Anda di halaman 1dari 14

A.

Mahkum Alaih
1. Pengertian Mahkum Alaih

Ulama ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah
seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Taala, yang disebut dengan mukallaf . Sehingga
istilah mahkum alaih disebut dengan subyek hukum.
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Sehingga orang mukallaf adalah
orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah
maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia
mengerjakan perintah Allah, maka ia akan mendapatkan pahala dan kewajibannya terpenuhi.
Sebaliknya, jika ia mengerjakan larangan Allah maka ia akan mendapatkan dosa dan kewajibannya
belum terpenuhi.
2. Dasar Taklif

Terdapat dalam Hadits Rasulullah SAW, sebagai berikut:



:
Diangkatnya pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun,
anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi,
Nasai, Ibnu Majah, dan Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib)
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa seseorang belum dikenakan taklif (pembebanan
hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa
seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang
ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal seperti orang gila dan
anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka dianggap
tidak bisa memahami taklif dan syara. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan
tidur, mabuk dan lupa. Karena orang tidur, mabuk dan lupa termasuk dalam keadaan tidak sadar atau
hilang akal.
3. Syarat-syarat Taklif

Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa seseorang itu dikenai hukum apabila orang
tersebut memenuhi dua syarat, yaitu:
Orang itu telah mampu memahami khitab syari (tuntutan syara) yang terkandung dalam
Al-Quran dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain, karena seseorang yang
melakukan suatu pekerjaan disuruh atau dilarang tergantung pada pemahamannya terhadap suruhan
dan larangan yang menjadi khitab syari. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk memahami khitab syari tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
Kemampuan untuk memahami taklif tersebut hanya bisa dicapai dengan akal manusia,
karena akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dikerjakan atau ditinggalkan.
Seseorang tersebut harus cakap dalam bertindak hukum, yang dalam istilah ushul fiqih
disebut dengan ahliyyah. Apabila seseorang belum atau tidak cakap dalam bertindak hukum, maka
seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
B. Taklid

Taklid atau Taqlid (Arab: )adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
sumber atau alasannya
1. Syarat-syarat

Yang dibolehkan bertaklid adalah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara
mencari hukum syari'at. Ia boleh mengikuti pendapat orang yang mengerti dan mengamalkannya.
Adapun orang yang mengerti dan sanggup mencari sendiri hukum-hukum syari'at, maka harus
berijtihad sendiri. Tetapi bila waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu
untuk mengerjakan yang lain (dalam persoalan ibadah) maka menurut suatu pendapat boleh
mengikuti pendapat orang lain.
Taklid yang diharamkan
Taklid yang diharamkan adalah:
1

a. Taklid kepada orang lain tanpa mempedulikan Al-Qur'an dan hadits


b. Taklid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya untuk diikuti

Ihtibak dalam al-Quran


Redaksi al-Quran pada umumnya cenderung singkat. Namun demikian, ayat-ayat tersebut
memiliki makna yang luas lagi dalam. Bahasanya demikian memesonakan, redaksinya yang demikian
teliti, dan mutiara pesan-pesannya yang begitu agung, telah mampu mengantar masyarakat yang
ditemuinya berdecak kagum, walau nalar sebagian mereka menolaknya. Terhadap orang-orang yang
menolak kebenarannya inilah al-Quran tampil sebagai mujizat, sedangkan fungsinya sebagai hudan
ditujukan kepada seluruh manusia, meskipun yang mampu memfungsikannya dengan baik hanyalah
orang-orang yang bertakwa.
Dalam ilmu bahasa arab, dikenal istilah ihtibak, yaitu tidak menyebut satu kata atau kalimat
karena telah ada kata atau kalimat lain dalam susunan kalimat yang mengisyaratkan kata atau kalimat
yang tidak disebut itu. Dalam syarh badiiyah, al-Andalusiy mendefinisikan ihtibak, yang merupakan
salah satu dari jenis badi, sebagai membuang satu kata pada kalimat pertama yang telah disebutkan
lawan katanya pada kalimat kedua (bagian kalimat sesudahnya), atau membuangnya dari kalimat kedua,
yang kalimat tersebut telah disebutkan lawan katanya pada kalimat pertama (bagian kalimat
sebelumnya).
Dalam al-Quran, ihtibak sangat banyak, hal ini tidak mengherankan karena keumuman
redaksi al-Quran yang ringkas namun luas maknanya. Contohnya:
surah al-Alaq ayat 4-5 ;
Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.pada ayat ke-4
disebutkan bagaimana Allah SWT mengajar manusia dengan sarana qalam (pena) yaitu terhadap
hal-hal yang telah diketahui oleh manusia, dan pada ayat selanjutnya, Allah SWT mengajarkan
manusia, dengan tanpa pena, terhadap hal-hal yang belum pernah diketahui sebelumnya.

Surah ali-Imran ayat 14:


Dijadikan indah bagi manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita dan anak-anak lelaki.Meski tidak disebutkan
secara langsung dalam redaksinya, kecintaan kepada lelaki (bagi wanita) dan anak-anak perempuan;
ayat ini tidak berarti tidak dicintakan kepada manusia, yaitu kecintaan kepada lelaki dan anak-anak
perempuan.

Surah al-Naml ayat 12 : dan masukkanlah tanganmu (yang tidak


berwarna putih/bersinar) ke leher bajumu, niscaya ia akan keluar putih (bersinar). Keterangan
bahwa tangan yang dimasukkan tidak bersinar diringkas dan dihilangkan sebab di akhir kalimat
dijelaskan tangan yang bersinar setelah dikeluarkan dari leher baju (tidak mungkin kondisi awal
sebelum dimasukkan leher baju sama dengan kondisi setelahnya).

