Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan mengenai hukum pastilah tidak pernah berhenti. Sebab, sama halnya dengan
manusia yang dinamis begitu pun dengan hukum itu sendiri. Hukum berkembang sebagaimana
manusia yang berkembang, dan itulah sebabnya hukum juga tidak pernah berhenti dipelajari dan
dimodifikasi sedemikian rupa.

Hukum yang diterapkan di sebuah negara merupakan keputusan bersama yang harus
dipatuhi. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju sudah seorang warga negara diharuskan
untuk menjalankan hukum di negerinya. Selain sebagai seorang warga negara, begitu pun
sebagai seorang muslim. Namun, adakalanya hukum yang ada di sebuah negara tidak sejalan
dengan keyakinan sebagai seorang muslim. Lantas bagaimana kita menyikapinya?. Pemahaman
mengenai hal tersebut sepatutnya kita mulai dengan memahami al-Ahkam.

Oleh karenanya, penyusun disini akan mencoba memaparkan mengenai Al-Ahkam. Yang
mencakup berbagai pembahasan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum dan pembagian hukum?
2. Apa pengertian mahkum fih, syarat-syarat dan macam-macamnya?
3. Apa pengertian mahkum alaih?
4. Apa pengertian ahliyyah?
5. Apa pengertian hakim, tahsin, dan takbih?
6. Bagaimana kemampuan akal mengetahui syari’at?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui pengertian hukum dan pembagian hukum?
2. Untuk mengetahui pengertian mahkum fih, syarat-syarat dan macam-macamnya?
3. Untuk mengetahui pengertian mahkum alaih?
4. Untuk mengetahui pengertian ahliyyah?
5. Untuk mengetahui pengertian hakim, tahsin, dan takbih?
6. Untuk mengetahui kemampuan akal mengetahui syari’at?
BAB II

AL-AHKAM

A. Pengertian Hukum
1. Pengertian Hukum

Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut :

‫ِخ َطاُب ُهللا الُم َتَعِّلًق ِبَأْفَغاِل الُم َك َّلِفْيَن ِإْقِتَض اًء َأْو َتْخ ِيْيًر ا َأْو َو ْض ًغا‬

Artinya: “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik
bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang”.

Yang dimaksud khithab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil dalam Al-
Quran dan As-Sunnah. Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah
perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati. Yang
dimaksud dengan imperative (iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni
memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya yakni melarang. Baik tuntuttan itu bersifat
memaksa atau pun tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan fakultatif (tahyir) adalah kebolehan
memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama. Lalu yang
dimaksud dengan wadh’I (mendudukan sesuatu) adalah memposisikan sesuatu sebagai
penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.

2. Pembagian Hukum

Berdasarkan definisi hukum tersebut, para ulama ushul fiqih membagi hukum menjadi dua.
Yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i

2.1 Hukum Taklifi


2.1.1 Pengertian Hukum Taklif

Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Contoh firman Allah
SWT. yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãè‹ÏÛr&ur tAqߙ§9$# öNà6¯=yès9#(
tbqçHxqöè? ÇÎÏÈ

“dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi
rahmat” (QS. An-Nur: 56)

2.1.2 Bentuk-bentuk Hukum Taklif

Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi. Pertama,
bentuk-bentuk hukum taklif menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqih/Mutakallimin. Menurut mereka
bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah, dan tahrim.
Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi menurut Ulama Hanafiyah, seperti iftirad, ijab, nadb,
ibahah, karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyyah, dan tahrim.

2.1.3 Hukum-Hukum Menurut Fuqaha


2.1.3.1 Wajib

Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, seperti dikemukakan
Abd. Al-Karim Zaidan, ahli hukum Islam berkebangsaan Irak, wajib berarti : “Sesuatu yang
diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukallaf,
dan apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak
dilaksanakan diancam dengan dosa.”
Para ulama Ushul Fiqih mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari berbagai
segi, yaitu:

 Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas wajib al muthlaq dan wajib al mu’aqqat.
 Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, hukum wajib terbagi menjadi dua, yaitu
wajib al-muhaddad dan wajib al-ghairu al muhaddad.
 Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib dibagi kepada wajib
al-‘aini dan wajib al-kifa’i.
 Dilihat dari segi kandungan perintah, para ulama Ushul Fiqih membagi wajib kepada
wajib al-mu’ayyan dan wajib al-mukhayyar.
2.1.3.2 Mandub (Sunnah)
Secara etimologi yaitu sesuatu yang dianjurkan, sedangkan secara terminologi, seperti yang
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan
Rasul-Nya, dimana akan diberi pahala bagimorang yang melaksanakannya, namun tidak dicela
orang yang tidak melaksanakannya.
Para ulama Ushul Fiqih membagi mandub menjadi tiga macam, yaitu:

 Sunnah al-Mu’akkadah
 Sunnah ghairu al-Muakkadah
 Sunnah al-Zaidah
2.1.3.3 Haram

Kata haram secara etimologi berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara
terminologi, Ushul Fiqih kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,
dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Haram dibagi menjadi haram li dzatihi
dan haram li ghairihi.

2.1.3.4 Makruh

Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Contoh: “Perbuatan halal yang
dibenci Allah adalah talak.”(H.R. Abu Dawud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
Ulama Hanafiyah membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu makruh tanzih dan makruh
tahrim.
2.1.3.5 Mubah

Secara bahasa kata mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan.” Pembagian
mubah menurut Asy-Syatibi, yaitu:
 Mubah bi al-Juz’i al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat ar’rujub
 Mubah bi al-Juz’i al-mathlub bi al-kulli
 Mubah bi al-Juz’i al-muharramah bi al-kulli
 Mubah bi al-Juz’i al-makruh bi al-kulli
2.2 Hukum Wadh’i
Hukum wadh’I adalah firman Allah SWT. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila Firman Allah menunjukkan atas kaitan
sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat, atau penghalang, maka ia
disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.

2.3 Perbedaan Antara Hukum Taklif dan Hukum Wadh’i


 Di tinjau dari segi tujuan maka hukum taklifi adalah untuk untuk menuntut, mencegah
atau memberikan pilihan antara melakukan dan meninggalkan perbuatan sedang tujuan
hukum wadh’i adalah untuk menerangkan bahwa sesuatu menjadi sebab bagi musabab.
 Ditinjau dari segi hubungan dengan kesanggupan orang mukallaf maka hukum taklifi
selalu di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf. Sedangkan hukum wadh’i itu
adakalanya di hubungkan dengan kesanggupan orang mukallaf. Misalnya ijab kabul
dengan secara macam perikatan dan ada kalanya tidak di hubungkan dengan
kesanggupan orang mukallaf.

B. Mahkum Fih/Mahkum Bih (Objek Hukum dan Peristiwa Hukum)


1. Pengertian Mahkum Fih

Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar;I (Allah dan Rasulnya), baik yang
bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang
bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, ruhkshah, sah serta batal.

2. Syarat-syarat Mahkum Fih

Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembenahan hukum),
yaitu:

2.1 Perbuatan itu diketahui oleh mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat
mengerjakannya sesuai dengan tuntutan.
2.2 Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa
tuntutan itu dari Allah SWT. Sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan
dengan tujuan melakssanakan titah Allah semata.
2.3 Perbuatan yang mungkin harus ditinggalkan atau dilaksanakan. Terdapat beberapa
syarat:
2.3.1 Tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan
atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jamhur ulama, baik
berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar
zatnya.dengan dalil yang dikemukakan oleh jamhur ulama antara lain
adanya firman Allah SWT. Bahwa Allah SWT tidak menuntut suatu
perbuatan sesuai dengan kemampuannya.
2.3.2 Para ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya seseorang
melakuka perbuatan yang di-taklif-kan untuk dan atas nama orang lain.
Hadits yang menyatakan demikian hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abas, “tidak boleh shalat seseorang untuk orang lain, begitu pula tidak
boleh berpuasa untuk orang lain”. Dan Aisyah berkata, “janganlah kamu
shalat untuk menggantikan orang yang telah mati, namun beri makanlah
kepada mereka (pahalanya)”. Kecuali golongan imam Syafi’i, Al-Auja’i,
dan hambali membolehkan wali untuk menggantikan puasa orang yang
sudah meninggal. Tetapi Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i,
menyatakan bahwa puasa tidak boleh diwakilkan.
2.3.3 Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia seperti marah, gembira, takut dan sebagainya
karena itu semua berada diluar kendali manusia.
2.3.4 Tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam dalam ibadah
dan bersuci untuk shalat.
2.4 Al-Masyaqqah

Musyawah terbagi menjadi dua;

2.4.1 Musyaqqah Mu’tadah, adalah kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia
tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya.
2.4.2 Musyaqqah ghairu mu’tada (kesulitan yang tidak wajar),adalah suatu
kesulitan atau kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalm
mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila dipaksakan.
2.5 Pembagian kemampuan menurut Ulama Hanafiyah

Kemampuan tersebut menurut mereka terbagi dalam dua bagian, yaitu muthlaq dan
kesempurnaan.

3. Macam-macam Mahkum Fih

Para ulama ushul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu, dari segi keberadaannya
secara material dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.

C. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)


1. Pengertian Mahkum Alaih

Menurut ulama ushul fiqih mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab
Allah yang disebut mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani
hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf disebut mahkum alaih (subjek hukum).
Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hokum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.

Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf, akan diminta pertanggungjawabannya baik
di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapatkan pahala atau imbalan apabila mengerjakan
perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangannya akan mendapat siksa atau risiko
dosa karena melanggar aturan-Nya, di samping tidak memenuhi kewajibannya.

2. Taklif
2.1 Dasar taklif

Di dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap mampu untuk
mengerjakan tindakan hukum. Sebagian besar ulama Ushul Fiqh berpendapat bahwa dasar
pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman. Seseorang baru bisa
dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan
kepadanya.

Golongan yang tidak bisa memahami taklif (tidak dibebani):

 Orang tidur sampai dia bangun


 Anak kecil sampai baligh
 Orang gila sampai ia sembuh
 Orang terpaksa
 Orang bersalah (Khaththa)
 Orang lupa

Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan bagi orang yang dianggap
cakap dan mampu untuk melakukan tindakan.

2.2 Syarat-syarat taklif

Ulama Ushul fiqh telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenakan taklif apabila telah
memenuhi dua syarat,yaitu:

 Orang itu telah mampu memahami khitbah syar’i (tuntutan syara’) yang
terkandung baik dalam al-qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun
melalui orang lain. Kemampuan taklif tidak bisa dicapai, kecuali melalui akal,
karena akalah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau
ditinggalkan. Indikator konkret itu adalah baligh nya seseorang. Seperti yang
dijelaskan dalam Qs.An-Nur:59.
 Anak kecil dan orang gila walaupun tidak dibebani dengan adanya taklif,
namun dikenakan beberapa kewajiban, seperti membayar zakat, baik zakat
mal maupun zakat fitrah, nafkah diri mereka dan ganti rugi (dhaman) akibat
perbuatan mereka apabila mereka merusak atau menghilangkan harta orang
lain.
 Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,dalam ushul fiqh disebut
ahliyah.
 Anak kecil yang belum baligh ,yang dianggep belum mampu mengenal
hukum ,tidak dikenakan hukum syara’.Begitu pula orang gila,karena
kecakapannya untuk bertindak hukumnya hilang.Selain itu,orang yang pailit
yang berada dibawah pengampunan (hajr),dalam masalah harta ,dianggap
tidak mampu mengenal hukum.
3. Ahliyyah
3.1 Pengertian Ahliyyah

Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan menanganu suatu urusan”. Misalnya
orang yang memiliki kemampuan dalam suuatu bidang, maka ia dianggap ahli untuk menangani
bidang tersebut. Adapun arti ahliyyah secara terminologi menurut para ahli ushul fiqh antara lain
sebagai berikut:

Artinya : “suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syar’I untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara.” (Al-Bukhari : II: 1357)

Dari definisi tersebut, dapat dipahai bahwa aliyyah adalah sifat yang menunjukan bahwa
seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh
syara’.

3.2 Pembagian Ahliyyah


3.2.1 Ahliyyah Ada’

Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik yang bersifat positif maupun negatif.
Apabila perbuatannya sesuai dengan tuntutan syara’, ia dianggap telah memenuhi kewajiban dan
berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, bila melanggar tuntutan syara’, maka dianggap berdosa
dan akan mendapatkan siksa.

Menurut kesepakatan para ulama ushul fiqh, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah
seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah ‘aqil baligh, dan cerdas.

3.2.2 Ahliyyah Al-Wajib

Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tapi belum
mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, ia telah berhak untuk menerima hibbah.
Dan apabila harta seandainya dirusak orang lain, ia pun dianggap mampu untuk menerima ganti
rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris dari keluarganya. Namun
demikian, ia dianggap belum mampu untuk dibebani kewajiban-kewajuban syara’, seperti shalat,
puasa, haji dan lain-lain. Maka walaupun ia mengerjakan amalan-amalan tersebut, statusnya
sekadar pendidikan bukan kewajiban.

Menurut ulama ushul fiqh, ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub
adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan dan lain-lain.
Berdasarkan ahliyyah wujub, anak yang baru lahir berhak menerima wasiat, dan berhak juga
menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola sendiri, tetapi
harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang diberi wasiat memelihara hartanya), karena anak
tersebut dianggap belum mampu untuk memberikan hak atau menunaikan kewajiban.

3.3 Halangan Ahliyyah

Ulama ushul fiqh menyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum seseorang bisa berubah
disebabkan hal-hal berikut:

a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan
perbuatan manusia, seperti gila, dungu, lupa,dll.
b. Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia,
seperti mabuk, terpaksa, bersalah, dll.

Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan hukumnya,


yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama seklai, mengurangi dan mengubahnya. Oleh
karena itu, mereka membagi halangan bertindak hokum itu dilihat dari objek-objeknya dalam
tiga bentuk: (Al-Bannani: 170, Al-Aashari: 166)

a. Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hokum secara


sempurna (ahliyah al-ada) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa, dan terpaksa.
Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah SAW.

‫رفع ا مىت عن احلطا ء و النسيا ن وما ا ستكر ه هل (روا ه ا بن ما جه‬


)‫وا الطربا ىن‬
Artinya:
“Diangkatkan (pembebanan hokum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan
terpaksa.” (HR. Ibu Majag dan Thabrani)
b. Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-‘ada, seperti orang dungu. Orang
seperti ini, ahliyyah al-adanya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi sifat
kecakapannya dalam bertindak hokum. Maka tindakan hokum yang sifatnya
bermanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap
batal.
c. Halangan yang sifatnya dapt mengubah tindaka hokum seseorang, seperti orang yang
berutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai, bodoh. Sifat-sifat tersebut,
sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-‘ada seseorang, tetapi beberapa tindakan
hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta dibatasi, hal itu dimaksudkan untuk
kemasalahan dirinya dan hak-hak orang yang membayar utang.

D. Hakim (Pembuat Hukum/Allah SWT)


1. Pengertian Hakim

Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyau dua arti, yaitu:

Pertama:
‫واضع اال حلكا م و مثبتهاومنشئهاو مصدرها‬
Artinya:
“Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”

‫الذ ي يدر ك ا ال حكا م ويظهر ها ويعر فهاويكشف عنها‬

Artinya:
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyikapinya.”

Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam ushul fiqh, sebab berkaitan dengan
pembuat hukum syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang mendatangkan pahala bagi
pelakunya dan dosa bagi pelanggarnta. Dalam ushul fiqih, hakim disebut juga dengan syar’i.

Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah
SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh
mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT baik yang berkaitan dengan
hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah) maupun yang berkaitan dengan
hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah).

Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim di atas, ulama Ushul Fiqih membedakannya
sebagai berikut;

1.1 Sebelum Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul

Para ulama Ushul Fiqih berbeda-beda pendapat tentang siapa yang menemukan,
memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai Rasul.
Sebagian ulama Ushul Fiqih dari golongan ahlussunnah wa; jamaah berpendapat bahwa pada
saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh
sebab itu, hakim adalah Allah SWT. dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’,
namun syara’ belum ada.

Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi Muhammad
belum diangkat menjadi rasul adalah Allah SWT. namun akal pun sudah mampu menemukan
hukum-hukum Allah SWT. dan menyingkap serta menjelaskannya sebelum datangnya syara’

1.2 Setelah diangkatnya Muhammad SAW. sebagai Rasul dan Menyebarkan Agama
Islam

Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa hakim adalah adalah syari’at yang turun dari Allah
SWT. yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah dihalalkan oleh Allah hukumnya
adalah halal, begitu pula yang diharamkan-Nya hukumnya haram. Juga disepakati bahwa apa-
apa yang dihalalkan itu disebut hasan, di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia.
Sedangkan segala sesuatu yang diharamkan Allah disebut qabih (buruk), yang didalamnya
terdapa kemadaratan atau kerusakan bagi manusia.

2. Tahsin dan Taqbih

Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih tentang hasan dan qabih,

 Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia, misalnya
tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan qabih adalah segala
sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia, misalnya menyakiti orang lain.
 Al-Husnu diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan dan pengetahuan.
Sebaliknya qabih diartikan sebagai sifat jelek.
 Al-Husnu adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan qabih,
merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia.
 Al-Husnu diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian di dunia
dan pahala dari Allah SWT. kelak di akhirat. Sebaliknya qabih adalah perbuatan yang
akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan, seperti maksiat, mencuri dan lain-
lain.
3. Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at

Para ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal untuk
menentukan hukum sebelum turunnya syari’at:

3.1 Menurut ahlu sunnah wal jamaah, akal tidak memiliki kemampuan untuk
menentukan hukum, sebelum turunnya syari’at. Akal hanya bisa menetapkan baik
dan buruk melalui perantaraan Al-Qur’an dan Rasul, serta kitab-kitab samawi
lainnya. Pendapat mereka didasarkan kepada firman Allah SWT. dalam surat Al-
Isra ayat 15
Ç`¨B 3“y‰tF÷d$# $yJ¯RÎ*sù “ωtGöku‰ ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù ‘@ÅÒtƒ
$pköŽn=tæ 4 Ÿwur â‘Ì“s? ×ou‘Η#ur u‘ø—Ír 3“t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/Éj‹yèãB
4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqߙu‘ ÇÊÎÈ
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya
Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat
Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Selain ayat tersebut, Allah pun berfirman dalam surat An-Nisa ayat 165. Yang
artinya: “Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu”.
Dengan mengemukakan nash tersebut, menurut ahlussunnah wal jamaah, akal
tidak bisa dijadikan standar untuk meentukan baik buruknya suatu perbuatan.
Dengan demikian, maka Allah tidak berkewajiban menetapkan suatu kebaikan
yang dipandang baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu perbuatan yang
dipandang buruk menurut akal, karena Allah mempunyai kehendak yang mutlak.
Dan berkuasa untuk menetapkan perbuatan yang tidak bermanfaat sekalipun.
Namun, menurut penelitian, semua perintah Allah pasti mengandung suatu
manfaat, sedangkan larangannya mengandung kemadaratan.
3.2 Mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik-buruknya suatu
pekerjaan sebelum datangnya syara meskipun tanpa perantara kitab samawi dan
rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehingga akal bisa menentukan
syariat. Alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang dikemukakan oleh
ahlussunnah wal jamaah yaitu dalam surat Al-Isra ayat 15, hanya mereka
mengartikan rasul pada ayat tersebut dengan arti akal.
3.3 Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat diatas. Mereka
berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan itu adakalanya baik atau buruk pada
zarnya. Syara; menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan yang baik
pada zatnya dan melarang melaksanakan perbuatan yang jelek pada zatnya.
Adapaun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan keburukannya
tidak pada zatnya, syara memiliki kewenangan untuk menetapkannya.

BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai