Anda di halaman 1dari 16

TA’LIL BIL HIKMAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Ushul Fiqh

Dosen Pengampu:
Dr. KH. Fadholan Musyaffa‟, MA

Disusun Oleh:

MUHAMMAD RASYID RIDHO


(NIM. 1900018013)

PROGRAM MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM


KONSENTRASI HUKUM KELUARGA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2020
PENDAHULUAN

Hukum Islam merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan


seorang Muslim dan ajaran Islam. Kajian tentang hukum Islam menjadi sebuah
kajian yang tidak akan lepas dari kajian tentang Islam itu sendiri. Joseph
Schacht, misalnya, mengatakan bahwa hukum Islam adalah ikhtisar pemikiran
Islam, manifestasi paling tipikal dari cara hidup seorang Muslim dan
merupakan inti dan saripati Islam itu sendiri1. Oleh karena itu kajian tentang
hukum Islam menjadi kajian yang sudah ada sejak periode awal Islam dan tetap
berlangsung hingga saat ini.
Keberlangsungan hukum Islam paling tidak bergantung kepada dua
faktor utama. Pertama, bagaimana melakukan pembaruan terhadap fikih Islam
sehingga sesuai dengan problematika sosial yang berkembang pada saat ini,
dapat menemukan jalan keluar dan solusi yang tepat atas problem-problem
tersebut serta tetap dalam koridor kesesuaian dengan murâd al-syâri’2. Kedua,
pembaruan dan pengembangan metodologi hukum Islam yang tidak lain adalah
pembaruan dan pengembangan ushul fikih.
Al-Qur‟an sumber utama hukum Islam, tidak seluruh redaksinya telah
memberikan suatu pengertian atau hukum secara tegas, pasti, dan rinci (qath'i
al-dlalah) sehingga merupakan paket aturan siap pakai yang tidak lagi
memerlukan rincian penjelasan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa
cukup banyak redaksi yang bersifat global (mujmal), khafi, atau musykil,
bahkan dalam banyak hal Al-Quran hanya memaparkan norma-norma dan
1
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law,h. 1.
2
Busyro, Eksistensi illat dalam Mengukuhkan Teks Hadis-hadis Ru‘yat al-Hilāl dan
Fungsinya dalam Pengembangan Hukum Islam,‖ Al-Ahkam 28, no. 2 (2018): h. 170.
2
nilai-nilai universal. Untuk mengamalkan ayat-ayat yang bersifat demikian
tentu memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut. Kenyataan ini tidak
dipandang sebagai kekurangan Alquran, melainkan justru merupakan
kelebihannya yang menyebabkannya senantiasa up to date dan relevan untuk
setiap tempat dan zaman, sejalan dengan kedudukannya sebagai sumber
syari'at samawi terahir.
Sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan maupun yang ditulis,
redaksi ayat-ayat Alquran itu hanya dapat diketahui maksudnya secara pasti
berdasarkan penjelasan dari pemilik redaksi tersebut atau dari pihak yang
diberi wewenang untuk menjelaskannya. Oleh karena itu, untuk memahami
maksud sebuah ayat atau lafal yang sulit dipahami haruslah terlebih dahulu
dicari penjelasannya dalam Al-Qur‟an itu sendiri dan kemudian dalam sunnah
Nabi.
Ketika berbicara tentang sejarah ushul fikih sebagai sebuah keilmuan
yang mandiri, hampir disepakati bahwa al-Syâfi‟î adalah pelopor pertama
dalam hal ini melalui karyanya, al-Risâlah. Melalui karya ini, al-Syâfi‟î
meletakkan dasar-dasar metodologis penetapan hukum Islam dengan lebih
sistematis. Sebagai sebuah produk pemikiran, ilmu ushul fikih mengalami
pergerakan dinamis sejak awal perkembangannya.
Perkembangan tersebut paling tidak menunjukkan adanya dua kutub
besar dalam teori ushul fikih, yaitu teori yang menjadikan qiyas dan proses
ta’lîl al-ahkâm sebagai poros dan dasarnya, dan teori yang menjadikan
maqâshid al-syarî’ah sebagai pondasinya. Keduanya memang tidak harus
dipahami sebagai dua teori yang saling bertentangan karena pada dasarnya

3
keduanya tetap menjadikan nushûsh syar’iyyah sebagai titik tolak, hanya saja
teori qiyas dianggap “terbelenggu” pada bagaimana mencari kesamaan ‘illat
dalam peristiwa yang ada nushûsh syar’iyyah dengan peristiwa baru yang
belum ada hukumnya dalam nushûsh syar’iyyah, sedangkan teori maqâshid al-
syarî’ah berjalan lebih jauh dari itu, yakni menggali tujuan utama
disyariatkannya hukum yang ada dalam nushûsh syar’iyyah3.

