Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Di dalam hukum Islam yang berkembang dalam masyarakat adalah


hukum Islam yang terbentuk atas dasar al-Qur’an dan sunnah Nabi serta hasil
Ijtihad para fuqaha yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat Islam sehingga
produk-produk hukum disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Berkaitan dengan produk-produk hukum dalam Islam dibalik
berdasarkan madzhab fikih yang berkembang. Dalam perkembangannya
banyak yang muncul berbagai macam produk-produk fikih berdasarkan hasil
ijtihad para ulama terdahulu di tengah-tengah masyarakat Islam. Oleh karena
itu, penulis mencoba menjelaskan mengenai tentang bentuk-bentuk produk
fikih dalam Islam. dalam makalah yang sederhana ini dengan tema
pembahasan “Bentuk-bentuk Produk Fikih”
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk produk Fikih?
2. Apa saja bentuk-bentuk produk Fikih serta perbedaannya?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk produk Fikih ?
2. Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk produk fikih?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kitab-kitab Fikih

1. Kitab Fikih Bidayat al-Mujtahid

1
Kitab Bidayatul Mujtahid yang judul lengkapnya adalah Bidayat al-
Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid merupakan karya Ibn Rusyd dalam bidang
fikih yang paling terkenal sekaligus paling berkualitas jika dibandingkan
dengan buku-buku fikih yang lainnya. Buku Ibn Rusyd ini selesai ditulis oleh
Ibn Rusyd pada tahun 1188 M. Ketika menjabat sebagai Hakim Agung di
Cordoba, atau pada saat usianya sekitar 62 tahun. Buku ini memuat pandangan
dan argumentasi seluruh aliran fikih, baik mereka yang beraliran tekstualis
maupun yang beraliran rasionalis sejak zaman sahabat hingga abad ke 11 M.
Dan juga buku yang ditulis Ibn Rusyd dikenal sebagai Ilmu fikih
Perbandingan Mazhab.
Adapun metode dan corak penyampaian di dalam buku ini adalah
bentuk perbandingan (muqaran) madzhab antara satu dengan yang lainnya.
Sedangkan isi kandungannya ( jilid pertama dan kedua yaitu sebagai berikut:
Jilid pertama dan kedua yaitu berisikan tentang: Tharah (bersuci),
wudhu, tayamum, bab Air, bab Mandi, bab Najis, Haid, Kitab Sholat, Sholat
Juma’t, Sholat orang sakit, sholat-sholat sunnah, Jenazah, Kitab Zakat, kitab
Puasa, Kitab Musafir, Kitab Haji, persoalan Jihad, Sumpah, Kaffarah,
Nadzhar, Korban Aqiqah, sembelihan hewan, Kitab Makanan dan buruan,
Kitab Nikah, kitab thalaq, kitab sumpah dan nadzhar, kitab jual beli, kitab
murabahah, kitab sewa, syirkah, wasiat, hukum faraidh, kitab hudud dan
qadha.1
2. Kitab Fikih al-Umm (Karya Imam Asy-Syafi’i)
Nasab al-Imam asy-Syafi’i dari pihak ayah, secara lengkap adalah
Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin ‘Ustman bin Syafi’i bin al-Saib bin
‘Ubay bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin Adb al-Muththalib bin ‘Abd Manaf bin
Qushay al-Quraisy al-Muthallibi.2 Nasab al-Imam asy-Syafi’i bertemu dengan

1
Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, h. 2323
2
Abu Ishaq al-Syirazi al-Syafi’i, Thabaqatul al-Fuqaha; Ditahqiq oleh DR. Ihsan Abbas,
(Beirut: Dar al-Ra’id al-‘Arabi, 1970), h. 71 dan Muhammad ‘Ali al-Saiys, Tarikh al-Fiqh al-
Islami, (Kairo: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad ‘Ali Shuhib wa Awladih, t.th), h. 103,
tentang biografi dan latar belakang keluarga al-Imam al-Syafi’i, banyak sekali sumber yang
menjelaskan, baik berbahasa Arab maupun berbahsa Indonesia. Di antara sumber yang berbahasa
Indonesia dapatdirujuk, Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT.

2
nasab Rasul SAW pada ‘Abdul Manaf. Dengan demikian, jika dilihat dari jalur
paman dan bibi al-Imam al-Syafi’i dari jalur ayah. Ia adalah kemenakan jauh
Rasulullah SAW. Sementara jika dirunut nasab bibinya dari jalur ibu, maka al-
Imam al-Syafi’i adalah kemenakan jauh dari ‘Ali r.a.3
Al-Umm adalah kitab yang ditulis Asy-Syafi’i an menjadi kitab fikih
yang paling populer yang dinisbatkan kepada beliau. Kitab ini adalah
cerminan fase akhir dari kematangan ijthad Asy-Syafi’i setelah “bertualang”
mencari ilmu, menggali, berdebat, diskusi, dan merenung di Hijaz, Irak dan
Mesir. Kitab ini juga menjadi kitab Asy-Syafi’i yang paling terakhir ditulis.
Bisa dikatakan al-Umm juga mencerminkan madzhab Jadid Asy-Syafi’i.
Adapun metode Asy-Syafi’i dalam menulis al-Umm, pertama-tama
Asy-Syafi’i memulai pembahasan topik dengan menyajikan dalil. Jika ada
dalil al-Qur’an, maka disajikan dari al-Qur’an. Jika tidak ada dari al-Qur’an
maka beliau menyebutkan dari As-Sunnah. Jika ada keduanya maka
disebutkan semua. Saat menyebutkan dalil As-Sunnah kadang-kadang Asy-
Syafi’i menegaskan keshahihannya terkadang juga mendiamkannya. Jika
dhai’f maka akan dijelaskan.
Dengan cara penulisan seperti ini tidak diragukan lagi, metode Asy-
Syafi’i dalam al-Umm benar-benar akan melatih, mengasah dan menajamkan
kemampuan malakah fiqhiyyah ijtihadiyyah (talenta ijtihad fikih). Sedangkan
isi kitab al-Umm, menurut Rif’at Fauzi mengandung lima macam tulisan
adalah sebagai berikut:
a. Furu; Fikih, yakni pembahasan fikih rincian terkait halal-haram dan
hukum berbagai perbuatan maupun benda. Ini adalah bagian terbesar
dalam kitab al-Umm.

