Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HAKIM,OBJEK HUKUM,DAN SUBJEK HUKUM


Dosen Pengampu: Aprianif , Lc.,M.A

Disusun Oleh :
Putri Nuhyatul A`liyah
Nesti Lestari
Nurul Hidayah
Cindy Septya Ningrum

UNIVERSITAS CENDEKIA ABDITAMA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Penulis mempersempit arti para penegak
hukum yang terlibat dalam proses peradilan, peraturan terkait ada banyak para penegak hukum
yang disebutkan oleh undang–undang beserta tugas dan kewenangannya. Objek hukum adalah
segala sesuatu yang bisa digunakan atau dimanfaatkan subyek hukum, baik manusia maupun
badan hukum. Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi penyandang, pemilik,
atau pendukung hak serta kewajiban. Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah Swt maupun dengan larangan-
Nya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hakim, objek hakim, dan subjek hukum dan jelaskan?
2. Apa yang dimaksud dengan baik dan buruk?
3. Jelaskan syarat-syarat objek hukum?
4. Jelaskan apa itu Ahliyah al-wujub dan Ahliyah al-ada’?
5. Sebutkan faktor-faktor penghalang kecakapan bertindak secara hukum?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hakim, Objek Hukum, Subjek Hukum


1. Pengertian Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah
fiqih kata hakim juga sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama hal
ini dengan Qadhi Atau orang yang bijaksana atau orang yang memutuskanperkara dan
menetapkannya.
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang – undang
untuk mengadili (Pasal 1 ayat 8 KUHAP). Ayat 9, mengadili adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang – udang ini.
Hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
Dengan demikian hakim adalah sebagai pejabat Negara yang diangkat oleh kepala
Negara sebagai penegak hukum dan keadilan yang diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan yang telah diembannya menurut undang-undang yang berlaku. Hakim
merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu
sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan
hakim.Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim.
Oleh karena itu, pencapaian penegak kan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan
dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.
2. Pengertian Objek Hukum (Mahkum Fih)
Objek hukum (mahkum fih) adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani
dengan hukum syar’i. dalam derivasi yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
objek hukum atau mahkum bih ialah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia, atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk
dilakukan atau tidak.
Menurut Usuliyyin, yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah objek hukum,yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rasul-Nya), baik
yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, tuntutan memilih suatu
pekerjaan. Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum.

Di dalam penjelasan yang lain pula disebutkan bahwa, Mahkum fih adalah objek
hukum yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syar’i yang bersifat
mengerjakan, meninggalkan maupun memilih antara keduanya. Seperti perintah sholat,
larangan minum khomer, dan semacamnya. Seluruh titah syar’i ada objeknya. Objek itu
adalah perbuatan orang mukallaf yang kemudian di tetapkan suatu hukum darinya.

Dalam istilah ulama ushul Fiqh, yang disebut mahkum fih atau objek hukum, yaitu
sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri
dan hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zatnya. Hukum syara yang
dimaksud, terdiri atas dua macam yakni hukum taklifi dan hukum wad’i. hukum taklifi
jelas menyangkut perbuatan mukallaf, sedangkan sebagian hukum wad’i ada yang tidak
berhubungan dengan perbuatan mukallaf.

3. Pengertian Subjek Hukum

Ulama Ushul Fiqih telah sepakat bahwa mahkum ‘alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab Allah yang disebut mukallaf. Khitab/tuntutan Allah tersebut
dapat berupa hukum taklifi maupun waḍ‘i. Hukum taklifi meliputi ketentuan wajib, sunat,
mubah, makruh, dan haram. Sedangkan hukum waḍ’i meliputi ketentuan sebab, syarat, dan
mani. Dalam definisi ini, maḥkum ‘alaih hanya dipahami kepada orang (syakhṣ) saja, tidak
termasuk di dalamnya badan hukum. Istilah mukallaf disebut juga maḥkum ‘alaih (subjek
hukum).

Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang
berhubungan dengan perintah Allah Swt maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan
hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggung jawabannya, baik di dunia
maupun di akhirat. Ia akan mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah
Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapat siksa atau resiko
dosa karena melanggar aturan-Nya. Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka
yang sudah dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau
sebagian besar ulama Usul Fikih berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.

