh untuk
memecahkan permasalahan hukum yang sering muncul di Malaka. Karena
perkembangan hukum Islam yang sangat pesat, pada abad ke XIV Kerajaan
Samudera Pasai dibawah Sultan Malikul Zahir menyebarkan Hukum Islam ke

8
http://en.wikipedia.org/wiki/Common_law
9
Eklektisisme ialah suatu system yang dibentuk secara kritis dengan memilih dari
bermacam-macam sumber dan doktrin hukum. Prof. DR. Busthanul Arifin, S.H, Prolog buku DR.
Qodry Azizy, MA,Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, Yogyakarta, Gama Media, 2002, hal. viii
kekerajaan Islam di nusantara lainnya. Karya Nuruddin ar-Raniri yang
berjudul as-sirath al-mustaqim yang ditulis sekitar tahun 1628 menjadi buku
panduan hukum Islam pertama yang mulai diperkenalkan ke wilayah-wilayah
kerjaaan Islam lain di nusantara. Buku ini kemudian di urai kembali oleh Syekh
Arsyad al-Banjari dalam karyanya yang berjudul Sabil al-Muhtadi yang pada
gilirannya menjadi pegangan berbagai penyelesaiaan sengketa di kesultanan
Banjar.10
Atas beberapa fakta tersebut Lodewijk Willem Christian Van den Berg
(1845-1927) menyimpulkan beberapa fenomena tersebut dalam sebuah teori yang
di sebut reception in complexu yang bermakna bahwa orang Islam Indonesia telah
melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan
atau dengan kata lain berarti bagi rakyat pribumi berlaku hukum agamanya. Teori
Van den Berg ini juga dibenarkan oleh Solomon Keyzer (1823-1868) penulis buku
pedoman hukum Islam dan hukum pidana Islam untuk masyarakat Islam Jawa.11
Selain beberapa kodifikasi hukum yang dilakukan penguasa Belanda di
berbagai tempat di Indonesia, banyak ahli hukum dan pejabat Belanda termasuk
pada era kekuasaan Raffles yang berpendirian bahwa hukum yang berlaku di Jawa
adalah hukum Islam dan Deandles yang menginspirasi Van den Berg untuk
melahirkan teori pengakuan pemerintah kolonial terhadap berlakunya hukum
Islam bagi masyarakat setempat. Karya JEW van Nes yang fokus bahasannya
tertuju pada madzhab Syafi’I (1850) berjudul Boedelsscheidingen of Java Volgens
de Kitab Saphi’i dan A. Meurenge yang mengeluarkan saduran Handboek van het
Mohammedaansche Recht (1884) adalah dorongan nyata bagi ahli hukum Belanda
yang tertarik pada hukum Islam tersebut untuk terus mencermati hukum yang
hidup di masyarakat Indonesia.12

