Anda di halaman 1dari 12

MATERI 8

ISTIHSAN (‫لاشتحصان‬
‫) ا‬

A. Pengertian Istihsan, Kehujjahannya (Dasar Hukumnya) Dan Khilaf Ulama


Tentang Istihsan

Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang diperdebatkan oleh para
ulama, meskipun pada kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis.
Secara etimologi/bahasa (lughawi), Istihsan dari bahasa Arab istahsana-
yastahsinu-istihsaanan yang berarti “memperhitungkan sesuatu yang lebih baik”, atau
menganggap sesuatu itu lebih baik (‫)عد الشيئ حسنا‬, atau memperhitungkan dan
meyakini sesuatu itu baik, atau mengikuti sesuatu yang baik menurut perasaan dan
fikiran. Makna yang hampir sama juga dipakai oleh Imam As-Sarakhsi (W.483H)
seorang ulama bermadzhab hanafi, yaitu:

‫طلباألاحصنالالت ــباعاالرياهىامأمىزابه‬
“Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi suatu masalah yang
diperhitungkan untuk dilaksanakan”.
Dari arti etimologi ini terlihat adanya seseorang yang menghadapi dua hal
yang keduanya baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di
antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah yang
dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Tetapi dalam pengertian istilahnya, para ulama berbeda pendapat disebabkan
oleh perbedaan dalam memahami dan mendefenisikan Istihsan itu.
Ulama yang menggunakan metode Istihsan dalam berijtihad mendefinisikan
Istihsan dengan pengertian yang berbeda dengan definisi dari orang yang menolak
cara Istihsan. Demikian juga dengan ulama yang menolak penggunaan Istihsan
mendefinisikan Istihsan dengan pengertian tidak seperti yang didefiniskan pihak yang
menggunakannya. Seandainya mereka sepakat mengartikan Istihsan itu, maka mereka
tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu metode ijtihad.
Adapun pengertian Istihsan secara terminologi/istilah yang akan dikemukakan
beberapa pandangan ulama ushul fiqh dari kalangan empat madzhab dan lainnya:

1) Istihsan dalam pandangan ulama Hanafiyah


Ulama Ushul Hanafiyah mendefinisikan Istihsan dalam dua rumusan:
‫) العملاباالجته ــاداوغالباالسأيافىاتقدًسامااجعلهاالشسعامىلىالاإلىاآزائىـ ـ ـ ــا‬a
“Berijtihad dengan segenap fikiran dalam menentukan sesuatu yang oleh syari‟at
menyerahkannya kepada pendapat kita”.
‫اوبعدا‬،‫) الدليلاالرياًنىن امعازطااللقي ــاساالظاهساالرياتصبقاإليهاألاوهــاماقبلاإوعاماالتأملافيه‬b
‫إوعاماالتأملافي حنماالحادثتاوأشباههاامناألاصىلاًظهساأناالدليلاالرياعازطهافىقهافىاالقىةافإنا‬
‫العملابهاهىاالىاجب‬
“Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului dengan prasangka sebelum
diadakan pendalaman terhadap dalil itu, setelah diadakan penelitian yang mendalam
terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu
ternyata dalil yang menyalahi qiyas zahir itu justru lebih kuat dan oleh karenanya
wajib diamalkan”.
Imam Al-Karkhi (W.340H) (seorang pengikut madzhab Hanafi)
mendefinisikan Istihsan sebagai:
‫أناٌعدلاإلاوصــاناعناأناًحنمافيااملصألتابمثلامااحنمابهافياهظائسهااإلىاخالفهالىجهاًقتض ياالعدولاعنا‬
‫ألاولا‬
“Berpindahnya manusia (mujtahid) dalam menetapkan hukum terhadap satu masalah
dari hukum yang sebanding dengannya kepada hukum lain karena ada alasan yang
lebih kuat menghendaki perpindahan dari hukum awal tersebut”.
Imam As-Sarakhsi (W.483H) merumuskan Istihsan itu paling tidak mencakup
empat hal:

