Disusun Oleh :
Kelompok 2
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hukum
2. Pengertian Syari’
3. Pengertian Mahkum Fih
4. Pengertian Mahkum ‘Alaih
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum
Secara bahasa, kata hukm ( ) ْالحكمberarti man’u ( ) المنعyakni mencegah.
Disamping itu hukum juga berarti qadha yang memiliki arti keputusan.
Mayoritas ulama mendefinisikan hukum sebagai berikut:
ضعًا َ ِّٰللاِ ْال ُمتَعَ ِل ُق بِأ َ ْفعَا ِلى ْال ُم َكلَّ ِفيْنَ اِ ْقت
ْ ضا ًء ا َ ْوت َْخيِي ًْرا أَ ْو َو َ ِخ
طابُ ه
Artinya:
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik
bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan
penghalang.”1
Sedangkan ulama ushul fiqh mengatakan bahwa apabila disebut hukum, maka artinya
adalah:
1. Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, sepetri menetapkan terbitnya
bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari.
2. Khitab Allah, seperti Aqimu al-Shalata. (yang dimaksud dengan khithab adalah
firman Allah yang berupa perintah atau larangan-larangan).
3. Akibat dari Khitab Allah, seperti hukum ijab (wajib) yang dipahami dari firman
Allah, aqimu al-shalata. Pengertian ini digunakan oleh para fuqaha.
4. Keputusan hakim di siang pengadilan.
Hukum secara istilah adalah Khitab Allah (atau sabda Nabi) yang menyebutkan
segala perbuatan mukallaf baik khitab itu mengandung perintah untuk dikerjakan atau
larangan untuk ditinggalkan atau menjelaskan kebolehan, atau menjadikan suatu sebab
atau penghalang bagi suatu hukum. Pada dasarnya para ahli ushul menjadikan hukum
itu adalah nama bagi segala titah Allah atau Nabi, baik titah itu mengandung makna
perintah, larangan ataupun bersifat takhyir, maupun titah itu menyatakan suatu sebab,
syarat, dan mani’ atau mencegah/menghalangi suatu perbuatan yang sah atau rusak.
Contoh Firman Allah yang artinya:
1. “Dan dirikanlah shalat….” Dalam Qs. Al-Baqarah ayat 43
2. “Dan janganlah kamu mendekati zina” dalam Qs. Al-Isra’ ayat 32
Dari kedua titah itu dinamai sebagai hukum oleh ushul fiqh, namun bagi ahli fiqih
itu bukanlah hukum. Pengertian hukum menurut ushul fiqh berbeda dengan pengertian
hukum menurut ahli fiqih. Menurut ilmu ushul fiqih yang dimaksud dengan hukum
adalah firman (nash) dari pembuat syara’. Sedangkan menurut ahli fiqih hukum adalah
akibat dari kandungan firman (nash) tersebut. Firman Allah pada contoh pertama diatas
disebut sebagai hukum menurut istilah ushul fiqh, akan tetapi menurut ilmu fiqih
kewajiban shalat itulah yang disebut hukum.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan hukum adalah nash yang datang dari syari’.
Apabila kata hukum diserangkaikan dengan dengan syara’ yaitu hukum syara maka
akan berarti: “Seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku
manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang
1
Rachmat Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm. 295
2
beragama Islam”.2 Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari
pengetahuan tentang fiqih dan ushul fiqih. Produk dari dua ilmu ini adalah pengetahuan
tentang hukum syar’i dalam hal yang menyangkt tingkah laku manusia mukallaf.
Hanya saja kedua ilmu ini memadang dari arah yang berbeda.
Dalam ushul fiqh, hukum dibagi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh'i.3, yaitu: Hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukallaf atau perbuatan
manusia4; sedangkan sebagian hukum wadhi’ ada yang berasal dari perbuatan manusia,
sementara sebagian dari yang lain bukan dari perbuatan manusia. Misalnya bergesernya
matahari ditengah cakrawala langit ataupun datangnya awal bulan yang merupakan
sebab hukum yang tidak bersumber dari perbuatan manusia.