Dengan kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau
belum berakal dianggap tidak bisa memahami taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul-Nya).
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila telah
memenuhi dua syarat, yaitu:

a. Orang itu telah mampu memahami khithab Syar’i (tuntutan syara’) yang terkandung
dalam al-Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain.
Kemampuan untuk memahami suatu taklif tidak bisa dicapai, kecuali melalui akal
manusia, karena hanya akal lah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan
atau ditinggalkan. Akan tetapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah sesuatu yang
abstrak dan sulit diukur, dan dipastikan berbeda antara satu orang dengan yang
lainnya, maka syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi konkret (jelas)
dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkret itu adalah
balighnya seseorang.
b. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut dengan
ahliyah. Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu
urusan. Secara terminology, menurut para ahli ushul fiqih, di antaranya, adalah
sebagai berikut: “Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh
syar’i untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Mahkum alaihi adalah mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar’i. atau
dengan kata lain, mahkum alaihi adalah mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat
berlakunya hukum Allah Swt. Dinamakan mukallaf sebagai mahkum alaihi adalah
karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara. Ringkasnya, mahkum alaihi adalah
orang atau si mukallaf itu sendiri, sedangan perbuatannya disebut mahkum bih.
Dalam pengertian yang lainnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Mahkum
Alaih adalah mukallaf yang menjadi objek tuntunan hukum syara’ (Syukur, 1990: 138).
Menurut ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai kitab Allah, yang disebut mukallaf (Syafe’I, 2007: 334).
Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang
dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan
berdasarkan tuntutan Allah itu (Sutrisno, 1999: 103).
Amir syarifuddin dalam bukunya menjelaskan bahwa subjek hukum atau pelaku
hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah Swt untuk berbuat, dan segala tingkah
lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah Swt itu. dalam istilah Ushul
Fiqh, subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum, atau
mahkum alaihi yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.

B. Baik Dan Buruk


Seperti yang saya paparkan sebelumnya, Tidak ada perbedaan pendapat antar para
ulama dalam mengetahui hukum Allah. Namun, yang diperselisihkan ialah tentang apakah
hukum Allah itu tidak bisa diketahui kecuali dengan perantara para rasul-Nya atau sebelum
diutusnya Rasul. Apakah akal sendiri dapat mengetahui perbuatan baik dan buruk (al-tahsin
wa al-taqbidh). Mengenai masalah tersebut, ulama memiliki perbedaan dalam
menjawabnya, antara lain:
1. Pendapat Hukum Mu’tazilah
Mazhab Mu’tazilah pengikut Wasil bin ‘Atta (131 H) berpendapat bahwa akal
dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan sebelum datangnya syariat meskipun
sebelum datangnya Rasul. Jika pengetahuan ini (baik dan buruk) tidak datang melalui
para rasul dan risalahnya, maka nilai baik-buruknya perbuatan adalah perkara akal,
bukan syariat. Dengan kata lain, penetapannya bukan berdasarkan syariat, karena Allah
SWT menetapkan hukum itu sesuai dengan tingkat nalar akal mengenai nilai baik dan
buruknya perbuatan.
Karenanya, mereka mengatakan bahwa manusia sudah dibebani hukum
(mukallaf) sebelum diutusnya rasul dan sebelum dakwah sampai padanya. Sehingga,
mereka harus melakukan perbuatan yang menurut akal baik dan meninggalkan
perbuatan yang menurut akal buruk, karena itu adalah hukum Allah. Dengan adanya
pembebanan hukum tersebut maka timbul tanggung jawab dan hisab serta konsekuensi
pahala dan dosa.