Remaja Rosdakarya, 2000), h. 101, Abdul Mun’im Saleh, Madzhab Syafi’i Kajian Konsep al-
Maslahah, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 7. K.H. Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan
Madzhab al-Imam al-Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1995), h. 13, Huzaemah Tahido Yanggo,
Pengantar Perbandingan Madzhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet ke- 1, H. 121, H.A.
Djazuli, Ilmu Fikih Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenada
Media, 2005), h. 129, dan Ali Fikr, Kisah-Kisah Para al-Imam Madzhab, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2003), h. 76
3
Muhammad Abu Zahra, al-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Fikruhu Ara-Uhu wa
Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Al-Syafi’i Biografi dan Pemikirannya
Dalam Masalah Akidah, Politik, dan Fikih”, (Jakarta: PT. Lentera Beritama, 2005), 27 dan Ahmad
al-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat al-Imam Madzhab, (t.tp. Amzah, 1991), h. 141

3
b. Ushul Fiqh seperti pembahasan dalam Ar-Risalah, Ikhtilafu al-Hadist,
Ijma’ al-‘Ilmi.
c. Fikih Muqaran, seperti pembahsan ikhtilaf Malik wa Asy-Syafi’i.
Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila.
d. Ayat-ayat Hukum dan tafsirannya yang disebutkan Asy-Syaf’i sebagai
dalil atas hukum fikih yang digalinya.
e. Hadits-hadits dan Atsar Hukum dengan Sanad bersambung sebagai
dalil pembahasan hukum.

B. Tafsir Ayat-ayat Ahkam dan Tafsir Hadist-hadist Ahkam

1. Tafsir Ayat-ayat Ahkam

a. Kitab Tafsir al-Kasysyaf (Al-Zamakhsyari)

Nama lengkap al-Zamakkhsyari adalah Abu Qashim, Mahmud bin


Umar bin Muhammad bin Ahmad al-Zamakhsyari. Lahir pada tanggal 27
Rajab 467 H di Zamakhsyar, sebuah perkampungan kecil yang terletak di
kota Kharwarizm. Kepada nama perkampungan ini pulalah nama al-
Zamakhsyari dinisbatkan. Al-Zamakhsyari dibesarkan di tengah-tengah
keluarga yang shaleh. Pada awalnya ia belajar dari ayahnya sendiri tentang
membaca, menulis dan menghafal al-Qur’an, setelah itu melanjutkan kepda
ulama-ulama besar di negerinya sendiri, baru kemudian melakukan
perjalanan ke berbagai kota untuk menimba ilmu di kota tersebut. Al-
Zamakhsyari sangat gigih dalam melakukan perjalanan menuntut ilmu, ia
sering berpindah-pindah tempat dari suatu kota ke kota lain. Al-Zmakhsyari
tidak pernah memasuki sebuah kota, melaikan untuk menemui para ulama
di kota itu dan belajar darinya.4
Diantara ulama-ulama yang pernah menjadi gurunya adalah
Mahmud bin Jarir al-Dhabbi al-Ashfahani (w. 507) dalam bidang adab,
ilmu i’rab, ilmu kalam dan tauhid, Syaikh Abu ‘Ali al-Dhariri, Syaikh
Sadid al-Khiyathi dalam masalah fiqh, Hakim al-Jamsymi dan

4
Muhammad ‘Ali Ayazi, al-Mufassirin Hayatuhu wa Manhajuhu, (Teheran: Muasasah
Thiba’ah wa al-Nasyr, tt), h. 573 lihat juga Manna’ Khalil al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-
Qur’an, (Beirut: Dar al-Kutub, 1973), h. 530

4
Muhammada Ushuli.5 Hal ini menjadikan al-Zamakhsyari menjadi seorang
ulama besar yang disegani pada masanya sampai sekarang. Di antara kota
yang pernah ia kunjungi untuk mencari ilmu adalah Bukhara (Khawarizm),
Naisabur, Khurasan, Ishfahan, Hamdan, dan Mesir.6
b. Kitab Tafsir al-Kasysyaf
Nama lengkap dari kitab ini adalah al-Kasysyaf ‘An Haqaiq
Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Kitab Tafsir al-
Kasysyaf cetakan pertama diterbitkan oleh Darul Kutub al-‘Ilmiyah Beirut.
Adapun isi kandingan kitab ini terdiri dari empat jilid yaitu sebagai berikut:
1) Jilid I, terdiri dari Muqaddimah yang ringkas, yanag menyebutkan
tentang pentingnya ilmu tafsir, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang mufassir, sejarah penulisan kitab al-Kasysyaf, sejak dia
diminta oleh para pelajar di Khawarizm dan Baghdad, sampai menjadi
sebuah kitab yang disusun di Mekkah. Kemudian dilanjutkan dengan
tafsir surat al-Fatihah, surat al-Maidah. Keseluruhan berjumlah 683
halama.
2) Jilid II, terdiri dari tafsir surat al-An’am sampai surat al-Kahfi,
seluruhnya berjumlah 721 halaman.
3) Jilid III, terdiri dari tafsir surat Maryam sampai dengan Surat al-Fathir,
sebanyak 601 halaman.
4) Jilid IV, terdiri dari tafsir surat Yasin samapi dengan Surat al-Nas,
sebanyak 818 halaman.
c. Kelebihan dan keutamaan Tafsir al-Kasysyaf
Kitab tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamaksyari dianggap sebagai
kitabnya yang terbaik yang dijadikan rujukan tafsir dari segi balaghah meski
bernuansa paham Mu’tazilah. Kebanyakan kitab-kitab tafsir setelahnya
mengambil dan bersandar padanya.7

5
Ibid, h. 573
6
Ibid, h. 574
7
Muhammad Abd Adhim al-Zarqaniy, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dâr
Ulum al-Ilmiyah, 1996), Juz II, h. 77

5
Tafsir al-Kasysyaf memiliki keutamaan dari kitab-kitab tafsir lainnya,
di antara keutamaan tafsir al-Kasysyaf adalah sebagai berikut:
1) Penjelasannya ringkas, tidak memuat uraian yang berbelit-belit dan
tidak terlalu panjang dalam pembahasannya
2) Tidak memuat cerita-cerita dan israiliyat
3) Kitab tafsir ini menjelaskan makna-makna dalam al-Qur’an
berdasarkan kaidah dan susunan kata dalam bahasa Arab.
4) Memperhatikan ilmu ma’ani, bayan dan unsur-unsur pokok ilmu
balaghah dalam memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an
untuk membuktikan kebenaran i’jaz (kemukjizatan) al-Qur’an.
5) Metode untuk menjelaskan banyak menggunakan bentuk pertanyaan
dan jawaban.8
2. Hadis-hadis Ahkam
a. Hadits al-Ahkam Mustadrak al-Hakim
Nama lengkap al-Hakim adalah al-Hafizh Abu Abdullah Muhammad
bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu’aim bin ak-
Bayyi al-Dabi al-Tahmani al-Naisaburi. Beliau lahir di Naisaburi pada hari
Senin 12 Rabiul Awal 321 H, dan wafat pada Tahun 405 H, beliau sering
disebut dengan Abu Abdullah al-Hakim al-Naisaburi atau Ibnu al-Bayyi’ atau
al-Hakim Abu Abdullah.9
Penamaan kitab karya al-Hakim dinamakan al-Mustadrak yang artinya
ditambahkan atau disusulkan atas al-Shahihah.10 Al-Hakim menamakan
demikian karena berpendapat bahwa hadits-hadits yang terdapat dalam
kitabnya memenuhi kreteria yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan
Muslim, sedangkan hadits tersebut belum tercantum dalam kitab Shahih
Bukhari maupun Muslim. Dengan demikian kandungan kitab al-Mustadrak
dapat diklasifikasikan menjadi empat kemungkinan yaitu: (a) hadits-hadits
yang tercantum dalam al-Mustadrak tidak ada dalam Shahihain, baik lafal
8
Ibid, h. 77-78
9
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits Ijtihad Hakim dalam Menentukan
suatu Hadits, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 29
10
Shubhi al-Shahih, ‘Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-
Malayin, 1988), h. 117-125 lihat juga Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis, ( Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000), h. 76-80