‫) تسكاالقياساوألاخرابمااهىاأوفقاللىاس‬a
“Meninggalkan qiyas dan mengambil hukum yang lebih sesuai dengan manusia”.
‫) طلباالصهىلتافياألاحهامافيمااًبتلىافيهاالخاصاوالعام‬b
“Mencari kemudahan dalam hukum-hukum yang dihadapi orang banyak atau orang
tertentu”.
‫) ألاخرابالصعتاوابتغاءاالدعت‬c
“Mengambil keluasan dan mencari kelegaan”.
‫) ألاخرابالصمـ ــاحتاوابتغاءاماافيهاالساحت‬d
“Mengambil yang permisif dan memilih yang di dalamnya ada ketenangan”.
Definisi Istihsan pertama yang berlaku di kalangan ulama Hanafiyah di atas
tidaklah menyalahi sesuatu apapun dan semua ulama sepakat terhadapnya, karena
pengertian “yang terbaik dalam hal ini adalah dia antara dua hal yang kita dapat
menentukan pilihan, karena syara‟ telah memberikan hak pilih pada kita. Contohnya
penetapan ukuran mut‟ah (pemberian hadiah) dari suami yang menceraikan isterinya
sebelum dicampuri dan sebelumnya belum ditetapkan maharnya. Memberikan mut‟ah
itu wajib, yang ukurannya menurut kemampuan suami dengan syarat harus sesuai
dengan “kepatutan”. Tentang ukuran patut itu sendiri diserahkan kepada apa yang
lebih baik berdasarkan pendapat yang umum.
Dalam definisi kedua terkandung adanya pembenturan dalil dengan qiyas
zahir. Semula ada prasangka lemah pada dalil itu karena belum diadakan penelitian
yang mendalam, namun setelah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat
daripada qiyas. Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan dalil itu daripada
menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat. Meninggalkan beramal dengan qiyas
untuk mengamalkan dalil itu disebut “Istihsan” menurut ulama Hanafiyah.
Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh Imam Al-Karkhi (W.340H), pada
dasarnya tidak jauh berbeda dari definisi yang kedua. Istihsan itu menurut Imam Al-
Karkhi (W.340H) adalah berpindahnya dari hukum awal kepada hukum yang lebih
kuat, kekuatannya itu adalah karena “dalil” bukan karena hukumnya (‫بأناالقىةاألدلتاالا‬
‫)لألحهام‬.

2
Adapun definisi yang dirumuskan oleh Imam As-Sarakhsi (W.483H) dapat
disimpulkan bahwa Istihsan itu pada hakikatnya dua buah qiyas, pertama qiyas jali
yang lemah pengaruhnya ini disebut dengan qiyas yang sesungguhnya, kedua qiyas
khafi (tersembunyi) namun pengaruhnya kuat, inilah yang disebut dengan Istihsan,
artinya qiyas yang diubah menjadi Istihsan. Imam Al-Sarakhsi (W.483H)
mendefinisikan Istihsan lebih memandang kepada tujuannya, yakni kemaslahatan dan
kemudahan bagi manusia dalam menghadapi berbagai problem hidupnya.
2) Istihsan menurut Imam Malik (W.179H) dan pengikutnya
Menurut Imam Malik (W.179H) Istihsan adalah:
‫افهىاإذناتقدًمالاشتداللااملسشلا‬.‫اأو األاخرابمصلحتاجزئيتافىامقابلتادليلاللي‬،‫العملابأقىي االدليـ ــلين‬
‫علىاالقياس‬
“Beramal dengan dalil yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan
kemaslahatan yang bersifat juz‟i (khusus) sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli
(umum), maka istihsan adalah mendahulukan dalil yang datang kemudian daripada
qiyas”.
Imam Ibnu Al-Arabi (W.638H) (salah seorang pengikut Imam Malik)
mengemukakan pendapatnya tentang Istihsan, yaitu:
‫إًثازاتسكامقتض ىاالدلي ــلاعلىاطسٍقالاشتثى ــاءاوالترخيصاملعازطتامااٌعازضابهافيابععامقتظياته‬
“Meninggalkan suatu dalil dengan cara pengecualian dan memakai dalil lain yang
bertentangan dengannya dalam beberapa kasus”.
Imam Malik (W.179H) melihat Istihsan itu sebagai kemaslahatan yang
sifatnya juz‟i (khusus), yang dinilai lebih baik untuk diambil dan diamalkan
ketimbang kemaslahatan yang ada pada hukum sebelumnya. Sebab hukum awal
tersebut tidak atau belum bisa mengaktualkan maqashid al-Syari‟ah (tujuan-tujuan
syari‟at) yang sifatnya memaslahatkan umat dalam kehidupannya. Sedangkan Ibnu al-
Arabi (W.638H) menilai bahwa Istihsan untuk hukum yang dipalingkan tersebut
hanyalah bersifat pengecualian untuk kasus tertentu. Sedangkan untuk kasus boleh
jadi masih bisa untuk dipakai.
3) Istihsan Menurut Ulama Madzhab Hanbali
a) Imam Ath-Thufi (W.716H) dalam kitabnya “Mukhtashar”:
‫لاشتحصاناأههاالعدولابحنمااملصألتاعناهظائسهاالدليلاشسعياخاص‬
“Istihsan adalah beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu
masalah dari yang sebanding dengannya itu karena adanya dalil syara‟ yang lebih
khusus”.
b) Imam Ibnu Qudamah (W.630H) dalam bukunya “Raudhatun Nazhir wa
Junnatul Munazhir” merumuskan Istihsan ke dalam tiga makna:
‫) العدولابحنمااملصألتاعناهظائسهاالدليلاخاصامنالتاباأواشىت‬1
“Beralihnya mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang
sebanding dengannya itu karena adanya dalil yang khusus dalam Al-Qur‟an atau
Sunnah”.
‫) مااٌصتحصىهااملجتهدابعقله‬2
“Sesuatu yang dipandang baik oleh mujtahid menurut akalnya”.

3
‫) دليلاًىقدحافياهفضااملجتهداالاًقدزاعلىاالتعبيراعىه‬3
“Dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu untuk menjelaskannya”.
Definisi Istihsan pertama yang berlaku di kalangan ulama Hanbali di atas
dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana
yang ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu karena ia mengikuti dalil
lain dari Al-Qur‟an dan sunnah yang dinilai lebih khusus dan lebih cocok untuk
diamalkan. Definisi pertama ini paling cocok menurut madzhab Hanbali dan yang
lainnya.
Adapun definisi kedua menilai bahwa Istihsan itu merupakan penetapan
sebuah hukum melalui penilaian akal semata. Dari definisi ini mungkin akan timbul
keberatan dari ulama lain, karena apa yang dianggap oleh mujtahid lebih baik
menurut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya. Hal ini mungkin
bisa disesuaikan dengan firman Allah: “Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal
ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat
buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah
(2): 216). Artinya, apa yang dipandang baik oleh akal manusia, belum tentu itu baik
pada hakikatnya.
Terhadap definisi ketiga Imam As-Subki (W.756H) (seorang ulama
bermadzhab Syafi‟i) memberi komentar, bahwa jika dalil yang muncul dalam diri
mujtahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran
dalam menjelaskan dalil itu, akan tetapi bila dalil itu tidak benar atau menyalahi
tujuan syara‟, maka Istihsan seperti itu ditolak. Imam Al-Ghazali (W.505H) juga
meragukan definisi yang ketiga ini dengan alasan bahwa sesuatu yang tidak bisa
diungkapkan tentu tidak akan bisa ditentukan apakan dia hanya sebuah khayalan atau
kenyataan. Ketika dia sudah nyata mesti disesuaikan dengan dalil syara‟ yang ada
untuk bisa ditentukan apakan dia merupakan dalil yang sah atau tidak. Oleh karena itu
kalau dia hukum yang tidak bisa ditetapkan bagaimana kebenarannya, lalu bagaimana
bisa diketahui dia dalil yang bisa dipakai atau tidak?
4) Abdul Wahab Khallaf (W.1375H/1956M), mendefinisikan Istihsan sebagai:
‫اأواعنادليلاللياإلىاحنمااشتثىائيالدليلااهقدحافيا‬،‫عدولااملجتهداعنامقتض ىاقياساجلياإلىاقياساخفي‬
‫عقلهازجحالدًهاهرااالعدولا‬
“Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada tuntutan qiyas
Khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang sifatnya istisna‟i
(pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang
lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut”.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa Istihsan ada dua, yaitu:
a) Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut
ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-
Qur‟an berdasarkan Istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub
dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur‟an,
maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur‟an.

