Anda di halaman 1dari 9

MATERI 9

‘URF (‫)العرف‬

A. Pengertian ‘Urf
Secara etimologi berasal dari kata „arafa, ya‟rifu berarti sesuatu yang dikenal.
Kata „Urf berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. „Urf
ُ ََْ
ُ ‫ )اْل ْع ُر‬dengan arti sesuatu yang dikenal
juga sering diartikan dengan al-ma‘ruf (‫وف‬
sebagai kebaikan. Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukkan oleh Abdul
Karim Zaidan, istilah „urf berarti:
‫ماُألفهُاملجتمعُواعتادهُوسارُعليهُفىُحياتهُمنُقىلُأوُفعل‬
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan
dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan”.
Istilah „Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-„adah
(adat istiadat).
Para ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Adat
didefinisikan dengan:
‫ألامرُاْلتكرُرمنُغيرُعالقةُعقلية‬
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.
Definisi ini menujukkan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara
berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga
menujukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang menyangkut
permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan dan
mengkonsumsi jenis makanan tertentu atau permasalahan yang menyangkut banyak
orang yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk.
Adapun „urf menurut ulama ushul fiqh adalah:
‫عادةُجمهىرُقىمُفيُقىلُأوفعل‬
“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”.
Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa‟ (guru besar Fiqih Islam
Universitas‟ „Amman, Jordania) mengatakan bahwa „urf merupakan bagian dari adat,
karena adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf menurutnya harus berlaku kepada
kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan
„urf bukanlah kebiasaan alami sebagai mana yang berlaku dalam kebanyakan adat tapi
muncul dari sesuatu pemikiran dan pengalaman.
Jadi „Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah
dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi tradisi (kebiasaan) mereka, baik berupa
perkataan atau perbuatan serta terbentuk dari saling pengertian orang banyak,
sekalipun mereka berlainan stratifikasi (kalangan awam dan elite) sosial mereka.
„Urf berbeda dengan Ijma‟, adapun diantara perbedaan, yaitu:
 „Urf terbentuk oleh kesepakatan mayoritas manusia terhadap suatu perkataan atau
perbuatan, berbaur di dalamnya orang awam dan kaum elite, yang melek dan buta
huruf, mujtahid dan bukan mujtahid. Sedangkan Ijma‟ hanya terbentuk dengan
kesepakatan mujtahid saja terhadap hukum syara‟ yang amali, tidak termasuk di
dalamnya selain mujtahid baik kelompok pedagang, pegawai atau pekerja saja.
 „Urf terwujud dengan persepakatan semua orang dan kesepakatan sebagian
terbesarnya, di mana keinginan beberapa orang tidak merusak terjadinya „Urf.
Sedangkan Ijma‟ hanya terwujud dengan kesepakatan bulat seluruh mujtahid
kaum muslimin di suatu masa terjadinya peristiwa hukum, penolakan seorang atau
beberapa orang mujtahid membuat ijma itu tidak terjadi.
 „Urf yang dijadikan landasan ketentuan hukum, apabila berubah membuat
ketentuan hukumnya berubah pula tidak mempunyai kekuatan hukum seperti yang
berlandaskan nash dan ijma‟, sedangkan ijma‟ yang dijadikan landasan ketentuan
hukum, kekuatan hukum yang berdasarkan nash dan tidak ada lagi peluang untuk
berijtihad terhadap ketentuan hukum yang ditetapkan ijma‟.

B. Dasar Hukum ‘Urf


Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh
di Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa
madzhab yang dikenal banyak menggunakan „Urf sebagai landasan hukum adalah
kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan
Hanabilah dan kalangan Syafi‟iyah.
Menurutnya, pada prinspnya madzhab-madzhab besar fiqih tersebut sepakat
menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam
jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab
tersebut, sehingga „Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang
diperselisihkan di kalangan ulama.
„Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan, antara
lain:
Surat Al-A‟raf (7) ayat 199:

       


“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (Q.S. Al-A‟raf (7): 199).
Kata al-„Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh
mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan
telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami
sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an dan Sunnah
Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah
menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan

2
serta ada pula yang dihapuskan. Misalnya adat kebiasaan yang diakui, kerja sama
dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah
berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama
menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan
hukum, bilamana memenuhi beberapa persyaratan.