6
maupun makna, tetapi terdapat dalam kitab lain. (b) Hadits-hadits yang
terdapat dalam al-Mustadrak lafalnya berbeda dengan hadits yang ada dalam
Shahihain tetapi maknaya sama, (c) Hadits-hadits dalam al-Mustadrak
melengkapi lafal hadits yang ada dalam Shahihain, (d) Hadits-hadits yang
tercantum dalam al-Mustadrak menggunakan sanad yang tidak digunakan
dalam Shahihain.11
Adapun isi dari kitab al-Mustadrak dapat dibagi menjadi empat bagian
yaitu:
1. Fihris awa’il al-Ahadits, bagian ini berisi indeks matan hadits yang
pendek yang lafal pertamanya atau huruf awal haditsnya berdasarkan
urutan huruf hijaiyyah. Setiap hadist disertai dengan nama rawi awal
(shabah) dan nomor hadits serta nomor jilid.
2. Fihris al-A’lam li al-Shabah wa al-Thabi’in, bagian ini berisi indeks
nama-nama sahabat dan tabi’in yang terdapat dalam rangkaian sanad
hadits-hadits al-Mustadrak
3. Fihris al-Rijal al-Ladzina Takallamana fihim al-Imam al-Dzahabi fi
al-Talkhish Jarh wa Ta’dil, bagian ini berisi indeks para rawi dalam al-
Mustadrak yang dinilai oleh Dzahabi baik cacat (jarh) maupun
‘Adilnya.
4. Al-Mu’jam al-Lafzhi Murattab Hija’iyyah, bagian ini berisi paduan
mencari (mentahkrij) hadits-hadits al-Mustadrak yang disusun
berdasarkan kata dasar. Urutan kata dasar disusun berdasarkan huruf
hija’iyyah, kemudian disebutkan pula nomor hadits dan nomor jilid.
Sedangkan kandungan hadits Kitab al-Mustadrak berjumlah 8803
hadits yang terdiri 8 Jilid dengan 51 pembahasan (kitab) sistematika is al-
Mustadrak adalah sebagai berikut: (1) kitab al-Imam, (2) kitab al-‘Ilm, (3)
kitab al-Tharah, (4) kitab al-Shalah, (5) kitab al-Jum’ah, (6) kitab al-Shalat
al-‘Aydyan, (7) kitab al-Witr, (8) kitab al-Sahwi, (9) kitab al-Istisqa’, (10) kitab
al-Tafsir, (11) kitab al-Tawarikh, (12) kitab al-Ma’rifah al-Shabah, (13) kitab
al-Ahkam, (14) kitab al-Athi’mah, (15) kitab al-Asyribah, (16) kitab al-Birr wa

11
M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits Ijtihad,, op.cit, h. 57-62

7
al-Shilah, (17) kitab al-Libas, (18) kitab al-Fara’idh, (19) kitab al-Hudud, (20)
kitab Takbir al-Ra’yu, (21) kitab al-zakat dan lain-lain sebagainya.
C. Kumpulan Fatwa Fuqaha (Lembaga Fatwa)
1. Fatawa al-Mu’asir (Syeik Yusuf al-Qardhawi)
Nama lengkapnya adalah Yusuf Abdullah al-Qaradhawi, beliau
dilahirkan pada tanggal 9 September 1926 di Desa Shafath Turab daerah
Mahalla al-Kubra yang termasuk ke dalam provinsi al-Gharbiyah di Mesir. 12
Pendidikan keagamaannya, ia peroleh dari keluarganya sendiri, karena ia
berasal dari keluarga yang taat menjalankan agama. Pada usia dua tahun ia
sudah menjadi anak yatim, ia diasuh dan dididik oleh pamannya, sehingga
Yusuf al-Qaradhawi tumbuh menjadi seorang yang teguh dan taat
menjalankan syari’at Islam.13
Sebagai seorang tokoh dan sekaligus ulama yang terkenal dewasa ini
pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dalam bidang keagamaan dan politik banyak
diwarnai oleh pemikiran Syekh Hasan al-Banna. Hal ini ia akui sendiri bahwa
tokoh atau ulama yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran dan
jiwanya adalah Syeikh Hasan al-Banna seorang tokoh pergerakan umat Islam
kontemporer.14
Apabila dilihat secara mendalam, dengan cara menelaah berbagai
fatwanya, Yusuf al-Qaradhawi tetap menjadikan al-Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber utama dalam penetapan suatu hukum. Adapun hasil fatwa
Yusuf al-Qaradhawi adalah sebagai berikut:
a. Pencangkokan Organ Tubuh
Menurut al-Qaradhawi dalam persoalan-persoalan yang timbul di
tengah-tengah masyarakat, yang membutuhkan ijtihad dalam penetapan
hukumnya, tidaklah bisa dilepaskan atau diabaikan pertimbangan mashlahat
atau mudharat yang ditimbulkannya. Hal ini merupakan upaya untuk
mempertahankan prinsip diturunkannya ajaran Islam yaitu memelihara
kemashlahatan umat dan menjauhkan kemudharatan mereka baik di dunia

12
Muhammad al-Majzub, ‘Ulama wa Mutafakkirun ‘Araftuhum, (Beirut: Dâr al-Nafais,
1977), h. 439
13
Nukman Abdurraq Assamarai dkk, ‘Aimal Khalal. Diterjemahkan oleh Farid Uqbah dan
Hartono, (Jakarta: Media Dakwah, 1987), h. 153
14
Muhammad al-Majzub, ‘Ulama wa Mutafakkiru,..., op.cit. h. 444

8
maupun di akhirat yang dikenal dengan maqasid al-Syari’ah. Selaras dengan
ini apa yang ditegaskan oleh al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa’ bahwa
maqasid al-Syar’iyah merupakan perwujudan dari meraih manfaat dan
menolak kemudharatan.15
Dalam hal ini Yusuf al-Qaradhawi membolehkan pencangkokan
organ tubuh untuk membantu orang lain dalam bentuk shadaqah, tanpa dijual
belikan. Menurutnya, berusaha menghilangkan penderitaan orang muslim
lain yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonirkan salah satu
ginjal yang sehat merupakan tindakan yang diperkenankan oleh syara’
bahkan dianjurkan dan diberi pahala yang mendonorkannya.16 Karena
dengan bantuannya itu, ia telah menghilangkan kemudharatan pada muslim
lain.
b. Penggunaan Pil Penunda Haid
Dalam hal Yusuf al-Qardhawi menjelaskan sebaiknya wanita
membiarkan terjadinya haidh secara alamiah sesuai dengan kehendak Allah
(sunnatullah). Bila haidhnya datang di bulan Ramadhan, ia tidak harus
berpuasa (boleh berbuka), tetapi harus menggantinya pada bulan lain. Hal ini
merupakan dispensasi (rukhshah atau keringanan) dari Allah SWT untuk
wanita haidh, karena ketika haidh kondisi fisiknya sangat lemah. Namun, al-
Qardhawi membolehkan wanita memakan atau mengkonsumsi pil penunda
haidh bila ingin berpuasa penuh di bulan Ramadhan. Al-Qardhawi
menjelaskan:
Dan apabila sebagian wanita ingin menggunakan pil untuk menunda
haidh dari waktunya (yang biasa) sehingga ia dapat berpuasa Ramadhan
sebulan penuh, maka hal itu dibolehkan (tidak apa-apa) dengan syarat ia
harus yakin bahwa pil itu tidak menimbulkan bahaya (membahayakan
wanita tersebut). Karena itu harus ditanyakan terlebih dahulu kepada
dokter ahli agar ia tidak mendapat dampak negatif (bahaya) dari pil
tersebut. Bila ia tidak yakin, ia boleh memakan pil penunda haidh tersebut
dan berpuasa Ramadhan. Puasanya itu diterima (sah) insya Allah.17

15
Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, (Kairo: Dâr al-Fikr. t.th), Jilid I, h. 286
16
Yusuf al-Qardhawi, Fatawa al-Mu’ashir, (Beirut: Dâr al-Wafa’, 1993), cet ke-3 h. 532
17
Al-Qardhawi, Fatawa,..., Jilid. 3. h. 322-323

9
D. Produk Perundang-undangan di Negara Berpenduduk Muslim
1. Perundang-undangan di Negara Mesir
Perundang-undangan Mesir mempunyai sejarah yang panjang, pada
tahun 1876 Mahkamah Mukhalitah mengeluarkan Undang-undang perdata
mesir, undang undang itu dinamakan Undang-undang perdata campuran.
Dari beberapa macam Undang-undang diatas, Muhammad Salam
Madkhur menyebutkan ada lima peradilan yang timbul pada masa itu, yaitu:
1. Peradilan Syar’i, peradilan tertua dari sumber hukumnya adalah fiqih
islami.
2. Peradilan Campuran, sumbernya undang-undang asing (UU Campuran).
3. Peradilan Ahli, sumbernya UU Ahli.
4. Peradilan Milly, sumbernya agama yang bersangkutan.
5. Peradilan Qunsuli (Peradilan Negara Asing)
Hasbi ash-shiddieqi membagi sejarah peradilan di Mesir dalam tiga
periode.18
Periode pertama, ketika Islam telah menyebar semakin luas. Mesir
masuk dalam wilayah Islam saat pemerinthan khalifah Umar bin Khattab,
dimana Amru bin Ash sebagai gubernur pertamannya. Beberapa lama setelah
menjadi gubernur, khalifah meminta Amru bin ‘Ash supaya mengangkat
Ka’ab bin Dlannah sebagai qadhi, namun karena Ka’ab menolak, Amr bin
‘Ash mengangkat Utsman bin Qais. Inilah qadhi pertama di Mesir. Hukum
yang digunakan dalam masa ini adalah Syariat Islam dalam semua bidang
kehidupan.
Periode kedua, pada masa ini peradilan tidak jauh berbeda dari
pertama, tetapi ada beberapa hal yang menarik pada periode ini. Ketika Imam
Syafi’i datang ke mesir dan mengembangkan madzhabnya, maka peradilan
Mesir dipegang oleh ulama ulama Syafi’iyah. Periode ketiga, ketika Said
Pasya memerintah Mesir, beliau meminta kepada Khalifah supaya hak
menentukan atau mengangkat qadhi diserahkan kepadanya.

18
Hasbi ash-Shiddieqi, Peradilan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1950),cet ke-3,
h. 65-70.

10
Pasa masa pemerintahan Ismail Pasya, dibentuk beberapa mahkamah
yang mempunyai tugas dan wewenang masing masing, misalnya:
a. Majelis Aqlamid Da’awi
b. Majelis Da’wil Balad
c. Majelis Markaz, menimbangkan perkara yang telah diputuskanoleh kedua
majelis atas.
d. Majelis Ibtida’i
e. Majelis Isti’naf, menimbang perkara yang telah diputuskan sebelumnya.
f. Majelis Al-Akham, menimbang kembali perkara dibawahnya.
g. Majelis Tijarah, memutuskan perkara yang ada sangkut pautnya dengan
perdagangan.

Dedi Supriyadi, dalam bukunya Sejarah Hukum Islam, membagi


sejarah peradilan di Mesir ke dalam dua fase, yaitu:
1. Fase pembaharuan Qadha
Pembaruan sistem peradilan yang akhirnya pada 1875 dibentuk
Mahkamah Ahliyah. Fase ini melahirkan lembaga hukum yang menangani
beberapa kasus hukum, yaitu:
a. Mahkamah Mukhalitah, bertugas menangani perkara-perkara atau
kasus-kasus hukum yang terjadi antara sesame orang asing yang
mendapat hak-hak istimewa atau antara mereka dengan orang Mesir,
baik yang berkenaan dengan perkara perdata maupun perkara pidana.
b. Mahkamah Ahliyah, bertugas menangani perkara-perkara atau kasus-
kasus hukum yang terjadi, baik menyangkut bidang perdata maupun
pidana di lingkungan orang-orang Mesir atau orang yang mendapatkan
hak-hak istimewa.
c. Mahkamah Syar'iyah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara atau
kasus-kasus hukum yang berkenaan dengan al-ahwal al-Syakhshiyah,
seperti nafkah, talak dan warisan.19
2. Fase Penghapusan Hak-hak Istimewa
19
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), cet 1, h. 103-104.