4
Istihsan: haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh
karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur‟an, sebab
bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah
apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
b) Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam
(pesanan) berdasarkan Istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat
melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan
Istihsan ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi
kebiasaan mereka.
Dari definisi yang dikemukakan ulama ushul fiqh dari kalangan Hanafiyah,
Malikiyah, Hanabilah di atas dapat disimpulkan bahwa Istihsan menurut terminologi
ulama ushul yang menyatakan Istihsan ini sebagai sebuah dalil syara‟ adalah
beralihnya dari hukum yang telah ada dalil syara‟nya kepada hukum yang lain karena
adanya dalil syara‟ lain yang mengharuskan pemalingan ini, dalil syara‟ yang
mengharuskan perpalingan ini disebut dengan Istihsan.
Pada hakikatnya Istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan
hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau
qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus
dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain
disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari
hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada
ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat
diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan
umum atau ketentuan yang sudah jelas. Alasannya adalah karena dengan cara itulah si
mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan
kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
Jadi Istihsan berbeda dengan Qiyas. Pada Qiyas, ada dua peristiwa atau
kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ada ketetapan hukumnya karena
tidak ada nash yang bisa dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya, dicari
peristiwa atau kejadian lain yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash
dan mempunyai persamaan „illat dengan peristiwa atau kejadian pertama.
Berdasarkan persamaan „illat itu, ditetapkan hukum peristiwa pertama sama dengan
hukum peristiwa kedua. Sedang pada Istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian.
Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum
dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, lalu pindah kepada hukum lain,
sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan
hukum.
Dengan kata lain, bahwa pada Qiyas yang dicari mujtahid adalah persamaan
„illat dari dua peristiwa, sedang pada Istihsan yang dicari adalah dalil mana yang
paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari peristiwa tersebut.

5
Ada Tiga golongan ulama dalam menanggapi Istihsan ini apakah merupakan
dalil hukum syara‟ atau tidak:

1) Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari madzhab Maliki, Hanafi, dan
sebagian besar Hanbali menyatakan bahwa Istihan adalah salah satu dalil syara‟ yang
menetapkan suatu hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas,
atau umumnya nash. Terutama Hanafiyah sangat mengutamakan Istihsan yang
dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat
dalam ungkapan Abu Hanifah (W.150H): “kami memakai Istihsan untuk hal ini, dan
meninggalkan qiyas” (‫ وندع القيـــاس‬،‫)نستحسن هذا‬. Ucapan Abu Hanifah (W.150H) ini
diperkuat oleh Abu Al-Khattab (W.783H) dengan ungkapannya: “Saya menolak
Istihsan tanpa dalil, dan menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan
qiyas”. Abu Hanifah (W.150H) banyak menetapkan hukum dengan Istihsan, tetapi ia
tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari Istihsan yang dilakukannya
itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya
saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar
penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata isthsan itu.
Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat Istihsan yang dipraktekkan oleh Abu
Hanifah (W.150H), dan karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu
Hanifah (W.150H) kepada Istihsan menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah
sampai kepada mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan
kewarakannya.
Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah
(W.150H) berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan Istihsan yang banyak
dilakukan oleh imam mereka. Di antara mereka adalah Imam As-Sarkhasi (W.483H),
yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi rujukan bagi pengikut madzhab
Hanafi, bernama “Ushul As-Sarkhasi”. Mereka berusaha menjelaskan bahwa
sesungguhnya isthsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syara‟. mereka mengatakan
bahwa hakikat Istihsan adalah dua macam qiyas. Pertama, qiyas jali tapi lemah
pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi
pengaruhnya kuat, inilah yang dinamakan dengan Istihsan, oleh karena itu dalam dua
hal ini yang dipandang adalah pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas.
Pengaruh yang lebih kuat itulah yang menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan
sebagain Hanabilah lebih mengutamakan Istihsan daripada qiyas. Atau dengan
perkataan lain, pengutamaan Istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan kepada
pengaruh hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.
Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya Istihsan bukanlah sumber
hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum Istihsan bentuk yang
pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan
qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang
membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari Istihsan ialah
bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari hukum kulli
(umum), dan ini juga disebut dengan segi Istihsan.

