Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa
mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh.
Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul
fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara
ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah
yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha
(tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab
akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh
Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti
hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan
(mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang
kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian diatas maka dalam makalah ini di rumuskan masalah-

masalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Hukum Syar’i ?

2. Menjelaskan apa saja bentuk-bebtuk /pembagian Hukum Syar’ i?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut:

1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Hukum Syar’i

2. Menjelaskan bentuk-bebtuk /pembagian Hukum Syar’i

1
D. Mamfaat

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Syar’i

2.Mengetahui bentuk-bebtuk /pembagian Hukum Syar’i

Dan dengan adanya pembahasan materi ini kita semua dapat menambah pengetahuan

agama dan lebih untuk mendalami pengetahuan.

2
BAB II PEMBAHASAN
Hukum Syar'I dan Pembagiannya
A. Pengertian Hukum syar'i

 Definisi Hukum Syar’i

Menurut beberapa definisi hukum syar’i (dalam kajian ushul fiqih) menurut ulama:

 Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, didalam kitab beliau asy-


Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 3:“Seruan asy-Syari’ yang berhubungan dengan
aktivitas hamba, berupa tuntutan, pemberian pilihan atau penetapan.”
 Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah hafizhahullah, dalam kitab beliau Taysir al-
Wushul ila al-Ushul: “ Seruan asy-Syari’ yang berhubungan dengan aktivitas
hamba, berupa tuntutan, penetapan atau pemberian pilihan.”
 Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf rahimahullah, dalam kitab beliau ‘Ilm Ushul al-
Fiqh:“Seruan asy-Syari’ yang berhubungan dengan aktivitas mukallaf, berupa
tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan.”
 Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah, dalam kitab beliau al-Wajiz fi
Ushul al-Fiqh: “Seruan Allah ta’ala yang berhubungan dengan aktivitas
mukallaf, berupa tuntutan, pemberian pilihan, atau penetapan.” (Masih banyak
definisi yang disampaikan oleh ulama lain di kitab mereka yang secara umum
tidak jauh berbeda.

Jadi kesimpulan yang kita bisa diambil dari sedikit penjelasan definisi yang
disampaikan Syaikh an-Nabhani di atas:

1. asy-Syari’ maksudnya adalah Allah ta’ala. Disebut seruan asy-Syari’, bukan


seruan Allah, adalah untuk menghindarkan kesalahpahaman bahwa seruan yang
dimaksud cuma al-Qur’an. Yang benar adalah seruan tersebut mencakup al-
Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ Shahabat. Penjelasan lebih detail tentang hal ini
akan disampaikan nanti.
2. Dikatakan “berhubungan dengan aktivitas hamba” bukan “berhubungan dengan
aktivitas mukallaf” adalah untuk mencakup hukum-hukum seputar anak kecil
dan orang gila, misalnya tentang zakat atas harta mereka.

https://abufurqan.wordpress.com/tag/khithabul-wadhi/ (akses pd hari seelasa,19/09/17)

3
Hukum Syar’i adalah hukum yang berkaitan dengan perintah dan larangan Allah
terhadap manusia. Hukum syar’i tentu bidangnya lebih lengkap dan luas.
Kelengkapan ini timbul karena hukum syar’i tidak dibuat oleh manusia dan tidak
dipengaruhi oleh perbuatan manusia, murni dari Allah. Hukum ini dibuat dan
ditentukan oleh syara’ atau agama. Maka tidak ada suatu apapun dari kehidupan
manusia yang tidak diatur oleh agama Islam. Hukum Syar’i ialah hukum-hukum
Islam yang merupakan perintah dan larangan Allah dan setiap muslim mukallaf yakni
yang sudah akil baligh dan ber’akal sehat wajib baginya untuk mengetahui hukum-
hukum tersebut.

Secara Iughawy (etimologis) syariat berarti ialan ke tempat pengairan atau jalan yang
sesungguhnya harus diturut. Syariat juga berarti tempat yang akan dilalui untuk
mengambil air di sungai.