11
Pada 1937, Mesir dan Inggris mengadakan persetujuan tentang
penghapusan hak istimewa yang sebelumnya diberikan kepada orang
asing. Lima bulan setelah perjanjian ini, Mahkamah Qonsuliyah
dihapuskan dan tugasnya dialihkan ke Mahkamah Mukhalitah. Pelimpahan
ini sifatnya hanya sementara karena Mahkamah Mukhalitah pada
perkembangannya juga dihapuskan, yaitu pada 1949. Dengan dihapusnya
dua lembaga ini, Mesir mengalami transisi perundang-undangan. Paling
tidak mengalami perubahan yang mendasar dalam system Peradilan dan
perundang-undangannya.
Pada 1948 dibentuk perundang-undangngan Mesir yang
menjadikan syariat Islam sebagai sumber resmi.Kemudian tahun 1950
ditetapkan Undang-undang Hukum pidana. Adapun yang dijadikan sebagai
sumber qanun dan kedudukan syariat Islam di Mesir sebagaimana
ditetapkan pada 1948 adalah:
1. Undang-undang al-Mukhalitah dan al-Ahli yang pada hakikatnya
berasal dari undang-undang Prancis.
2. Undang-undang perdata modern.
3. Hukum Mesir sesuai kebutuhan negara.
4. Syariat Islam sebagai sumber resmi.20
2. Perundang-undangan di Negara Iran
Imam Khomeini menyebutkan dalam bukunya “Sistem Pemerintahan
Islam”. Pemerintahan Islam tidak bersifat tirani dan juga tidak absolut
kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional. Namun bukan bersifat
konstitusional sebagaimana pengertian saat ini, yaitu berdasarkan persetujuan
yang disahkan oleh hukum dengan berdasarkan suara mayoritas. Pengertian
konstitusional yang sesungguhnya adalah bahwa pemimpin adalah suatu
subjek dari kondisi-kondisi tetentu yang berlaku di dalam kegiatan
memerintah dan mengatur negara yang dijalankan oleh pemimpin tersebut,
yaitu kondisi-kondisi yang telah dinyatakan oleh al-Qur’an dan Sunnah.
Kondisi-kondisi tersebut merupakan hukum-hukum dan aturan-atuan Islam
yang juga terdiri dari kondisi-kondisi yang harus diperhatikan dan

20
Alaiddin Koto op. cit h. 175

12
diperaktikkan. Pemerintahan Islam karenanya dapat didefnisikan sebagai
pemerintahan yang berdasarkan huhum-hukum Allah atas manusia.21
Dalam pemerintahan Islam, kekuasaan legislatif dan wewenang untuk
menegakkan hukum secara eksklusif adalah milik Allah. Atas dasar inilah
dalam sebuah pemerintahan Islam, Badan Majlis Perencanaan mengambil
peran sebagai Majlis Legislatif, yang merupakan salah satu dari tiga cabang
dalam pemerintahan yang ada saat ini (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
Majlis ini menyusun program-program bagi departemen di dalam kerangka
aturan-aturan Islam dan dengan cara demikian majlis ini akan menentukan
bagaimana kuantitas dan kualitas pelayanan publik yang akan diberikan oleh
negara kepada masyarakatnya. Hukum-hukum Islam yang ada di dalam al-
Qur’an dan Sunnah telah diterima oleh kaum muslim dan ditaati. Penerimaan
mereka ini akan memudahkan tugas pemerintah dalam menegakkan hukum-
hukum tersebu dan membuatnya agar benar-benar menjadi milik rakyat.
Dalam Islam, hakikat pemerintahan adalah ketaatan kepada hukum-
hukumnya, yang mana hukum-hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur
masyarakat. Bahkan kekuasaan terbatas dalam arti sesuai kehendak Allah
dalam mendeglegasikannya kepada manusia yang dimiliki oleh Nabi dan para
pelaksana hukum sepeinggal beliau adalah anugrah Allah kepada mereka.22
Persyaratan mendasar bagi para hakim ditentukan oleh watak dalam
bentuk pemerintahan Islam. Selain persyaratan umum seperti kecerdasan dan
kemampuan mengatur, ada dua syarat mendasar lainnya, yaitu pengetahuan
akan hukum dan keadilan. Jika seseorang yang memliki dua syarat tersebut
bangkit dan menegakkan sebuah pemerintahan, ia akan memiliki kewenangan
yang sama sebagaimana kewenangan Nabi dalam mengatur masyarakat dan
menjadi kewajiban bagi semua orang untuk mentaatinya.
Pada dasarnya jelas keutamaan Nabi melebihi seluruh keutamaan-
keutamaan manusia, dan sepeninggal Nabi amirul mukminin adalah manusia
yang paling utama dari manusia lainnya. Allah telah memberikan kekuasaan
dan wewenang yang sama kepada pemerintah saat ini, sebagaimana telah

21
Imam Komeini, Sistem Pemerintahan Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), h. 47
22
Ibid., h. 49

13
diberikan-Nya kepada Nabi dan para amirul mukinin. Maka wilayah seorang
faqih yang adil adalah sama dengan wilayah Nabi dan amirul mukminin.23
Wilayah al-Faqih adalah permasalahan i’tibar ‘uqolai, dan
keberadaannya atas dasar penunjukan, seperti penunjukan seorang pelindung
yang akan melindungi rakyat kecil. Berkaitan dengan tugas dan posisinya,
maka sesungguhnya tidak ada perbedaan antara pelindung negara dan
pelindung rakyat kecil.24 Sedangakan sistem pemerintahan Iran adalah:

1. Ideologi
Ideologi negara Iran berdasarkan kepada Agama Islam Madzhab Syiah
Imam 12 (Ja’fari). Untuk melaksanakan prinsip ini maka diciptakan sistem
Velayat-e Faqih (Supremasi kaum ulama) di mana seorang pemimpin agama
memiliki hak untuk memberikan fatwa keagamaan dan sekaligus memegang
kekuasaan tertinggi dalam masalah ketatanegaraan.
2. Konstitusi
Hukum tertinggi adalah Konstitusi Republik Islam Iran yang disahkan
pertama kali oleh Majelis Ahli tanggal 15 November 1979 dan diamandemen
pada Juli 1989.
3. Pelaksanaan Pemerintahan
a. Wali Faqih atau Rahbar
Unik sekaligus khas, sesuai dengan prinsip wilayah al-faqih,
kepemimpinan tertinggi di Republik Islam Iran berada di tangan seorang
ulama yang disebut rahbar dan juga wali fakih. Akan tetapi, dalam
Wilayah al-faqih bukanlah berarti bahwa yang berada di puncak pimpinan
adalah seorang faqih dan secara langsung menjalankan pemerintahan.
Peran seorang faqih dalam Negara Islam yang rakyatnya mengakui Islam
sebagai prinsip dan ideologinya adalah peran seorang ideolog dan bukan
penguasa. Kewajiban seorang ideolog adalah melakukan pengawasan
terhadap sejauh mana ideologi itu telah dilaksanakan secara benar.
Sepanjang revolusi konstitusi, rakyat Iran tidak pernah memahami
wilayah al-faqih sebagai penyerahan kekuasaan dan pengaturan Negara
nagara kepada para faqih. Sebab, selama ini mereka memahami bahwa
seorang faqih harus (bertugas) menentukan tepat atau tidaknya seorang
23
Ibid., h. 56-57
24
Ibid., h.58