6
Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini Istihsan sebagai dalil
hukum adalah:

a) Al-Qur‟an Surat Az-Zumar (39) Ayat 18:

            

  


“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal” (Q.S. Az-Zumar (39): 18).
b) Al-Qur‟an Surat Al-A‟raf (7) Ayat 145:

            

        


“Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai
pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): "Berpeganglah
kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-
perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu
negeri orang-orang yang fasik” (Q.S. Al-A‟raf (7): 145).
c) Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah (2) Ayat 185:

            

                

           

     


“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Q.S. Al-Baqarah (2): 185).
d) Sabda Rasulullah SAW:

7
‫ماازآهااملصلمىناحصىاافهىاعىداهللااحصنا(زواهاأحمد) ا‬
“Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik”
(H.R. Ahmad).
2) Kedua, Kelompok yang menolak Istihsan sebagai dalil syara‟ dan
menyatakan bahwa Istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu
semata. Kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam
Syafi‟i (W.204H) dan pengikutnya, kelompok zahiriyah, Mu‟tazilah, dan Ulama
Syi‟ah qathibah. Imam Syafi‟i (W.204H) merupakan ulama yang sangat keras
mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: “Siapa
yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara‟” (‫)منااشتحصنافقداشسع‬.
Oleh karena itu bagi Syafi‟i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram
apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam Al-Qur‟an dan Hadits.
Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan Imam Syafi‟i (W.204H) dinyatakan:
“perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan
shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut sitihsan bahwa arah itu adalah
arah ka‟bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara‟ untuk menentukan arah
ka‟bah itu.” Setelah Imam Syafi‟i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti
oleh Ulama dari ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil
yang rusak dan tidak bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan hukum.
Adapun landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:
a) Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau dengan
yang diqiyaskan dengan nash, karena hal terebut berarti membuat hukum
syara‟ dengan keinginan hawa nafsu.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Maidah (5) Ayat 49:

             

                 

   


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari
hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik” (Q.S. Al-Maidah (5): 49).
b) Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW tidak pernah berfatwa dengan
menggunakan istihsan, akan tetapi dia menunggu hingga wahyu turun,
walaupun sekiranya dia beristihsan itu adalah benar, karena dia berbicara
bukan karena kehendak hawa nafsu.

8
c) Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar ada yang bodoh,
kalau sekiranya seseorang boleh beristihsan, berarti setiap orang boleh
menetapkan hukum syara‟ yang baru untuk dirinya sendiri.
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta
pengertian Istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa Istihsan
menurut pendapat madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat madzhab
Syafi‟i dan dan lainnya. Menurut madzhab Hanafi Istihsan itu semacam qiyas,
dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang
menurut madzhab Syafi‟i dan dan yang lainnya Istihsan itu timbul karena rasa kurang
enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Seandainya Istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena
itu Imam Abu Ishaq Asy-Syatibi (W.790H) dalam bukunya “Al-Muwaafaqaat”
menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang menetapkan hukum
berdasarkan Istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan
tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan
tujuan Allah SWT menciptakan syara‟ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara‟
yang umum”.
3) Ketiga, kelompok yang menyatakan bahwa istihsan memang merupakan
dalil hukum syara‟, akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia
menopang kepada dalil syara‟ yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas
yang ada atau beramal dengan „urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh
Imam Asy-Syaukani (W.1281H). Hal ini terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan
merupakan dalil syara‟ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki
manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil yara‟ yang telah ada sebelumya, ketika
dia keluar dari dalil syara‟ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum
lagi”.

B. Macam-Macam Istihsan
Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat
dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya
dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1) Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan
terbagi kepada tiga:
a) Berpindah dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendaki
oleh qiyas khafi. Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang tersembunyi) atas qiyas
jali (nyata) karena ada suatu dalil.
Contoh: Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang pewakaf apabila
mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomastis hak
pengairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus
menyebutkannya, berdasarkan istihsan.
Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang
menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya yang menjadi
tujuan dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka.