10
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999 hal. 122-
123
11
Pidato pengukuhan Thohir Luth sebagai guru besar hukum Islam Universitas
Brawijaya,Kewarisan Islam, Satu Renungan untuk Orang-orang Beriman, http://www.
brawijaya.ac.id/id/8_directory/staf.php?detail=131573967
12
A. Rahmat Rosyadi, Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2006, hal. 75
Posisinya yang juga merangkap sebagai pemangku kebijakan dibidang
hukum penguasa Belanda pada waktu itu membuat Van den Berg tidak segan-
segan membuat pengakuan terhadap kewenangan badan-badan peradilan agama
untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan hukum Islam
berdasarkan staatsblaad1882 No.152. Ia juga aktif melakukan pengkajian dan
pengumpulan beberapa bahan tertulis tentang asas-asas hukum Islam
(Mohammedaansche Recht, 1882) menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, kajian
tentang hukum keluarga dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892) dan
menerjemahkan beberapa kitab fiqh berbahasa arab seperti Fath al-
Qarib dan Minhaaj ath-Thalibin ke dalam bahasa Prancis.13
Melihat akomodasi Van den Berg yang cukup luas terhadap penerapan
hukum Islam di daerah jajahannya, penguasa kolonial Belanda mulai berpikir
ulang dan mencoba mengevaluasi kembali kebijakan tersebut. Keputusan tersebut
diambil karena upaya mengakomodasi hukum Islam menjadi hukum masyarakat
di anggap hanya akan menumbuh suburkan ideologi dan gerakan yang semakin
menguatkan kekuatan perlawanan di masyarakat terhadap pemerintah Belanda.
Terlebih pada waku itu sedang berlangsung pengaruh keislaman yang juga cukup
kuat dari pihak eksternal yang masuk ke Indonesia.14
Oleh karena itu, untuk memutus segala pengaruh dan timbulnya akibat
yang merugikan pemerintah Belanda, penasihat pemerintah Belanda yang juga
ahli hukum Islam. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) memunculkan
kebijakanIslam Policy yang pada intinya hukum Islam harus dijauhkan dari
masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan menarik rakyat pribumi agar
lebih mendekat dengan tradisi dan budaya pemerintah kolonial Belanda dan Eropa
lainnya. Kebiijakan tersebut akhirnya di rinci oleh Hurgronje menjadi
teori Receptie seperti yang tertuang dalam pasal 134 ayat 2 Indische
Straaftregeling (IS) dimana hukum Islam hanya dapat diterima sebagai hukum
apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat.15
13
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam), Bina
Aksara, Jakarta, 1982 hal.121
14
Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje jilid IX, Jakarta: INIS,
1994, hal. 102
15
Snouck Hurgronje, Ibid
Dengan kebijakan tersebut, eklektisisme hukum nasional Indonesia
bergerak menuju hukum adat yang mulai menggeser peran hukum Islam sebagai
sistem hukum yang banyak berlaku di masyarakat disamping hukum Belanda.
Tidak kurang dari 19 wilayah di Indonesia mulai mengembangkan hukum
adatnya. Kekuasaan Peradilan Agama mulai dibatasi oleh sebuah komisi bentukan
pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh Bertrand Ter Haar Barn (1892-1941).
Kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Kalimantan Selatan untuk memutus
soal-soal kewarisan mulai di tanggalkan dan diserahkan ke Landraad.
B. Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan, maka
praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah
hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-
undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan sholat lima
waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa
sholat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan
negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar
agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang
ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa
yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat
Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah
aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari
suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang
memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat
Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji,
administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan
fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan
seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas
“pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir oleh
Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun
rancangan undang-undang dasar negara merdeka.
Dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara
Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti
disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus
pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan
penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca
dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus
berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi.
Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk
mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau
tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.16
Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah
“penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau
kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan
UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-
undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan
masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan
lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai
penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik
Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para
penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional,
untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan
seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping
16
Yusril Ihza Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional di
Indonesia,<http://yusril.ihzamahendra.com/2007/12/05/hukum-islam-dan-pengaruhnya-
terhadap -hukum-nasional-indonesia/>, 19 Juni 2008.
tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah.
Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum
perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum
bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif,
yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu,
hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku,
dengan cara ditunjuk oleh undang-undang (Nomor 1 Tahun 1974) secara tegas
menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya
masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan
bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai
hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC
telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah
dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya
didasarkan atas Instruksi Presiden.
Dengan berbagai penjelasan tersebut, perlu diingatkan kembali bahwa
hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka
negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata
bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus
mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi
negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
C. Syariat Islam di Berbagai Daerah
Upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-
hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama,
tetapi juga dukungan penguasa politik.
Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial
keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli,
Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar
serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten
dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat
yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para
ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam setidak-
tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata sebagai hukum positif
yang berlaku di daerahnya.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para
kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu
tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan
hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu
dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam
pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah
para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa,
budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula
komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di
samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang
ini.17
Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang
Betawi di masa kemudian. Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat
bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu.
Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa
dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang
mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai
peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang
mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di
Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam
yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.18
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan
hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-
pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di
daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram,
17
Yusril, Ibid
18
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah dalam Konteks
Modernitas, Bandung, Asy-Syamil, 2000, h. 15
yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan
telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat
kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di
kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan
pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya.
Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam
dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah.
Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan
dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga
terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni,
walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung
hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya
terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan itu terjadi hampir merata di daerah-
daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai.
Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari
“langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir
dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula
terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi
tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai
literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan
teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan
Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatar belakanginya serta asas-
asasnya.
D. Syari’at Islam Dalam Era Otonomi Daerah
Genderang otonomi daerah merupakan pintu masuk utama munculnya
seluruh peraturan lokal sebagai wujud dari titah regulasi baik yang
kewenangannya bersifat atributif (melekat) maupun yang bersifat delegatif
(turunan). Dari peluang transfer kewenangan ini, arus balik sentralisasi kekuasaan
antara lain dimaknai dengan membuka seluas mungkin upaya memandirikan
daerah dengan segenap kemunculan kebijakan lokal dalam kondisi yang serba
transisi dan terbatas. Dengan segala keterbatasan tersebut lahirlah berbagai produk
hukum daerah berupa peraturan dan keputusan pejabat daerah.
Tidak ada catatan yang rinci untuk memastikan kapan perda-perda yang
bernuansa syariat itu muncul di Indonesia. Namun melihat perkembangannya
Perda syari’ah mulai tumbuh ketika perdebatan panjang tentang perubahan UUD
1945 1999-2002 yang juga terjadi perdebatan tentang berlakunya syari’at islam di
Indonesia. Kemudian diterapkan di daerah khusus NAD. Hal ini menjadi lebih
semarak dengan seiring menguatnya dorongan atas pelaksanaan otonomi daerah di
awal-awal 1999. Ditahun-tahun tersebut, bisa dikatakan sebagai era dimana
pemerintahan daerah seperti burung yang mendapati kebebasannya hingga ia bisa
melakukan apapun yang dibutuhkan dan disukainya. Dalam konteks kebebasan
tersebut, pemerintah lokal tidak hanya mulai membenahi diri secara struktural tapi
juga melengkapi birokrasinya dengan berbagai produk peraturan daerah.
Seperti juga berbagai isu dan permasalahan yang terus datang timbul
tenggelam, wacana perda bernuansa syariat menggelinding begitu saja ditengah
keramaian perdebatan nasionalisme dan tuduhan terorisme terhadap umat Islam.
Walau dengan definisi dan batasan yang tidak begitu jelas mengenai apa
sesungguhnya indikator yang tepat bagi penamaan sebuah kebijakan syariat Islam,
perda-perda tersebut pada akhirnya lebih dikenal sebagai perda syariat. Karena,
sekalipun tak disebut secara eksplisit sebagai Perda Syariat Islam, tak bisa
disangkal bahwa dalam kebijakan daerah itu ada ideologi keislaman yang hendak
ditegakkan melalui perda tersebut. Yaitu, menegakan kebenaran, memberantas
kezaliman dengan asumsi-asumsi keislaman. Tentu saja itu sebuah tujuan yang
mulia.