Allahlah
Dalam surah Ghaafir/al-Mumin ayat 61:
yang menjadikan malam untuk kamu (gelap) supaya kamu beristirahat padanya, dan menjadikan siang
terang benderang (supaya kamu bekerja ketika itu).Kata gelap tidak disebutkan pada awal kalimat,
karena kata benderang telah disebutkan di akhir kalimat; begitu juga keterangan agar supaya bekerja di
waktu siang tidak disebutkan karena telah disebutkan malam sebagai waktu untuk beristirahat.
Subhanallah.
Rasa bahasa ini, keindahan redaksi al-Quran ini tentu tidak dapat kita rasai jika kita hanya
mengenal terjemah al-Quran hanya melalui kamus semata. oleh karena itu, nampaknya yang hanya
berusaha mengenal bahasa al-Quran hanya semata dari kamus, akan sulit menangkap keindahan bahasa
al-Quran; lebih-lebih kita orang yang masih awam dalam bahasa arab; nampaknya hanya dapat merasai
keindahan al-Quran dari para qari atau imam bersuara merdu, dan bisa jadi meneteskan air mata karena
rasa suara para qari tersebut, bukan karena kefahaman akan pesan-pesan Allah SWT di dalam kalamNya. astaghfirullah
TALFIQ DALAM PANDANGAN ULAMA
2

Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifudin
Dalam bahasa Arab, kata talfiq ( )berasal dari kata ( ) yang berarti
menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya seperti ungkapan ( ) yang artinya, saya
menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang lain, lalu menjahitnya.
(Lisanul Arab 10-330-331). Dan pembahasan talfiq yang akan dibahas di sini ialah, sebagaimana banyak
diperbincangkan oleh para ulama ushul dan fuqaha yang menyangkut masalah bertaklid kepada
madzhab-madzhab para imam mujtahid. Kami angkat berdasarkan kitab Ushul Al Fiqhi Al Islami, karya
Dr. Wahbah Az Zuhaili, Juz II, hlm. 1171-1181.
PENGERTIAN TALFIQ
Talfiq, yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau muamalah) yang tidak pernah
dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid kepada madzhab-madzhab serta mengambil
(menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan cabangcabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh
seorang pun (dari para imam mujtahid)[1], tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun
imam barunya. Justru masing-masing imam tersebut menetapkan batilnya penggabungan dalam ibadah
tersebut.
Contoh, seseorang mentalak tiga terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya menikah
dengan anak laki-laki berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan kembali pernikahan dengan
suaminya yang pertama, Pent.). Dalam hal ini, suami keduanya bertaklid kepada madzhab Asy Syafii
yang mengesahkan pernikahan seperti itu, kemudian ia menggauli wanita tersebut dan lalu
menceraikannya dengan bertaklid kepada madzhab Imam Ahmad yang mengesahkan jenis talak seperti
itu dan tanpa melalui masa iddah, sehingga suaminya yang pertama boleh menikahinya kembali.[2]
Syaikh Ali Ajhuri Asy Syafii memberi komentar, bahwa (contoh) seperti itu dilarang pada
masa kami, dan hal itu tidak boleh serta tidak sah untuk diamalkan. Karena menurut madzhab Asy
Syafii, disyaratkan yang menikahkan anak kecil harus ayah atau kakeknya, dan harus seorang yang
adil, serta mesti ada kemaslahatan bagi anak tersebut dalam pernikahannya. Kemudian yang
menikahkan si wanita harus walinya yang adil dengan dua saksi yang adil pula. Jika ada satu syarat tak
terpenuhi, maka tidak sah tahlil tersebut, karena pernikahannya tidak sah.
RUANG LINGKUP TALFIQ
Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam masalahmasalah ijtihadi [3] yang bersifat zhanni (bukan merupakan perkara qathi atau pasti, Pent.). Adapun
setiap perkara yang malum fiddin bidhdharurah (prinsipil) dalam agama ini, berupa perkara-perkara
yang disandarkan pada hukum syari (yang pasti), yang telah disepakati oleh kaum muslimin dan
pengingkarnya dihukumi kafir, maka tidak boleh ada taklid apalagi membuat talfiq di dalamnya.
Atas dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat mengarah kepada pembolehan
(penghalalan) perkara yang diharamkan seperti khamr (miras) dan zina.
HUKUM TALFIQ
Talfiq Yang Diperbolehkan
Dalil bagi pendapat yang menyatakan bahwa talfiq itu dilarang, adalah apa yang dinyatakan
oleh ulama ushul sebagai ijma yang melarang memunculkan pendapat ketiga, jika para ulama berbeda
pendapat menjadi dua kelompok mengenai hukum dalam suatu masalah. Jadi, kebanyakan dari mereka
menyatakan tidak boleh memunculkan pendapat ketiga yang dapat melanggar wilayah kesepakatan.
Misalnya seperti masalah iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya. Dalam
masalah ini ada dua pendapat di kalangan ulama. Pertama, berpendapat bahwaiddahnya adalah
(dengan) melahirkan kandungannya. Kedua, berpendapat bahwa iddahnya adalah masa iddah yang
paling jauh dari dua masa iddah [4] . Maka tidak boleh memunculkan pendapat baru misalnya- dengan
menyatakan bahwa iddahnya adalah hanya dengan hitungan bulan (4 bulan 10 hari) saja.[5]
Untuk mengomentari (menyanggah) klaim kebatilan talfiq ini, bisa melalui dua metoda. 1)
Metode penolakan (al manu) atau peniadaan (an nafyu), 2) Metode penetapan lawannya (itsbatul aks).
1. Metode Penolakan atau Peniadaan.
Hal itu jelas, karena talfiq dibangun di atas pemikiran taklid yang ditetapkan oleh ulama
muta`akhirin (generasi akhir) pada masa-masa kemunduran (umat Islam dalam berijtihad, pent.).
3

Artinya talfiq ini belum dikenal (tidak ada) di kalangan Salaf (pendahulu umat ini), tidak di
masa Rasul Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidak pula di masa imam-imam (setelah
mereka) dan para muridnya. Adapun di masa Rasul Shallallahu alaihi wa sallam , maka tidak ada
praktek talfiq sama sekali, karena masa itu merupakan era penyampaian wahyu yang tidak
memungkinkan adanya ijtihad.
Demikian pula di masa sahabat dan tabiin, tidak dikenal adanya talfiq di tengah-tengah
mereka. Yang ada hanyalah seseorang bertanya kepada ulama yang disukainya dari kalangan sahabat
dan tabiin, lalu ia (yang ditanya) memberi fatwa kepadanya tanpa mengharuskan berpegang dengan
fatwanya, dan juga tanpa melarang orang (penanya) tersebut dari mengamalkan fatwa selainnya,
padahal ia mengetahui adanya perbedaan pendapat yang banyak di antara mereka.
Begitu juga di masa para empat imam atau ulama lainnya yang sudah masuk kategori ulama
mujtahid, tidak ada nukilan dari mereka tentang larangan beramal dengan madzhab selainnya. Bahkan
masing-masing saling mengikuti di belakang ulama yang lain, padahal setiap dari mereka mengetahui
perbedaan pendapatnya dengan yang lain dalam masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (tidak pasti).
Maka hal ini menunjukkan bahwa dahulu- orang yang meminta fatwa, mengambil pendapat-pendapat
para ulama dalam dua masalah atau lebih, dan tidak dikatakan bahwa dia telah melakukan talfiq, atau
telah sampai pada suatu kondisi yang tidak pernah disebutkan oleh para pemberi fatwa. Hal itu hanyalah
terhitung sebagai bentuk saling bercampurnya pendapat-pendapat para pemberi fatwa tersebut pada diri
orang yang meminta fatwa tadi tanpa ada kesengajaan (untuk mencampuradukkan antara pendapat satu
dengan yang lain). Sama halnya dengan saling bercampurnya bahasa-bahasa antara satu dengan yang
lain dalam bahasa Arab, misalnya.
Dan selebihnya, pendapat mereka yang melarang perbuatan talfiq, dapat mengarah kepada
larangan bertaklid, yang pada dasarnya mereka sendiri mewajibkan taklid tersebut bagi orang-orang
awam, meskipun kebanyakan taklid itu bukan merupakan bentuk talfiq. Dan hal ini bertentangan dengan
prinsip yang berbunyi perbedaan pendapat para imam adalah rahmat bagi umat. Juga bertentangan
dengan prinsip kemudahan dan kelonggaran serta menghilangkan perkara yang memberatkan dan
kondisi yang menyulitkan, yang merupakan asas bangunan syariat Islam.
2. Metode Penetapan Lawannya (Itsbatul Aks).

Dengan anggapan membenarkan dan menerima pendapat yang melarang talfiq, maka
tampaklah dari ketetapan para ulama itu, bahwa tidaklah ada keharusan berpegang kepada madzhab
tertentu dalam seluruh permasalahan, sebagaimana telah dijelaskan. Dan seseorang yang tidak
berpegang kepada madzhab tertentu, maka dibolehkan melakukan talfiq. Jika tidak demikian, maka
akan mengakibatkan kesimpulan pembatalan peribadahan orang-orang awam, karena pada
kenyataannya- kita hampir tidak mendapati seorang yang awam mengerjakan suatu ibadah yang benarbenar sesuai dengan madzhab tertentu. Adapun persyaratan yang mereka sebutkan tentang keharusan
memperhatikan perbedaan dalam lintas madzhab, bila seseorang bertaqlid kepada satu madzhab atau
meninggalkan madzhabnya yang terdahulu- dalam suatu masalah, maka hal ini perkara yang
menyulitkan, baik dalam masalah-masalah ibadah maupun muamalah. Karena hal itu bertentangan
dengan prinsip kelonggaran dan kemudahan syariat serta kecocokakannya dengan seluruh
kemaslahatan manusia
Contohnya, seseorang yang berwudhu dan mengusap kepalanya dengan bertaqlid kepada
madzhab Imam Asy Syafii- maka wudhunya sah. Kemudian, apabila dia menyentuh kemaluannya
setelah itu dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah, maka shalatnya sah. Karena wudhunya
orang yang bertaklid ini sah menurut kesepakatan, hal itu disebabkan bahwa menyentuh kemaluan tidak
membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah. Dan seperti ini tidak dikatakan bahwa wudhunya tidak sah
karena dianggap batal oleh masing-masing dari dua madzhab tersebut; karena dua masalah tersebut
terpisah (antara satu dengan yang lain). Wudhu tersebut awalnya telah sempurna dengan bertaklid
kepada madzhab Asy Syafii, sampai kemudian menyentuh kemaluannya dan dia meneruskan (tetap
dalam keadaan memiliki wudhu) dengan bertaklid kepada madzhab Abu Hanifah. Maka taklid kepada
madzhab Abu Hanifah hanyalah sekedar melanjutkan apa yang sudah sah, bukan pada permulaan
ibadah.
Adapun klaim sebagian pengikut madzhab Hanafi, bahwa telah ada ijma yang melarang
melakukan talfiq, maka bisa jadi cuma ditinjau dari kesepakatan para pengikut madzhab ini saja
(Hanafiah), atau mengacu kepada mayoritas ulama, atau berdasarkan apa yang didengar, atau cuma
4