9
Pemanfaatan tanah pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran
airnya, dan jalannya. Oleh karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf
meskipun tanpa menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisir kecuali
dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.
Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-
masing dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari pemiliknya.
Sedangkan qiyas yang khafi menyamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa, karena
masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu
pengairan, air minum, dan jalan masuk di dalam wakaf tanah, tanpa harus
menyebutkannya.
b) Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang
bersifat khusus.
Contoh: tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut
pemahaman umum terhadap ayat Al-Qur‟an (Q.S. Al-Maidah (5): 37) apabila seorang
melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan,
maka berlaku baginya hukuman potong. Namun, bila pencurian itu dilakukan pada
masa paceklik, maka hukuman potong tangan yang bersifat umum itu tidak
diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus.
c) Pengecualian juziyyah (kasuistik) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya
suatu dalil.
Contoh: Syara‟ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan
perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli
dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut
hukum kulli. Tetapi syara‟ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian
barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan
waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam).
Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan
dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian
(istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz‟i, karena keadaan
memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
2) Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari
qiyas, maka istihsan ada enam macam:
a) Istihsan yang sandarannya nash. Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas
tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang
mengatur pengecualian itu. Seperti, menghukumkan tetap sah puasa orang yang
makan atau minum karena terlupa. Hal ini berlandaskan kepada hadits Nabi saw:
“Siapa saja yang makan atau minum karena lupa, maka janganlah ia berbuka,
karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan Allah.” Imam Abu Hanifah
berkomentar terhadap kasus ini: “Andaikata tiada nash yang tidak membatalkan
puasa lantaran makan dan minum karena lupa, tentulah saya memandang batal
puasa itu karena sudah rusak satu rukunnya yaitu menahan diri dari segala yang
merusak puasa”.
b) Istihsan yang sandarannya Ijma‟. Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan
qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma‟. Hal ini terjadi karena ada fatwa

10
mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum
yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang
dilakukan manusia, yang sebenarnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang
ditetapkan. Misalnya, ketetapan ijma‟ tentang sahnya akad istihshna‟( pesanan ).
Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada.
Akan tatapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang
sebagai ijma‟ atau „urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.
c) Istihsan yang sandarannya adalah „urf (adat). Yaitu penyimpangan hukum yang
berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya „urf yang sudah yang sudah
dipraktikkan dan dikenal baik dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam
kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaedah umum, jasa pemandian
umum itu harus jelas berapa lama seseorang mandi dan berapa jumlah air yang
dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang
banyak. Oleh sebab itu secara istihsan boleh mempergunakan jasa pemandian
umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya,
karena sudah berlaku umum dalam masyarakat.
d) Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan karena adanya dlarurat
(terpaksa) karena adanya suatu masalah yang mendorong mujtahid untuk
meninggalakan dalil qiyas. Seperti apabila saksi-saksi yang telah meninggal atau
yang jauh dari tempat atau karena tidak sanggup menghadiri sidang majlis,
padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat dengan mata kepala
sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.
e) Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, yang pengaruhnya terhadap
kemaslahatan lebih tinggi dibanding qiyas jali. Contoh: sisa minum burung elang,
gagak, dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan melalui
istihsan. Menurut qiyas jali sisa minum binatang buas seperti anjing dan burung-
burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur
dengan air liur binatang itu karena langsung meminum dengan mulutnya
diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu
berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut biantang buas terdiri dari
daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang
terdiri dari tulang atau zat tanduk, dan tulang dan zat tanduk bukan merupakan
najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan daging dan air
liurnya karena diantarai oleh paruhnya.
f) Istihsan yang sandarannya maslahah. Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat
wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang
melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seorang harus membuka
bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka untuk kemaslahatan orang tersebut,
menurut kaidah istihan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang
berobat kepadanya.
3) Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam
prakteknya dinamai dengan istishlah. Dari hal ini mereka membagi Istihsan kepada
tiga macam:

11
a) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan „urf (kebiasaan).
Misalnya, seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, lalu ia memakan
daging ikan, maka ia tidak dinamakan melanggar sumpah meskipun ikan itu
dalam Al-Qur‟an termasuk dalam daging. Hal ini terlihat dalam firman Allah
َ ْ َ َ َُُْ ْ ّ ‫( َومن‬dan dari semua yang kamu
dalam Surat Fathir (35) Ayat 12: ‫املاتأمل ْىنالح ًمااط ِسًٍّا‬
ٍّ ِ
makan berupa daging yang lembut). Alasannya adalah karena dalam „„urf yang
berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan tidak termasuk daging.
b) Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan beramal dengan cara lain karena
pertimbangan kemaslahatan manusia. Misalnya, tanggungjawab mitra dari tukang
yang membantu memperbaiki suatu barang yang diperbaikinya itu rusak di
tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak perlu mengganti karena kerusakan barang
itu di waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan istihsan ia harus mengganti
barang tersebut demi menjaga kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjaga harta
orang laian.
c) Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan
memberi kemudahan kepada umat. Misalnya, adanya sedikit kelebihan dalam
menakar sesuatu dalam ukuran yang bnayak. Tindakan ini dibenarkan meskipun
menurut ketentuan yang berlaku kalau menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar
takaran yang berlaku.

12

Anda mungkin juga menyukai