B. Syari’ / Hakim
Kata hakim berasal dari bahasa arab yang yang memiliki arti orang yang memutuskan
dan menetapkan hukum, yan menetapkan segala sesuatu dan yang mengetahui hakikat
seluk beluk segala sesuatu. Kata al-hakim sama dengan kata al-qadhi. Dari segi
etimologi fiqih kata hakim dan qadhi juga merujuk pengertian hakim yang memutus
perkara di pengadilan.5
Hakim yaitu pihak yang menetapkan hukum atau pembuat hukum dan
menetapkan baik-buruknya suatu perbuatan. Dalam prinsip hukum Islam, hakim adalah
Allah SWT. Alasan bahwa hakim yang pertama harus dibahas, karena tanpa hakim
hukum Islam tidak ada.
Dilihat dari segi bahasa, hakim memiliki dua arti, yaitu:
1. Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.
2. Yang menetapkan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam ilmu ushul Fiqih, sebab
berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari'at Islam, atau pembentuk hukum syara',
yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu
ushul fiqh, hakim juga disebit dengan syar'i.
Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari'at. Adapun sebelum datangnya
wahyu, para ulama memperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya
sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik di beri pahala dan orang yang berbuat buruk
dikenakan sanksi
Dari pengertian di pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim
adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang
dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari'at, kecuali dari Allah
SWT. baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunnah, haram, makruh,
dan mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum wadh'i (sebab, syarat, halangan,
sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum
di atas bersumber dari Allah melalui Nabi Muhammad SAW., maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyas, ijma' dan metode istinbath
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 1, ( Cuputat: Logos Wacana Ilmu, 197), hlm. 281
3
Beni Ahmad Sabeni, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hlm. 265
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.353
5
Abd.Rahman Dahlan, Uhsul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.88
3
lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal ini, para
ulama ushul fiqh menetapkan kaidah:
“Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah”
Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum
sebagai titah Allah SWT. yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa
tuntutan, pemilihan, maupun wadh'i.
Diantara alasan para ulama ushul fiqh untuk mendukung pernyataan di atas,
adalah sebagai berikut:
1. QS. Al-An'am: 57
2. QS. Al-Maidah: 49
3. QS. Al-Maidah: 44
4. QS. Al-Maidah: 45
5. QS. An-Nisa: 59
6. QS. An-Nisa: 656
Bagi umat manusia, Allah adalah subjek hukum yaitu sebagai pembuat hukum.
Dalam perspektif ushul fiqh, al-hakim atau asy-syari' yang memiliki sifat-sifat
sempurna tentu akan menciptakan hukum Islam dengan sempurna. Kemutlakan hanya
dimiliki Dzat Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, sedangkan keterbatasan
dan kelemahan dimiliki oleh makhluk ciptaan-Nya. Dengan demikian, sumber hukum
Islam adalah Allah sebagai Al-Hakim. Sumber dalil pun Allah atau Asy-Syari'
(pembuat syara'). Hukum-hukum yg diciptakan-Nya dapat dipahami dengan berbagai
metode dan pendekatan.
Selain Al-Hakim atau Asy-Syari', aspek lain yang menjadi bagian penting dalam
hukum Islam adalah hukum itu sendiri yang di dalamnya terdapat tuntunan dan
tuntutan serta ketetapan yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang sudah
baligh dan berakal (dewasa).
6
Rachmat Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm. 345-348
7
Rachmat Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm. 317
4
hukum (mahkum fih) adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya mukallaf.
Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan
bukan pada zat. Misalnya “daging babi”, pada daging babi itu sendiri tidak berlaku
hukum, baik suruhan atau larangan. Berlakunya hukum larangan adalah pada
“memakan daging babi”; yaitu suatu perbuatan memakan. Mahkum fih adalah
perbuatan seorang mukallaf yang berkaitan dengan taklif.8 Para ulama pun sepakat,
bahwa semua perintah syar’i itu ada objeknya, yaitu perbuatan mukallaf. Dan dalam
perbuatan mukallaf itu ditetapkanlah suatu hukum, misalnya:
1. Firman Allah Swt. Qs, surat Al-Baqarah 43 yang artinya
“Dirikanlah shalat….”