C. Macam-Macam ‘Urf
Para ulama ushul fiqh membagi „Urf kepada tiga macam yaitu:
1) Dari segi objeknya/materi yang bisa dilakukan, „Urf terbagi dua yaitu: „Urf Ladfzi
(kebiasaan yang menyangkut ungkapan), dan „Urf „Amali (kebiasaan yang
berbentuk perbuatan):
a) „Urf Lafdzi (‫)العرف ُاللفظي‬/‘Urf Qauli (‫ )العرف ُالقىلي‬adalah kebiasaan
masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat atau „Urf yang berupa perkataan. Misalnya
ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata “daging”
mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual
daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu
pembeli mengatakan “saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung
mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi. Seperti juga
perkataan walad menurut Bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya laki-laki
dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari bisa diartikan anak
laki-laki saja (Q.S. An-Nisa‟ (4): 11-12). Seperti perkataan lahm yang artinya
daging, baik daging sapi, ikan, atau hewan lainnya, tetapi menurut adat
kebiasaan bahwa ikan bukan daging (Q.S. An-Nahl (16): 14).
b) „Urf „Amali (‫)العرفُالعملي‬/‟Urf Fi‟li (‫ )العرفُالفعلي‬adalah kebiasaan masyarakat
yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan atau „Urf
yang berupa perbuatan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah perbuatan
masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan
kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu
dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus
atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai
pakaian tertentu dalam acara-acara khusus. Adapun yang berkaitan dengan
mu‟amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan
akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat dalam
berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu di antarkan ke rumah
pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar,
seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya
tambahan. Seperti juga kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa
mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara shighat jual beli

3
merupakan rukun jual beli. Tetapi telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat
tidak mengunakan shighat dan tidak terjadi hal-hal yang diinginkan.
2) Dari segi cakupannya/ruang lingkup penggunaanya, „urf terbagi dua yaitu: „Urf
„Am (kebiasaan yang bersifat umum) dan „Urf Khash ( kebiasaan yang bersifat
khusus):
a) „Urf „Am (‫ )العرف العبم‬adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan di seluruh daerah atau „Urf yang berlaku pada semua
tempat, masa dan keadaan. Misalnya: dalam jual beli mobil, seluruh alat yang
diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan ban
serap, termasuk dalam jual harga, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.
Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi
setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram. Seperti juga
memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada
kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan
sebagainya.
b) „Urf Khash (‫ )العرف الخبص‬adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan
masyarakat tertentu atau ‟Urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau
keadaan tertentu saja. Misalnya: di kalangan para pedagang apabila terdapat
cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat
lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang
tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap
barang tertentu. Seperti juga mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan
oleh bangsa Indonesia yang beragama islam pada setiap selesai melaksanakan
ibadah puasa bulan Ramadhan sedang pada negara-negara islam lain tidak
dibiasakan.
3) Dari segi keabshannya dari pandangan syara‟/penilaian baik dan buruk, „urf
terbagi dua yaitu: „Urf Shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan „Urf Fasid
(kebiasaan yang dianggap rusak):
a) „Urf Shahih (‫ )العرف الصحيح‬adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits) tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat
kepada mereka atau „Urf yang baik dan dapat diterima karena tidak
bertentangan dengan syara‟ atau adat masyarakat yang sesuai dan tidak
bertentangan dengan hukum islam, karena adat ini tidak mengubah ketentuan
hukum islam seperti mengubah haram menjadi halal atau sebaliknya.
Misalnya: dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada
pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin. Seperti juga
mengadakan pertunangan sebelum melakukan akad nikah, di pandang baik,
telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan
syara‟. Seperti juga pemberian uang muka pada pemesanan barang di dalam
jual beli dan kebiasaan yang terdapat pada pemberian hadiah, yang diberikan
kepada pihak perempuan ketika peminangan, tidak dikembalikan jika pihak
laki-laki membatalkan peminangan tersebut, tapi jika yang membatalkan