Kata syariat terdapat dalam beberapa ayat Alquran seperti dalam Al-Maidah ayat 48,
Al-Syura ayat 13, dan Al-Iatsiyah ayat 18, yang pada prinsipnya mengandung arti
“jalan yang jelas membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama Islam yang
ditetapkan untuk manusia disebut syariat, karena umat Islam selalu melaluinya dalam
kehidupan mereka di dunia. Adapun dari segi kesamaan antara syariat Islam dengan
“jalan air"terletak pada bahwa siapa yang mengikuti syariat jiwanya akan mengalir
dan bersih. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan
hewan,sebagaimana ia menjadikan syariat bagi penyebab kehidupan manusia..

Ahli ushul fiqh dan ahli fiqh berpandangan dalam mengartikan hukum syar'i tersebut.
Pihak yang pertama, mendefinisikan hukum syar'i sebagai khitab (titah) Allah yang
berhubungan dengan perbuatan makalaf yang mengandung tuntutan, kebolehan, boleh
pilih atau wadha' (yaitu mengandung ketentuan tentang ada atau tidaknya sesuatu
hukum). Sedangkan pihak kedua, mendefinisikan sebagai efek yang dikehendaki oleh
titah Allah tentang perbuatan seperti wajib, haram, dan mubah. Dan melalui
pemahamannya terhadap definisi ini ada ulama yang mengatakan bahwa hukum syar'i
itu merupakan koleksi daya upaya para fuqaha untuk menerapkan syariat atas
kebutuhan masyarakat.

https://m.facebook.com/notes/pustaka-ilmu-sunni-salafiyah-ktb-piss-ktb/3359-pengertian-hukum-dan-
pembagiannya/808475452508598 (akses pd hari Rabu,20/09/17)
Prof. DR. H. Alaidin Koto, M.A. ,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh(Jakarta PT.RajaGrafindo Persada,2009),hlm. 37-39

4
B. Pembagian Hukum Syar'i
Hukum syar’i dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Taklifiyyah (Pembebanan)
2. Wadh'iyyah (Peletakan).

1. Hukum Taklifiyyah

Yang dimaksud dengan hukum Taklifiyyah adalah hukum syar'i yang mengandung
tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang
mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.

Pada umumnya ulama sepakat membagi hukum Taklifiyyah tersebut kepada lima
bagian. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan
efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli fiqh, yaitu wajib, haram,
manduh(sunnah), makruh, dan mubah. Penjelasannya berikut ini :

a) Wajib

Yang dimaksud dengan wajib dalam pengertian hukum Islam adalah ketentuan syari'
yang menuntut para mukallaf untuk melakukannya dengan tuntutan yang mengikat,
serta diberi imbalan pahala bagi yang melakukannya dan ancaman dosa bagi yang
meninggalkannya.

Kemudian, hukum wajib ini dapat dilihat dari empat segi. yaitu:

1. Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya

2. Wajib dilihat dari segi subyek pelakunya

3. Wajib dilihat dari segi batas dan ukuran tuntutannya

4. Wajib dilihat dari segi perbuatan yang dituntutnya.

Dilihat dari segi waktu pelaksanaan, wajib itu terbagi dua, yaitu pertama wajib mutlak
dan tidak terbatas waktu pelaksanaannya. Kewajiban seperti ini dapat dilaksanakan
kapan saja. Dan selama belum dilaksanakan, walaupun yang bersangkutan mampu
melaksanakannya, ia tidak menanggung dosa. Namun, kalau sampai meninggal dunia
tidak sempat dijalankan, mukallaf tersebut terancam dengan dosa dan siksa karena
lalai terhadap kewajibannya itu.

Drs. Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam & pinata social(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1996) hlm.18-19

5
Di antara kewajiban jenis pertama ini adalah kafarah atas pelanggaran sumpah,
kemudian pelaksanaan ibadah haji dalam konteks keberangkatannya. Sedang
pelaksanaan rangkaian manasiknya, termasuk kewajiban yang terbatas waktu-waktu
pelaksanaannya.

Kedua wajib muaqat yakni terbatas waktu pelaksanaannya. Seperti shalat fardhu dan
berpuasa di bulan ramadhan. Kedua macam peribadatan ini tidak bisa dilakukan di
luar waktu-waktunya. Kalau dipenuhinya itu di luar waktu tersebut, pelaksanaannya
tidak sah, selain karena alasan-alasan syar'i.

Kemudian, dilihat dari subyek pelakunya, wajib itu juga terbagi dua, yakni wajib 'aim'
dan wajib kifa-i. Yang dimaksud dengan wajib "aini adalah tuntutan syari' bagi setiap
orang mukallaf, dan tidak bisa terpenuhi dengan perbuatan orang lain. Seperti shalat,
zakat, puasa, ibadah haji, memenuhi janji akad, menghindari khamar dan menjauhi
perjudian. Sedang wajib kifa-i adalah tuntutan syari' bagi segenap mukallaf dalam
bentuk kewajiban kelompok dan bukan kewajiban individual. Jika sebagian mukallaf
telah melakukannya, maka gugur kewajiban mukallaf lainnya. Kewajiban seperti ini
antara lain adalah, amarma'ruf nahi munkar, menyembahyangkan jenazah, mendirikan
rumah sakit dan menekuni berbagai disiplin keilmuan yang diperlukan masyarakat.“

Dilihat dari sudut ukuran kewajibannya, juga terbagi dua, yaitu wajib yang dibatasi
ukurannya dan yang tidak dibatasi, Kewajiban yang dibatasi ukurannya adalah
kewajiban yang telah ditentukan batas-batasnya oleh Syari', seperti shalat dengan
jumlah bilangan raka'atnya masing-masing dan zakat dengan ukuran nishabnya.
Sedang kewajiban yang tidak dibatasi ukurannya adalah kewajiban yang ditekankan
pada mukallaf tanpa ada batasbatas tertentu, seperti infaq di jalan Allah, tolong-
menolong atas kebaikandan lain-lain.

Kemudian, dilihat dari segi obyek perbuatannya, kewajiban juga terbagi dua, yaitu
kewajiban yang sudah tentu perbuatannya, seperti shalat dan puasa yang tidak bisa
diganti dengan perbuatan lain. Dan kedua kewajiban yang mukhayar, yakni kewajiban
yang mukallaf diberi peluang untuk memilih salah satu dari berbagai alternatif yang
diberikan Syari'. Seperti membayar kafarah atas pelanggaran sumpah dengan
alternatif hukuman memberi makan 10 orang miskin, memberi mereka pakaian, atau
memerdekakan budak.“

Drs. Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam & pinata social(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1996) hlm.19-20

6
b) Mandub (sunnah)
Secara bahasa artinya"yang diseru".Dan secara istilah :

"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentukkeharusan"

Dan suatu yang mandub (sunnah) itu apabila dijalankan atau dilakukan maka akan
mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak akan mendapat dosa.Mandub terbagi
tiga, yaitu sunah muakad, zaidah, dan fadhilah. Sunah muakad adalah ketentuan
syara' yang tidak mengikat tapi sangat penting, karena Rasulullah senantiasa
melakukannya, dan hampir tidak pernah meninggalkannya. Seperti adzan sebelum
shalat, shalat j ama'ah untuk shalat-shalat fardhu, dan dua sembahyang 'ied. Sunah
zaidah adalah ketentuan syara' yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunah muakad,
karena Rasulullah biasa melakukannya dan sering juga meninggalkannya. Seperti
berpuasa di hari senin dan kamis, serta bershadaqah kepada fakir miskin. Sedang sunah
fadhilah adalah mengikuti tradisi Rasulullah dari segi kebiasaan-kebiasaan kulturalnya.
Seperti cara beliau makan, minum, tidur dan sebagainya.

c) Haram
Haram secara bahasa artinya "yang dilarang".Dan secara istilah :
"Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk
ditinggalkan",
seperti durhaka kepada orang tua,meninggalkan sholat wajib,tidak puasa ramadhan dan
meninggal segala sesuatu yang wajib. Dan suatu yang haram itu apabila dijalankan atau
dilakukan maka akan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan akan mendapat
pahala.Secara garis besarnya haram dibagi menjadi dua yaitu :
 Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada
pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya,
membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
 Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang
datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi
haram ketika azan ]um'at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan
yang semulanya wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan
menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya.

Drs. Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam & pinata social(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1996) hlm.21
Prof. DR. H. Alaidin Koto, M.A. ,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh(Jakarta PT.RajaGrafindo Persada,2009),hlm. 46

7
d) Makruh
Secara bahasa artinya"yang dimurkai".Dan secara istilah :
"Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk
ditinggalkan"

Dan suatu yang makruh itu apabila dijalankan atau dilakukan maka tidak akan
mendapat pahala serta tidak mendapat dosa dan apabila ditinggalkan akan mendapat
pahala. Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:

1. Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada
mengerjakan, seperti merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak
sedap, dan lain sebagainya.

2. Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dahl yang melarangnya
itu zhanny, bukan qath'i. Mlsalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging
ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Makkiyah)

e) Mubah
Secara bahasa artinya "yang diumumkan dan diizinkan dengannya".Dan secara istilah
"Apa-apa yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secaraasalnya".
Seperti makan pada malam hari di bulan Romadhon.
Sesuatu yang ada kaitannya dengan perintah karena keberadaannya seperti hukum
mubah yang mengarah terhadap hal yang diperintahkan atau ada kaitannya dengan
larangan karenakeberadaannya sebagai wasilah terhadap hal yang dilarang maka bagi
hal yang mubah tersebut hukumnya sesuai dengan apa yang mubah tersebut menjadi
dasar hukum tersebut,misalkan dari hal yang wajib atau yang haram.maka hal itu tidak
jatuh ke mubah dari dasar hukumnya mubah pada asalnya. Dan mubah yang berarti
boleh, maka mubah tidak dosa dan tidak pahala apabila melakukanya.

2. Hukum Wadh'iyyah

Al-Ahkam al-wadh'iyyah adalah :"Apa-apa yang diletakkan oleh pembuat syari'at


dari tanda-tanda untuk menetapkan atau menolak, melaksanakan atau
membatalkan."

Prof. DR. H. Alaidin Koto, M.A. ,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh(Jakarta PT.RajaGrafindo Persada,2009),hlm.47-48
Al-Ushul min 'Ilmil Ushul,Asy-Syaikh al-'AllamahMuhammad bin Sholeh al-'Utsaimin (ebook) hlm. 10-11

8
Hukum Wadh'iyyah terdiri dari 2 yaitu :

1. Sah
Secara bahasa artinya yang selamat dari penyakit.

Secara istilah :

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya berakibat padanya, baik itu ibadah


ataupun akad."

 Sah dalam ibadah artinya segala sesuatu yang merupakan tuntutan ibadah
terpenuhi karenanya.
 Sah dalam hal akad seperti segala sesuatu pengaruh karena adanya akad
tersebut

Yang berakibat terhadap keberadaan hal tersebut, seperti pada suatu akad jual
beli berakibat kepemilikan barang.

Dan tidak akan sah sesuatu tanpa menyempurnakan syarat-syaratnya.

 Contohnya dalam ibadah :menunaikan sholat pada waktunya dengan


menyempurnakan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan
kewajibankewajibannya.
 Contohnya dalam akad : melakukan akad jual beli dengan memenuhi
syarat-syarat yang telah diketahui.

Jika salah satu syaratnya hilang atau ada hal hal yang mehalangi maka tidak
akan dikatakan sah.

 Contoh hilangnya syarat dalam ibadah : seseorang sholat tanpa bersuci.


 Contoh hilangnya syarat dalam akad : seseorang menjual barang yang
bukan miliknya.
 Contoh adanya penghalang dalam ibadah : seseorang sholat sunnah mutlak
pada waktu larangan.
 Contoh adanya penghalang dalam akad : seseorang menjual sesuatu kepada
orang yang wajib baginya sholat jum'at, sesudah adzan jum'at yang kedua
dari sisi yang tidak dibolehkan.

Al-Ushul min 'Ilmil Ushul,Asy-Syaikh al-'AllamahMuhammad bin Sholeh al-'Utsaimin (ebook) hlm. 11-13

9
2. Rusak / Fasid
Secara bahasa artinya yang pergi dengan hilang dan rugi. Dan secara istilah :

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik itu


ibadah atu akad."

 Fasid dalam ibadah : contohnya seperti melakukan ibadah diluar waktu


ketetapanya.
 Fasid dalam akad : contohnya seperti menjual sesuatu yang belum jelas
seperti menjual pohon mangga yang belum jelas berbuah atau tidak.

Dan semua yang fasid (rusak) dalam ibadah,maka segala sesuatu yang dilakukan
tanpa memenuhi syarat syarat dan rukun rukunya adalah haram,karena hal itu
adalah perbuatan yang melampai batas.

Fasid dan batil memiliki makna yang sama kecuali dalam dua tempat yaitu :

 Yang pertama: dalam ihrom, para 'ulama membedakan keduanya,bahwa


yang fasid adalah apabila seorang yang ihrom menyetubuhi istrinya
sebelum tahallul awal maka akan jatuh murtad keluar dari islam
 Yang kedua : dalam nikah; para 'ulama membedakan keduanya, bahwa
yang fasid adalah segala hal yang dibolehkan para 'ulama dalam ketidak
sahannya, seperti nikah tanpa wali atau seperti menikahi wanita yang masih
dalam masa `iddahnya.
Selanjutnya. ulama lain(abu zahrah) mengatakan bahwa hukum wadh'i itu ada tiga yaitu
sabab, syarath dan mani'.
1) Sabab
Sabab. sebagaimana diungkapkan para ulama fiqh, adalah sesuatu yang nampak dan
jelas yang dijadikan oleh Syari' sebagai penentu adanya hukum.” Seperti masuknya
waktu shalat yang menjadi sebab adanya kewajiban shalat Oleh sebab itu, sejauh
waktunya belum tiba. kewajiban shalat tersebut belum ada. Secara umum, sabab
terbagai dua,“ yaitu sebab yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf, seperti takut
terperosok pada perbuatan zina serta mampu untuk menikah yang menjadi sebab
wajibnya nikah.

Al-Ushul min 'Ilmil Ushul,Asy-Syaikh al-'AllamahMuhammad bin Sholeh al-'Utsaimin (ebook) hlm. 13-14
Drs. Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam & pinata social(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1996) hlm. 27

10
Kemudian. keadaan dharurah yang menjadi sebab bolehnya memakan bangkai
binatang. Kedua. sebab yang timbul dan' perbuatan mukallaf sendiri, seperti melakukan
perjalanan jauh yang melelahkan yang menjadi sebab bolehnya tidak berpuasa di bulan
ramadhan, atau melakukan akad nikah yang menjadi sebab bolehnya melakukan
hubungan intim.
2) Syarath
Yang dimaksud dengan syarath adalah sesuatu yang terwujud atau tidaknya sesuatu
perbuatan amat tergantung kepadanya. Dan kalau syarath ini tidak terpenuhi, maka
perbuatan taklifnya pun secara hukum -tidak akan terwujud.” Namun tidak berarti
bahwa setiap ada syarath ada hukum. Berbeda dengan sebab, karena setiap ada sebab
ada hukum. Syarath ada dua macam,” yaitu syarath yang menyempurnakan sebab,
seperti haul (genap setahun) yang merupakan persyaratan wajibnya zakat, sekaligus
juga menjadi penyempurna terhadap nishab, yang merupakan sebab wajibnya zakat.
Atau pencurian yang merupakan sebab wajibnya pelaksanaan had potong tangan,
namun pencurian dihitung pelanggaran kalau harta yang dicurinya itu diambil dari
tempat penyimpanaannya yang rapi serta terjaga secara ketat. Kedua,” syarath yang
menyempurnakan musabab, seperti wudhu, menutup aurat dan menghadap qiblat dalam
shalat.
3) Mani'
Mani' merupakan suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi
perbuatan hukum lain.” Adanya mani' tersebut membuat ketentuan lain menjadi tidak
dapat dijalankan. Dengan demikian, mani' itu tidak lebih dari sebab yang dapat
menghalangi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum, atau sebab yang bertentangan
dengan sebab lain yang mendukung terlaksananya suatu perbuatan hukum. Seperti
nishab itu mempakan sebab wajibnya bayar zakat. Akan tetapi, kalau pemilik barang itu
mempunyai hutang senilai nishab, atau mengurangi jumlah nishab, maka dia tidak
wajib bayar zakat. Dengan demikian, hutang itu merupakan mani' sekaligus menjadi
sebab yang merintangi pelaksanaan pembayaran zakat. Sebagaimana syarath, mani'
terbagi dua, yaitu mani' yang mempengaruhi sebab dan mani' yang mempengaruhi
musabab.” Mani' yang mempenganihi sebab adalah seperti contoh-contoh di atas. atau
pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap orang yang akan menurunkan harta
warisannya itu.

Drs. Dede Rosyada, M.A., Hukum Islam & pinata social(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1996) hlm.27-28

11
Karena pembunuhuan tersebut, ia menjadi tidak berhak atas harta waris yang diting-
galkannya. Sedang mani' yang mempengaruhi musabab adalah seperti seorang ayah
yang membunuh anaknya.
Secara hukum setiap pembunuhan harus diselesaikan dengan qishash. Akan tetapi,
karena pembunuhnya itu bapaknya sendiri, hukuman qishash menjadi gugur. Dengan
demikian posisi kebapakan menjadi mani' terhadap pelaksanaan qishash.
o Dan dari sumber lain juga mengatakan hukum wadh'I itu juga ada yang dimaksud
dengan Azimah dan Rukhshah :
a. Pengertian Azimah

Yang dimaksud dengan azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan
terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku bagi
setiap mukalaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau
pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut belum ada peraturan lain yang
mendahuluinya. Misalnya, bangkai-menurut hukum asalnya-adalah haram
dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini disebut juga dengan hukum pokok.

b. Pengertian Rukhshah

Yang dimaksud dengan rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak


dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan
azimah. Dengan kata lain, rukhshah adalah pengecualian hukum-hukum pokok
(azimah) sebagaimana disebut sebelumnya.

c. Hukum Azimah dan Rukhshah

Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan adanya Rukhshah seorang mulkalaf
diharuskan mengambil azimah, karena memang begitulah ketentuan-ketentuan
pokok dari Allah dalam mensyariatkan peraturannya. Namun, bila ada hal yang
memberatkan sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan mengambil rukhshah.
Misalnya, seseorang yang dalam keadaan terpaksa dibolehkan memakan bangkai,
yang hukum asalnya adalah haram. Artinya, dalam keadaan normal seseorang
diwajibkan untuk tidak memakan bangkai sehingga memakan bangkai itu haram
hukumnya bagi orang tersebut. Namun, dalam keadaan terpaksa orang itu diberi
kebolehan memakan bangkai tersebut. Maka dengan sendirinya hukum rulehshah
tersebut adalah mubah. Ketentuan semacam ini dapat dilihat dalam firman Allah
surat Al-Baqarah ayat 173 yang membolehkan kita memakan apa yang
diharamkan ketika terpaksa. Begitu juga ayat 201 surat Al-Nisa' yang
membolehkan kita mengqashar shalat ketika sedang dalam perjalanan. Ketika
ayat ini menyatakan bahwa rukhshah itu hukumnya boleh bukan wajib.

Prof. DR. H. Alaidin Koto, M.A. ,Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh(Jakarta PT.RajaGrafindo Persada,2009),hlm.55-56

12
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN
Adanya Hukum Syari' dalam mensyari'atkan ketentuan-ketentuan hukum kepada
orang-orang mukallaf adalah dalam upaya mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi
kehidupan mereka, baik melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri , hajiy, atau pun
yang tahsim'. Ketentuan-ketentuan yang dharuri adalah ketentuan-ketentuan hukum
yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara
kemashlahatan mereka. Seandainya norma-norma tersebut tidak dipatuhi, niscaya
mereka akan dihadapkan pada mafsadah dan berbagai kesukaran. Ketentuan ketentuan
dharuri itu secara umum bermuara pada upaya memelihara lima hal, yaitu agama,
jiwa, akal, harta dan keturunan.” Sedang ketentuan hajiy adalah ketentuan hukum
yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memperoleh kemudahankemudahan
dalam keadaan mereka sukar untuk mewujudkan ketentuan-ketentuan dharuri.
Sementara ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang menuntut
mukallaf untuk menjalankan ketentuan dharuri dengan cara yang paling baik. Oleh
sebab itu, ketentuan tahsini ini berkaitan erat dengan pembinaan akhlaq yang baik,
kebiasaan terpuji, dan menjalankan berbagai ketentuan dharuri dengan cara yang
paling sempurna.

B. KRITIK DAN SARAN


Kami penyusun makalah ini menyadari bahwa penulisan kami ini masih perlu
diperbaiki.Untuk itu, kritik dan saran kami harapkan demi kesempurnaan makalah
yang kami susun dikemudian hari.

13

Anda mungkin juga menyukai