PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
PEMBAHASAN
1
A. Fikih Anti Sipatif (al-Fiqh al-Iftirâdhi)
Kata fikih berasal dari bahasa Arab yaitu ( الفقهal-Fiqh) dalam bentuk
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa pembahasan fiqh itu dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu: Pertama, pengetahuan tentang hukum-
hukum syara’ menegenai perbuatan manusia yang bersifat praktis. Kedua,
pengetahuan tentang dalil-dalil yang terperinci (al-Qur’an dan Sunnah).
Sedangkan al-Iftirâdhi artinya adalah jangkaan atau kemungkinan dan
juga dapat diartikan dengan tawaqqu’ yang berarti kemungkinan. Dengan
demikian al-fiqh al-Iftirâdhi dapat diartikan adalah bidang fikih yang
membahas tentang hukum-hukum Islam yang berdasarkan jangkaan-jangkaan
1
Muhammad Abû Zahrah, al-Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dâr al-‘Arabi, t.th), h. 6
2
Ibid., h. 6
2
atau kemungkinan-kemungkinan yang boleh berlaku dimasa akan datang dan
diperpadukan dengan kaedah-kaedah hukum syara’ yang diakui.
2. Fikih Iftirâdhi dalam Syara’
3
menegenai persoalan yang mungkin berlaku dan mendapat jawaban terhadap
persoalan tersebut. Misalnya Rafi’ bin Khadij pernah bertanya kepada
Rasulullah SAW mengenai suasana peperangan yang sangat sulit keadaan
meneymbelih binatang dengan ketiadaan pisau, apakah boleh menggunakan
kayu sebagai ganti pisau tersebut? Rasullah SAW lalu bersabda: Apa saja yang
dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah dengannya selain
menggunakan gigi dan kuku, maka makanlah olehmu.”
4
pasti banyak persoalan akan ditimbulkan bermacam keperluan masyarakat
setempat. Justru golongan Ahl al-Ra’yi berpendapat bahwa amat wajar
untuk dikendalikan urusan-urusan agama melewati batasan nash-nash
yang diturunkan secara literal.
Misalnya yang mengenai fiqh iftirâdhi ini adalah mengenai seorang
wanita atau perempuan yang memasuki tandas dan duduk di atas tempat
yang mengandungi sisa air mani laki-laki. Tanpa disadari pula, air mani
itu masuk ke dalam rahimnya sehingga membuatnya mengandung
(hamil). Lalu persoalan yang muncul adalah sebagai berikut:
1) Apakah anak itu boleh dinisbahkan kepada dia dan suaminya yang sah
jika dia telah menikah?
2) Jika belum menikah, apakah ia akan dijatuhkan hukuman hudud
atasnya?
3) Apakah dia perlu mandi wajib (junub)? Dan seterusnya persoalan-
persoalan yang diajukan untuk coba menguraikan masalah tersebut
jika berlaku.7
Menurut pandangan Ahl al-Hadits, aliran ini lebih cenderung untuk
tidak membahas perkara-perkara yang belum berlaku melainkan adanya
contoh-contoh disebutkan dalam hadits-hadits Nabi SAW. Jika tidak ada
periwayatan yang menyebutkan tentang Jawaban Nabi tentang perkara masa
yang akan datang, meraka akan tinggalkan saja perkara itu tanpa dijawab.
Hal ini sebagaimana Imam al-Sya’bi pernah berkata: “ Perkataan
paling aku benci ialah apabila ditanya dengan arâita. Sesungguhnya umat
terdahulu binasa karena banyak bertanya dengan arâita.”8 Sedangkan Imam
Malik juga berkata: “Manusia dahulu memberi fatwa melalui apa yang mereka
dengar dan tahu dari al-Qur’an dan Sunnah, tetapi aku tidak mendapati semua
itu hari ini.9
c. Pandangan Wasaty
7
Imam al-Hasan, al-Fiqh al-Iftirâdhi fî Madrasah Abi Hanifah, ( Cairo: Dâr al-Salam,
t.th), h. 340
8
Ibn ‘Abd al-Barr, Sahih Jami’ Bayan al-Ilm.,, op.cit, h. 427
9
Ibid., h. 427
5
Setelah ditinjau secara menyeluruh menegenai al-fiqh al-Iftirâdhi
merupakan salah satu proses pembahasan fikih yang mengambil dari sudut-
sudat yang menjangkau fikih biasa. Diantara ciri masalah fikih yang boleh
mengambil pendekatan iftirâdhi ialah sebagai berikut:10
1) Jika terdapat didalam al-Qur’an atau Hadits persoalan-persoalan
yang disebutkan sebagai isu di masa yang akan datang, tidak salah
untuk dikembangkan lagi pembahasan mengenai itu dengan
mengambil dari sudut-sudut yang wajar untuk mendapatkan uraian
isu tersebut. Misalnya persoalan mengenai kemampuan manusia
untuk menerobos alam angkasa. Apakah yang dilakukan oleh
seorang muslim jika ia dapat terbang ke angkasa terhadap
sholatnya dari aspek masa, arah kiblat dan sebagainya.