4
adalah dari pihak perempuan maka harus mengembalikan dua kali lipat dari
jumlah hadiah yang diterimanya dari pihak laki-laki.
„Urf Shahih wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam peradilan.
Seorang mujtahid haruslah memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya.
Seorang hakim juga harus memperhatikannya dalam peradilannya. Karena
sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sudah biasa mereka
jalani, maka hal ini sudah menjadi bagian dalam hidup mereka dan sesuai pula dengan
kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, „urf wajib diperhatikan atau dipelihara selama
tidak bertentangan dengan syara‟.
b) „Urf Fasid (‫ )العرف الفبسد‬adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara‟ atau ‟Urf yang tidak
baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara‟. Contohnya
adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya, seseorang
menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran urusan
yang dilakukan seeorang ia memberikan sejumlah uang kepada orang yang
menangani urusannya. Hal ini juga termasuk „Urf Fasid. Misalnya: kebiasaan
yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti
peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar
sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas
juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat
dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10%
tidaklah membertakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta
rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik
seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam
pandangan syara‟, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara‟ tidak
boleh saling melebihkan. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad Ibnu Hanbal)
dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman
jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba al-nasi‟ah (riba yang muncul dari
hutang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul
fiqh termasuk dalam kategori „Urf Fasid. Seperti juga kebiasaan mengadakan
sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal
ini tidak dapat di terima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang
diajarkan agama Islam.
Para ulama‟ sepakat bahwa „Urf Fasid tidak dapat menjadi landasan hukum
dan kebiasaan tersebut batal demi hukum. Oleh karena itu dalam rangka
meningkatkan pemasyarakatan dan pengamalan hukum islam pada masyarakat,
sebaiknya dilakukan dengan cara yang ma‟ruf yaitu mengubah adat yang bertentangan
dengan ketentuan ajaran islam tersebut.
„Urf Fasid tidak diharuskan untuk memeliharanya karena memelihara „urf
fasidh berarti menentang atau membatalkan dalil syara‟. Apabila manusia telah saling
mengerti akad-akad yang rusak, seperti gharar (tipuan dan membahayakan), maka
bagi „urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya.
Dalam kemaslahatan manusia, „urf yang bertentangan seperti gharar tidak
diakui, tetapi dalam contoh akad ini dapat ditinjau dari segi lain, yaitu dalam keadaan
5
darurat atau sesuai dengan hajat manusia. Apabila akad tersebut disebabkan karena
keadaan darurat atau kebutuhan maka hal ini diperbolehkan, karena dalam keadaan
darurat diperbolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan. Namun, Akad tersebut
batal jika menipu atau mempersulit kehidupan dan tidak termasuk dalam keadaan
darurat.

D. Kedudukan ‘Urf Atau Kehujjahannya


Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan ‘urf shahih sebagai
salah satu dalil syara‟. Akan tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari
segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan
Malikiyah adalah yang paling banyak menggunakan „urf sebagai dalil dibandingkan
ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan
mereka yaitu amal ulama Madinah lah yang mereka jadikan hujjah. Demikaan pula
ulama Hanafiyah menjadikan pendapat ulama Kufah sebagai hujjah. Imam Syafi‟i
terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Iraq (qaul
qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan „urf.
Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa „urf yang dapat dijadikan sumber
hukum atau dalil dalam Islam adalah „urf yang tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an
dan Hadits.
Adapun kehujjahan „urf sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan berikut ini:
a) Firman Allah dalam surat Al-A‟raf (7) Ayat 199:

       


“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (Q.S. Al-A‟raf (7): 199).
Dalam ayat di atas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk
mengerjakan yang ma‟ruf. Ma‟ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai dengan nilai-nilai
keislaman.
b) Ucapan sahabat Rasulullah SAW, Abdullah bin Mas‟ud berkata:
َ ً ّ َ َ ْ ُ ْ ُ َٓ َ َ ٌ َ َ
َ ‫اُف ُه َىُع ْن َدُهللا‬ َ ْ َ َ ً َ َ َ ْ ُ ْ ُ ُ ٓ َ ‫َف َم‬
ُ‫ُس ِ ّي ٌئ‬ ِ ِ ِ ‫اُراهُاْلس ِلمىنُحسناُف ُهى ُِعند‬
‫ُهللاُحسنُوماُراهُاْلس ِلمىنُس ِيئ‬
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu
yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-
kebiasan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan
tuntunan umum syari’at Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh
karena itu, kebiasaan semacam itu patut untuk dijaga dan dipelihara.
Berdasarkan dua hujjah di atas, maka tidak diragukan lagi bahwa tradisi
masyarakat (‘urf) dapat menjadi dalil syara’ mengingat bahwa hanya ‘urf shahih yang
dapat dijadikan sebagai salah satu metode istinbat hukum islam.