prasangka (zhan) saja. Karena, jika masalah tersebut sudah merupakan ijma, seharusnya para fuqaha
madzhab-madzhab lain pun akan menjelaskan adanya ijma tersebut, tidak cukup hanya dengan diamnya
mereka dan kemungkinan saja. Dan tidak ada bukti terkuat yang menunjukkan secara jelas perihal tidak
adanya ijma yang melebihi keberadaan penentangan banyak ulama muta`akhirin terhadapnya (larangan
talfiq).
Al Kamal bin Al Hammam dalam At Tahrir dan diikuti oleh muridnya Ibnu Amir Al Hajjmenyatakan: Sesungguhnya seorang (awam) yang bertaklid dibolehkan untuk bertaklid kepada siapa
yang disukainya. Dan jikalau seorang yang awam mengambil pendapat mujtahid yang paling ringan
baginya dalam setiap masalah, maka saya tidak mengetahui ada dalil naqli maupun aqli yang
melarangnya. Dan ketika seseorang (awam) mencari-cari yang paling ringan baginya dari pendapat
seorang mujtahid yang berhak berijtihad-, saya tidak mengetahui dari unsur syariat ini yang
mencelanya, sementara Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyukai sesuatu yang meringankan
umatnya.
Adapun kalau dua imam tersebut sepakat mengenai batalnya amal pelaku talfiq, maka ini
merupakan pendapat yang tidak didukung oleh hujjah. Karena orang yang bertaklid tersebut tidaklah
bertaklid kepada keduanya dalam keseluruhan amal. Namun hanya bertaklid kepada salah satu dari dua
imam dalam masalah tertentu, yang dalam hal itu, dia tidak bertaklid kepada yang lain, maka hal seperti
ini tidak mengapa. Sedangkan keseluruhan amal tidak ada seorang pun yang mengharuskan untuk
menelitinya, tidak dalam hal ijtihad maupun dalam hal taklid. Tetapi ini hanya merupakan mengadaadakan satu hukum syariat dari seseorang yang tidak berhak untuk mengatakannya.
Ibnu Abidin menyampaikan pernyataannya dalam Tanqih Al Hamidiyah yang intinya, bahwa
dalam angan-angan seorang mufti terdapat petunjuk tentang kebolehan hukum gabungan, dan Syaikh
Ath Thursusi juga membolehkannya, begitu pula Allamah Abu As Suud memfatwakan kebolehannya
dalam fatwanya. Demikian juga ketetapan Ibnu Nujaim dalam risalahnya yang berjudul Fi Baiil Waqfi
Bi Ghabnin Fahisys, bahwa menurutnya pendapat dalam madzhab adalah kebolehan melakukan talfiq,
sebagaimana juga yang dinukil dari Al Fatawa Al Bazaziyah. Sedangkan Ibnu Arafah Al Maliki
membenarkan kebolehannya dalam Al Hasyiah Ala Asy Syarh Al Kabir. Allamah Al Adawi dan yang
lainnya juga memfatwakan kebolehannya, karena itu merupakan bentuk kelonggaran.
Dan Jumhur ulama di antaranya sebagian ulama madzhab Syafiiyah- berpendapat bahwa
Ijma yang dinukil oleh orang per orang seperti yang diklaim untuk masalah ini- tidak harus diamalkan
(karena hakikatnya bukan ijma, Pent.). Apalagi dalam hal ini- mengklaim adanya ijma dilarang.
Karena kenyataannya para ulama terpercaya telah menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam
masalah ini, seperti Al Amir dan Al Baijuri. Dan Asy Syafsyawani menyinggung tentang penggabungan
suatu masalah dari dua madzhab atau lebih dengan berkata: Sesungguhnya para ahli ushul berselisih
pendapat dalam masalah ini, tetapi yang benar menurut penelitian- adalah dibolehkan (melakukan
talfiq).
Kesimpulannya, bahwa agama Allah itu mudah, tidak sulit, dan pendapat yang membolehkan
talfiq termasuk dalam kategori memudahkan manusia (khususnya orang-orang awam, Pent.). Allah Azza
wa Jalla berfirman :

Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. [Al Hajj : 78].



Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. [An Nisa:
28].

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [Al Baqarah :
185].
5

Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

(())
Aku telah diutus dengan (membawa agama Islam) yang lurus lagi mudah.
Talfiq Yang Dilarang
Kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas dalam ruang lingkup
tertentu. Karena ada bentuk talfiq yang serta merta batil menurut bentuknya, seperti bila talfiq tersebut
menjurus kepada penghalalan perkara-perkara yang diharamkan (secara qathi atau pasti) seperti khamr
(miras), zina dan dll. Dan ada yang dilarang bukan menurut dzatnya, tetapi karena ada sesuatu yang
mencampurinya (sehingga yang asalnya boleh, menjadi terlarang, Pent.). Jenis kedua ini ada tiga
macam.[15]
1.
Menyengaja
hanya
mencari-cari
yang
paling
ringan
(tatabbu ar
rukhash).
Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur
keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha
pembebasan diri dari beban-beban syariat.
Al Ghazali berkata,Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan
seorang awam juga- tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab
dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada
keterpaksaan, Pent.) . [16] Dan tentunya masuk ke dalam macam ini, yaitu mencari-cari
hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil pendapat yang lemah dari setiap
madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa nafsunya.
2.

Talfiq yang mengakibatkan penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim (pemerintah),
karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi terjadinya
kekacauan.

3.

Talfiq yang mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara taklid,
atau meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang
ditaklidinya.

Contoh keadaan pertama. Kalau ada seorang yang faqih (paham tentang agama) berkata
kepada isterinya Saya mentalakmu selamanya dan ia berpendapat bahwa -dengan lafadz seperti itutelah jatuh talak tiga, maka ia melaksanakan pendapatnya berkaitan antara dirinya dan isterinya tersebut,
dan ia berketetapan bahwa isterinya telah haram baginya. Kemudian setelah itu dia berpendapat bahwa
talaknya tersebut adalah talak raji, namun ia tetap melaksanakan pendapatnya yang pertama yang telah
ditetapkan sebelumnya dan tidak mau mengembalikan isterinya (yang telah ditalaknya) sebagai isterinya
lagi dengan pendapat terbarunya itu. Hal ini terlarang, karena dia masih menyisakan pendapat pertama,
sementara itu dia sudah mengambil pendapat kedua dalam masalah yang sama.
Contoh keadaan kedua. Jika seorang laki-laki bertaklid kepada Imam Abu Hanifah dalam
pendapatnya tentang (sahnya) pernikahan tanpa wali (si wanita), maka aqad (pernikahan) tersebut
meluluskan pengesahan jatuhnya talak, karena hal itu satu konsekuensi sahnya pernikahan menurut
ijma. Lalu, jika laki-laki tersebut menjatuhkan tiga talak terhadap isterinya, kemudian dia ingin
bertaklid kepada Imam Asy Syafii yang berpendapat tidak ada talak yang jatuh, karena pernikahannya
tersebut tanpa wali (yang menurut beliau tidak sah, Pent.), maka tidak boleh dia melakukan talfiqseperti itu, karena dia meninggalkan taklidnya dalam perkara wajib yang telah disepakati.
Hal itu lebih ditujukan untuk menjaga masalah nasab daripada mempertimbangkan aspek
lainnya. Karena, jika tidak begitu, maka akan menghasilkan konsekuensi bahwa hubungan yang telah
dilakukan (antara keduanya) adalah hubungan haram (zina) dan anak-anak yang dilahirkan (dari
hubungan tersebut) adalah anak-anak zina. Maka harus ditutup setiap pintu yang dapat mengarahkan
6

kepada upaya rekayasa (tahayul) seperti itu dalam segala masalah yang besar, seperti masalah
pernikahan atau dalam setiap perkara yang menyudutkan agama sebagai obyek mainan atau merugikan
manusia atau kerusakan di atas muka bumi.
Adapun dalam urusan peribadahan dan beban-beban syariat yang tidak ada kesempitan untuk
para hambaNya, maka tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun akan mengakibatkan
ditinggalkannya perkara yang telah diamalkan atau ditinggalkannya perkara wajib karena perkara wajib
lainnya berdasarkan ijma, selama tidak menjurus kepada pembebasan diri dari ikatan beban-beban
syariat, atau mengarah kepada penghapusan hikmah ditetapkannya syariat dengan cara mengikuti
setiap hilah (rekayasa) yang dapat merubah atau menghilangkan maksud syariat.
HUKUM TALFIQ DALAM BEBAN-BEBAN SYARIAT (TAKALIF ASY SYARIYYAH)
Di atas telah dijelaskan bahwa ruang lingkup talfiq hanyalah dalam perkara-perkara furu
(cabang) yang bersifat zhanni yang dibolehkan terjadi ijtihad, yaitu dalam perkara-perkara yang
memungkinkan terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Adapun berkaitan dengan urusan aqidah,
keimanan dan akhlak serta perkara-perkara yang prinsip agama ini, maka tidak dapat dimasuki oleh
talfiq. Karena tidak boleh ada taklid padanya menurut kesepakatan ulama, juga bukan termasuk wilayah
ijtihad yang akan mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat yang menjadi dasar bagi taklid dan
talfiq-.
Lantaran talfiq ini sangat mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu, maka harus ada
perincian mengenai hukum masalah-masalah furu tersebut. Perkara-perkara furu dalam syariat terbagi
menjadi tiga jenis.
1. Perkara-perkara furu yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai
ragamnya yang disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf (orang yang dibebani syariat).
2. Perkara-perkara furu yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan mencari yang paling selamat.
3. Perkara-perkara furu yang berorientasi kemaslahatan dan kebahagiaan para hamba.
Jenis yang pertama, adalah ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di
dalamnya jika diperlukan, karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan
tunduk kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh terjadi sikap berlebihan dalam
hal ini. Karena sikap berlebihan (melampaui batas) akan menjerumuskan kepada kebinasaan.
Adapun ibadah-ibadah maliyah (dengan harta), maka haruslah diperketat untuk kehati-hatian,
karena dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena itu, seseorang yang ingin
menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang lemah atau menggabungkan pendapat dari
setiap madzhab yang lebih tidak menjamin keutuhan hak kaum fakir. Dalam masalah ini, seorang mufti
(pemberi fatwa) hendaknya mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati (selamat) dan paling kondusif,
dengan tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta fatwa (mustafti) dan apakah dia termasuk
orang-orang yang punya kepentingan (tertentu mendesak) atau tidak.
Adapun jenis kedua, yaitu kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu pada
kehati-hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara) (dengan meninggalkan
syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya
madharat (bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali
dalam keadaan darurat (terpaksa) menurut kacamata syariat. Sebab kondisi darurat (terpaksa)
membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

(( ))
Apa yang kularang hendaklah kalian jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka
hendaklah kalian kerjakan sekuat kemampuan kalian.[22]
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat
kemampuan, sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari perkara yang
dilarang tersebut.
Adapun tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut
dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada hadits :


Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.[23]
7

Adapun larangan-larangan yang berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh
melakukan talfiq di dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta mencegah gangguan
dan menganiaya (orang lain). Maka tidak boleh melakukan talfiq dalam hal tersebut, karena merupakan
bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan menentang hak orang dan merugikan mereka.
Sedangkan jenis ketiga, yaitu jenis muamalah (interaksi antara manusia), hukuman pidana (hudud),
menunaikan kewajiban harta dan pernikahan.
Pernikahan dan hukum yang integral dengannya, seperti mufaraqah (pemisahan hubungan
antara suami isteri) itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan suami-isteri dan anak-anak. Hal
ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan pernikahan tersebut dan terciptanya kehidupan yang baik
dalam keluarga, sebagaimana yang telah ditetapkan Al Qur`an Al Karim :

Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. [Al
Baqarah : 229].
Jadi, setiap perkara yang mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam sebagian
kasus akan menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq tidak dijadikan sebagai
obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan talak, dengan tetap memperhatikan kaidah
syariat, yaitu bahwa hukum asal pernikahan atau perkawinan adalah haram [24] (kecuali yang
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syariat, Pent.), demi menjaga hak-hak kaum wanita dan
keturunan. Dan bila hal tersebut (mempermainkan hukum dalam pernikahan) di atas terjadi, maka talfiq
menjadi terlarang.
Adapun masalah muamalah, menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud (hukum pidana)
dan perlindungan darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan kemaslahatan
dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap madzhab, pendapat yang
paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, kendatipun harus melakukan talfiq.
Sebab pemilihan pendapat model itu akan mencerminkan usaha untuk mendukung kemaslahatan yang
diinginkan oleh syariat. Ditambah lagi, karena kemaslahatan-kemaslahatan manusia berubah seiring
dengan perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban mereka. Dan batasan maslahah
adalah, setiap perkara yang menjamin perlindungan terhadap lima prinsip dasar, yaitu penjagaan agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta; serta perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syariat,
baik melalui Al Quran, Sunnah atau Ijma, yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah maqbulah
(yang bisa diterima).
Kesimpulannya, batasan dibolehkan atau tidaknya melakukan talfiq adalah, bahwa setiap
perkara yang dapat mengacaukan landasan-landasan syariat dan dapat menghancurkan aturan dan
hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal itu sekedar hiyal (rekayasa belaka untuk
melepaskan diri dari beban syariat, Pent.). Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan,
hikmah dan aturan syariat untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi
kemudahan kepada mereka dalam urusan peribadahan serta menjamin segala kemaslahatan untuk
mereka dalam urusan muamalah (interaksi antara mereka), maka hal itu dibolehkan, bahkan merupakan
tuntutan.
Sebagai tambahan, pemberlakuan talfiq hanya dibolehkan saat dibutuhkan atau dalam kondisi
darurat (terpaksa) saja, bukan bertujuan untuk mempermainkan hukum agama atau mencari-cari
pendapat yang paling mudah dan ringan dengan sengaja tanpa ada maslahah yang dilegalkan syariat.
Dan lagi, itupun terbatas pada sebagian hukum peribadahan dan muamalah yang bersifat ijtihadi (yang
dibolehkan terjadinya perbedaan pendapat) dan bukan bersifat qathi (pasti).
Ijtihad
Ijtihad (Arab: i ) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang
tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan
matang.
Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para
ahli agama Islam.
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah
kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
8

Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam
kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan
keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru
akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam
kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu
tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas
ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus
mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran
dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak
membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Jenis-jenis ijtihad
Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam
agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama
yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti seluruh umat.
Qiys
Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum atau suatu perkara
yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat,
bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan
Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa
sebelumnya
Beberapa definisi qiys (analogi)
1. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara
keduanya.
2. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
3. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis]
dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
4. menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di terangkan oleh al-qur'an dan hadits.
Istihsn
Beberapa definisi Istihsn
1. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2. Argumentasi dalam pikiran seorang fqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
3. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
5. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya..
Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan
hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
9

Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya,
contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang perempuan menikah lagi apabila yang
bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya? maka dalam hal ini
yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan tersebut statusnya adalah istri orang sehingga
tidak boleh menikah(lagi) kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.

Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat
selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Tingkatan-tingkatan
Ijtihad Muthlaq
Adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad dan menemukan 'illah-'illah
hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al-Qur'an dan sunnah, dengan menggunakan rumusan
kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara', serta setelah lebih dahulu mendalami persoalan hukum, dengan
bantuan disiplin-disiplin ilmu.

Ijtihad fi al-Madzhab
Adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai hukum syara', dengan
menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan
dengan masalah-masalah hukum syara' yang tidak terdapat dalam kitab imam mazhabnya, meneliti
pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut, maupun untuk memfatwakan hukum
yang diperlukan masyarakat.
Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi tiga tingkatan ini:

Ijtihad at-Takhrij
Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam mazhab tertentu untuk melahirkan
hukum syara' yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang
kepada kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan
ijtihad terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah difatwakan imam mazhabnya,
ataupun yang belum pernah difatwakan oleh murid-murid imam mazhabnya.

Ijtihad at-Tarjih
Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang dipandang lebih kuat di antara
pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam
mazhab, atau antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya. Kegiatan ulama
pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak melakukan istinbath hukum syara'.

Ijtihad al-Futya
Yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat-pendapat hukum imam mazhab
dan ulama mazhab yang dianutnya, dan memfatwakan pendapat-pendapat terebut kepada masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada memfatwakan pendapat10

pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan tidak
pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.
C. Sunnah VS Bidah

1.