2) Hendaknya suatu isu yang ditimbulkan itu bisa diukur dengan
jangkauan akal (rasio) dan kemudahan teknologi modrn yang
membantu, seperti isu mengenai hukum IVF misalnya. Disebabkan
perkembangan teknologi perobatan modrn. Kaedah itu dapat
membantu wanita-wanita yang sukar mengandung secara normal
untuk mempunyai anak. Ulama kontemporer tidak melihat kaedah
itu sebagai menyimpang dari asas-asas hukum syarak. Artinya
ulama kontemporer membolehkan dengan melihat kemashlahatan
yang dicapai.
3) Persoalan-persoalan yang ditimbulkan apabila tidak ada dasar
langsung dari al-Qur’an atau dari Hadits, ia hendaklah dilihat dari
sudut pandang kewajaran untuk menguraikannya. Misalnya, isu
clone (kloning pada manusia) apakah ia wajar dilakukan? Ulama
sepakat mengeluarkan pernyataan untuk mengharamkan
eksperimen itu karena ia merubah ciptakaaan Allah. Apabila hal ini
terjadi maka perlu untuk dibahas dan dikaji.
4) Isu-isu atau persoalan yang ingin dijangkau perlu dilihat dari sudut
pandang kemashlahatan kehidupan manusia. Jika sesuatu isu tidak
10
Ibid., h. 428
6
menjurus kepada kemashlahatan kehidupan manusia dimasa yang
akan datang, tidak perlu untuk dibahas karena ia membuang-buang
waktu saja. Misalnya isu menukar kelambu ka’bah dengan
mengunakan pabrik yang berbeda atau mengecat kubah masjid
Nabawi dengan menggunakan warna yang lain. Isu-isu seperti ini
tidak perlu untuk dibahas karena tidak mendatangkan
kemashlahatan bagi umat Islam.
B. Masalah-masalah Iftirâdhiyyah
7
kepemilikan tanah adalah dari permukaan tanah hingga inti bumi dan hingga
atmosfer terendah dunia, ini diqiyaskan dengan keberadaan pesawat yang
melewati area udara tanah milik orang-orang, meskipun durasi pesawat di
udara tidak menetap sementara rumah mengudara keberadaannya bisa
menetap. Jika rumah mengudara ini pindah-pindah, maka diqiyâskan dengan
pesawat.
3. Manusia Imitasi
4. Time Travel
Para saintis kini sedang dan terus mengembangkan riset tentang time
travel. Hal ini tentu membutuhkan riset fikih. Seandainya ada seorang muslim
8
melakukan time travel, maka apa yang dilakukannya pada kondisi semesta
dimana ia berada tetap berkonsekuensi hukum fikih.
Jika mendengar azan, dia wajib shalat dan diutamakan ikut berjamaah
andaipun dirinya pada saat itu shalatnya bersamaan dengan dirinya yang ada
pada saat tersebut. Sedangkan jika ia berjual beli, maka jual belinya sah
walaupun dia sebenarnya adalah manusia masa kini sementara yang diajak
jual beli olehnya adalah manusia masa lampau.
Dari beberapa contoh masalah-masalah iftirâdhiyyah di atas, menurut
hemat penulis bahwa apabila suatu isu yang ditimbulkan itu harus bisa diukur
dengan jangkauan akal (rasio) atau dapat diterima oleh akal sehat manusia
serta persoalan yang ingin dijangkau tersebut harus dilihat juga dari sudut
pandang kemashlahatan kehidupan manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ahl al-Hadits yanag kelihatan menentang kaedah fiqh iftirâdhi sebenarnya
tidak menolaknya secara total. Meraka hanya memperhatikan terhadap
persoalan hukum dengan mengembalikannya kepada maksud syariat
(maqâsid al-syari’ah) yang sebenarnya. Kekhawatiran berlaku jika manusia
sekedar berandai-andai atau berjangka-jangka tentang semua perkara yang
9
berkaitan dengan urusan hidup dan kemudian dikaitkan dengan agama,
sedangkan tidak semua perkara perlu dikaitkan dengan hukum Islam.
2. Ahl al-Ra’yu, mereka bukan secara terbuka membincangkan segala
persoalan tanpa batas. Mereka tetap mempunyai dasardasar tertentu dalam
memguraikan atau menjelaskan isu-isu yang dijangka berlaku pada masa
yang akan datang yang diteliti.
B. Kritikan dan Saran
Diharapkan dengan makalah yang sederhana ini dapat memberikan
pemahaman mengenai tentang isu-isu iftirâdhiyyah dalam kehidupan manusai
serta mampu untuk menyikapi tentang isu-isu yang akan terjadi dimasa yang
akan datang dengan sikap anti sipatif dalam kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaanya, untuk itu penulis sangat mengarapkan kritik dan saran dari
para membaca yang bersifat membangun guna untuk kesempurnaan makalah
ini selanjutnya.
10