Anda di halaman 1dari 22

KAIDAH ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد النص‬

Tugas Kuliah

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Pada Mata Kuliah Qowaid Fiqhiyyah
Pascasarjana UIN Alauddin
Makassar

Oleh:

ARSYIK
NIM: 80100220079

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Sabri Samin, M.Ag.


Dr. H. Andi Muhammad Akmal, M.Ag.

PASCASARJANA
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Assalāmuʻalaikum Warahmatullāhi Wabarakātuh

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan rahmat kesehatan

dan kekuatan kepada umat manusia untuk senantiasa mampu menyelesaikan tugas

dan amanah yang diberikan kepadanya. Salam dan salawat semoga tetap

tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. Nabi yang menjadi penutup para nabi,

yang diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Sebagai salah satu landasan untuk memahami maksud atau tujuan dari

syariat Islam, maka keberadaan ilmu kaidah fikih menjadi penting untuk

dipahami. Oleh sebab itu, makalah ini membahas salah satu kaidah fikih, yaitu Lā

Masāga li al-Ijtihād fī Maurid al-Naṣ yang berarti tidak boleh berijtihad semasih

ada yang nas yang mengatur suatu persoalan..

Akhirnya, apa yang tersaji dalam makalah ini merupakan usaha untuk

memberikan sumbangsih pemikiran, karya, dan ide untuk kepentingan akademik,

memberikan gambaran serta petunjuk dalam penerapan dan implementasi kaidah

tersebut

Bima, 23 September 2021

Arsyik

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i

DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1


B. Rumusan Masalah.............................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 4

A. Konsep Kaidah ‫النص‬ ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد‬............................ 4

1. Makna kaidah ‫النص‬ ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد‬........................ 4


2. Klasifikasi Mujtahid..................................................................... 7
3. Klasifikasi Ijtihad ........................................................................ 9

4. Dasar Hukum Kaidah ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد النص‬........... 11

B. Implementasi Kaidah ‫ ال مساغ للاجتهاد في مورد النص‬................. 13

BAB III PENUTUP............................................................................................ 17

A. Kesimpulan......................................................................................... 17
B. Implikasi Penelitian............................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang dianugerahkan oleh Allah swt untuk seluruh

makhluk-Nya, bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai hukum yang dapat

menjadi norm sebagai pedoman kehidupan, namun kerap gagal dipahami bukan

hanya oleh orang-orang non muslim tetapi oleh pemeluknya sendiri. 1 Sumber

hukum Islam yang utama adalah al-Qur’an dan Hadis, di dalamnya berisi panduan

hidup bagi seluruh manusia, darinya kemudian dikembangkan oleh para ahli

hukum Islam sehingga ditemukan sumber-sumber lainnya, namun sebagian tidak

dinamakan sumber hukum Islam, akan tetapi dinamakan dengan metodologi yang

digunakan untuk memahami dan menangkap substansi yang ada dalam teks suci

(nas). Seperti; qiyas, istihsan, maslahah, mursalah, istishab dan banyak lainnya.

Metodologi sebagai alat yang merupakan temuan manusia

(ulama/mujtahid) yang berusaha keras digunakan untuk memahami nas dalam

rangka menjawab kebutuhan manusia tentang hukum, baik karena ketidakjelasan

nas maupun karena adanya persoalan baru yang tidak dijelaskan dalam nas dengan

tegas. Karena itu para ulama menggunakan berbagai metode dalam memahami

nas, baik nas qat’iy maupun dzhanny, diantara metode yang digunakan adalah

berijtihat, naumun dalam berijtihat tidak boleh dilakukan sembarangan, harus

diperhatikan mana yang menjadi wilayah ijtihad dan mana yang tidak boleh

diijtihadkan. sehingga keberadaan kaidah lā masāga li al-ijtihād fī maurid al-naṣ

1
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Cet. XXI; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 65.

1
2

menjadi sangat penting untuk menjadi acuan para mujtahid dalam berijitihad

kepada nas-nas sudah jelas maksud dan tujuanya.