Pengertian Sunnah
Dengan kemunculan Abul Hasan Al Asyari yang merancang akidah barunya (di mana
sebelumnya, selama kurang lebih empat puluh tahun ia bermazhab Mutazilah bahkan seorang tokoh
pembelanya, dan kemudian mendadak berbalik arah menentang mazhab Mutazilah dan membela Ahli
Hadis dan merancang akidah baru yang tidak sepenuhnya persis dengan akidah Ahli hadis) dengan
kemunculannya, nama Ahlu Sunnah menjadi monopoli kaum Asyariyah! Maka siapapun selain yang
berakidah Asyiari adalah Ahli Bidah!
Dengan kebangkitan kaum Wahhbi yang sering kerkedok dengan nama Salafi yang dimotori
oleh para ulama AS (Arab Saudi) dan dengan dukungan penuh real AS mereka merebut kembali
monopoli nama Ahlu Sunnah hanya untuk mereka.. kini giliran kaum Asyariyah dikeluarkan dari Ahlu
Sunnah dalam keyakinan mereka kaum Asyariyah adalah Ahli Bidah
Secara bahasa, sunnah adalah metode (jalan) dan perilaku, yang baik maupun yang buruk. (Ibnu
Manzhur, dalam Lisanul Arab 13/225)
Sementara itu, para ulama juga telah mendefinisikan sunnah secara istilah.Ibnu Rajab Al Hanbali
berkata, Sunnah adalah cara yang ditempuh Rasulullah . Termasuk berpegang teguh kepada apa
yang menjadi landasan beliau dan para Khulafaurrasyidin, baik dalam keyakinan perbuatan, maupun
perkataan. Inilah sunnah yang sempurna. (Jaamiul Ulum wal Hikam I/20)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, (Sunnah berarti) mengikuti jejak Rasulullah secara
lahir dan batin, mengikuti jalan para pendahulu yang utama dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
(Majmuu Fataawa III/157)
Sehingga, bisa kita simpulkan bahwa sunnah adalah petunjuk yang menjadi pedoman Rasulullah
dan para sahabat beliau, baik dalam keilmuan, keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Itulah sunnah
yang wajib diikuti, dipuji pelakunya, dan dicela orang yang menyelisihinya. (Syaikh Said nin Ali bin
Wahf Al Qahthani,Nuurussunnah wa Zhulumatul Bidah)
Wajibnya Mengikuti Sunnah Nabi dan Para Sahabatnya Allah subhanahu wataala berfirman,
Apa saja yang disampaikan Rasul kepada kamu, terimalah. Dan apa saja yang dilarangnya bagi kamu,
maka tinggalkanlah (QS. Al Hasyr: 7)
Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang
yang mengharap Allah dan hari akhir, dan banyak mengingat Allah(QS.Al-Ahzab: 21) Katakanlah
(wahai Muhammad), Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 54)
Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan
Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka
pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung (QS. At Taubah: 100)
Rasulullah bersabda : Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali
satu golongan. Para sahabat bertanya, Siapa golongan itu, wahai Rasulullah?. Beliau menjawab,
Golongan yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada (HR. Tirmidzi)
Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara . kalian tidak akan tersesat jika berpegang
dengan keduanya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Kalian tidak akan berpecah hingga nanti kalian
sampai di telagaku (HR. Hakim, Ad Daruquthni, dan Baihaqi)
Apabila kamu mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah
, maka berkatalah dengan Sunnah Rasulullah dan tinggalkanlah apa yang aku katakan! (Ilamul
Muwaqqiin 2/361)
Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang banginya Sunnah Rasulullah
, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang
(Ilamul Muwaqqiin 2/361)
Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali
satu golongan. Para sahabat bertanya, Siapa golongan itu, wahai Rasulullah?. Beliau menjawab,
Golongan yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada (HR
. Tirmidzi)
11

Sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian dua perkara . kalian tidak akan tersesat jika berpegang
dengan keduanya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Kalian tidak akan berpecah hingga nanti kalian
sampai di telagaku (HR. Hakim, Ad Daruquthni, dan Baihaqi)
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga
yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan
yang besar. (QS. An Nisaa: 13)
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nuur: 63
2.
Pengertian Bidah
Setelah tadi kita mengenal apa itu sunnah, maka kini kita beralih pada pembahasan seputar
bidah. Secara bahasa, bidah berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mujam
Al Wasith, 1/91
Definisi bidah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam
Asy Syatibi dalam Al Itishom. Beliau mengatakan bahwa bidah adalah:



Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang
menyerupai syariat (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebihlebihan dalam beribadah kepada Allah Taala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bidah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya
adat (tradisi). Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bidah, mereka mendefinisikan
bahwa bidah adalah




Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan menyerupai syariat (ajaran
Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani
syariat (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al Itishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau
rahimahullah mengatakan,
:

Bidah adalah itiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma
(kesepakatan) salaf. (Majmu Al Fatawa, 18/346, Asy Syamilah)
Adapun secara istilah syari, maka para ulama memiliki definisi yang beragam. Diantaranya apa
yang dituturkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Bidah adalah itiqad (keyakinan) dan ibadah yang
menyelishi Al Kitab dan As Sunnah atau ijma (kesepakatan) salaf. (Majmu Al Fataawa, 18/346)
Iman Asy-Syahtibi (dalam as-sunnah wa al-bidah baina at-tashil wa at- tathbiq 12-14)
berkata,bidah adalah jalan dalam agama yang dibuat-buat, yang menyerupai syariat, yang dilakukan
dengan tujuan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
Bidah adalah ungkapan (untuk) jalan beragama yang baru, yang menyerupai syariat dan maksud
dikerjakannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah (Al Itisham, 1/23) Dan
secara ringkas, bidah yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi mengenai bidah adalah sebagaimana
yang dituturkan Imam Jauhari, Bidah adalah perkara baru dalam agama setelah (agama itu) sempurna
(Ilmu Ushulil Bida, hlm. 24)
Ketahuilah, bahwa seluruh bidah itu sesat. Namun ada saja orang-orang yang mengklaim bahwa
ritual-ritual bidah dalam ibadah yang mereka lakukan itu mereka katakan sebagai perbuatan baik,
sebagai sebuah kebaikan, atau yang sering disebut bidah hasanah. Padahal, telah jelas dalil dari Nabi
Muhammad ,
Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap perkara baru (dalam
agama) adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat (HR. Ahmad, Hakim, Ibnu Majah, dll.)
Abdullah bin Masud ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat
sekelompok orang yang membentuk majelis. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah . Lalu Ibnu Masud mengingkari mereka dengan mengatakan,
Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan
kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian!
Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau juga belum rusak. Bejananya pun belum
pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari
agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bidah)?
3.
Bahaya Perbuatan Bidah
12

Sesungguhnya bahaya perbuatan bidah itu amatlah banyak kerusakannya. Dan banyaknya
kerusakan dan bahaya yang muncul dari bidah, diantaranya adalah:
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak (HR.
Muslim)
Sungguh merugi pelaku bidah. Sudah beramal banyak tapi ternyata ditolak. Katakanlah:
"Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi: 103-104)
Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari setiap ahli bidah (HR. Ibnu Abi Ashim,
dikuatkan dari jalur Anas bin Iyadl Al Laits Al Madani. Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah
dan Shahih At Targhib wat Tarhib juz I hlm. 97)
Mengapa bisa demikian? Karena perbuatan bidah yang dianggap baik maka pelakunya akan
sulit keluar dari bidah tersebut.
Sufyan Ats Tsauri berkata, Bidah itu lebih disukai Iblis dibandingkan dengan maksiat biasa.
Karena pelaku maksiat itu lebih mudah bertaubat. Sedangkan pelaku bidah itu sulit bertaubat (Talbis
Iblis, hlm. 22)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Oleh karena itu para imam seperti Sufyan Ats Tsauri
dan lainnya menyatakan bahwa sesungguhnya bidah itu lebih dicintai iblis daripada maksiat karena
pelaku bidah tidak diharapkan taubatnya sedangkan pelaku maksiat diharapkan taubatnya. Makna
ucapan mereka bahwa pelaku bidah tidak diharapkan taubatnya karena seorang mubtadi yang
menjadikan bidahnya sebagai Dien yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya telah tergambar indah
baginya amal jeleknya itu sehingga ia memandangnya baik. Maka ia tidak akan bertaubat selama dia
memandangnya sebagai perkara yang baik. Karena awal taubat itu adalah pengetahuan bahwa
perbuatannya itu jelek sehingga dia mau bertaubat. Atau perbuatannya meninggalkan kebaikan yang
diperintahkan, baik perintah wajib maupun mustahab agar dia bertaubat darinya dengan melaksanakan
perintah tersebut. Selama dia memandang perbuatannya itu baik padahal jelek, maka dia tidak akan
bertaubat. (Majmu Fatawa juz 10 hlm. 9) Bidah hakiki
Adalah hal baru yang ada dalam agama dengan tidak berdasar pada dasar-dasar yang telah ada
dalam agama atau pada cabang-cabang agama. Artinya hal baru tersebut tidak berdasar dalil syara baik
dari al-Quran, As Sunnah ataupun ijma.
Hal baru ini murni buatan manusia dan dimasukan kedalam agama dengan tujuan tertentu oleh
pelakunya. Tujuannya bisa benar dan bisa juga salah. Contoh; membangun kuburan/memasang kubah
diatasnya, menghias masjid. Semua itu adalah bidah karena tidak ada dasar rujukannaya dalam AlQuran, As Sunnah atau ijma. Bahkan syara mengharamkannya, melarang dan memberikan ancaman
jika melakukannya.
Adalah apa-apa yang dibuat-buat dalam agama yang ada dalil nya dari Al-Quran, As Sunnah atau
Ijma yang mana keberadaannya disandarkan kepada salah-satu dari ketiganya itu, akan tetapi ia
merupakan bidah dilihat dari sisi bahwa ia adalah tambahan terhadap apa yang telah disyariatkan oleh
Allah dan Rasul-Nya.
Contoh; adalah dzikir dengan berkelompok secara bersama-sama. Dzikir adalah sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Quran, Al Ahzab:41-42) hai orang-orang yang beriman,
berdzikirlah(dengan menyebut nama)Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepadaNya di waktu pagi dan petang
Namun bentuk dan pelaksanaan dzikir dengan cara berkelompok dan dilakukan dengan bersamasama adalah bidah yang diada-adakan, karena pelaksanaan seperti itu tidak pernah diajarkan dan tidak
pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, pada masa sahabat, dan tidak pula pada masa para tabiin,
sehinga dzikir dengan berkelompok dan dilaksanakan dengan bersama-sama adalah salah satu bidah
idhafiyah yang mempunyai dua sisi; satu sisi yang mengikutinya pada selain bidah dan sisi lain yang
mengikutinya dengan bidah yang harus ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan.
Bidah idhafiyah lebih banyak ditemukan padi pada bidah hakiki, meski bidah hakiki pun tidak
sedikit jumlahnya. Dan perlu ditambahkan bahwa bidah dapat menyebabkan pembuat dan pelakunya
kafir dan fasik. (hurmatul ibtidafi Ad-Din karya Abu Bakar Al Jazairi. Hal 13-15).
Pertama, riwayat Abu Nuaim;
,
Bidah itu ada dua macam, bidah terpuji dan bidah tercela. Bidah yang sesuai dengan sunnah,
maka itulah bidah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bidah yang tercela.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafii :
13


,
.


Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi AlQuran, Hadits, Atsar atau Ijma. Inilah bidah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang
mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bidah
yang seperti ini tidaklah tercela

14

Anda mungkin juga menyukai