3
Muh. Nashirudin, Ta’lil Al-Ahkam dan Pembaruan Ushul Fikih, h.21
4
PEMBAHASAN

Sesuai dengan karakteristiknya, bahwa hukum Islam itu sifatnya


dinamis. Bersamaan dengan itu pula perkembangan masyarakat juga tidak bisa
lepas dari pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah membawa dampak yang sangat luas dalam
kehidupan manusia yang tidak saja mempengaruhi dan berubahnya pola hidup,
juga semakin meningkatnya kebutuhan manusia yang tidak terbatas jenis dan
kuantitasnya serta munculnya berbagai persoalan baru yang menuntut adanya
solusi syar’iyah.
Perkembangan hukum Islam, disamping tuntutan masyarakat, juga tidak
lepas dari peran‘illat sebagai dasar yang melatarbelakangi tasyri’ atau
pensyari‟atan hukum. Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, sejak awal
hingga sekarang, terlihat bahwa ‘illat memegang peranan yang sangat penting
dalam pengembangan hukum Islam. Dalam kajian Ushul Fiqh, kegiatan ini
sebagaimana dijelaskan oleh Alyasa Abubakar dikenal dengan istilah teori
‘illat dan penalaran ta’lili4.
Untuk merespon berbagai pesoalan ini, maka para ahli (ulama,
mujtahid, fuqaha‟) dituntut bekerja keras untuk memecahkan dan mencari
solusi deengan melakukan ijtihad dan istinbath serta menginterpretasikan
sumber-sumber tekstual, termasuk di dalamnya memecahkan persoalan-
persoalan baru yang secara tekstual tidak ada penjelasannya di dalam nash 5.
Yang dimaksud dengan paradigma pengembangan hukum Islam di sini ialah

4
Alyasa Abubakar, dalam Hukum Islam di Indonesia, h. 179
5
HLM. M. Hasbi Umar. Nalar Fiqih Kontemporer, h. 2
5
menyangkut kerangka berpikir sebagai basis metodologis yang diacu oleh para
mujtahid dalam menghadapi berbagai persoalan tasyri’.
Dalam lintasan sejarah perkembangan pemikiran fikih (hukum Islam)
paling tidak terdapat dua terminologi yang dijadikan paradigma atau kerangka
acuan dalam pengembangan hukum Islam, yaitu berpijak pada basis
metodologis tekstual, dan kontektual serta merespon masalah-masalah
kontemporer dengan menggunakan berbagai pendekatan.
Pengkajian dan penggalian hukum Islam yang basis metodologisnya
berpijak pada pemahaman tekstual nash—dalam sejarah awalnya—menjadi
paling dominan dalam proses penemuan hukum dan juga sekaligus merupakan
bagian yang paling rumit dan kompleks dalam aplikasinya. Sebagai dinukil
oleh Wahbah Zuhaili, Abdul Karim Zaidan dan Zaky al-Din Sya‟ban bahwa
secara tekstual (lafziyah), lafal nash itu dikelompokan kepada empat segi, yaitu
penetapan makna teks, penggunaan makna, segi jelas dan tidak jelasnya makna
teks serta teks dari segi dlilalah-nya 6.
Salam Madkur menyebutkan bahwa penelusuran dan memahami makna
teks ini sangat penting karena dari sini nanti akan bermuara pada kesimpulan
hukum dan ia menyebut cara ini dengan ijtihad bayani7. Basis metodologis
yang berpijak pada pemaknaan teks ini merupakan fase awal dari
perkembangan teori pemikiran hukum—yang muncul pada paruh kedua dari
abad kedua Hijriyah. Tokoh yang dianggap peletak dasar dan arsiteknya Ilmu
Ushul Fiqh yang memformulasikan teori Istinbath hukum ini adalah Imam