6
Kedudukan „urf sebagai dalil syara‟ dapat diaplikasikan dalam pemberian
batasan terhadap pengertian yang disebut al-hirz (barang yang terpelihara), berkaitan
dengan barang yang dicuri, sehingga hukum potong tangan dapat dijatuhkan terhadap
pencuri. Oleh karena itu, untuk menentukan batasan pengertiannya diserahkan kepada
ketentuan „urf. Demikian juga tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum
tanah yang ditelantarkan oleh pemilik tanah pertama, untuk bolehnya orang lain
menggarap tanah tersebut (ihya’ al-mawat), ditentukan oleh „urf yang berlaku dalam
masyarakat.
Sebagai adat kebiasaan atau tradisi, „urf dapat berubah karena adanya
perubahan waktu dan tempat. Sehingga, hukum-hukum terdahulu dapat berubah
mengikuti perubahan „urf (urf shahih) yang telah menjadi hukum syara‟ tersebut.
Seperti ulama salaf yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menerima upah
sebagai guru yang mengajarkan Al-Qur‟an, shalat, puasa dan haji. Demikian juga,
tidak boleh menerima honor sebagai imam masjid dan muadzin. Sebab kesejahteraan
mereka (dulu) telah ditanggung oleh bait al-mal. Akan tetapi karena perubahan zaman
mengakibatkan bait al-mal tidak lagi mampu menjalankan fungsi tersebut. Maka, „urf
shahih di sini mampu menggantikan pendapat ulama terdahulu dengan kesimpulan
bahwa „urf dapat dijadikan sebagai salah satu metode istinbat hukum islam dan
mengubah hukum terdahulu sesuai dengan perkembangan zaman selama tidak
bertentangan dengan nash.
Dengan demikian, ulama merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan
„urf antara lain:

ٌ َّ ُ َ
ُ‫الع َادة ُُم َحك َمة‬
“Adat kebiasaan dapat menjadi hukum”.
َ َ ْ ُ َّ
ُ‫الث ِابت ُِبال ُع ْر ِفُث ِاب ٌت ُِب َد ِل ْي ٍلُش ْر ِع ّ ٍي‬
“Yang berlaku berdasarkan „urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara”.
ُ ‫ىُالل َغةُ َي ْرج ُعُف ْيهُإ َل‬
ُ‫ىُالع ْر ِف‬
ُّ َ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ً َ ْ ُ ُ ْ َّ َ ‫ُك ُّل َُم‬
‫اُو َر َد ُِب ِهُالشرعُمطلقاُوالُض ِابطُلهُ ِفي ِهُوال ُِف‬
ِ ِ ِ ِ ِ
“Semua ketentuan syara‟ yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan di dalamnya
dan tidak juga terdapat batasan di segi bahasanya, maka dirujuk kepada „urf”.
Oleh ulama Hanafiyyah, „urf itu didahulukan atas qiyas khafi (qiyas yang
tidak ditemukannya „illah secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang umum,
dalam arti „urf itu mentakhshis nash yang umum. Ulama Malikiyyah juga demikian,
menjadikan „urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam
menetapkan hukum. Ulama Syafi‟iyyah banyak menggunakan „urf dalam hal-hal yang
tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara‟ maupun dalam penggunaan bahasa.
Berikut ini beberapa contoh penerapan „urf dalam hukum Islam:
Pendapat ulama hanafiyyah yang menyatakan bahwa sesorang yang
bersumpah tidak akan makan daging, kemudian dia makan ikan maka tidaklah
dianggap sesorang itu melanggar sumpahnya. Karena berdasarkan kebiasaan „urf, kata
ْ َ ُ ‫) َس َم‬.
ٌُ ‫ )لح‬tidak diartikan dengan kata ikan (‫ك‬
daging (‫م‬
ٌ