14
penguasa untuk dipilih, dan sejauh mana pula kapasitasnya dalam
melaksanakan undang-undang kenegaraan yang islami, karena
masyarakatnya adalah masyarakat Islam dan warga negaranya
melaksanakan ajaran Islam.
Sebagai pemegang mandat tertinggi sebagai pemimpin religius dan
politis, wali faqih memiliki peranan dan wewenang besar dalam menjaga
stabilitas politik dalam dan luar negeri Republik Islam Iran. Besarnya
wewenang faqih inilah, yang sering dijadikan sasaran oleh para politikus
Barat yang anti Islam (Iran) dan tidak memahami dengan cermat sistem
politik wilayah al-faqih untuk mengklaim Iran. sebagai Negara yang tidak
demokratis, kasar, fundamentalis, tidak toleran, bahkan sarangnya teroris.
Mengenai kepemimpinan wilayah al-faqih, secara jelas disebutkan
dalam Pasal 5 Konstitusi Iran yang menyatakan : “selama gaibnya Hazrat
Wali al-Asr (Shahib al-Zaman yaitu Imam Mahdi) semoga Allah
memeprcepat kedatangannya, wilayah dan kepemimpinan umat berada di
tangan faqih yang adil dan saleh, berakhlak mulia, memahami benar
keadan zamannya, berani, bijaksana, dan mampu memerintah; serta diakui
dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas rakyat. Jika tidak terdapat
ahli-ahli agama atau ahli-ahli hukum agama yang memenangkan mayoritas
suara rakyat tersebut, pemimpin atau Dewan Pimpinan yang terdiri dari
ahli-ahli agama Islam dan ahli-ahli hukum agama Islam yang memenuhi
persyaratan sebagaimana tersebut di atas, akan diserahi tugas untuk
memerintah atau memimpin sebagaimana tercantum dalam pasal 107
Undang-Undang ini”.
Wali faqih diberi kekuasaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
110, sebagai komando kekuatan angkatan bersenjata tertinggi, yang
dilaksanakan dengan tindakan berikut ini: menunjuk dan memecat Kepala
dari seluruh staf, menunjuk dan memecat Komandan Staf Korps Pengawal
Revolusi Islam, membentuk sebuah Dewan Pertahanan Nasional Tertinggi,
menunjuk Komandan Tertinggi dari cabang-cabang Angkatan bersenjata
dan mengumumkan perang dan damai.

15
Supremasi faqih muncul pula dalam kekuasaannya menyangkut
pengangkatan dan pemecatan presiden. Ia memberhentikan Presiden Republik
demi kepentingan negara, setelah pengumuman suatu penilaian/evaluasi oleh
Mahkamah Agung yang membuktikan bahwa sang presiden gagal memenuhi
tugas-tugas legalnya, atau sebuah pemungutan suara dalam Majelis
Pertimbangan Nasional mengakui ketidakcakapan politis sang presiden.
b. Lembaga Eksekutif
Kepala pemerintahan dijabat seorang Presiden yang dipilih secara
langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 4 tahun, dapat dapat dipilih
kembali maksimal satu kali. Presiden dibantu oleh 9 orang wakil presiden
yang membidangi tugas masing-masing serta 21 menteri anggota kabinet.
Sistem pemerintahan Iran menganut sistem presidensiil dan parlementer, di
mana anggota kabinet ditunjuk/diangkat oleh Presiden tetapi harus
mendapat persetujuan dari Majelis serta bertanggungjawab kepada
Presiden dan Majelis.
Presiden harus bertanggungjawab kepada rakyat, Leader dan
Parlemen (Majelis). Jika Presiden berhalangan selama dua bulan lebih,
maka Wakil Presiden I akan menjalankan fungsi pemerintahan atas
persetujuan Leader. Secara administratif, Iran terbagi menjadi 28 Propinsi
dan 114 tingkat kabupaten. Setiap Propinsi dipimpin seorang Gubernur
Jenderal sedangkan kabupaten/kotamadya dipimpin Gubernur. Sejak
terbentuknya Islamic Council tingkat Daerah (DPRD) hasil Pemilu
Februari tahun 1999 pengangkatan para Gubernur Jenderal dan Gubernur
didilakukan oleh DPRD.
c. Lembaga Legislatif
Parlemen merupakan pemegang kekuasaan legislatif dalam sistem
politik modern, dan menjadi syarat negara demokratis. Kekuasaan ini
terpisah dari eksekutif untuk menjaga keseimbangan kekuasaan (balances
of power), dan diberi tugas umumnya sebagai pembuat undang-undang.
Begitu pula dalam pemerintahan RII. Parlemen menjadi salah satu bagian
integral dari Negara yang memiliki kedudukan setingkat lembaga eksekutif
dan bertanggung jawab atas ketetapan dan pembuatan undang-undang di
Iran. Hanya saja setiap produk undang-undang yang mereka rumuskan
16
haruslah diuji oleh Dewan Pelindung Konstitusi untuk mendapatkan
legalitas tentang kesesuaiannya dengan syariat Islam.25
d. Lembaga Judikatif
Kekuasaan tertinggi lembaga peradilan dijabat oleh Ketua Justisi
yang diangkat langsung oleh Leader untuk masa jabatan 5 tahun. Ia
haruslah seorang Ulama Ahli Fiqih (Mujtahid). Fungsi utama Lembaga
Judikatif adalah mengangkat dan memberhentikan ketua dan anggota
Mahkamah Agung dan Jaksa Agung serta menyusun RUU. Ia juga
mengusulkan calon Menteri Kehakiman kepada Presiden.
Bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kegiatan lembaga-lembaga
Judikatif, sementara Kementerian Kehakiman mengatur koordinasi antara
lembaga judikatif dan lembaga-lembaga Eksekutif dan Legislatif serta
bertugas di bidang organisasi pemerintahan dan anggaran.
Sistem peradilan Iran mempunyai dua bentuk yaitu peradilan
umum dan khusus. Peradilan umum meliputi Pengadilan Tinggi Pidana,
Pengadilan Rendah Pidana, Pengadilan Tinggi Perdata, Pengadilan Rendah
Perdata dan Pengadilan Perdata Khusus. Sedangkan Pengadilan Khusus
terdiri dari Pengadilan Revolusi Islam, Pengadilan Khusus Ulama dan
Pengadilan Pers.
Sesuai dengan Konstitusi terdapat beberapa institusi lain yang
berada di bawah Lembaga Judikatif seperti Peradilan Militer yang
merupakan bagian dari Lembaga Peradilan yang menangani kasus-kasus
pidana yang melibatkan anggota Angkatan Bersenjata, Polisi dan
Pasdaran; Peradilan Tinggi Administrasi yang menangani kasus-kasus
yang terkait dengan administrasi pemerintah; dan Kepala Inspektur Negara
yang bertugas mengawasi kinerja kementerian.26

3. Perundang-undangan di Negara Maroko


Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 19 Agustus
1957, Maroko yang penduduknya adalah pengikut Madzhab Maliki,
melakukan kodifikasi selama 1957-1958, yang menghasilkan Mudawwanah

25
Nasiruddin, op. cit.,
26
Maulana, op. Cit.,

17
al-Ahwal al-Syakhsiyah. Sejarah lahirnya UU Maroko berawal pada tanggal 6
Desember 1957 (13 Jumadil Awal 1377) dengan terbitnya Dekrit Raja yang
bertanggal 22 November 1957 (28 Rabiul Tsani 1377), mengumumkan akan
lahirnya UU Pernikahan dan Perceraian pertama yang mencakup pernikahan
dan perceraian ini mulai berlaku di seluruh wilayah kerajaan sejak 1 Januari
1958. Kedua buku ini adalah hasil kerja dari komite yang dibentuk tanggal 19
Agustus 1957 (22 Muharram 1377). Adapun isinya terdiri dari 8 bab yaitu Bab
I Perkawinan dan Pinangan, II. Dasar-dasar dan Syarat-syarat Akad Nikah, III.
Wali Nikah, IV. Mahar, V. Pembatalan Perkawinan, VI. Jenis Perkawinan dan
Akibat-akibatnya, VII. dan VIII. Tentang Perceraian.27
Antara tahun 1912-1956 Maroko berada di bawah dominasi politik
Perancis dan Spanyol. Sistem hukum kedua negara ini banyak mewarnai
hukum lokal yang ada di Maroko, terutama dalam hukum sipil. Hanya dalam
hukum keluarga syari’ah, khususnya mazhab Maliki, secara teguh dianut,
walaupun dalam batas-batas tertentu dan terdapat beberapa elemen yang
dipengaruhi hukum Perancis dan Spanyol, dan kebiasaan-kebiasaan lokal.
Aturan yang bercampuraduk ini terbungkus dalam hukum keluarga Maroko.
Untuk menghindari kondisi ini negara terpanggil untuk melakukan kodifikasi
hukum keluarga, sekaligus melakukan reformasi dengan pertimbangan
mashalah mursalah.
Pada tanggal 19 Agustus 1957 sebuah Komisi Reformasi Hukum
dibentuk berdasarkan keputusan kerajaan. Komisi ini bertugas menyusun
rancangan undang-undang Hukum Perorangan dan kewarisan. Penyusunan
rancangan undang-undang tersebut didasarkan pada:
1. Beberapa prinsip dari mazhab-mazhab hukum Islam (fikih), khususnya
Mazhab Maliki yang dianut di Maroko
2. Doktrin Maslahah Mursalah
3. UU yang diberlakukan di beberapa negara muslim lainnya.
Rancangan ini resmi menjadi UU pada tahun 1958 dan diberi nama
Mudawwanah al-Ahwal al-Syakhsiyah. Sebagian besar aturan-aturan dalam
27
M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 16-17

18
hukum tersebut berdasar Madzhab Maliki yang secara umum dan telah lama di
Maroko. Hukum keluarga yang baru ini mencakup berbagai pembaharuan
yang sangat penting terutama berkenaan dengan pernikahan dan perceraian. Isi
UU ini sama komprehensifnya dengan hukum keluarga yang di Syiria
meskipun dari segi isi lebih progresif. Sebaliknya UU Maroko lebih
konservatif jika dibandingkan dengan yang berlaku di Tunisia.28 Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya karena pengaruh dari negara yang
telah menjajah Maroko yang sedikit banyak telah terjadi proses asimilasi
dalam hukum negara yang telah dibentuk.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, memandang bahwa peraturan
hukum keluarga di Maroko dipengaruhi oleh negara yang secara politik telah
lama mendominasinya yaitu Spanyol dan Perancis. Diantaranya pengaruh
tersebut adalah adanya kodifikasi hukum keluarga yang dikenal dengan code
of Personal Status atau Mudawwanah al-Ahwal al-Syakhsiyah yang terjadi
pada tahun 1957-1958.
Ada beberapa bagian dalam Mudawwanah al-Ahwal al-Syakhsiyah
(1958) yang sama dengan hukum-hukum dalam Majallah, Hukum Keluarga
Tunisia, (1956). Hal ini terjadi disebabkan oleh kesamaan Mazhab, Mazhab
Maliki, yang dianut oleh kedua negara ini. Kesamaan tersebut antara lain
sebagai berikut:
1. Aturan tentang pertunangan dan pelanggaran janji kawin
2. Adanya syarat izin dari wali bagi perkawinan yang akan dilakukan
pihak-pihak yang masih di bawah umur dewasa (20 tahun di
Tunisia dan 21 tahun di Maroko) dan kekuasaan pengadilan untuk
campur tangan jika perlakuan wali tidak dapat dibenarkan.
3. Perlindungan terhadap isteri dan keluarga
4. Pengasuhan anak dan kekuasaan pengadilan memperpanjang masa
asuh berdasarkan kepentingan sang anak.29
Terakhir hukum keluarga di Maroko ditetapkan pada tanggal 3 Februari
2004 yang disebut Mudawwanah al-Ahwal al-Syakhsiyah al-Jadidah fi al-
28
Ibid., h. 108
29
Ibid., h. 108

19
Maghrib atau Mudawwanah al-‘Usrah. Undang-undang ini berisi 400 Pasal,
terdapat tambahan 100 pasal dari undang-undang yang ditetapkan pada tahun
1957.
Pada tahun 2004 Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum
Keluarga (Mudawwanah al-‘Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki
dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga
yang telah berlaku selama setengah abad.30 Beberapa capaian signifikan dalam
Hukum Keluarga ini salah satunya adalah perempuan tidak membutuhkan izin
wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk
menentukan sendiri calon suaminya. Adapun capaian yang lainnya adalah (1)
keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan
merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggungjawab tunggal
keluarga, (2) batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan
adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15
tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, (3) poligami mempunyai syarat yang
sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.

E. Yurisprudensi Mahkamah Sya’iyyah

Mahkamah dalam bahasa Arab berarti pengadilan dan Syar’iyyah


berarti syari’at atau legalitas. Jadi secara bahasa, mahkamah syar’iyyah adalah
pengadilan syari’at atau pengadilan berdasarkan legalitas. Dengan kata lain,
Pengadilan Islam adalah pengadilan yang sah dan pengadilan yang sah adalah
yang berdasarkan syari’at. Ia sah karena diperintahkan dalam syari’at dan
dipraktekkan oleh pembawa syari’at, yaitu Nabi Muhammad, dan penerus
beliau sampai hari ini.31
Mahkamah Syari’at adalah kata lain untuk menunjukkan Pengadilan
Islam yang sudah ada di Indonesia melalui UU No. 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh Darussalam
(UU NAD), Mahkamah Syar’iyah muncul kembali dalam bahasa perundang-
30
Ibid., h. 108
31
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syari’at Islam di Indonesia, (Jakarta: Rifyal Ka’bah
Foundation, 2016) , cet ke-II, h. 120

20
undangan Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (7) UU NAD dinyatakan “
Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh dari
pihak mana pun dalam wilayah Provinsi NAD yang berlaku untuk pemeluk
Agama Islam.” Pasal 25 ayat (2) menjelaskan bahwa kewenangan Mahkamah
Syar’iyah didasarkan atas syari’at Islam dalam sistem hukum Nasional, yang
diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi NAD. Qanun Provinsi NAD adalah
Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi NAD yang di Aceh disebut Qanun dan
pada Provinsi-provinsi lain di Indonesia disebut PERDA (Pasal 1 ayat 80).32
Pengembangan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia harus
memperhatikan dua hal. Pertama, Mahkamah Syar’iyah adalh sebuah nama
untuk pengadilan islam. Karena itu, pengembangannya yang alami adalah
menuju Pengadilan Islam seperti yang berlaku di masa lalu untuk hal-hal yang
masih relevan dan Pengadilan Islam yang ideal di masa depan sesuai cita-cita
Islam sebagai agama wahyu. Kedua, pengembangannya di Indonesia adalah
dalam konteks hukum Nasional. Pada waktu ini telah terdapat Pengadilan
Agama untuk seluruh wilayah Indonesia dan Mahkamah Syar’iyah untuk
Provinsi NAD sebagai mewakili Pengadilan Islam di negeri ini, mulai dari
tingkat pertama sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung dengan
kompetensi yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, pengembangannya dalam konteks hukum Nasional adalah melalui
peningkatan kompetensi Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah melalui
peraturan perundang-undangan sehingga mencakup sebanyak mungkin apa
yang seharusnya menjadi kompetensi Pengadilan Islam yang dicita-citakan.
Pada tahun 200, pemerintahan Daerah Aceh melahirkan empat PERDA
yang mendukung pelaksanaan Undang-undang di atas, yaitu:33
1. PERDA Nomor 3 tentang Organisasi dan tata Kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU);
2. PERDA nomor 4 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh;
3. PERDA Nomor 6 tentang Penyelenggaraan pendidikan; dan
32
Ibid., h. 121
33
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syariat Dalam Wacana
dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 109

21
4. PERDA Nomor 7 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat
PERDA tersebut memuat 24 Pasal, 9 bab, dan aspek pelaksanaan
syariat Islam. Pada Pasal 4 ayat 1 dalam PERDA tersebut dinyatakan” Setiap
pemeluk agama Islam wajib mentaati, mengamalkan atau menjalankan syariat
Islam secara Kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan
sempurna”. Pada pasal 5 ayat(1) dicantumkan bahwa pelaksanaan Syariat
Islam di Aceh meliputi akidah, ibadah, muamalah, akhlak, pendidikan dan
dakwah, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha,
(peradilan), jinayat (pidana), munakahat (pernikahan), serta mawaris (hukum
waris).34

BAB III

34
Ibid, h. 109

22
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kitab Bidayatul Mujtahid yang judul lengkapnya adalah Bidayat al-
Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid merupakan karya Ibn Rusyd dalam
bidang fikih yang paling terkenal sekaligus paling berkualitas jika
dibandingkan dengan buku-buku fikih yang lainnya dan kitab ini bercorak
berfikir membandingkan antara satu madzhab dengan madzhab yang
lainnya (komparatif).
2. Kitab Al-Umm adalah cerminan fase akhir dari kematangan ijthad Asy-
Syafi’i. Kitab ini juga menjadi kitab Asy-Syafi’i yang paling terakhir ditulis.
Bisa dikatakan al-Umm juga mencerminkan madzhab Jadid Asy-Syafi’i.
Adapun metode Asy-Syafi’i dalam menulis al-Umm, pertama-tama Asy-
Syafi’i memulai pembahasan topik dengan menyajikan dalil. Jika ada dalil
al-Qur’an, maka disajikan dari al-Qur’an. Jika tidak ada dari al-Qur’an
maka beliau menyebutkan dari As-Sunnah. Jika ada keduanya maka
disebutkan semua.
3. Kitab ini adalah al-Kasysyaf ‘An Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil wa ‘Uyun
al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Kitab Tafsir al-Kasysyaf. Adapun isi
kandingan kitab ini terdiri dari empat jilid yaitu sebagai berikut:
Jilid I, terdiri dari Muqaddimah yang ringkas, yanag menyebutkan tentang
pentingnya ilmu tafsir, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
mufassir, sejarah penulisan kitab al-Kasysyaf, Kemudian dilanjutkan dengan
surat al-Fatihah, surat al-Maidah. Keseluruhan berjumlah 683 halaman. Jilid
II, terdiri dari surat al-An’am sampai surat al-Kahfi, seluruhnya berjumlah
721 halaman. Jilid III, terdiri dari tafsir surat Maryam sampai dengan Surat
al-Fathir, sebanyak 601 halaman. Jilid IV, terdiri dari surat Yasin sampai
dengan Surat al-Nas, sebanyak 818 halaman.
4. Apabila dilihat secara mendalam, dengan cara menelaah berbagai fatwanya,
Yusuf al-Qaradhawi tetap menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber
utama dalam penetapan suatu hukum. Sedangkan menurut hemat penils,
memandang bahwa Yusuf al-Qaradhawi juga mempertimbangkan al-

23
Mashlahah dalam menetapkan suatu hukum. Adapun hasil fatwa Yusuf al-
Qaradhawi adalah sebagai berikut:
a. Pencangkokan Organ Tubuh
b. Penggunaan Pil Penunda Haid dan lain sebagainya
5. Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah melalui peraturan perundang-
undangan sehingga mencakup sebanyak mungkin apa yang seharusnya
menjadi kompetensi Pengadilan Islam yang dicita-citakan. Pada tahun 200,
pemerintahan Daerah Aceh melahirkan empat PERDA yang mendukung
pelaksanaan Undang-undang di atas, yaitu:
a. PERDA Nomor 3 tentang Organisasi dan tata Kerja Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU);
b. PERDA nomor 4 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh;
c. PERDA Nomor 6 tentang Penyelenggaraan pendidikan; dan
d. PERDA Nomor 7 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat
PERDA tersebut memuat 24 Pasal, 9 bab, dan aspek pelaksanaan
syariat Islam. Pada Pasal 4 ayat 1 dalam PERDA tersebut dinyatakan” Setiap
pemeluk agama Islam wajib mentaati, mengamalkan atau menjalankan syariat
Islam secara Kaffah dalam kehiduoan sehari-hari dengan tertib dan sempurna”.
Pada pasal 5 ayat(1) dicantumkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
meliputi akidah, ibadah, muamalah, akhlak, pendidikan dan dakwah, baitul
mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, (peradilan), jinayat
(pidana), munakahat (pernikahan), serta mawaris (hukum waris).
B. Kritikan dan Saran
Diharapkan dengan makalah yang sederhana ini dapat memberikan
pemahaman mengenai tentang produk-produk fikih, mampu memberikan
pengamalan dalam kehidupan sehari-hari serta menjadi pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kesempurnaanya, untuk itu penulis sangat mengarapkan kritik
dan saran dari para membaca yang bersifat membangun guna untuk
kesempurnaan makalah ini selanjutnya.

24

Anda mungkin juga menyukai