D. Perda Syariah Di Indonesia

Perda syari’at mencuat ketika otonomi luas diberikan kepada daerah dan
pada saat yang sama dialog dan perdebatan tentang syari’at islam dalam
perubahan undang-undang dasar terus menghiasi pemberitaan media. Pada sisi
lain terdapat perkembangan yang menakjubkan atas kesadaran keagamaan yang
muncul di seluruh Indonesia. Kesadaran inilah nampaknya yang memberikan
dorongan kuat bagi pembentukan Perda Syariah di Indonesia, walaupun disadari
ditemukan banyak sekali kelemahan dan kesalahan definisi atas Perda Syari’ah
itu, yang ternyata sebagian besarnya adalah Perda mengenai ketertiban umum.
Perlu ada pemahaman yang benar tentang penyusunan perda yang
bersumber dari syari’ah ini, termasuk tehnik penyusunan Perda secara umum,
sehingga tidak menimbulkan salah pengertian dan dianggap keluar dari prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya Perda-perda yang bersifat khusus
di daerah-daerah termasuk Perda yang bersumber dari nilai-lai syari’ah,
seharusnya dipahami sebagai bentuk penghormatan terhadap keragaman daerah di
Indonesia sebagai sebuah Negara yang plural, tentu dengan memperhatikan
kekompakan hirarkis dengan perundang-undangan yang ada di atasnya.
Syariat Islam sampai pada upaya positifikasi syariat kedalam perundang-
undangan nasional baik di pusat maupun daerah. Disyahkannya Undang-Undang
Perbankan Syariah oleh DPR beberapa waktu lalu adalah bentuk dari semakin
munculnya Syariat Islam sebagai agenda nasional. Berbagai lembaga dan kegiatan
yang ditujukan untuk mengkampanyekan ‘pelembagaan’ syariat Islam dalam
ruang-ruang publik terus dikumandangkan. Berbagai kontroversi dan penolakan
juga muncul dari dalam kelompok dimasyarakat itu sendiri dengan argumen yang
berbeda-beda. Namun begitu tidak juga sedikit yang meragukan bahkan menolak
penerapan syariah sebagai hukum.
Tetapi ramainya kontroversi tersebut seakan tetap menyertai upaya
pemerintah dalam menjadikan syariah sebagai salah satu kerangka yang ingin
diterapkan dalam kebijakan terutama dalam perundang-undangan. Keadaan ini
semakin terwujud lebih cepat lagi, ketika rezin pemerintah memasuki era
Reformasi.
1. Dengan posisi UUD 1945 yang telah diamandemen, kekuasaan membentuk
undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR
diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru
yang dilahirkan.
2. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak
diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional terutama
sekali pada ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang
kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi.
3. Pemerintah juga pernah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang
Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk
mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam.
4. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf,
5. Mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam ke dalam hukum positif.
Seperti KHI
6. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah
memberikan tempat yang sewajarnya
7. Kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah kita mempelajari makalah ini maka dapat penulis simpulkan, yaitu:

1. syariah telah menempatkan dirinya sejajar dengan dua system hukum lainnya
yaitu: Roman Law (hukum Romawi) dan Common Law (hukum kebiasaan tak
tertulis yang berasal dari Inggris).
2. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh
kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan
keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum Islam.
3. Proses menuju pembentukan syariat Islam pada Masyarakat lama kelamaan
menyadari bahwa hukum Islam lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka.
3. Otonomi daerah merupakan pintu masuk utama munculnya seluruh peraturan
lokal dalam mewujudkan perda syariah
4. Disyahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah oleh DPR beberapa waktu
lalu adalah bentuk dari semakin munculnya Syariat Islam sebagai agenda
nasional. Berbagai lembaga dan kegiatan yang ditujukan untuk
mengkampanyekan ‘pelembagaan’ syariat Islam dalam ruang-ruang publik
terus dikumandangkan.
B. Saran

Setelah kita mengetahui perda syariah dan releguisitas ummat di


indonesia. Maka penulis menyarankan agar para elit untuk dapat melegitimasikan
hukum Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tetap
mempertimbang aspek kebersamaan dalam keberagaman sehing satu sama lainnya
tercipta suasana yang harmonis dan selalu menjaga rasa persatuan dan kesatuan.
Hal ini tentu dilakukan dengan dengan musyawarah sesuai dengan azaz demokrasi
di negara kita, karena masing-masing kita mempunyai kelebihan dan
kekukaranga.

DAFTAR PUSTAKA

Reza Fikri Febriansyah, “Eksistensi Hukum Islam Dalam Struktur


Hukum Nasional Indonesia”, Dikirim/ditulis pada 23 April 2007/http.hukum
Islam dan hukum nasional. google.co.id, diakses pada 22 November 2019.
Lihat, Hamdan Zoelva, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila,
blog/hamdanzoelva.com, diakses 1 November 2012.
Fachruddin, “Esai: Hukum Adat dalam Hukum Islam” Lampung Post,
Jumat, 3 November 2006, dalam www.google.co.id. Akses 20 November 2019.
Aceh Institut, Syariat Islam Versus Falsafah Negara Pancasila, 01
October 2019/http.google.co.id.
Sirajudin, Legeslasi hukum Islam di
Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Januari 2008)
A. Qodari Azizy, Eklektisme
Hukum Islam; Komposisi antara Hukum
Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta:
Gama Media, Februari 2002)

http://en.wikipedia.org/wiki/Roman_law
http://en.wikipedia.org/wiki/Common_law
Eklektisisme ialah suatu system yang dibentuk secara kritis dengan
memilih dari bermacam-macam sumber dan doktrin hukum. Prof. DR. Busthanul
Arifin, S.H, Prolog buku DR. Qodry Azizy, MA,Eklektisisme Hukum Nasional:
Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gama Media,
2002, hal. viii
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi,
1999
Pidato pengukuhan Prof. Dr. Thohir Luth sebagai guru besar hukum Islam
Universitas Brawijaya,Kewarisan Islam, Satu Renungan untuk Orang-orang
Beriman, http://www. brawijaya.ac.id/id/8_directory/staf.php?detail=131573967
A. Rahmat Rosyadi dan Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam di
Indonesia dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia,
2006
Sayuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dan Hukum
Islam), Bina Aksara, Jakarta, 1982
Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje jilid IX,
Jakarta: INIS, 1994
Yusril Ihza Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum
Nasional di Indonesia,” <http://yusril.ihzamahendra.com/2007/12/05/hukum-
islam-dan-pengaruhnya-terhadap-hukum-nasional-indonesia/>, 19 Juni 2008.
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah
dalam Konteks Modernitas, Bandung, Asy-Syamil, 2000
PERDA SYARI’AH DAN RELEGUISITAS UMMAT DI INDONESIA

MAKALAH

Oleh :
HENDRI NALFINAS
1820040004

Dosen Pembimbing
DR. EFRINALDI, M. Ag

PRODI HUKUM KELUARGA


PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1441 H/2019 M

Anda mungkin juga menyukai