7
Adapun contoh lainnya dalam penggunaan „urf yaitu tentang usia seseorang
itu dikatakan baligh, tentang ukuran sedikit banyaknya najis yang dima‟afkan, atau
tentang ukuran timbangan yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. dan masih
banyak contoh yang lainnya berkenaan masalah „urf.
Argumen yang menerima „Urf: bahwa „Urf (adat kebiasaan) yang benar yang
tidak menyalahi syara‟ hendaknya menjadi bahan pertimbangan seorang ahli Ijtihad
dalam melakukan ijtihadnya dan bagi seorang hakim dalam mengeluarkan
keputusannya. Alasan: Syari‟at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan
kebiasaan („Urf) yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat seimbang (kafa‟ah).
Argumen yang menolak „Urf: bahwa „Urf yang mendapat penolakan apabila
„Urf itu rusak, maka tidak harus memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti
menentang dalil syara‟ atau membatalkan hukum syara‟. Maka apabila manusia telah
saling mengerti akad di antara akad-akad yang rusak, seperti akad riba, atau akad
gharar dan khathar (tipuan dan membahayakan) maka bagi „urf ini tidak mempunyai
pengaruh dalam membolehkan akad ini.
Hukum-hukum yang berdasarkan „urf itu sendiri dapat berubah menurut
perubahan „urf pada suatu masa atau perubahan lingkungan. Oleh para fuqaha‟
mengatakan mengenai perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masalah fiqh,
merupakan perbedaan yang terjadi disebabkan perbedaan „urf, bukannya perbedaan
hujjah atau dalil yang lainnya.
Sebagai contoh di dalam madzhab Syafi‟i dikenal adanya qaul qadim dan qaul
jadid Imam Syafi‟i. Hal ini disebabkan perbedaan „urf di lingkungan tempat tinggal
Imam Syafi‟i sendiri.
Dalam konteks ini dikenal kaidah yang menyebutkan:
ِ ‫بص َوال ِب ْيئ َب‬
‫ت‬ ْ َ ‫ال ُح ْك ُم يَتَغَي َُّر ِبتَغَي ُِّر األ َ ْز ِمنَ ِة َواألَمْ ِكنَ ِة َواأل َ ْح َوا ِل َواأل‬
ِ ‫ش َخ‬
“Suatu hukum berubah seiring dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan,
individu, dan lingkungan”.
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama
yang kaku serta ketinggalan zaman adalah salah. Islam berjalan seiring dengan
perkembangannya zaman. Namun perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang
dapat berubah di sini terjadi pada hukum yang berdasarkan dalil zhanni. Dalam
hukum yang berdasarkan dalil qath‟i yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya
maka tidak boleh ada perubahan, seperti perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat,
pengharaman riba, dan sebagainya.
Hukum yang dapat berubah karena „urf ini dapat kita contohkan seperti
pendapat Abu Hanifah bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat
dijadikan saksi, kecuali pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu
Yusuf menyatakan bahwa kesaksian baru dapat diterima setelah melakukan
penyelidikan yang mendalam terhadap sifat-sifat saksi tersebut. Pendapat Imam Abu
Hanifah sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak dan agama
masyarakat masih dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan
pendapat Abu Yusuf sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada
umumnya mulai mengalami kemerosotan agama dan akhlak.

8
Jadi „urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah
dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan
atau perbuatan. „urf dapat dapat dijadikan dalil hukum syara‟ hanya jika tidak
bertentang dengan nash dan memenuhi syarat-syarat salah satunya adalah „urf itu
sendiri harus sudah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya
itu muncul. Kedudukan „urf sebagai dalil syara‟ telah diakui mengingat ulama‟
terdahulu seperti ke empat Madzhab telah menggunakan „urf yang telah dijelaskan
pada rumusan masalah terakhir. Untuk itu jelaslah sudah bagaimana „urf menjadi
salah satu metode hukum syara‟ dalam islam.

E. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu „urf baru dapat dijadikan sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara‟ apabila memenuhi empat syarat,
yaitu:
1) „Urf itu harus berlaku secara umum dalam mayoritas kalangan masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut, baik itu „urf dalam
bentuk praktek, perkataan, umum dan khusus.
2) „Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu
muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu
ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3) „Urf tidak bertentangan dengan apa yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi. Seperti apabila dalam suatu transaksi dikatakan secara jelas
bahwa si pembeli akan membayar uang kirim barang, sementara „urf yang
berlaku adalah si penjual lah yang menanggung ongkos kirim, maka dalam
kasus seperti „urf tidak berlaku.
4) „Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum yang
dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. „Urf seperti ini tidak dapat
dijadikan dalil syara‟ karena kehujjahan „urf baru bisa diterima apabila tidak
ada nash yang mengandung hukum permasalahan yang dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai