Anda di halaman 1dari 22

Ijtihad Dan Ikhtilaf Dalam Fikih Ibadah

KELOMPOK 2
NAMA:MUHAMMAD ADIB AL-ABQARI
ARDI RAHMAT FIGHO
ABARAR ARISYAD M.ALI

UIN AR-RANIRY
A.Peran ijtihad dan keberadaan ikhtilaf ulama dalam fikih ibadah

 A.Peran ijtihad dan keberadaan ikhtilaf ulama dalam fikih ibadah


 Arti Ijtihad Menurut Bahasa Mengutip dari buku Islamologi: Ijtihad
yang ditulis oleh Maulana Muhammad Ali, asal kata ijtihad adalah kata
jahd yang berarti berusaha keras atau berusaha sekuat tenaga. Ijtihad
menurut bahasa juga mengandung arti yang sama. Ijtihad secara teknis
diterapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya
berusaha keras untuk menentukan pendapat di lapangan hukum mengenai
hal yang pelik-pelik dan meragukan,
Ikhtilaf adalah istilah dalam kajian hukum Islam yang berarti perbedaan,
perselisihan, dan pertukaran. Alquran sebagai pedoman hidup bagi umat
Islam menyebutkan kata ikhtilaf pada tujuh ayat dan kata jadiannya pada
sembilan tempat.
 PEMBAHASAN

 kalau membicarakan tetntang ijtihad Kalau membicarakan awal berlakunya ijtihad tentu kita akan menoleh ke masa paling dini dari

keberadaan hukum Islam, yaitu semenjak masa hidupnya Nabi. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah ijtihad telah berlaku pada

masa Nabi. Hal ini karena secara umum diketahui bahwa ijtihad itu diperlukan pada waktu tidak menemukan petunjuk Allah secara jelas

tentang suatu masalah dan tidak ditemukan pula petunjuk dari Nabi, sedangkan selama Nabi masih hidup tidak mungkin petunjuk secara

nash sudah tidak ada lagi, karena ayat Al-Qur'an masih turun dan Nabi masih dapat menyampaikan petunjuknya. Tetapi di sisi lain, dalam

banyak kasus banyak ditemukan bahwa Nabi sendiri dalam menghadapi suatu masalah sering menggunakan daya nalarnya sebagaimana

  yang lazim dilakukan seorang mujtahid dalam menghadapi r salah hukum. Oleh karena itu, keberadaan ijtihad pada masa Nab ma masih

menjadi perbincangan di kalangan ulama.Ijtihad (‫اد‬5‫لجته‬55‫ )اا‬dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada (‫د‬55‫جته‬5‫)ا‬yang berarti bersungguh-

sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berupaya serius dalam berusaha

atau berusaha yang bersungguh-sungguh.

 Sementara secara istilah, para ulama ushul mendefinisikan ijtihad

 sebagai berikut:
1. Wahbah al-Zuhaili

‫ هو عملية استنباط األحكام الشرعية من أدلتها‬: ‫االجتهاد‬

‫التفصيلية في الشريعة‬.

Ijtihad adalah melakukan istimbath hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di

dalam syari`at.

(1 Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Bairut: dar al-fikr al-Mu’ashir,)


 2. Imam al-Ghazali

 Ijtihad adalah suatu istilah tentang mengerahkan segala yang diushakan dan menghabiskan
segenap upaya dalam suatu pekerjaan, dan istilah ini tidak digunakan kecuali terdapat beban
dan kesungguhan. Maka dikatakan dia berusaha keras untuk membawa batu besar, dan tidak
dikatan dia berusaha (ijtihad) dalam membawa batu yang ringan. Dan kemudian lafaz ini
menjadi istilah secara khusus di kalangan ulama, yaitu usaha sungguh-sungguh dari seorang
mujtahid dalam rangka mencari pengetahuan hukum-hukum syari`at. Dan ijtihad sempurna
yaitu mengerahkan segenap usaha dalam rangka untuk melakukan pencarian, sehingga
sampai merasa tidak mampu lagi untuk melakukan tambahan Abu

 (Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, ditahqiq dan diterjemahkan kedalam
bahasa inggris oleh Ahmad Zaki hamad, (Riyadh KSA: Dar al-Maiman linasr wa al-tauzi’, tt),
hlm. 640)
 3. Abdul Hamid Hakim

 Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka untuk memperoleh hukum syara’ dengan jalan istinbath dari

alqur’an dan as-sunnah.

 (3 Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt),

 4. Abdul hamid Muhammad bin Badis al-shanhaji.

 ‫ والفهم‬،‫ة‬5‫د الشريع‬5‫ع لمقاص‬5‫نة ذو اإلدراك الواس‬5‫ي علوم الكتاب والس‬5‫ر ف‬5‫و المتبح‬5‫ه ه‬5‫ وأهل‬،‫د‬5‫ي بالقواع‬5‫ل الشرع‬5‫ن الدلي‬5‫م م‬5‫تنباط الحك‬5‫ي اس‬5‫د ف‬5‫و بدل الجه‬5‫االجتهاد ه‬
‫الصحيح لل َكلم العربي‬.

 Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan istibath hukum dari dalil syara’ dengan kaidah-kaidah.
Dan orang melakukan ijtihad tersebut adalah orang yang pakar dalam bidang ilmu-ilmu al-Quran dan al-sunnah, memiliki
pengetahuan yang luas tentang maqasid syariah (tujuan-tujuan hukum islam), dan memiliki pemahaman yang benar terkait
dengan bahasa Arab

 Dari 4 definisi di atas, dapat difahami bahwa ijtihad itu, pertama usaha intelektual secara sungguh-sungguh; kedua, usaha
yang dilakukan itu adalah melakukan istibath (menyimpulkan) dan menemukan hukum; ketiga, pencarian hukum dilakukan
melalui dalildalil baik dari alqur’an dan Sunnah; keempat, orang yang melakukan

 (Abdul Hamid Muhammad Bin Badis Al-Shanhaji, Mabadi’ al-Ushul, ditahqiq oleh Dr. Amar Thalibiy, (TTp: al-Syirkah al-
wathaniyah li al-nasr wa al-tauzi’,1980), Hlm. 47.)
 C. KEDUDUKAN DAN HUKUM IJTIHAD

 Ijtihad menurut ulama ushul merupakan pokok syari’at yang ditetapkan oleh Allah AWT dan
rasul-Nya, dan dapat diketahui melalui kitabnya, Alquran dan al-Sunnah.

 1) Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan masalah itu akan
hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri
juga ingin mengetahui hukumnya.
 2) Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang
sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang
mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid
yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah
semua mujtahid tersebut.
 3) Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
D. SYARAT-SYARAT DAN TINGKATAN MUJTAHID

 1. Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang al-kitab dan al-Sunnah.

 2. Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai, sehingga mampu


menafsirkan kata-kata yang asing (gharib) dari Alquran dan sunnah.

 3. Menguasai ilmu ushul fiqh

 4. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang nasikh dan mansukh. Tanpa


memenuhi
 1.Mujtahid Mutlaq Mustaqil

 (Mujtahid Independen) Meujtahid independen adalah seorang mujtahid yang membangun teori
dan kaidah istinbat sendiri, tanpa bersandar kepada kaidah istinbat pihak lain. Yang termasuk
dalam jajaran kelompok ini antara lain: imam empat mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik bin anas,
Imam al-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal; laits bi Saad, al-Auzai, Sufyan al-Tsauri, Abu saur,
dan sebagainya.

 2. Mujtahid Muntasib (Mujtahid Afiliatif)

 Mujtahid afiliatif adalah mujtahid yang melakukan ijtihad dengan menggunakan kaidah
istinbath tokoh mazhab yang diikutinya, meskipun dalam masalah-masalah furu’ ia berbeda
pendapat dengan imam yang diikutinya itu. Dan yang masuk dalam tingkatan ini adalah
diantaranya: Abu Yusuf, Muhammad Saibani, Zufar dari kalangan Hanafiyah. Abd al-Rahman bi
Qasim dan Ashab bin Wahab, dari kalangan Malikiyah. Al-Buwaiti, al-Za’farani, al-Muzani dari
kalangan Syafi’iyyah. Al-qadhi Abu Ya’la, Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah, dan Ibn Qayyim dari
kalangan Hanabilah.
 3. Mujtahid fi al-madhab Mujahid

 fi al-mazhab adalah para mujtahid yng mengikuti sepenuhnya imam mazhab mereka
baik dalam kaidah istinbath ataupun dalam persoalan-persoalan furu’iyyah. Mereka
berijtihad pada masalah-masalah yang ketentuan hukumnya tidak didapatkan dari imam
mazhab mereka. Mereka juga adakalanya meringkas kaidahkaidah istinbat yang
dibangun oleh imam mereka.

 4. Mujtahid Murajih Mujtahid

 murajih adalah mujtahid yang tidak mengistinbatkan hukum furu’, mereka melakukan
ijtihad hanya terbatas membandingkan beberapa pemikiran hukum mujtahid
sebelumnya, kemudian memilih salah satu yang dianggap arjah (paling kuat).
Ruang Lingkup Ijtihad

 1) Al-Masail Al-Furu'iyyah Al-Dhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak ditentukan


secara pasti oleh nash Alquran dan Hadist. Hukum islam tentang sesuatu yang
ditunjukkan oleh dalil dhoni atau ayat-ayat Alquran dan hadis yang statusnya dhoni
mengandung banyak penafsiran sehingga memerlukan upaya ijtihad untuk sampainya
pada ketentuan yang meyakinkan.

 2) Al-Masail Al-Fiqhiyah Al-Waqa’iyah Al-Mu’ashirah, yaitu hukum Islam tentang


sesuatu yang baru, yang sama sekali belum ditegaskan atau disinggung oleh Alquran,
hadist, maupan Ijmak para ulama'.
Pembagian Ijtihad

 1) Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukumhukum syari`ah dari nash-nash syar`i.

 2) Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukumhukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang
tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat
dalam nash-nash hukum syar`i.

 3) Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu meletakkan hukumhukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi
yang tidak terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar ra`yu yang disandarkan atas isthishlah.
17 Maksud istislah adalah dengan memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat dan
menolak madhorat dalam kehidupan manusia. Menurut Dr. Yusuf Qordhowi mencakup tiga tingkatan:

 a. Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk kelangsung hidup manusia.

 b. Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya.

 c. Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebisaan dan akal yang baik.
Rumusan Kaidah Ijtihad

 Dalam kitabnya Qawa’id Ushul al-Fqh wa Tathbiqatuha, Shafwan bin Adnan Dawudiy,
memberikan kaidah-kaidah ijtihad sebagai berikut:

 1) Kaidah Pertama

 Ijtihad adalah salah dasar dari dasar-dasar fiqh (ushul fiqh)

 2) Kaidah Kedua

 Tidak ada ijtihad kecuali dari kalangan ulama mujtahid

 3) Kaidah ketiga

 Yang wajib ijtihad dan yang benar adalah satu

 4) Kaidah keempat

 Pintu ijtihad adalah terbuka, tidak tertutup


 5) Kaidah kelima

 Tidak ada ijtihad bersamaan dengan adanya nash

 6) Kaidah keenam

 Ijtihad itu berpahala

 7) Kaidah ketujuh

 Ijtihad jama’iy adalah lebih utama dibandingkan dengan ijtihad individu.


 8) Kaidah kedelapan

 Ijtihad dalam rangka untuk memahami nash adalah terpuji.

 9) Kaidah Kesembilan

 Ijtihad itu tidak batal oleh ijtihad lain.

 10) Kaidah Kesepuluh

 Taqlid kepada mujtahid adalah wajib bagi orang awam


B.Konsep tanawwu‘ dalam ibadah
 tanawwu’ secara bahasa bermakna beragam atau variatif. Secara istilah sederhana
bermakna beragamnya cara melakukan suatu ibadah, karena adanya dalil-dalil yang shohih
untuk ibadah dimaksud. Sehingga secara kasat mata terjadi perbedaan cara
pelaksanaannya. Ulama sering mengatakan bahwa dengan contoh, kadang lebih mudah
memahami persoalan. Memakai pernyataan ini, kita ambil contoh ibadah sholat yang lebih
spesifiknya berkaitan dengan posisi tangan setelah takbiratul ihram. Apakah bersedekap di
atas pusat (perut), atau di atas dada atau lepas seperti posisi sebelum takbiratul ihram.

1. Tanawwu

1.Kata tanawwu’ berasal dari bahasa Arab ‫ وع َّن‬ataupun ‫ا‬5‫نويع‬555‫لشئت‬55‫ ا‬yang artinya
menjadikan sesuatu bermacam- macam atau beragam

 2. Ibadah Kata ‘ibdah’ ( ‫ ) عبادة‬yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Melayu
yang terpakai dan dipahami secara baik oleh orang yang menggunakan bahasa indonesia.
Ibadah dalam istilah bahasa Arab diartikan dengan berbakti, berkhidmat, tunduk, patuh,
mengesakan dan merendahkan dir.
C.Aspek syī‘ar dalam ibadah dan kaitannya dengan budaya suatu masyarakat

 A.Pendahuluan
 Salah satu hukum (perubahan) sosial digambarkan Allah Swt (QS12: 11) dengan menyebutkan bahwa Allah tidak akan
merubah keadaan suatu masyarakat sebelum masyarakat tersebut merubah sikap mental dan perilaku mereka sendiri. Ayat
ini berbicara tentang dua model perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah
Allah, dan kedua perubahan sikap mental dan perilaku manusia yang pelakunya adalah manusia itu sendiri. Perubahan yang
dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum sosial yang ditetapkannya dan hukum-hukum tersebut tidak
membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Perubahan sikap mental dan perilaku manusia dipahami
dan katakata ma bi anfusihim yang terdiri dari dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan kehendak.
 (kemauan) manusia. Perpaduan antara nilai dan kehendak menciptakan kekuatan pendorong untuk melakukan
sesuatu. Namun perlu dicatat bahwa sikap mental dan perilaku di sini adalah sikap mental dan perilaku individual yang
terintegrasi dalam kehidupan kolektif. Sebab, ayat di atas tidak berbicara tentang keutuhan manusia dalam kapasitasnya
sebagai individu tetapi dalam kapasitasnya sebagai komunitas. Betapapun hebatnya seorang individu, ia tidak akan mampu
melakukan perubahan jika tidak dilakukan secara kolektif. Jadi perubahan kultural dan mobilitas sosial adalah dua unsur
penting untuk melakukan perubahan masyarakat. Jika perubahan itu tidak terjadi dalam masyarakat Islam yang sudah
kehilangan nilai-nilai religiusitasnya dan tersubordinasi di bawah keunggulan budaya Barat, bukan mustahil masyarakat
tersebut akan menemukan “ajal”nya. Al-Qur’an (QS7 : 34) menyatakan bahwa setiap masyarakat mempunyai ajal. Pada ayat
lain (QS17 : 76) Allah menjelaskan bahwa salah satu hukum masyarakat adalah apabila suatu komunitas telah sampai pada
puncak kebejatannya maka komunitas itu segera akan mengalami kehancuran. Namun kehancuran (kematian) itu tidak
secara otomatis berarti kematian seluruh penduduk, malahan sangat mungkin mereka semua secara individual tetap hidup.
Hanya saja kekuasaan, kebijakan, dan pandangan hidup mereka berubah total dan digantikan dengan kekuasaan, kebijakan,
serta pandangan hidup yang lain.1 Dalam konteks sosial-politik masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang terjajah
secara ideologi, politik, ekonomi, dan budaya. Melalui telaah sejumlah tulisan para ahli (terutama ahli psikologi), tulisan ini
membahas secara singkat bagaimana faktor budaya dapat menjadi salah satu pengaruh terhadap pola keberagamaan
masyarakat Islam.
B. Pengertian
 Dijelaskan pengertian dari kebudayaan yang dimaksudkan dalam pembahasan
ini. “Kebudayaan yang merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman bagi
kehidupan masyarakat adalah perangkatperangkat acuan yang berlaku umum dan
menyeluruh dalam menghadapi lingkungan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut.” Dalam kebudayaan terdapat perangkat-perangkat dan
keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh pendukung kebudayaan tersebut. Perangkat-
perangkat pengetahuan itu sendiri membentuk sebuah sistem yang terdiri atas
satuan-satuan yang berbeda-beda secara bertingkat-tingkat yang fungsional
hubungannya satu sama lainnya secara keseluruhan.2 Pendapat di atas menunjukkan
bahwa kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang
dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut.
C. Pengertian Sikap
 Sikap manusia merupakan prediktor yang utama bagi perilaku (tindakan) sehari-hari, meskipun masih ada
faktor-faktor lain, yakni lingkungan dan keyakinan seseorang. Sikap yang ada pada seseorang akan memberikan
warna atau corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan. Dengan mengetahui sikap seseorang
orang dapat menduga bagaimana respon atau perilaku yang akan diambil oleh orang yang bersangkutan,
terhadap sesuatu masalah atau keadaan yang dihadapkan kepadanya. Meskipun demikian, tidak semua sikap
dapat mempengaruhi perilaku seseorang, dalam arti bahwa kadang-kadang sikap dapat menen- tukan tindakan
seseorang, tetapi kadang-kadang sikap tidak mewujud menjadi tindakan. Pertimbangan akan segala dampak
positif dan negatif suatu tindakan turut menentukan apakah sikap seseorang menjadi tindakan yang nyata atau
tidak. Dengan kata lain di samping sikap, faktor utama lain yang mempengaruhi tindakan seseorang adalah
motivasi dan norma sosial. Azwar 4 menyebutkan, “secara historis, istilah sikap digunakan pertama kali oleh
Spencer di tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai “status mental seseorang”.
 Istilah sikap semakin hari semakin banyak digunakan oleh para ahli Psikologi Sosial pada umumnya dan
Psikologi Pendidikan khususnya. Dengan demikian, tidak heran kalau istilah tersebut semakin hari mempunyai
pengertian yang beragam, karena telah dilihat dari berbagai sudut pandang. Berkowitz telah mengumpulkan 30
definisi sikap, dan dia mengelompokkan dalam salah satu di antara tiga kerangka pemikiran. Pertama adalah
kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Thurstone, Likert dan Osgood, sebagaimana
yang disimpulkan oleh Wortrnan dan kawan kawan., sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut.
Atau sikap sebagai “derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis”. Kedua.
D. Hubungan Sikap dan Perilaku
 Dari pengertian sikap yang telah diuraikan di atas, terdiri dari tiga unsurnya yaitu kognitif, afektif dan
konatif, bisa melahirkan sikap positif (menerima) dan negatif (menolak) terhadap suatu stimulus
(objek). Orang yang bersikap tertentu, cenderung menerima atau menolak suatu objek berdasarkan
penilaian terhadap objek itu, berguna/berharga baginya atau tidak. Bila objek dinilai “baik untuk
saya”, dia mempunyai sikap positif bila objek dinilai “jelek untuk saya”, dia mempunyai sikap negatif.
 Sikap dikatakan sebagai respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada
suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk
reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbul di- dasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang
memberi ke-simpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, posi- tif-negatif,
menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek
sikap. Myers menjelaskan bahwa “sikap mempunyai kaitan dengan perilaku”. Perilaku dengan sikap
saling berinteraksi, saling mem- pengaruhi satu dengan yang lain. Hal ini diperkuat oleh Breckler yang
mengatakan bahwa “sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung
terhadap perilaku berikutnya.” Sementara Carison menunjukkan bahwa “perilaku akan lepas dari sikap
yang ada pada diri seseorang”. Pendapat
E. Perubahan Sikap dan Perilaku Keagamaan
 Setiap tingkah manusia lahir karena adanya dorongan atau motivasi dari dalam dan stimulus dari luar. Dorongan atau
motivasi yang dimaksudkan adalah kekuatan penggerak yang membangkitkan kegiatan dalam diri makhluk hidup dan
memotori tingkah laku serta menggerakkannya pada suatu tujuan atau berbagai tujuan. Dorongan-dorongan melakukan
berbagai fungsi yang primer dan penting bagi makhluk hidup. Dorongan-dorongan itulah yang mendorong makhluk untuk
memenuhi kebutuhan utama atau primer bagi kelangsungan hidupnya. Dorongandorongan juga mendorong makhluk untuk
melakukan banyak perilaku penting yang bermanfaat lainnya dalam usaha untuk menyerasikan diri dengan lingkungan
hidupnya. Para ahli ilmu jiwa modern membagi dorongan-dorongan menjadi dua bagian pokok:
 1. Dorongan-dorongan fisiologis. Dorongandorongan ini berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan tubuh dan kekura- ngan
atau hilangnya keseimbangan yang terjadi dalam jari- ngan-jaringan tubuh. Dorongan ini mengarah perilaku individu pada
tujuan-tujuan yang bisa memenuhi kebutuhan-kebu- tuhan fisiologis tubuh atau menutup kekurangan yang terjadi pada
jaringan-jaringan tubuh dan mengembalikannya pada keseimbangan yang ada sebelumnya. Dorongan-dorongan fisiologis ini
terdiri; dorongan untuk menjaga diri6 , dorongan untuk mempertahankan kelestarian hidup jenis7 .
 2. Dorongan-dorongan psikis. Dorongandorongan ini diperoleh lewat belajar selama proses sosialisasi yang dilalui seseorang.
Termasuk dalam dorongan ini adalah dorongan memiliki, dorongan memusuhi, dorongan berkompetisi dan dorongan
beragama.Berbagai kebutuhan atau dorongan seperti disebutkan di atas, sudah dijelaskan dalam uraian sebelumnya.
Ada beberapa ciri khassikap keagamaan orang dewasa antara lain adalah

 1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
 2. Cenderung bersifat realistis, sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah
laku.
 3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam
pemahaman keagamaan .
 4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggungjawab diri hingga sikap keberagamaan
merupakan realisasi dan sikap hidup.
 5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
 6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas
pertimbangan pemikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
 7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masingmasing, sehingga terlihat
adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksa- nakan ajaran agama yang diyakininya.
 8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap
kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.

Anda mungkin juga menyukai