6
Romli, ‘Illat dan Pengembangan Hukum Islam, h. 234
7
Lihat dalam Salam Madkur, Al-Ijtihad Fi al-Tasyri’ al-Islami, h. 42-43
6
Syafi‟i yang dimuat dalam karya monumentalnya kitab al-Risalah8, yang
meskipun sangat dasar.
Di kalangan sarjana muslim begitu pula Barat dan akademisi, Syafi‟i
memang orang yang pertama membangun kerangka metodologis yang berbasis
teks. Diakui bahwa para pendahulu Imam Syafi‟i, Imam Abu Hanifah, Imam
Malik dan beberapa Tokoh lainnya—pada penghujung paruh kedua abad
pertama hijriyah dan paruh pertama abad kedua hijriah seperti Ibrahim al-
Nakha‟i, Abu Yusuf murid Abu Hanifah, juga telah melakukan rintisan dalam
upaya penemuan hukum dengan basis pemahan makna teks, tetapi sangat
disayangkan tidak ditemukan catatan, tulisan atau karya yang menjadi bagian
dari kerangka metodologis dalam pemahaman teks, kecuali Imam Syafi‟i
dengan kitab al-Risalahnya. Dalam catatan Ahmad Hasan46 bahwa kitab al-
Risalah karya Syafi‟i merupakan karya sistematis pertama yang dapat
diperoleh mengenai teori hukum Islam.
Selanjutnya, pengembangan hukum Islam dengan pendekatan
kontekstual adalah kerangka atau pendekatan dengan mempertimbangkan
keadaan, situasi dan tempat yang dihadapi oleh Islam. Diakui bahwa ketika
Islam telah merambah ke luar Jazirah Arab, ia berhadapan dengan keadaan dan
situasi serta keanekaragaman tradisi dan budaya yang sangat jauh berbeda dari
tempat asalnya turun Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
menghadapi situasi yang jauh berbeda ini, dan banyak hal yang secara tekstual
tidak ditemukan jawabannya di dalam nas al-Quran dan al-Sunnah.

8
Lihat dalam Ahmad Hafidh, dengan mengutip pendapat N. J. Coulson dalam
bukunya A History of Islamic Law. dalam Meretas Nalar Syari’ah (Konfigurasi Pergulatan akal
dalam pengkajian Hukum Islam), (Yogyakarta: Teras), h. 47
7
Dalam hubungan ini, Ahmad Hasan9 menyebutkan bahwa kebanyakan
persoalan yang dihadapi kaum muslimin yang hidup di masa Rasulullah sudah
sangat jauh berbeda dengan yang dihadapi oleh generasi berikutnya dengan
terjadinya kontak dan saling pengaruh-mempengaruhi antara Islam dengan
budaya-budaya yang bertetangga dengannya. Dengan demikian, hukum-hukum
yang disediakan oleh sumbernya al-Quran dan al-Sunnah di masa Rasulullah
harus ditambahi dan bila perlu di tafsir ulang dan diperluas untuk dapat
mencakup persoalan-persoalan baru yang harus ditemukan jawabannya.
Dengan demikian hukum Islam berkembang dengan munculnya berbagai
persoalan baru dari waktu ke waktu semenjak zaman Rasulullah, ditafsir ulang
dan dicipta ulang lagi sesuai dengan kondisi lingkungan yang beraneka.10

