Ushul Fiqh
Dosen Pengampu:
Dr. KH. Fadholan Musyaffa‟, MA
Disusun Oleh:
3
keduanya tetap menjadikan nushûsh syar’iyyah sebagai titik tolak, hanya saja
teori qiyas dianggap “terbelenggu” pada bagaimana mencari kesamaan ‘illat
dalam peristiwa yang ada nushûsh syar’iyyah dengan peristiwa baru yang
belum ada hukumnya dalam nushûsh syar’iyyah, sedangkan teori maqâshid al-
syarî’ah berjalan lebih jauh dari itu, yakni menggali tujuan utama
disyariatkannya hukum yang ada dalam nushûsh syar’iyyah3.
3
Muh. Nashirudin, Ta’lil Al-Ahkam dan Pembaruan Ushul Fikih, h.21
4
PEMBAHASAN
4
Alyasa Abubakar, dalam Hukum Islam di Indonesia, h. 179
5
HLM. M. Hasbi Umar. Nalar Fiqih Kontemporer, h. 2
5
menyangkut kerangka berpikir sebagai basis metodologis yang diacu oleh para
mujtahid dalam menghadapi berbagai persoalan tasyri’.
Dalam lintasan sejarah perkembangan pemikiran fikih (hukum Islam)
paling tidak terdapat dua terminologi yang dijadikan paradigma atau kerangka
acuan dalam pengembangan hukum Islam, yaitu berpijak pada basis
metodologis tekstual, dan kontektual serta merespon masalah-masalah
kontemporer dengan menggunakan berbagai pendekatan.
Pengkajian dan penggalian hukum Islam yang basis metodologisnya
berpijak pada pemahaman tekstual nash—dalam sejarah awalnya—menjadi
paling dominan dalam proses penemuan hukum dan juga sekaligus merupakan
bagian yang paling rumit dan kompleks dalam aplikasinya. Sebagai dinukil
oleh Wahbah Zuhaili, Abdul Karim Zaidan dan Zaky al-Din Sya‟ban bahwa
secara tekstual (lafziyah), lafal nash itu dikelompokan kepada empat segi, yaitu
penetapan makna teks, penggunaan makna, segi jelas dan tidak jelasnya makna
teks serta teks dari segi dlilalah-nya 6.
Salam Madkur menyebutkan bahwa penelusuran dan memahami makna
teks ini sangat penting karena dari sini nanti akan bermuara pada kesimpulan
hukum dan ia menyebut cara ini dengan ijtihad bayani7. Basis metodologis
yang berpijak pada pemaknaan teks ini merupakan fase awal dari
perkembangan teori pemikiran hukum—yang muncul pada paruh kedua dari
abad kedua Hijriyah. Tokoh yang dianggap peletak dasar dan arsiteknya Ilmu
Ushul Fiqh yang memformulasikan teori Istinbath hukum ini adalah Imam
6
Romli, ‘Illat dan Pengembangan Hukum Islam, h. 234
7
Lihat dalam Salam Madkur, Al-Ijtihad Fi al-Tasyri’ al-Islami, h. 42-43
6
Syafi‟i yang dimuat dalam karya monumentalnya kitab al-Risalah8, yang
meskipun sangat dasar.
Di kalangan sarjana muslim begitu pula Barat dan akademisi, Syafi‟i
memang orang yang pertama membangun kerangka metodologis yang berbasis
teks. Diakui bahwa para pendahulu Imam Syafi‟i, Imam Abu Hanifah, Imam
Malik dan beberapa Tokoh lainnya—pada penghujung paruh kedua abad
pertama hijriyah dan paruh pertama abad kedua hijriah seperti Ibrahim al-
Nakha‟i, Abu Yusuf murid Abu Hanifah, juga telah melakukan rintisan dalam
upaya penemuan hukum dengan basis pemahan makna teks, tetapi sangat
disayangkan tidak ditemukan catatan, tulisan atau karya yang menjadi bagian
dari kerangka metodologis dalam pemahaman teks, kecuali Imam Syafi‟i
dengan kitab al-Risalahnya. Dalam catatan Ahmad Hasan46 bahwa kitab al-
Risalah karya Syafi‟i merupakan karya sistematis pertama yang dapat
diperoleh mengenai teori hukum Islam.
Selanjutnya, pengembangan hukum Islam dengan pendekatan
kontekstual adalah kerangka atau pendekatan dengan mempertimbangkan
keadaan, situasi dan tempat yang dihadapi oleh Islam. Diakui bahwa ketika
Islam telah merambah ke luar Jazirah Arab, ia berhadapan dengan keadaan dan
situasi serta keanekaragaman tradisi dan budaya yang sangat jauh berbeda dari
tempat asalnya turun Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
menghadapi situasi yang jauh berbeda ini, dan banyak hal yang secara tekstual
tidak ditemukan jawabannya di dalam nas al-Quran dan al-Sunnah.