2. Pendapat Hukum Ahlu Sunnah wal Jamaah


Pertama, Mazhab Asy’ariyah pengikut Abu Hasan al-Asy’ari (324 H) dan ulama
fiqih yang sependapat. Akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum
sebelum turunnya syariat. Akal hanya dapat menetapkan baik dan buruk melalui
perantara al-Quran dan Sunnah. Berdasarkan hal tersebut maka menurut mereka tidak
ada hukum Allah yang dibebankan kepada hamba-Nya sebelum diutusnya para rasul.
Jika rasul belum datang menyampaikan hukum Allah, maka mereka tidak dibebani
hukum. Tidak ada kewajiban dan larangan bagi mereka. Karena tidak ada hukum, maka
tidak ada pembebanan hukum (taklif). Dan karena tidak ada pembebanan hukum, maka
tidak ada hisab, pujian dan pahala serta celaan dan dosa.
Kedua, Mazhab Maturidiyah pengikut Abu Mansur al-Maturidi (333 H)
berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan itu memiliki nilai baik dan buruk yang
sebagian besarnya bisa diketahui oleh akal. Akan tetapi adanya nilai kebaikan yang bisa
dijangkau akal itu tidak mengharuskan syariat memerintahkannya, dan nilai keburukan
pada perbuatan tidak mengharuskan syariat melarangnya.
Berdasarkan hal di atas, mereka berpendapat bahwa hukum Allah tidak bisa
dijangkau tanpa perantara rasul dan risalah mereka. Allah tidak memberi ketetapan pada
perbuatan manusia sebelum diutusnya para rasul dan risalah mereka. Jika tidak ada
hukum, maka tidak ada pembebanan hukum dan jika tidak ada pembebanan hukum
maka tidak ada pahala maupun dosa.
Konsekuensi Pendapat Pembebanan Hukum Dengan adanya perbedaan
pendapat tersebut, maka timbul beberapa konsekuensi sebagai berikut:
1. Menurut kelompok Mu’tazilah, pada umumnya orang yang tidak mendengar
dakwah Islam dan risalah rasul harus dihisab dan mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Tuntutannya adalah: melakukan perbuatan yang baik dan
meninggalkan perbuatan yang buruk menurut akal, itulah hukum Allah. Sedangkan
menurut kelompok Asy’ariyah, Maturidiyah dan yang sependapat, orang yang tidak
pernah mendengar dakwah maka mereka tidak dihisab serta tidak mendapat pahala
dan dosa.
2. Setelah turunnya syariat Islam, para ulama sepakat bahwa hukum Allah dapat
diketahui dengan perantara al-Quran atau Sunnah Nabi SAW. Keduanya sudah
disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam dakwahnya.
Hakim dalam Islam adalah sang pembuat atau penetap hukum. Dan satu-satunya
Hakim yang mutlak adalah Allah azza wa jalla. Untuk mengetahui hukum yang dibuat
Allah harus melalui wahyu dan ijtihad. Dalam pengaplikasianya akal juga berperan
dalam memahami hukum Allah, tidak hanya terlalu pada wahyu. Karena jika terlalu
terpaku pada dogma agama tanpa akal akan mengakibatkan kemudahan.
3. Syarat-syarat Objek Hukum (Mahkum Fih)

1. Para ulama Ushul Fiqh menetapkan beberapa syarat untuk suatu perbuatan sebagai
objek hukum. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat
melakukannya sesuai dengan apa yang mereka tuntut. Sehingga tujuan dapat tangkap
dengan jelas dan dapat dilaksanakan, maka seorang mukallaf tidak tidak terkena
tuntutan untuk melaksanakan sebelum dia tau persis. Contoh: Dalam Al qur’an perintah
Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global, Maka
Rasulullah Saw. menjelaskannya sekaligus memberi contoh, sabagaimana sabdanya
”sholatlah sebagaimana aku sholat”, begitu pula perintah-perintah syara’ yang lain
seperti zakat,puasa dan sebagainya. Tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak
sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
2. Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk
mentaklifan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukhallaf. Yang dimaksud
dengan mengetahui disini adalah kemungkinan mengetahui, bukan kenyataan
mengetahui. Oleh sebab itu seseorang yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui
hukum syara dengan sendirinya atau menanyakannya pada orang lain.
3. Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. Artinya, melakukan atau
meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan si mukallaf.
Dan syarat ini timbul dari dua hal:
a. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurut
zatnya, maupun karena hal yang lain. Mustahil menurut zatnya adalah sesuatu
yang tidak tergambar pada akal. Misalnya, mewajibkan dan mengharamkan
sesuatu pada waktu bersamaan. Adapun mustahil karena hal lain adalah segala
sesuatu yang tergambar oleh akal adanya, tetapi menurut hukum alam dan
kebiasaan pernah terjadi.
b. Tidak sah menurut syara mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain
melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Oleh sebab itu, yang ditaklifkan disini
hanya memberi nasehat,menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.

Dari syarat ketiga diatas, muncul masalah lain yang dikemuka kan para Ulama
Ushul Fiqh yaitu masalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Dalam masalah ini ulama
ushul fiqh membagi masyaqqah kepada dua bentuk:
1. Masyaqqah mu’taddah adalah kesulitan biasa dan dapat diduga. Misalnya,
mengerjakan sholat itu bisa melelahkan badan, berpuasa itu menimbulkan rasa
lapar, dan menunaikan ibadah haji itu menguras tenaga. Kesulitan seperti ini
menurut para ahlii ushul fiqh, berfungsi sebagai ujian terhadap ketaatan dan
kepatuhan seorang hamba dalam menjalankan taklif syara’.
2. Masyaqqah ghair mu’taddah adalah kesulitan diluar kebiasaan dan sulit diduga.
Kesulitan seperti ini menurut ulama ushul fiqh secara logika dapat diterima,
sekalipun dalam kenyataannya tidak pernah terjadi, karena Allah Swt sendiri
tidak bertujuan menurunkan taklif-Nya untuk menyulitkan manusia. Oleh sebab
itu Allah Swt, misalnya, tidak memerintahkan hamba-Nya.
4. Pengertian Ahliyah
Secara etimologi, ahliyyah berarti “kecakapan menangani suatu urusan”. Misalnya,
seseorang dikatakan ahli untuk menduduki suatu jabatan atau posisi berarti ia punya
kemampuan pribadi untuk itu. Adapun ahliyyah secara terminologi ialah “Suatu sifat yang
dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara’.
Ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan
akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh Syara’. Apabila seseorang telah
mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti
transaksi yang bersifat menerima hak dari orang lain. Para ulama ushul fiqh membagi
ahliyyah kepada dua bentuk, yaitu Ahliyyah Al-wujub dan Ahliyyah Al-ada.
1. Ahliyah Al-wujub
Aliyyah al-wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan
dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap manusia ditinjau dari
segi, ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir
dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya.Ahliyyah al-wujub ini berlaku bagi setiap
manusia, dengan keadaan bahwa ia adalah manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
berupa janin, anak-anak, mumayyiz, baligh, pandai atau bodoh, berakal atau gila, sehat
maupun sakit. Tidak ada manusia yang tidak memiliki ahliyyah al-wujub, karena ahliyyah
alwujub adalah sifat ke manusiaannya.
Para ahli ushul fiqh membagi ahliyyah al-wujub tersebut kepada dua bagian,
Yaitu:
a. Ahliyyah al-Wujub an-Naqishah
Atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia
untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan untuk
dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.sifat lemah pada kecakapan ini
disebabkan oleh karena ia hanya memiliki salah satu kecakapan pada dirinya
diantara dua kecakapan yang harus ada padanya.Contoh kecakapan untuk menerima
hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya.
Bayi atau janin itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat
meskipun ia belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku setelah ternyata ia lahir
dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebani kewajiban apa pun,
karena secara jelas ia belum bernama manusia. Contoh kecakapan untuk dikenai
kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang yang meninggal dunia
tetapi masih meninggalkan hutang. Dengan kematiannya itu ia tidak akan
mendapatkan hak apa pun lagi, karena hak hanyalah untuk manusia yang hidup.
Tetapi ia tetap dikenai kewajiban untuk membayar hutang yang dibuatnya semasa
ia masih hidup. Kewajiban itu tentunya yang menyangkut harta benda yang dapat
dilakukan oleh orang lain.

b. Ahliyyah al-Wujub al-Kamilah


Atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk
dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam
bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini
dimiliki oleh setiap orang sejak dilahirkan. Yakni sejak usia kanak-kanak, usia
mumayyiz, sampai sesudah usia baligh (dewasa), dalam keadaan dan kondisi
lingkungan yang bagaimana pun. Contoh ahliyyah al-wujub al-kamilah adalah anak
yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua
atau kerabatnya, ia juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah yang
pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua atau walinya. Demikian pula orang yang
sedang berada di ujung kematian (sakarat almaut). Disamping ia berhak menerima
harta warisan dari orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu meninggal, ia juga
dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah memenuhi syarat untuk
dizakatkan.
2. Ahliyah Al-ada`

Ahliyyah al-ada’ atau kecakapan bertindak secara hukum adalah kepantasan


seseorang untuk dimintai pertanggung jawaban secara hukum. Pada semua
perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif, baik dalam bidang ibadah
maupun muamalah, sehingga semua perbuatannya menimbulkan akibat hukum, baik
yang menguntungkan maupun yang merugikan baginya. Manusia ditinjau dari
hubungannya dengan kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’ mempunyai tiga
keadaan, yaitu:
a. Adim al-Ahliyyah (tidak memiliki kecakapan)

Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ahliyyah al-ada’, atau sama sekali
sepi darinya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam
usia berapapun. Masing-masing dari keduanya, karena keadaannya yang tidak
mempunyai akal, maka ia tidak mempunyai ahliyyah al-ada’. Masing-masing dari
keduanya tidak bisa menimbulkan konsekuensi hukum syara’ pada perbuatannya
maupun ucapannya. Jadi, semua akad (perjanjiannya) dan tasharruf (tindakan
hukumnya) adalah batal. Lebih jauh lagi, apabila salah seorang dari mereka
berbuat kriminal atas jiwa atau harta, maka ia dituntut dari segi harta, bukan dari
segi fisik. Apabila seorang anak atau orang gila, maka ia menanggung diyat
(denda) si terbunuh atau apa yang telah ia rusakkan, akan tetapi ia tidaklah
dikenakan hukuman qishash. Inilah maksud dari fuqaha: “Kesengajaan seorang
anak atau orang gila adalah ketersalahan”. Karena sepanjang tidak ada akal, maka
tidak ada pula maksud. Oleh karena itu, tidak ada pula kesengajaan.
b. Ahliyyah al-Ada’ al-Naqishah (kecakapan bertindak tidak sempurna)

Ada kalanya ahliyyah al-ada’nya kurang. Yaitu orang yang telah pintar tapi belum
baligh atau seseorang yang sudah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7 tahun)
sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena
akalnya masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam
hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan
sebagian lagi tidak dikenai hukum. Mereka juga belum dipandang mukallaf,
namun semua perbuatan ibadahnya dipandang sah. Adapun semua perbuatannya
yang pasti menguntungkan baginya dipandang sah, meskipun tanpa persetujuan
dari walinya, seperti menerima hibah dan wasiat
c. Ahliyyah al-Ada’ al-Kamilah (kecakapan bertindak secara sempurna)

Adanya ahliyyah al-ada’ yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil
baligh. Ahliyyah al-ada’ yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia
dalam keadaan berakal. Seseorang yang telah mencapai usia dewasa, sehingga ia
dipandang telah mukallaf. Pada asalnya, bahwasanya ahliyyah al-ada’ berkenaan
dengan akal saja, akan tetapi dikaitkan dengan baligh, karena keadaan baligh
merupakan tempat dugaan (mazhinnah) keberakalan. Sedangkan hukum
dikaitkan dengan berbagai illat yang nyata dan pasti. Seseorang yang telah baligh,
baik balighnya karena usianya atau dengan berbagai tanda, maka ia dianggap
berakal dan ahli (layak) untuk melaksanakan, dan sempurna ahliyyahnya
sepanjang tidak ditemukan sesuatu yang menunjukkan rusaknya akalnya atau
kurangnya
Kesimpulan penjelasan tentang ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada’ di atas dapat
diketahui bahwa semua manusia memiliki kecakapan secara hukum untuk dikenakan
kewajiban dan diberi hak (ahl li al-wujub), tetapi tidak semua manusia dipandang cakap
untuk bertindak secara hukum (ahl li al-ada’). Seseorang baru dipandang cakap bertindak
secara hukum, apabila ia telah mencapai kedewasaan dari segi usia dan akalnya serta tidak
ditemukan cacat atau kurang pada akalnya. Dalam keadaan seperti ini barulah seseorang
dapat disebut sebagai mukallaf.

5. Faktor-Faktor Penghalang Kecakapan Bertindak Secara Hukum

Kecakapan hukum adalah kemampuan seseorang terkait hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan hukum dengan adanya akibat hukum yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang
mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggu gugat (Dewi, 2008).
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari person
(pribadi), yaitu diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjarig), dan Rechtspersoon
(badan hukum), yang diukur dari aspek kewenangan (Hernoko, 2010). Kecakapan pihak-
pihak yang membuat perjanjian menurut Pasal 1329 KUH Perdata adalah cakap untuk
membuat suatu perikatanperikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap.
Dikatakan tidak cakap bertindak menurut hukum menurut Pasal 1330 angka 1 dan 2
KUHPerdata yaitu orangorang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan. Dikatakan belum dewasa menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Menurut Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah anak
yang telah mencapai umur 18 tahun atau sudah pernah melangsungkan perkawinan, dapat
melakukan perbuatan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan. Dianggap tidak cakap
adalah apabila seseorang berdasarkan ketentuan peraturanperundang-undangan tidak
mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat hukum yang sempurna. Pasal
1330 KUHPerdata menyebutkan tentang orang yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, yaitu:
1. Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun).
2. Orang yang berada dibawah pengampunan (curatele).
3. Perempuan yang telah kawin. Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Karena Pasal 31
UndangUndang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah
seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Orang yang cakap adalah orang yang telah dewasa (telah berusia 21 tahun) dan
berakal sehat, sedangkan orang yang tidak cakap adalah orang yang belum dewasa dan
orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yang terjadi karena gangguan jiwa, pemabuk
atau pemboros. Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum atau untuk melakukan
perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belum seseorang tersebut dikatakan dewasa
menurut hukum.
Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam menentukan apakah seseorang
tersebut dapat atau belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu
perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau
belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum
yang ditentukan dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi
syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam
melakukan segala perbuatan hukum.
Undang-undang menentukan bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum, seseorang
harus telah cakap dan berwenang. Seseorang dapat di katakan telah cakap dan berwenang,
harus memenuhi syarat-syarat yang di tentukan oleh Undang-undang yaitu telah dewasa,
sehat pikiranya (tidak di bawah pengampuan) serta tidak bersuami bagi wanita.
Kecakapan bertindak merupakan kewenangan umum untuk melakukan tindakan
hukum. Setelah manusia dinyatakan mempunyai kewenangan hukum maka selanjutnya
kepada mereka diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya oleh
karenanya diberikan kecakapan bertindak. Terkait dengan hak terdapat kewenangan
untuk menerima, sedangkan terkait dengan kewajiban terdapat kewenangan untuk
bertindak (disebut juga kewenangan bertindak). Kewenangan hukum dimiliki oleh semua
manusia sebagai subyek hukum, sedangkan kewenangan bertindak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, misalnya faktor usia, status (menikah atau belum), status sebagai ahli
waris, dan lain-lain.
Menurut Pasal 330 KUH Perdata seseorang telah dewasa apabila telah berumur 21
tahun, dan telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Kecakapan berbuat dam
kewenangan bertindak menurut hukum ini adalah di benarkan dalam ketentuan Undang-
undang itu sendiri, yaitu
1. Seseorang anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan
seluruh perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun dan telah mendapat surat
pernyataan dewasa (venia aetatis) yang di berikan oleh presiden, setelah mendengar
nasihat Mahkama Agung (Pasal 419 dan 420 KUH Perdata)
2. Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah
mendapat surat pernyataan dewasa dari pengadilan (Pasal 426 KUH Perdata)
3. Seseorang yang berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat (Pasal 897 KUH
Perdata)
4. Orang laki-laki yang telah mencapai umur 15 tahun dan perempuan yang telah
berumur 15 tahun dalam melakukan perkawinan (Pasal 29 KUH Perdata)
5. Pengakuan anak dapat di lakukan oleh orang yang telah berumur 19 tahun (Pasal 282
KUH Perdata)
6. Anak yang telah berumur 15 tahun dapat menjadi saksi (Pasal 1912) KUH Perdata)
7. Seseorang yang telah di taruh di bawah pengampuan karena boros dapat :
a. Membuat surat wasiat (Paslal 446 KUH Perdata)
b. Melakukan perkawinan (Pasal 452 KUH Perdata)
8. Istri cakap bertindak dalam hukum dalam hal :
Dituntut dalam perkara pidana, menuntut perceraian perkawinan, pemisahan meja dan
ranjang serta menuntut pemisahan harta kekayaan (Pasal 111 KUH Perdata).
Membuat surat wasiat (Pasal 118 KUH Perdata) Seseorang yang telah cakap menurut
hukum mempunyai wewenang bertindak dalam hukum.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah
fiqih kata hakim juga sebagai orang yang memutuskan hukum di pengadilan yang sama hal
ini dengan Qadhi Atau orang yang bijaksana atau orang yang memutuskanperkara dan
menetapkannya.
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang – undang
untuk mengadili (Pasal 1 ayat 8 KUHAP). Ayat 9, mengadili adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang – udang ini. Kesimpulan penjelasan tentang ahliyyah al-wujub dan ahliyyah
al-ada’ di atas dapat diketahui bahwa semua manusia memiliki kecakapan secara hukum
untuk dikenakan kewajiban dan diberi hak (ahl li al-wujub), tetapi tidak semua manusia
dipandang cakap untuk bertindak secara hukum (ahl li al-ada’). Seseorang baru dipandang
cakap bertindak secara hukum, apabila ia telah mencapai kedewasaan dari segi usia dan
akalnya serta tidak ditemukan cacat atau kurang pada akalnya. Dalam keadaan seperti ini
barulah seseorang dapat disebut sebagai mukallaf.
Daftar Pustaka

https://ibtimes.id/hakim-dan-pembebanan-hukum-menurut-ushul-fiqih/
https://pdb-lawfirm.id/kriteria-cakap-di-dalam-hukum-perdata/
https://www.kompas.com/skola/read/2022/04/20/073000869/subyek-hukum--
pengertian-kategori-dan-contohnya
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/download/17540/13384

Anda mungkin juga menyukai