Ta’lil bi hikmah
Jumhur ulama berpendapat bahwa alasan logis selalu ada, akan tetapi
ada yang tidak terjangkau oleh akal manusia sampai saat ini, seperti alasan
logis untuk berbagai ketentuan dalam bidang ibadah. Alasan logis inilah yang
dinamakan illat (kausa efektif) atau manath al-hukm (poros hukum)11.
Bertitik tolak dari kerangka berfikir seperti di atas, ulama ushul fiqh
mendeduksikan suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan
hukum akan terkait dengan ada dan tidaknya illat. Pandangan ini semakin
9
Ahmad Hasan adalah seorang pakar hukum Islam kontemporer Pakistan yang
banyak menghasilkan karya-karya pemikiran hukum Islam yang cukup berpengaruh bukan
saja di negerinya, tetapi juga dikawan dunia Islam lainnya. Dia adalah seorang pembaharu
yang banyak menawarkan teori-teori pembahruan di bidang hukum Islam. Lihat dalam Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup. h. 103
10
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. h. 104
11
Busyro, Pemikiran Hukum dan Fatwa Abdullah ibn Mas‘ud, h. 22
8
mempertegas posisi dan fungsi illat dalam hubungannya dengan pensyari'atan
hukum. Oleh karena itu illat menjadi kata kunci yang menentukan dalam upaya
memahami apa yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum tersebut.
Namun kehadiran konsep illat ini tidak serta-merta diterima secara
keseluruhan oleh para ulama, dan terus menjadi suatu bahan diskursus yang
berkembang, seperti sebagian kelompok Asy`ariyah dan Zahiriyah. Bagi
kelompok Asy`ariyah konsep illat tertolak, secara khusus penolakan ini
dilatarbelakangi oleh gesekan pemahaman ilmu kalam kelompoknya dengan
kelompok Mu`tazilah, perdebatan tersebut diawali dengan konsep ilmu kalam
kelompok Mu`tazilah yang mengatakan bahwa Allah SWT harus
melaksanakan alasan-alasan ditetapkannya suatu hukum, sehingga dengan
terlaksananya illat dalam suatu penetapan hukum mereka dapat menerima
konsep illat. Sedangkan, dalam konsep kalam kelompok Asy`ariyah
menetapkan bahwa Allah maha sempurna dengan keinginan dan kehendaknya,
tidak ada syarat apakah ketentuan Allah SWT tersebut mempunyai alasan atau
tidak mempunyai alasan12. Karena Allah SWT mesti bersikap semaunya karena
sifatnya yang maha sempurna tersebut.
Akan tetapi pandangan kalangan Asy'ariyah tersebut, bila dicermati
secara mendalam mengenai persoalan illat ini, hanya menolak illat ketika
berbicara masalah teologi (ilmu kalam) dan dalam tataran konsep. Dalam
prakteknya ulama ushul yang beraliran teologi Asy'ariyah tetap membicarakan
persoalan illat ini dalam rangka melihat hubungan sebab akibat antara
penetapan hukum dengan alasan logis yang mendasarinya. Al-Ghazali

12
Busyro, Fiqh Maqashid, h.153.
9
misalnya membahas persoalan ini dalam karangan-karangannya tentang ushul
fiqh. Walaupun dalam definisi yang dikemukakannya tentang illat tetap
diwarnai oleh paham teologi Asy'ariyah, tapi yang jelas ia mengakui bahwa
illat merupakan faktor yang menyebabkan ditetapkannya hukum dengan syarat
ada izin dari Allah. Jadi bukan illat semata-mata yang menyebabkan adanya
hukum13.
Kelompok Zahiriyah adalah golongan yang hanya berpegang pada nash
saja dan mengambil zahir (teks) nash serta tidak melihat pada suatu
kemaslahatan yang tersirat dalam nash itu14. Demikianlah kehadiran golongan
Zahiriyyah, golongan yang menolak illat (qiyas). Mereka mengatakan tak ada
kemaslahatan melainkan yang didatangkan syara„.
Para ahli hukum Islam telah mengkaji alasan dari kebolehan tersebut
(illat). Ada kubu ulama yang tetap konsisten berpegang pada persyaratan illat
yang telah dirumuskan oleh ulama klasik, contohnya seperti dalam illat
kebolehan berbuka puasa bagi musafir adalah karena perjalanan itu sendiri. Hal
ini berakibat bolehnya seorang berbuka puasa walaupun ia memempuh
perjalanan yang relatif dekat dan singkat 15.Sementara itu sebagian ahli tidak
menitikberatkan kepada perjalanan itu, akan tetapi mereka melihat kepada ada
tidaknya unsur masyaqqah (kesulitan) yang dialami dalam perjalanan.
Kelihatannya kubu ini telah mengangkat hikmah hukum sebagai alasan
dibolehkannya berbuka puasa.