Berangkat dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa untuk lebih

dalam memahami hukum Islam agar tidak terjadi kekeliruan, perlu adanya kaidah

fikih sebagaimana dijelaskan sebelumnya, karena kaidah ini mempunyai fungsi

dan peranan yang sangat penting dalam pemeliharaan dan pengembangan hukum

Islam. Kaidah-kaidah fikih (al-Qawa’id al-Fiqhiyyah) mempunyai fungsi yang

sangat penting bagi para pemikir hukum Islam, diantaranya yaitu: Pertama, dalam

rangka memudahkan ahli atau peminat hukum untuk penyelesaian masalah-

masalah fikih yang mereka hadapi, kaidah fikih itu dapat dijadikan sebagai

rujukan, dengan mengklasifikasi masalah-masalah yang semacam dalam lingkup

satu kaidah; Kedua, dalam rangka penetapan hukum, kaidah-kaidah fikih

berfungsi sebagai media atau alat untuk menafsirkan nas-nas.2 Meskipun kaidah

fikih berfungsi sebagai media dalam menafsirkan nas, namun disisi lain, Islam

menutup jalan untuk berijtihad selama nas masih ada.

Mengingat pentingnya memahami dan menjaga kemurnian hukum Islam,

maka perlu adanya sebuah metode (ijtihat) dalam rangka mengantisipasi dan

meminimalisir blunder pemahaman terhadap kaidah fikih serta mengingat akan

pentingnya penerapannya. oleh karena itu makalah ini akan membahas mengenai

hal-hal penting yang berkaitan dengan kaidah lā masāga li al-ijtihād fī maurid al-

naṣ.

2
Duski Ibrahim, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fikih) (Cet. I; Palembang:
Noerfikri, 2019), h. 20.
3

B. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka pokok masalah yang muncul

adalah: “Bagaimana kaidah Lā Masāga li al-Ijtihād fī Maurid al-Naṣ?”, agar isi

makalah lebih fokus, maka dirumuskan submasalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep kaidah lā masāga li al-ijtihād fī maurid al-naṣh?

2. Bagaimana implementasi kaidah lā masāga li al-ijtihād fī maurid al-naṣh?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Kaidah ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد النص‬

1. Makna Kaidah ‫النص‬ ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد‬

Ditinjau dari segi etimologi (ta’riful lugha) atau yang dikenal dengan

pengertian secara bahasa, kaidah ini terdapat kata ‫اجتهاد‬ (bersumber dari akar

Kata ‫د – جهد‬XXX‫ يجه‬- ‫د‬XXX‫( جه‬bersungguh-bersungguh).3 kata dasar tersebut

mengikuti pola dari timbangan ‫ فعال‬- ‫فعل – يفعل‬.4 Perubahan pola tersebut yang
kemudian ditarik ke kata mashdar sehingga bermakna kesungguhan. Adapun kata

kerja ‫مساغ‬ berarti yang diperbolehkan dan merupakan isim maf’ul (subjek) dari

kata kerja ‫اغ‬XX‫ أس‬yang merupakan kata kerja turunan dari ‫اغ‬X‫ س‬berarti boleh.

Selanjutnya kata ‫ مورد‬adalah kata keterangan tempat dari kata kerja ‫ورد‬ berarti

hadir. Adapun kata ‫ النص‬berarti pengangkatan. Kata ini merupakan mashdar

(kata kerja yang dibendakan) dari kataa kerja ‫ نص‬yang berarti mengangkat dan
menampakan.

Sedangkan pengertian ijtihad secara terminologi banyak  rumusan  yang

diberikan mengenai definisi ijtihad, tetapi satu sama lainnya tidak mengandung

3
Akbar Syamsul Arifin, Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2016),
51; Warson Munawwir, Al Munawwir Kamu Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
h. 217.
4
Syekh Muhammad Ma’shum Ibnu A’liy, al- Amtsilatul at-Tashrifiyyah (Surabaya:
Matbah Salim Nabhan,t.t), h. 6-7.
5

perbedaan yang prinsip, salah satunya sebagaimana disampaikan oleh Imam al-

Syaukani dalam kitabnya Irsyadul fuhul memberikan definisi:

‫بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق اإلستنباط‬

Maksudnya:

Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat


amali melalui cara istimbath.5

Definisi tersebut digunakan kata badzlul wush’i untuk menjelaskan bahwa

ijtihad itu adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini

berarti usaha yang ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-

sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad.

Kaidah lā masāga li al-ijtihād fī maurid al-naṣh, memiliki pengertian bahwa

tidak diperbolehkan berijtihad selama ada nas. Namun, sekilas kaidah ini seakan

bertentangan dengan fungsi kaidah fikih yang berperan sebagai media untuk

menafsirkan nas, tentu jika berbicara penafsiran, maka ada titik ijtihad disana.

Tetapi, titik temu dari kontradiksi tersebut adalah fungsi kaidah fikih terkhusus

pada kaidah fikih ini, yaitu menjelaskan bahwa kaidah fikih fungsinya

memberikan penafsiran dari nas bahwa tidak diperbolehkannya berijtihad atau

mencari hukum suatu masalah selama masalah tersebut masih dijelaskan

hukumnya dalam nas yang sudah jelas maksudnya.

Maksud dari Kaidah lā masāga li al-ijtihād fī maurid al-naṣh juga

disebutkan dalam sebuah kitab yang berjudul; al-wajīz fī īḍāḥ al-fiqh al-kulliyyah

adalah sebagai berikut:

5
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh II (Cet. IV; Jakarta: Kencana Permada Media Grup, 2008),
h. 76.
6

Artinya:

“Tidak diperbolehkan berijtihad dengan pendapat dan kiyas tatkala hukum


suatu permasalahan itu masih ada, yang disebutkan dalam nas syara’, baik
dari al-Qur’an, sunah, atau ijma yang benar/dilegitimasi. Sebagaimana
apabila sebuah nas yang (secara) terang dan jelas dalam hal penggunaan
sebuah hukum yang disa mpaikan terkait hukum (suatu masalah) sekiranya
tidak mengandung kemungkinan, tidak diperbolehkan menakwilkan (suatu
hukum permasalahan) yang di mana berefek, yaitu menggiring hukum suatu
permasalahan yang telah jelas secara tersurat.”6

Sebuah ijtihat bisa menjadi terlarang atau tidak dibenarkan dalam

melakukan penemuan hukum mengenai permasalahan yang di mana terdapat nas

yang secara terang sudah menjelaskanya (qath’iy), dalam arti apabila ijtihad

tersebut menabrak atau kontradiksi dengan nas yang benar dan jelas dari segi

kevalidannya dan penunjukannya atau dalalahnya.

Dengan demikian, nas yang qath’iy ad-dalalah adalah nas yang

menunjukkan kepada arti yang terang atau jelas sekali untuk dipahami, hingga nas

itu tidak bisa ditakwilkan dan dipahami dengan arti yang lain. 7 Artinya nas

tersebut telah memberikan makna tertentu dengan jelas dan tidak ada peluang

untuk merubah, mengembangkan, dan mengalihkan pada makna yang lainnya.

Kategori nas qath’iy menurut Muhammad Adib Salih adalah jika suatu lafal itu

mencakup dua hal yaitu: Pertama, mengandung nilai akidah; Kedua, lafal itu

mengandung nilai-nilai universal dan tidak bertentangan dengan prinsip moral,

seperti menegakkan keadilan, berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung

silaturahmi, dan menepati janji. . Berdasarkan pengertian tersebut tampak jelas


6
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, Vol. 2 No. 1. Bustanul Fuqaha, (2021), h. 29. Lihat juga sumber
utama: Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Būrnū , al-Wajīz fī Īḍāḥ al-Fiqh al-
Kulliyyah (Cet. 5; Beirut: Muassasah ar-Risālah, 2002M/1422H), h. 383.
7
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, (Bandung:
Alma’arif, 1986), h. 37.
7

bahwa nas qath’iy tidak ada peluang untuk berijtihad untuk mengalihkan

maknanya kecuali memahami makna sesuai dengan bahasa yang terkandung di

dalamnya, sehingga dalam mengamalkannya harus seperti apa adanya. Nas

qath’iy juga tidak boleh terkontaminasi dengan pengaruh perubahan dan

perkembangan sosial-budaya, ia bersifat ta’abbudi (diterima dan dilaksanakan

tanpa komentar) dan ia bersifat tetap tidak berubah sampai akhir zaman.8

2. Klasifikasi mujtahid

a. Mujtahid fi al-Syar'y,

Mujtahid yang memiliki semua persyaratan yang harus ada padanya secara

optimal dan melakukan ijtihad dalam berbagai masalah hukum syar'i, tanpa terikat

oleh imam suatu mazhab, bahkan mereka mampu meng-istinbath-kan hukum dari

sumber aslinya tanpa terikat dengan pendapat para mujtahid lain, sehingga mereka

dapat menempatkan sistem metodologis (Ushul-Fikih)-nya.9 Metode seperti ini

lebih dekat dengan metode tarjih Muhammadiyah yang menentukan hukum tampa

terikat dengan mazhab tertentu, dengan mimilih dalil-dalil yang dianggap paling

kuat untuk menjadi pijakan hukum.

b. Mujtahid Muntasib

Mujtahid yang telah memiliki semua persyaratan secara sempurna dan

dalam melakukan ijtihadnya. Mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh imam

mazhabnya, sekalipun keputusan akhir yang didapatkan tidak sama dengan

pandangan imam mazhabnya, khususnya dalam masalah furu'iyyah. Maksudnya:

8
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, h. 31.
9
Andi Muhammad Akmal, Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh: Hakikat
Teori Ijtihad dan Aplikasinya, Ash shahabah, Vol. VI no. 2 (2020), h. 198.
8

seorang mujtahid yang selalu berpegang teguh pada norma-norma dan kaidah-

kaidah istinbath hukum yang telah dijalani oleh imamnya, akan tetapi keputusan

akhir dalam masalah furu'iyyah, dimungkinkan berbeda, bahkan berbeda dengan

keputusan yang telah diambil oleh imam mazhabnya, sebab mereka dalam hal

metodologi-ijtihadiyyah hanya sekedar menafsirkan apa yang dimaksud dengan

norma dan kaidah-kaidah istinbath tersebut, misalnya;

c. Mujtahid fi al-Mazhab

Seorang mujtahid yang dalam istinbath-nya selalu mengikui sistem yang

telah dipakai oleh mazhabnya dan pada masalah furu'iyyah, selalu mengikuti

imam mazhabnya. Sekalipun demikian, sudah mampu melakukan ijtihad dalam

masalah yang tidak ditentukan kepastian hukumnya oleh imam mazhab.

Karena itu, memiliki kemampuan untuk memecahkan beberapa kasus yang

belum diijtihadkan oleh para imam mazhab dan selebihnya dia melakukan

penyeleksian beberapa fatwa hukum (qaul) yang dikutip dari dokumentasi ijtihad

imam mazhab untuk dinilai mana yang shahih dan mana yang lemah;

d. Mujtahid Murajjih

Seorang mujtahid yang tidak pernah melakukan ijtihad mandiri dalam

memecahkan kasus baru, tetapi hanya menekuni studi perbandingan (muqaranah)

antara beberapa pendapat yang berbeda dikalangan para ulama, baik yang masih

dalam satu mazhab maupun dalam beberapa mazhab. Hal ini dilakukan dengan

cara menilai mana yang lebih kuat dan lebih benar dalilnya. Makanya, selalu

terikat oleh sistem yang telah ditetapkan oleh imamnya dan juga selalu mengikuti

imamnya dalam masalah furu'iyyah, hanya saja jika ada masalah yang masih
9

diperselisihkan dikalangan mazhabnya, dia mampu melakukan suatu penetapan

hukum mana yang nilainya lebih benar dan lebih kuat dari pada

penetapanpenetapan hukum yang lain.10

Proses penetapan hukum pada masa sekarang banyak dipengaruhi berbagai

aspek, sosial, politik, dan budaya, seolah dalam penentuan hukum seperti

menyediakan pesanan, bahwa produk hukum sesuai dengan kepentingan yang

memesan. Oleh karena itu, dimasa sekarang sangat dibutuhkan legislator atau

mujtahid yang independen dalam menentukan suatu hukum untuk menyelsaikan

persoalan di masyarakat, terutama metodelogi bagi para mujtahid dalam

melakukan istinbath hukum guna melahirkan suatu produk fikih yang mampu

menyelesaikan persoalnn di masyarakat.

3. Klasifikasi Ijtihad

a. Ijtihad Tradisional, yaitu ijtihad yang dalam penggalian dan penetapan

hukumnya lebih berorientasi pada ungkapan tersurat dari al-Qur'an maupun

hadis. Mujtahid jenis ini populer dengan sebutan golongan Ahlul-Hadis atau

disebut juga kaum tekstualis;

b. Ijtihad Rasional, yaitu ijtihad yang dalam pengkajian dan penetapan hukumnya

lebih berorientasi pada pendayagunaan nalar. Hal ini didasarkan pada

pemahaman bahwa hukum syara' merupakan sesuatu yang dapat ditelaah

substansinya dengan memperhatikan aspek-aspek kemaslahatan. Mujtahid

kelompok ini biasa disebut ahlar-Ra'yu atau kontekstualis.11 Metode ini hidup

10
Andi Muhammad Akmal, Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh: Hakikat
Teori Ijtihad dan Aplikasinya, h. 198-199.
11
Andi Muhammad Akmal, Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh: Hakikat
Teori Ijtihad dan Aplikasinya, h. 198.
10

dalam tradisi bangsa Persia yang mengambil keputusan diruang diskursus atau

meja bundar untuk pertemuan banyak orang yang berdebat tentang suatu

persoalan hukum untuk selesaikan. Demikian yang mempengaruhi proses

istimbath hukum dalam Mazhab Hanfi.

c. Ijtihad Fardiy (perorangan/individual), yaitu ijtihad yang dilakukan secara

mandiri dan oleh seorang mujtahid, baik dalam hal metode dan prosedur

penetapan hukum suatu masalah maupun dalam kaitan proses pengambilan

keputusannya. Mujtahid jenis ini sekarang amat sulit ditemukan, karena pada

diri seorang mujtahid fardiy harus mempunyai beberapa disiplin ilmu yang

memadai sebagai persyaratan dan modal ijtihad;

d. Ijtihad jama'iy (kelompok/kolektif), yaitu ijtihad yang dilakukan secara

bersama-sama oleh sekelompok orang mujtahid (ahli) dengan potensi keahlian

yang berbeda. Ijtihad jenis ini lebih mungkin dan bahkan layak dilakukan saat

ini guna saling melengkapi masing-masing mujtahid (ahli), sekaligus

menghimpun berbagai potensi guna mendapatkan hasil ijtihad yang memadai;

e. Ijtihad Bayaniy, (yaitu suatu cara istimbath (penggalian dan penetapan ) hukum

yang bertumpu pada kaidah lughawiyah (kebahasaan) atau makna lafal.

Menjelaskan hukum-hukum syara' yang kepastian hukumnya benar-benar

sudah ada dalam nas, baik dalam al-Qur'an maupun hadis. ijtihad yang

dilakukan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dengan cara mendasarkan

argumentasi langsung pada bunyi nas al-Qur'an dan hadis;

f. Ijtihad Qiyasi, (Yaitu suatu cara istimbath (penggalian dan penetapan ) hukum

dengan membawa sesuatu yang belum diketahui hukumnya kepada sesuatu


11

yang sudah diketahui hukumnya melalui nas dalam rangka menetapkan atau

menafikan hukumnya karena ada sifat-sifat yang mempersatukan keduanya.

ijtihad yang dilakukan untuk menetapkan hukum syara’ mengenai masalah

baru yang tidak terdapat dalam al-Qur'an maupun hadis dengan cara meng-

qiyas kan terhadap sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya dalam nas

syar’i. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teori analogi atau qiyas;

g. ljtihad intiqa'iy atau tarjihiy, yaitu ijtihad yang dilakukan mujtahid dengan

menelaah pendapat para ulama terdahulu mengenai suatu permasalahan yang

telah tertulis dalam berbagai kitab, kemudian memilih dan menentukan

pendapat yang lebih kuat dalil dan argumentasinya, serta lebih sesuai dengan

kondisi sekitar yang ada;

h. Ijtihad insya'iy atau ibda'iy, yaitu ijtihad yang dilakukan mujtahid untuk

menetapkan suatu keputusan hukum mengenai persoalan-persoalan baru yang

belum diselesaikan oleh para mujtahid terdahulu.12

Dari berbagai klasifikasi ijtihad yang sudah disampaikan tersebut, hal ini

menunjukan eksistensi para mujtahid dalam melakukan intinbath hukum. Usaha-

usaha tersebut merupakan hasil kerisauan para ulama dan fuqaha terhadap

problematikan di masyarakat, sehingga perlu adanya suatu penemuan hukum baru

untuk menjawab segala persoalan yang hidup di masyarakat.

4. Dasar Hukum Kaidah ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد النص‬

Keberadaan kaidah ini juga didukung oleh dalil-dalil yang bersumber dari

al-Qur’an dan hadis, sehingga dalil-dalil tersebut menjadi dasar hukum untuk
12
Andi Muhammad Akmal, Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh: Hakikat
Teori Ijtihad dan Aplikasinya, h. 199-121.
12

menguatkan kaidah ini. Adapun dalil-dalil atau dasar hukum yang melegitimasi

kaidah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an

QS al-Ahzab/ 33 : 36

ْ‫ضى هّٰللا ُ َو َرس ُْولُ ٗ ٓه اَ ْم رً ا اَنْ َّي ُك ْو َن َل ُه ُم ْال ِخ َي َرةُ ِمن‬


َ ‫ِن وَّ اَل م ُْؤ ِم َن ٍة ا َِذا َق‬ َ ‫َو َما َك‬
ٍ ‫ان لِم ُْؤم‬

 ‫ض ٰلاًل م ُِّب ْي ًن ۗا‬ ‫هّٰللا‬


َ ‫ص َ َو َرس ُْو َل ٗه َف َق ْد‬
َ ‫ض َّل‬ ِ َ‫ا‬
ِ ْ‫مْر ِه ْم َۗو َمنْ يَّع‬
Terjemahnya:

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah
tersesat, dengan kesesatan yang nyata”13

Kandungan ayat ini menyebutkan tentang larangan menetapkan sebuah

hukum baru yang lebih dahulu ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, demikian

dalam urusan ijtihat yang dilakukan oleh para ulama.

b. Hadis

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami (Hafsh bin Umar) dari (Syu'bah) dari
(Abu 'Aun) dari (Al-Harits bin 'Amru) anak saudara Al-Mughirah bin
Syu'bah, dari (beberapa orang penduduk Himsh) yang merupakan sebagian
dari sahabat Mu'adz bin Jabal. Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau
bersabda: "Bagaimana engkau memberikan keputusan apabila ada sebuah
peradilan yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan
memutuskan menggunakan Kitab Allah." Beliau bersabda: "Seandainya
engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya
akan kembali kepada sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."

Kementrian Agama RI., al-Qur’an Terjemahan


13
An-Naja (Depok: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, 2015), h. 423.
13

Beliau bersabda lagi: "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam


Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam serta dalam Kitab Allah?"
Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan
saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menepuk dadanya dan berkata: "Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan
apa yang membuat senang Rasulullah." Telah menceritakan kepada kami
(Musaddad) telah menceritakan kepada kami (Yahya) dari (Syu'bah) telah
menceritakan kepadaku (Abu 'Aun) dari (Al Harits bin 'Amru) dari
(beberapa orang sahabat Mu'adz) dari (Mu'adz bin Jabal) bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tatkala mengutusnya ke Yaman…
kemudian ia menyebutkan maknanya."14

Kisah dalam hadis tersebut tentang sebuah pernyataan yang menegaskan

bahwa tidak boleh mengambil keputusan atau berijtihat dengan keyakinan sendiri

tampa terlebih dahulu berpedoman pada al-Qur’an dan hadis. Jika dikaitkan

dengan diskursus proses pengambilan keputusan oleh hakim dimasa sekarang,

seorang hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara tampa terlebih dahulu

melihat sumber hukum yang utama dalam hal ini peraturan perundang-undangan

di Indonesia.

B. Implementasi Kaidah ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد النص‬

Pembahasan tentang implementasi kaidah ‫ورد‬XX‫اد في م‬XX‫اغ للاجته‬XX‫ال مس‬

‫النص‬, dapat dilihat dari contoh-contoh yang ada dalam literatur bahasa arab yang
membahas tentang al-Qawa’id al-Fiqhiyyah yang disebutkan dalam jurnal ilmiah

yang ditulis oleh Jahada mangka dkk, sebagai berikut:

1. (Misalnya) jika seorang mujtahid berijtihad dan berkata bahwa istri yang
ditalak raj’i bahwa dipersyaratkan keridaan seorang istri terhadap
keabsahan rujuknya. Maka sesungguhnya ijtihad ini adalah tidak benar,
diharamkan dan tertolak, karena ijtihad tersebut menyelisihi atau
14
Hadits Abu Dawud Nomor 3119”, Tafsirq (Diakses pada 26 Oktober, 2021), Hadits
Abu Daud Nomor 3119 .
14

menabrak nas syara’ yang jelas dari segi penunjukannya/dalalah, yaitu


firman Allah: (Dan suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka
dalam (masa) itu;
2. (Misalnya) jika seorang mujtahid berijtihad dan berkata bahwa bukti itu
diminta dari yang tertuduh atau dituntut atau meminta sumpah dari
penuduh atau penuntut awalnya. Maka ijtihadnya ini adalah tidak benar,
diharamkan/tidak diperbolehkan dan tertolak, karena menyelisihi atau
menabrak nas syara’ yang telah jelas dari segi penunjukan/dalalahnya,
yaitu sabda Nabi: (bukti itu harus ditegakkan oleh penuntut/orang yang
menuntut dan sumpah itu wajib diberikan oleh tertuduh atau yang
dituntut).15
Penjelasan mengenai hal-hal penting untuk diketahui terkait implemetasi

kaidah ini, juga memuat syarat-syarat diterapkannya kaidah ini, sebagai berikut:

“(Tidak diperbolehkan berijitihad selama ada nas) karena hukum syara’


sumbernya didapatkan dari nas, maka tidak diperlukan lagi mengerahkan
kemampuan untuk menemukannya, karena ijtihad yang relatif maka
hukum yang dihasilkan juga relatif, berbanding terbalik pada nas yang
absolut, maka tentu tidak meninggalkan nas yang absolut demi nas yang
relatif”16
Adapun nas yang dimaksud tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya yaitu

Mufassar dan Muḥkam, selain daripada keduanya, diantaranya Ẓāhir dan Naṣ

maka tidak terlepas dari kemungkinan penakwilan padanya. Dengan demikian,

maka tidak diperbolehkan berijtihad pada saat bersinggungan pada nas yang

Mufassar dan Muḥkam.17   Mufassar ialah lafal yang maknanya lebih jelas dari

nas dan kejelasan maknanya itu ditunjukkan oleh lafal itu sendiri. Mufassar tidak

dapat ditakwilkan atau dialihkan artinya kepada arti lainnya. Sedangkan

Muhkam ialah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas

15
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, h. 34. Lihat juga dari sumber asli yang dikutip oleh Jahada Mangka
dkk. berikut ini: Muslim bin Muḥammad bin Mājid al-Dūsarī, al-Mumti’ fī al-Qawā’id al-
Fiqhiyyah (Cet. I; Riyāḍ: Dār Zidnī, 2007M/1428H), h. 340.
16
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, h. 35.
17
Jahada Mangka, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-
Naṣ” Dalam Fikih Islam, h. 35.
15

dengan tidak menerima takwil dan takhshis. Dalam penafsiran undang-undang,

ini yang disebut penafsiran otentik, dalam arti langsung dijelaskan oleh undang-

undang itu sediri.

Contoh dalam bidang hukum misalnya pada ayat yang berkenaan mawaris,

terdapat pada QS. al-Nisa/ 4 : 12

َ ‫ك اَ ْز َوا ُج ُك ْم ِانْ لَّ ْم َي ُكنْ لَّهُنَّ َو َل ٌد ۚ َف ِانْ َك‬


‫ان َلهُنَّ َو َل ٌد َف َل ُك ُم‬ َ ‫َو َل ُك ْم ِنصْ فُ َما َت َر‬

ٍ ‫الرُّ ُب ُع ِممَّا َت َر ْك َن ِم ۢنْ َبعْ ِد َوصِ َّي ٍة ي ُّْوصِ ي َْن ِب َهٓا اَ ْو دَ ي‬


‫ْن ۗ َو َلهُنَّ الرُّ ُب ُع ِممَّا َت َر ْك ُت ْم ِانْ لَّ ْم‬

‫الثمُنُ ِممَّا َت َر ْك ُت ْم م ِّۢنْ َبعْ ِد َوصِ َّي ٍة ُت ْوص ُْو َن ِب َه ٓا‬


ُّ َّ‫ان َل ُك ْم َو َل ٌد َف َلهُن‬
َ ‫َي ُكنْ لَّ ُك ْم َو َل ٌد ۚ َف ِانْ َك‬

ٌ ‫ث َك ٰل َل ًة اَ ِو ا ْم َراَةٌ وَّ َل ٗ ٓه اَ ٌخ اَ ْو ا ُ ْخ‬


‫ت َفلِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ْن ُه َم ا‬ ُ ‫ان َر ُج ٌل ي ُّْو َر‬
َ ‫ْن ۗ َو ِانْ َك‬
ٍ ‫اَ ْو دَ ي‬

ِ ‫ث ِم ۢنْ َبعْ ِد َو‬


ٰ ‫ص َّي ٍة ي ُّْو‬
‫ص ى ِب َه ٓا‬ ُّ ‫ش َر َك ۤا ُء فِى‬
ِ ُ‫الثل‬ ۚ ‫ال ُّس ُد‬
ُ ‫سُ َف ِانْ َكا ُن ْٓوا اَ ْك َث َر ِمنْ ٰذل َِك َف ُه ْم‬

‫ض ۤارٍّ ۚ َوصِ ي ًَّة م َِّن هّٰللا ِ ۗ َوهّٰللا ُ َعلِ ْي ٌم َحلِ ْي ۗ ٌم‬ ٍ ۙ ‫اَ ْو دَ ي‬
َ ‫ْن َغي َْر ُم‬ –
Terjemahnya:

Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan


oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-
istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggal kannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau
(dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan
setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu)
atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang
sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris).
16

Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha


Penyantun.18
Ayat tersebut  mencakup tiga pembahasan utama, yaitu  bagian waris

suami, bagian waris istri dan bagian waris saudara seibu.  Bahwa setiap bagian

warisan yang telah ditetapkan oleh syariat adalah qath’iy ad-dalalah yang artinya

tidak boleh ada ijtihad di dalamnya, meskipun ada kemunkinan kesepakatan

mengenai pembagian, tetapi hukum asalnya ayat itu jelas. Dengan demikian,

berdasarkan uraian dalam isi makalah ini, dapat dipahami bahwa kaidah ‫ال مساغ‬

‫للاجتهاد في مورد النص‬, berlaku jika tidak bertentangan dengan nas yang sudah
jelas dalam menjelaskan suatu masalah.

18
Kementrian Agama RI., al-Qur’an Terjemahan An-Naja , h. 79.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kaidah ‫ورد النص‬XXXX‫اد في م‬XXXX‫اغ للاجته‬XXXX‫ ال مس‬artinya bahwa tidak

diperbolehkan seorang ulama atau mujtahid berijitihad selama ada nas

yang mengatur suatu persoalan. Kaidah ini fungsinya memberikan

penafsiran dari nas bahwa tidak diperbolehkannya berijtihad atau

menemukan hukum baru terhadap suatu masalah selama masalah tersebut

masih dijelaskan hukumnya dalam nas. Mengenai klasfikasi ijtihad dan

mujtahid sangat beragam, dapat menjadi panduan bagi umat dalam

memilih metode mana yang paling baik untuk diimplementasikan. Adapun

sumber hukum kaidah ini terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang

menjelaskan tentang keutamaan hukum dari Allah dan Rasul-Nya lebih

utama digunakan dalam menyelesaikan persoalan sebelum menggunakan

hukum baru.

2. Implementasi kaidah ‫ورد النص‬XX‫ال مساغ للاجتهاد في م‬, berlaku selama

tidak bertentangan dengan nas. Jadi impelementasi kaidah ini dapat

diperhatikan pada contoh-contoh yang ada dan tidak selamanya kaidah ini

dapat diimplementasikan atau dijalankan, karena ada beberapa hal yang

telah disebutkan terkait pengecualian mengenai kaidah ini

B. Implikasi Penelitian
18

Dengan adanya makalah ini, bisa memberikan gambaran kepada para

pembaca terkait kaidah ‫ال مساغ للاجتهاد في مورد النص‬, beserta segala hal yang
berkaitan dengannya, mulai dari konsep hingga pada penerapan atau implementasi

kaidah ini dalam kehidupan umat Islam. Selain itu, dengan adanya makalah ini

bisa menjadi referensi bagi umat Islam untuk lebih mengetahui sejauh mana ruang

lingkup dan cakupan kaidah ini dalam memberikan kemudahan dan keringanan

terhadap kesulitan yang dihadapi oleh umat Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Cet. XXI; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.

Akmal, Andi Muhammad. Kaidah Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid Al-Naṣh:


Hakikat Teori Ijtihad dan Aplikasinya. Ash shahabah, Vol. VI no. 2,
2020.

Arifin, Akbar Syamsul. Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva
Press, 2016), 51; Warson Munawwir, Al Munawwir Kamu Arab-
Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Hadits Abu Dawud Nomor 3119”, Tafsirq. Diakses pada 26 Oktober, 2021.

Ibrahim, Duski. al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fikih). Cet. I;


Palembang: Noerfikri, 2019.

Mangka, Jahada, Dkk, Implementasi Kaidah “Lā Masāga Li Al-Ijtihād Fī Maurid


Al-Naṣ” Dalam Fikih Islam, Vol. 2 No. 1. Bustanul Fuqaha: Jurnal
Bidang Hukum Islam 2, 2021.

RI., Kementrian Agama. al-Qur’an Terjemahan An-Naja. Depok: Yayasan


Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, 2015.

Syekh Muhammad Ma’shum Ibnu A’liy. al- Amtsilatul at-Tashrifiyyah. Surabaya:


Matbaah Saalim Nabhan,t.t.

Syarifuddin, Amir. Ushul fiqh II. Cet. IV; Jakarta: Kencana Permada Media
Grup, 2008.

Yahya, Mukhtar, dan Fatchur Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam.


Bandung: Alma’arif, 1986.

19

Anda mungkin juga menyukai