8
Lihat dalam Ahmad Hafidh, dengan mengutip pendapat N. J. Coulson dalam
bukunya A History of Islamic Law. dalam Meretas Nalar Syari’ah (Konfigurasi Pergulatan akal
dalam pengkajian Hukum Islam), (Yogyakarta: Teras), h. 47
7
Dalam hubungan ini, Ahmad Hasan9 menyebutkan bahwa kebanyakan
persoalan yang dihadapi kaum muslimin yang hidup di masa Rasulullah sudah
sangat jauh berbeda dengan yang dihadapi oleh generasi berikutnya dengan
terjadinya kontak dan saling pengaruh-mempengaruhi antara Islam dengan
budaya-budaya yang bertetangga dengannya. Dengan demikian, hukum-hukum
yang disediakan oleh sumbernya al-Quran dan al-Sunnah di masa Rasulullah
harus ditambahi dan bila perlu di tafsir ulang dan diperluas untuk dapat
mencakup persoalan-persoalan baru yang harus ditemukan jawabannya.
Dengan demikian hukum Islam berkembang dengan munculnya berbagai
persoalan baru dari waktu ke waktu semenjak zaman Rasulullah, ditafsir ulang
dan dicipta ulang lagi sesuai dengan kondisi lingkungan yang beraneka.10
Ta’lil bi hikmah
Jumhur ulama berpendapat bahwa alasan logis selalu ada, akan tetapi
ada yang tidak terjangkau oleh akal manusia sampai saat ini, seperti alasan
logis untuk berbagai ketentuan dalam bidang ibadah. Alasan logis inilah yang
dinamakan illat (kausa efektif) atau manath al-hukm (poros hukum)11.
Bertitik tolak dari kerangka berfikir seperti di atas, ulama ushul fiqh
mendeduksikan suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan
hukum akan terkait dengan ada dan tidaknya illat. Pandangan ini semakin
9
Ahmad Hasan adalah seorang pakar hukum Islam kontemporer Pakistan yang
banyak menghasilkan karya-karya pemikiran hukum Islam yang cukup berpengaruh bukan
saja di negerinya, tetapi juga dikawan dunia Islam lainnya. Dia adalah seorang pembaharu
yang banyak menawarkan teori-teori pembahruan di bidang hukum Islam. Lihat dalam Pintu
Ijtihad Sebelum Tertutup. h. 103
10
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. h. 104
11
Busyro, Pemikiran Hukum dan Fatwa Abdullah ibn Mas‘ud, h. 22
8
mempertegas posisi dan fungsi illat dalam hubungannya dengan pensyari'atan
hukum. Oleh karena itu illat menjadi kata kunci yang menentukan dalam upaya
memahami apa yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum tersebut.
Namun kehadiran konsep illat ini tidak serta-merta diterima secara
keseluruhan oleh para ulama, dan terus menjadi suatu bahan diskursus yang
berkembang, seperti sebagian kelompok Asy`ariyah dan Zahiriyah. Bagi
kelompok Asy`ariyah konsep illat tertolak, secara khusus penolakan ini
dilatarbelakangi oleh gesekan pemahaman ilmu kalam kelompoknya dengan
kelompok Mu`tazilah, perdebatan tersebut diawali dengan konsep ilmu kalam
kelompok Mu`tazilah yang mengatakan bahwa Allah SWT harus
melaksanakan alasan-alasan ditetapkannya suatu hukum, sehingga dengan
terlaksananya illat dalam suatu penetapan hukum mereka dapat menerima
konsep illat. Sedangkan, dalam konsep kalam kelompok Asy`ariyah
menetapkan bahwa Allah maha sempurna dengan keinginan dan kehendaknya,
tidak ada syarat apakah ketentuan Allah SWT tersebut mempunyai alasan atau
tidak mempunyai alasan12. Karena Allah SWT mesti bersikap semaunya karena
sifatnya yang maha sempurna tersebut.
Akan tetapi pandangan kalangan Asy'ariyah tersebut, bila dicermati
secara mendalam mengenai persoalan illat ini, hanya menolak illat ketika
berbicara masalah teologi (ilmu kalam) dan dalam tataran konsep. Dalam
prakteknya ulama ushul yang beraliran teologi Asy'ariyah tetap membicarakan
persoalan illat ini dalam rangka melihat hubungan sebab akibat antara
penetapan hukum dengan alasan logis yang mendasarinya. Al-Ghazali
12
Busyro, Fiqh Maqashid, h.153.
9
misalnya membahas persoalan ini dalam karangan-karangannya tentang ushul
fiqh. Walaupun dalam definisi yang dikemukakannya tentang illat tetap
diwarnai oleh paham teologi Asy'ariyah, tapi yang jelas ia mengakui bahwa
illat merupakan faktor yang menyebabkan ditetapkannya hukum dengan syarat
ada izin dari Allah. Jadi bukan illat semata-mata yang menyebabkan adanya
hukum13.
Kelompok Zahiriyah adalah golongan yang hanya berpegang pada nash
saja dan mengambil zahir (teks) nash serta tidak melihat pada suatu
kemaslahatan yang tersirat dalam nash itu14. Demikianlah kehadiran golongan
Zahiriyyah, golongan yang menolak illat (qiyas). Mereka mengatakan tak ada
kemaslahatan melainkan yang didatangkan syara„.
Para ahli hukum Islam telah mengkaji alasan dari kebolehan tersebut
(illat). Ada kubu ulama yang tetap konsisten berpegang pada persyaratan illat
yang telah dirumuskan oleh ulama klasik, contohnya seperti dalam illat
kebolehan berbuka puasa bagi musafir adalah karena perjalanan itu sendiri. Hal
ini berakibat bolehnya seorang berbuka puasa walaupun ia memempuh
perjalanan yang relatif dekat dan singkat 15.Sementara itu sebagian ahli tidak
menitikberatkan kepada perjalanan itu, akan tetapi mereka melihat kepada ada
tidaknya unsur masyaqqah (kesulitan) yang dialami dalam perjalanan.
Kelihatannya kubu ini telah mengangkat hikmah hukum sebagai alasan
dibolehkannya berbuka puasa.
13
Bahrul Hamdi, MASHLAHAH DALAM PARADIGMA TOKOH (ANTARA Al-
GHAZALI, ASY-SYATIBI DAN NAJMUDDIN AT-THUFI), h. 222.
14
Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-fiqh, h. 101.
15
Hasbi As-shiddiqi, Falsafah Hukum Islam. h. 72.
10
Dari paparan di atas, ternyata mendalami permasalahan illat terkait
langsung dengan kemaslahatan yang hendak diwujudkan, dan kemaslahatan itu
sekaligus merupakan tujuan umum ditetapkannya hukum. Dalam kaitan inilah
kajian masalik al-illat termasuk kajian penting dalam mengenal
pengistinbathan hukum untuk mewujudkan maqashid al-syari‘ah.
Pada dasarnya berkisar pada pembahasan ‘illat sebagai inti pembahasan
dari qiyas. Dikatakan sebagai inti pembahasan qiyas karena dengan ‘illat-lah
sebuah nas akan dapat diperluas “wilayah keberlakuannya” dengan menjadikan
hukumnya berlaku pada peristiwa lain yang sama sehingga dapat menampung
sebanyak mungkin peristiwa. Oleh karena itu, proses menemukan ‘illat dari
teks-teks hukum (talîl al-ahkâm) menjadi proses yang sangat penting karena
proses inilah yang akan menjaga keberlangsungan dan kelanggengan teks-teks
hukum Islam. Keterbatasan sumber hukum Islam dari sisi kuantitasnya,
diharapkan dapat mengatasi problem sosial yang selalu berubah dan tidak
terbatas karena ada proses yang dapat menjadikannya dapat mengantisipasi
persoalan-persoalan baru yang muncul.
Hanya saja, proses qiyas dengan talîl al-ahkâm memang sangat terbatas
karena harus mencari dua persoalan yang sama atau mirip, salah satunya
merupakan persoalan yang sudah ada hukumnya dalam nas syariat dan
persoalan lain adalah persoalan baru yang hendak diberikan status hukum,
kemudian menemukan ‘illat yang sama antara keduanya agar dapat disamakan
status hukumnya. Qiyas dengan model ini akan sulit memecahkan persoalan
11
baru yang tidak dapat dicarikan kesamaannya dengan persoalan lama yang
manshûsh dan mencari kesamaan ‘illat-nya16.
Metode ta’lil al-ahkam bil hikmah ini menjadi jawaban yang logis dari
segala perdebatan sebagaimana yang telah penulis sampaikan pada beberapa
paragraf sebelumnya mengenai dinamika pemecahan suatu permasalahan
secara tekstual maupun kontekstual dengan mengedepankan kemaslahatan.
Namun proses talîl al-ahkâm dengan hikmah memang Menimbulkan
perdebatan diantara para tokoh. Al-Âmidî mengatakan bahwa ada tiga
pendapat dalam hal ini, yiatu: (1) Melarang dijadikannya hikmah sebagai ‘illat
apabila tidak ada batasannya yang jelas. (2) Sebagian ulama Mâlikiyyah dan
Hanâbilah membolehkannya secara mutlak, dan (3) Apabila ‘illat bersifat jelas
dan terukur (zhâhir, munzhabith), sedangkan hikmah tidak terukur (ghayr
munzhabith) maka ta’lîl harus dengan ‘illat, tidak dengan hikmah, sedangkan
bila ‘illat yang tidak jelas dan terukur, sedangkan hikmah yang bersifat jelas
dan terukur, maka ta’lîl adalah dengan hikmah17.
Jaser „Audah adalah salah satu tokoh modern yang Membedakan antara
hikmah dengan ‘illat (al-maqshad dalam bahasa „Audah). Hikmah adalah
kemaslahatan yang berakibat pada hukum dalam bentuk sekunder, sedangkan
‘illat adalah kemaslahatan yang ditentukan oleh pembuat syariat atau diduga
kuat oleh mujtahid merupakan tujuan utama hukum secara asasi. Artinya, jika
saja ‘illat itu tidak ada, tentu hukum juga tidak akan pernah ada. Hikmah bisa
saja berbeda dengan ‘illat atau merupakan bagian dari‘illat atau bahkan sama
16
Muh. Nashirudin, Ta’lil Al-Ahkam dan Pembaruan Ushul Fikih, h. 22
17
Al-Âmidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, h. 140.
12
dengan ‘illat18. Ada tiga alasan yang dipakai „Audah untuk menolak hikmah
sebagai ‘illat dalam hukum, yaitu al-khafâ’ (samar, tidak jelas dan inderawi),
al-inzhibâth (terukur), dan takhalluf al-hukm ‘an al-hikmah19.
Walaupun sebagian besar ulama menolak menjadikan hikmah sebagai
‘illat dalam proses talîl al-ahkâm, akan tetapi ternyata para ulama yang
menolaknya tetap menjadikan hikmah sebagai salah satu batasan dalam definisi
‘illat.
Selain Ibn al-Qayyim, al-Râzî juga salah satu tokoh yang membolehkan
dijadikannya hikmah sebagai ‘illat. Ia mengatakan bahwa yang memiliki
pengaruh terhadap hukum (al-muatstsir) pada hakikatnya adalah hikmah dan
bukan sifat (‘illat). Sifat atau ‘illat dapat dijadikan sebagai al-muatstsir karena
adanya hikmah di dalamnya 20.
Bahkan selama hukum dapat disandarkan kepada hikmah, maka hukum
tidak boleh disandarkan pada ‘illat. Kebolehan ta’lîl dengan‘illat hanyalah jika
tidak mampu melakukan proses ta’lîl dengan hikmah21. Dan yang dimaksud
dengan hikmah oleh al-Râzî dalam hal ini jalb al-naf’ aw daf’ al-madharrah,
menarik manfaat atau menolak kerusakan22. Artinya, pada dasarnya al-Râzî
18
Jâser ‘Awdah, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al-Syar’iyyah bi Maqâshidihâ, h.
61.
19
Jâser ‘Awdah, Fiqh al-Maqâshid Inâthah al-Ahkâm al-Syar’iyyahn bi Maqâshidihâ,
h.59-60.
20
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Miftâh Dâr al-Sa’âdah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.t.), Jilid II, h.22. Ibn al-Qayyim memberikan contoh-contoh dari Alquran dan Sunah
mengenai penggunaan hikmah sebagai alasan penetapan hukum dalam karyanya yang lain
I’lâm al-Muwaqqi’în, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), Jilid I, h.270
21
Al-Râzî, Al-Mahshûl fî ‘Ilm al-Ushûl, Jilid V, h.391
22
Al-Râzî, Al-Mahshûl fî ‘Ilm al-Ushûl, h.397.
13
menjadikan terwujudnya maslahat dan hilangnya mudarat sebagai faktor utama
dalam menentukan mana yang memiliki pengaruh terhadap ada dan tidak
adanya hukum. Dan hal itu dapat tercapai jika hikmahlah yang pertama kali
dijadikan faktor penentunya.
PENUTUP
Metode ta’lil al-ahkam bil hikmah ini menjadi jawaban yang logis dari
14
DAFTAR PUSTAKA
15
Madkur, Salam. Al-Ijtihad Fi al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Nahdah, al-
Arabiyah. 1984
Romli, ‘Illat dan Pengembangan Hukum Islam, Intizar Vol.29, No.2, 2014
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, London: Oxford University
Press, 1964.
16