13
Bahrul Hamdi, MASHLAHAH DALAM PARADIGMA TOKOH (ANTARA Al-
GHAZALI, ASY-SYATIBI DAN NAJMUDDIN AT-THUFI), h. 222.
14
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-fiqh, h. 101.
15
Hasbi As-shiddiqi, Falsafah Hukum Islam. h. 72.
10
Dari paparan di atas, ternyata mendalami permasalahan illat terkait
langsung dengan kemaslahatan yang hendak diwujudkan, dan kemaslahatan itu
sekaligus merupakan tujuan umum ditetapkannya hukum. Dalam kaitan inilah
kajian masalik al-illat termasuk kajian penting dalam mengenal
pengistinbathan hukum untuk mewujudkan maqashid al-syari‘ah.
Pada dasarnya berkisar pada pembahasan ‘illat sebagai inti pembahasan
dari qiyas. Dikatakan sebagai inti pembahasan qiyas karena dengan ‘illat-lah
sebuah nas akan dapat diperluas “wilayah keberlakuannya” dengan menjadikan
hukumnya berlaku pada peristiwa lain yang sama sehingga dapat menampung
sebanyak mungkin peristiwa. Oleh karena itu, proses menemukan ‘illat dari
teks-teks hukum (talîl al-ahkâm) menjadi proses yang sangat penting karena
proses inilah yang akan menjaga keberlangsungan dan kelanggengan teks-teks
hukum Islam. Keterbatasan sumber hukum Islam dari sisi kuantitasnya,
diharapkan dapat mengatasi problem sosial yang selalu berubah dan tidak
terbatas karena ada proses yang dapat menjadikannya dapat mengantisipasi
persoalan-persoalan baru yang muncul.
Hanya saja, proses qiyas dengan talîl al-ahkâm memang sangat terbatas
karena harus mencari dua persoalan yang sama atau mirip, salah satunya
merupakan persoalan yang sudah ada hukumnya dalam nas syariat dan
persoalan lain adalah persoalan baru yang hendak diberikan status hukum,
kemudian menemukan ‘illat yang sama antara keduanya agar dapat disamakan
status hukumnya. Qiyas dengan model ini akan sulit memecahkan persoalan

11
baru yang tidak dapat dicarikan kesamaannya dengan persoalan lama yang
manshûsh dan mencari kesamaan ‘illat-nya16.
Metode ta’lil al-ahkam bil hikmah ini menjadi jawaban yang logis dari
segala perdebatan sebagaimana yang telah penulis sampaikan pada beberapa
paragraf sebelumnya mengenai dinamika pemecahan suatu permasalahan
secara tekstual maupun kontekstual dengan mengedepankan kemaslahatan.
Namun proses talîl al-ahkâm dengan hikmah memang Menimbulkan
perdebatan diantara para tokoh. Al-Âmidî mengatakan bahwa ada tiga
pendapat dalam hal ini, yiatu: (1) Melarang dijadikannya hikmah sebagai ‘illat
apabila tidak ada batasannya yang jelas. (2) Sebagian ulama Mâlikiyyah dan
Hanâbilah membolehkannya secara mutlak, dan (3) Apabila ‘illat bersifat jelas
dan terukur (zhâhir, munzhabith), sedangkan hikmah tidak terukur (ghayr
munzhabith) maka ta’lîl harus dengan ‘illat, tidak dengan hikmah, sedangkan
bila ‘illat yang tidak jelas dan terukur, sedangkan hikmah yang bersifat jelas
dan terukur, maka ta’lîl adalah dengan hikmah17.
Jaser „Audah adalah salah satu tokoh modern yang Membedakan antara
hikmah dengan ‘illat (al-maqshad dalam bahasa „Audah). Hikmah adalah
kemaslahatan yang berakibat pada hukum dalam bentuk sekunder, sedangkan
‘illat adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh pembuat syariat atau diduga
kuat oleh mujtahid merupakan tujuan utama hukum secara asasi. Artinya, jika
saja ‘illat itu tidak ada, tentu hukum juga tidak akan pernah ada. Hikmah bisa
saja berbeda dengan ‘illat atau merupakan bagian dari‘illat atau bahkan sama

16
Muh. Nashirudin, Ta’lil Al-Ahkam dan Pembaruan Ushul Fikih, h. 22
17
Al-Âmidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, h. 140.
12
dengan ‘illat18. Ada tiga alasan yang dipakai „Audah untuk menolak hikmah
sebagai ‘illat dalam hukum, yaitu al-khafâ’ (samar, tidak jelas dan inderawi),
al-inzhibâth (terukur), dan takhalluf al-hukm ‘an al-hikmah19.
Walaupun sebagian besar ulama menolak menjadikan hikmah sebagai
‘illat dalam proses talîl al-ahkâm, akan tetapi ternyata para ulama yang
menolaknya tetap menjadikan hikmah sebagai salah satu batasan dalam definisi
‘illat.
Selain Ibn al-Qayyim, al-Râzî juga salah satu tokoh yang membolehkan
dijadikannya hikmah sebagai ‘illat. Ia mengatakan bahwa yang memiliki
pengaruh terhadap hukum (al-muatstsir) pada hakikatnya adalah hikmah dan
bukan sifat (‘illat). Sifat atau ‘illat dapat dijadikan sebagai al-muatstsir karena
adanya hikmah di dalamnya 20.
Bahkan selama hukum dapat disandarkan kepada hikmah, maka hukum
tidak boleh disandarkan pada ‘illat. Kebolehan ta’lîl dengan‘illat hanyalah jika
tidak mampu melakukan proses ta’lîl dengan hikmah21. Dan yang dimaksud
dengan hikmah oleh al-Râzî dalam hal ini jalb al-naf’ aw daf’ al-madharrah,
menarik manfaat atau menolak kerusakan22. Artinya, pada dasarnya al-Râzî

18
Jâser ‘Awdah, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al-Syar’iyyah bi Maqâshidihâ, h.
61.
19
Jâser ‘Awdah, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al-Syar’iyyahn bi Maqâshidihâ,
h.59-60.
20
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.t.), Jilid II, h.22. Ibn al-Qayyim memberikan contoh-contoh dari Alquran dan Sunah
mengenai penggunaan hikmah sebagai alasan penetapan hukum dalam karyanya yang lain
I’lâm al-Muwaqqi’în, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), Jilid I, h.270
21
Al-Râzî, Al-Mahshûl fî ‘Ilm al-Ushûl, Jilid V, h.391
22
Al-Râzî, Al-Mahshûl fî ‘Ilm al-Ushûl, h.397.

13
menjadikan terwujudnya maslahat dan hilangnya mudarat sebagai faktor utama
dalam menentukan mana yang memiliki pengaruh terhadap ada dan tidak
adanya hukum. Dan hal itu dapat tercapai jika hikmahlah yang pertama kali
dijadikan faktor penentunya.

PENUTUP

Metode ta’lil al-ahkam bil hikmah ini menjadi jawaban yang logis dari

segala perdebatan sebagaimana yang telah penulis sampaikan pada beberapa

paragraf sebelumnya mengenai dinamika pemecahan suatu permasalahan

secara tekstual maupun kontekstual dengan mengedepankan kemaslahatan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Awdah, Jâser, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al- Syar’iyyah bi


Maqâshidihâ, Virginia: al-Ma‟had al-„Âlamî li al-Fikr al-Islâmî, 2006.
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-fiqh, Mesir: Maktabah ad-da„wah al-
islamiyyah,1956
Abubakar, Alyasa. Teori ‘Illat dan Penalaran Ta’lili, dalam Tjun Surjaman
(Edit.), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Al-Râzî, Al-Mahshûl fî ‘Ilm al-Ushûl, Jilid V Riyadh: Jâmi‟ah Muhammad ibn
Sa‟ûd, 1400 H
Al-Âmidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1404
H), Jilid III, h.224, al-Subkî, Al-Ibhâj, Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1404 H
Bahrul Hamdi, MASHLAHAH DALAM PARADIGMA TOKOH (ANTARA Al-
GHAZALI, ASY-SYATIBI DAN NAJMUDDIN AT-THUFI), AL-
HURRIYAH : Jurnal Hukum Islam vol. 02, No. 2, 2017.
Busyro, Fiqh Maqashid, Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2015.
Busyro, Pemikiran Hukum dan Fatwa Abdullah ibn Mas‘ud, Al-Hurriyah
vol.10, No. 2, 2009
Busyro. Eksistensi illat dalam Mengukuhkan Teks Hadis-hadis Ru‘yat al Hilāl
dan Fungsinya dalam Pengembangan Hukum Islam. Al-Ahkam Vol.
28, no. 2, 2018
Jawziyyah, Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, t.t.
_____, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.
Hasbi As-shiddiqi, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizqi Putra,
2001
HLM. M. Hasbi Umar. Nalar Fiqih Kontemporer, GP Press, 2007
Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Terjemahan Agah Garnad.
Bandung: Pustaka, 1984
Hafidh, Ahmad. (tt). Meretas Nalar Syari’ah (Konfigurasi Pergulatan akal
dalam pengkajian Hukum Islam). Yogyakarta: Teras.
Muh. Nashirudin, Ta’lil Al-Ahkam dan Pembaruan Ushul Fikih, Al-Ahkam
Vol. 27 No. 1, 2015

15
Madkur, Salam. Al-Ijtihad Fi al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Nahdah, al-
Arabiyah. 1984
Romli, ‘Illat dan Pengembangan Hukum Islam, Intizar Vol.29, No.2, 2014
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University
Press, 1964.

16

Anda mungkin juga menyukai