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu tuntutan untuk mengerjakan
shalat, atau berkaitan dengan kewajiban untuk mengerjakan shalat.
2. Firman Allah Swt. Qs, surat Al-An’am ayat 151 yang artinya
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah haramkan Allah melainkan dengan
sesuatu/sebab yang benar….”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang
mukallaf, yaitu larangan untuk melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh
tanpa hak itu hukumnya haram.
Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: “Pembunuh tidak mewarisi”
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak
mendapatkan waris adalah karena pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu
merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalang untuk menerima waris.
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.350
9
Muhammad Abu Zarah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1994), hlm.480
10
Muhammad Abu Zarah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1994), hlm.481
5
b) Perbuatan melaksanakan atau meninggalkan itu jelas adanya dan dapat diketahui
oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan
lainnya.11 Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau
ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau
meninggalkannya, mestilah diketahui oleh mukallaf tersebut. Hukum taklifi tidak
dapat diterapkan terhadap suatu perbuatan atau perintah yang tidak jelas. Misalnya
pada Qs.Al Baqarah ayat 43, yakni perintah untuk melaksanakan shalat dan
membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum ada perincian
tata cara, waktu, jumlah, rukun serta persyaratannya. Semata-mata berdasarkan ayat
di atas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum wajib melaksanakan shalat.
Karena itulah Rasulullah Saw kemudian memberi contoh dan penjelasan tentang
shalat yang diperintahkan Allah, sehingga sudah jelas perinciannya, barulah kepada
mukallaf dapat diberi predikat hukum taklifi, yakni wajib melakanakan shalat.
c) Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam
kemampuan untuk melakukannya. Yaitu suatu perbuatan yang diperintahkan kepada
mukallaf atau dilarang melakukannya atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam
batas kemampuan manusia untuk memilih atau meninggalkannya. Sebab perintah
dan larangan Allah adalah untuk dipatuhi demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena
itu Allah tidak pernah dan tidak akan memerintahkan atau melarang perbuatan yang
manusia tidak mampu mematuhinya.
Persyaratan yang ketiga yaitu bahwa perbuatan itu berada dalam batas
kemampuan mukkalaf, ini menjadi pokok pembicaraan ahli ushul fiqh dalam objek
hukum. Mereka sepakat dalam hal ini tidak dituntutnya seorang mukallaf melakukan
suatu perbuatan kecuali terhadap perbuatan yang dia mampu untuk
melaksanakannya. Yang menjadi dasar ketentuan ini adalah:
“ Allah tidak akan membebani seseorang kecuali semampunya”.
Menuntut seseorang melakukan sesuatu yang tidak mungkin bisa ia lakukan
berarti memberatkan seseorang melakukan sesuatu, sedangkan Allah menginginkan
kemudahan bagi setiap umat bukan kesulitan. Sebagaimana dalam firman Allah
dalam Qs. Al-Baqarah: 185 “Allah menghendaki untukmu kemudahan dan tidak
menghendaki darimu kesulitan”
Dengan penjelasan ayat tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan tidak menginginkan
manusia dalam kesulitan. Selanjutnya juga menjadi pembahasan “kesulitan” atau
juga disebut dengan masyaqqah dalam hubungnannya dengan objek hukum. Dalam
hal ini ulama membagi kesulitan atau masyaqqah pada dua tingkatan, yaitu:
1) Masyaqqah yang mungkin dilakukan dan berkelanjutan dalam melaksanakannya.
Misalnya puasa dan ibadah haji. Masyaqqah dalam bentuk ini tidak menghalangi
taklif dan dapat menjadi objek hukum, karena memang semua objek hukum tidak
ada yang bebas dari kesulitan, namun masih bisa dilakukan oleh mukalla meskipun
dengan sedikit berat.
2) Masyaqqah yang tidak mungkin seseorang melaksanakannya secara berkelanjutan
atau tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengerahan tenaga yang maksimal.
Pemaksaan diri dalam melaksanakan nya akan membawa kerusakan terhadap jiwa
atau harta. Misalnya berperang dalam jihad di jalan Allah. Dalam masyaqqah seperti
ini dapat berlaku taklif namun tidak untuk semua orang dan tidak secara
11
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.351
6
berkelanjutan. Masyaqqah ini mengandung kesulitan yang sangat besar dan tidak
semua orang mampu melakukannya, sehingga berlaku hukum fardhu kifayah.
Sehubungan pula dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang
jelas keberadaannya, para ulama ushul membicarakan kemungkinan berlakunya
taklif terhadap sesuatu yang mustahil adanya. Dalam hal ini ulama ushul membagi
mustahil pada 5 tingkatan.12
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.352
13
Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, cet,IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.331
7
Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu
mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’. Mahkum alaih
berarti orang mukallaf (yang layak dikenai taklif). Para ulama ushul fiqh
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seerang yang
dikenai titah Allah swt. yang disebutkan dengan mukallaf. Secara bahasa, mukallaf
adalah orang yang dibebani hukum. Di dalam istilah ushul fiqh, subjek hukum itu
disebut sebagai mukallaf, yaitu orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum
alaih yaitu orang yang kepadanya diberlakukan hukum. Orang mukallaf adalah
orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah maupun laranganNya.
Seperti yang telah diterangkan, bahwa definisi hukum taklifi adalah “titah Allah
yang menyangkut perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan tuntutan atau
pilihan untuk berbuat”. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa ada dua hal yang
harus ada pada seorang mukallaf14, yaitu:
a. Seorang mukallaf harus memahami dalil taklif, artinya ia mampu memahami nash-
nash perundangan yang ada dalam Al-Qur’an maupun as-sunnah dengan
kemampuannya sendiri atau dengan perantara. Akal adalah perangkat untuk
memahami dan merupakan penggerak untuk bertindak. Jadi seorang mukallaf
haruslah seseorang yang memiliki akal yang sehat, oran gila ataupun anak kecil
tidak tercakup kategori mukallaf.
b. Seorang mukallaf diharuskan Ahlan lima kullifa bihi, yaitu cakap terhadap perbuatan
atau beban hukum yang ditaklifkan kepadanya. Kecakapan untuk dikenai hukum
atau yang diebut dengan ahliah al-wujubyaitu kepantasan seorang manusia untuk
menerima hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini dibagi oleh
para ahli ushul menjadi dua tingkatan, yaitu:
Ahliyah al-wujub, yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak dan kewajiban.
Pijakan pertama dari konsep ahliyah al-wujub ini adalah adanya kehidupan, artinya
selama seseorang bernafas maka orang tersebut bisa disebut sebagai ahliyah al-
wujub. Ahliyah ini terbagi dua yaitu: pertama, ahliah al-wujub naqish atau
kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk
menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban atau sebaliknya. Sifat lemah pada
kecakapan ini disebabkan karena hanya ada salah satu kecakapan pada dirinya,
diantara dua kecakapan yang harus ada, dan yang kedua ahliyah al-wujub kamilah
atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk
dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam
bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus.
Ahliyah al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang untuk bertidak. Maksudnya, tindakan
orang tersebut (perbuatan atau ucapan) yang secara syariat dianggap telah
mempunyai akibat hukum. Kecakapan dalam bentuk ini terbagi menjadi tiga
tingkatan, yaitu: 1) Tidak cakap sama sekali, yaitu manusia yang baru lahir hingga
mencapai usia tamyiz sekitar umur 7 tahun. 2) Seseorang yan mempunyai kecakapan
bertindak namun belum sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia
tamyiznamun belum sampai ada taraf baligh. 3) seseorang yang mempunyai
kecakapan bertindak secara sempurna. Yaitu manusia yang telah mencapai usia
dewasa.
14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.356
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi pembahasan hukum dalam ushul fiqih ada empat, yaitu:
1. Hukum, yaitu sesuatu yang keluar dari hakim dan menunjukkan atas
kehendaknya pada perbuaatan mukallaf atau kalam Allah yang menyangkut
perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif
atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang
2. Hakim, yaitu dzat yang mengeluarkan hukum
3. Mahkum fih, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum
4. Mahkum alaih, yaitu mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang berkaitan
dengan hukum.
9
DAFTAR PUSTAKA
10