Anda di halaman 1dari 9

BAB II

ISI

A. Pengertian

1. Fiqih

Secara etimologi, fiqh berasal dari kata faqqaha yufaqqhihu fiqhan yang
berarti pemahaman.1 Pemahaman sebagaimana dimaksud di sini, adalah
pemahaman tentang agama Islam. Dengan demikian, fiqh menunjuk pada arti
memahami agama Islam secara utuh dan komprehensif. (Narisudin, 2019)

Kata fiqh yang secara bahasa berarti pemahaman atau pengertian ini
diambil dari firman Allah Swt:

Artinya: ‚Mereka berkata: "Hai Syu'aib, Kami tidak banyak mengerti tentang
apa yang kamu katakan itu dan Sesungguhnya Kami benar-benar melihat
kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu
tentulah Kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang
berwibawa di sisi kami.". (QS. Hud: 91).

Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:

a. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari‟at yang berkaitan dengan


perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani
menjalankan syari‟at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang
bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur‟an dan As sunnah serta yang
bercabang darinya yang berupa ijma‟ dan ijtihad.
b. Hukum-hukum syari‟at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi
tersebut bahwa yang pertama digunakan untuk mengetahui hukumhukum
(Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu
wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari
dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum
syari‟at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat,
zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun,
kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

Menurut Hatib Rachmawan, Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan


al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm, artinya pemahaman. Jadi fiqih dapat
diartikan ilmu yang mendalam.Secara istilah fiqih adalah ilmu yang
menerangkan tentang hukum-hukum syar‟i yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Mukalaf adalah orang yang layak dibebani dengan kewajiban.

2. Qonun

Istilah qanun dalam bahasa Arab merupakan bentuk kata kerja dari qanna.
Hal ini sebagaimana penjelsan Ridwan, dalam bahasa Arab kata kerja qanun
adalah qanna yang artinya membuat hukum yang artinya membuat hukum (to
make law, to legislate). Dalam perkembangannya, kata qanun berarti hukum
(law), peraturan (rule, regulation), dan Undang-Undang (statute, code).61
Sumber lain, Efendi merujuk pada Mohd. Din, menjelaskan bahwa kanon
berasal dari kata Yunani kuno, yang berarti buluh. Oleh karenanya pemakaian
“buluh” dalam kehidupan sehari-hari pada zaman itu adalah untuk mengukur,
maka kanon juga berarti sebatang tongkat atau kayu pengukur atau penggaris.
Lebih lanjut Ridwan merujuk pada A. Qodri Azizy menjelaskan, istilah
qanun sebagai sebuah terminologi hukum sudah dipakai oleh alMawardi
dalam kitabnya al-ahkam al-Sultaniyah. Dalam praktiknya, penggunaan kata
qanun digunakan untuk menunjukkan hukum yang berkaitan dengan
masyarakat (mu’amalat bayna al-nas) bukan ibadah. Selain itu, istilah qanun
dipakai juga untuk dokumen-dokumen yang bernuansa hukum, seperti daftar
(list), rekaman pajak tanah (register and list recording land taxes).
Mahmassani dalam bukunya menyebutkan tiga macam makna qanun :
1) Kodifikasi hukum (kitab undang-undang) seperti qanun pidana Libanon
(KUHP Turki Usmani, KUH Perdata Libanon, dll).
2) Sebagai istilah padanan untuk hukum ilmu qanun, qanun Islam berarti
Hukum Islam. Qanun NAD berarti Peraturan Daerah (Perda) Nanggroe
Aceh Darussalam.
3) Undang-Undang.

3. Syari’ah

Kata syariah berasal dari bahasa Arab yang berarti peraturan atau
undangundang, yaitu peraturan-peraturan mengenai tingkah laku yang
mengikat, harus dipatuhi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Syariah itu
sendiri secara etimologi mempunyai beberapa pengertian. Dalam kitabnya
-Lisân al`Arabi- Ibn al-Mansyur mengumpulkan beberapa pengertian syariah,
diantaranya adalah masyra`ah al-maa (sumber air). Mereka menyebut sumber
air dengan ungkapan syariah jika airnya sangat berlimpah dan tidak habis-habis
(kering). Menurut alJurjani, syariah bisa juga diartikan dengan madzhab dan
thariqah mustaqimah (jalan yang lurus). Jadi secara bahasa kata Syariah
mempunyai banyak pengertian, namun yang dikehendaki dari syariah dalam
hal ini adalah pengertian secara istilah.
Menurut terminologi, kata syariah dapat diterangkan dengan dua
pengertian yaitu pengertian syariah yang bersifat umum (luas) dan yang
bersifat khusus. Menurut pengertian yang besifat umum (luas), Syariah Islam
berarti ketentuan ajaran agama Islam yang bersumber sumber Hukum Islam.
Pengertian yang bersifat umum ini menunjukan bahwa Syariah mencakup
seluruh ajaran agama Islam yang meliputi bidang aqidah, akhlaq dan
amaliyyah (perbuatan nyata). Hal ini sebagaimana dimaksudkan dalam Al-
Qurân surat Asy-Syura ayat 13: (QS: 42 ayat 13)
Menurut pengertian khusus, syariah berarti ketentuan-ketentuan atau
peraturan-peraturan agama Islam yang hanya mencakup bidang amaliyyah
(perbuatan nyata) dari umat Islam. Dalam pengertian khusus tersebut, syariah
adalah ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang mengatur segala
perbuatan serta tingkah laku orang-orang Islam. Pengertian ini meliputi dua
bagian, yaitu:

1) Ibadah, yang membahas hubungan manusia dengan Allah SWT.


(hubungan vertikal), yaitu ketentuan yang menyangkut perbuatan yang
dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan mengingat
kebesaranNya. Hal ini meliputi shalat, zakat, puasa dan ibadah haji. Dan
keempat bentuk ibadah ini diwajibkan bagi seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat.
2) Muamalah, yang membahas hubungan manusia dengan lingkungannya
(horizontal), yaitu ketentuan hukum yang mengatur perbuatan yang
dilakukan untuk menjaga tata tertib, mencegah kekacauan dan
memperoleh kemaslahatan hidup bersama dalam masyarakat. Hal ini
meliputi masalah ekonomi (jual-beli), warisan, munakahat (pernikahan),
siyasah (politik/strategi), hudud (hukuman) qadha, jinayah dan hal-hal
yang menyangkut hubungan masyarakat Islam dengan yang bukan Islam.

4. Hukum

Al-Ghazali sebagaimana dikutip Abu Zahrah melihat bahwa mengetahui


hukum (syara`) ini merupakan buah intisari (tsamrat) dari ilmu fqh dan
ushûl al-fqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini sama-sama untuk mengetahui
hukum syara` yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, tetapi
perspektifnya agak berbeda. Ushûl al-Fiqh meninjau hukum syara` dari
segi metodologi dan sumber-sumbernya, sedangkan ilmu fqh meninjau
dari segi penggalian hukumnya.
Dengan mengutip defnisi hukum yang populer, hukum menurut Ibrahim
Hosen adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu al-hukm. Menurut
bahasa, hukum artinya menetapkan atau ketetapan, memutuskan atau
keputusan. Dalam bahasa lain, hukum diartikan dengan “menetapkan
sesuatu kepada sesuatu yang lain atau meniadakannya dari yang lain.”
Secara istilah menurut ulama ushûl, hukum adalah “khitâbullâh/frman
Allah Swt yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orangorang
dewasa (mukallaf), baik berupa tuntutan (al-iqtidhâ’), pilihan (altakhyîr),
maupun bersifat al-wadh`i.”

Dari defnisi hukum menurut ulama ushûl sebagaimana telah diungkapkan


di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a) Dari kata-kata khitâbullâh dapat diketahui bahwa yang berhak


menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah Swt Swt. Dari sinilah
menurutnya muncul prinsip lâ hukma illâ lillâhi ’tidak ada yang berhak
menetapkan hukum selain Allah Swt’. Mengenai dalil hukum selain
al-Qur’ân seperti sunah, ijmâ`, qiyâs, dan sebagainya, pada dasarnya
hanyalah berfungsi sebagai pemberitahu terhadap hukum Allah Swt
Swt tersebut (mu`arrif), tidak menetapkan (ghairu mutsabbit).
b) Dari kata-kata khitâbullâh dapat dipahami bahwa hukum Islam ada
yang ditegaskan secara langsung (manshûs), baik lewat dalil al-Qur’ân
maupun al-Sunnah, dan ada yang tidak/belum ditegaskan secara
langsung, dan baru diketahui setelah digali melalui ijtihad. Kategori
pertama dikenal dengan istilah syarî`ah, dan kategori kedua dikenal
dengan istilah fqh.
c) Dari kata-kata al-muta`alliq bi af`âl al-mukallafîn, dapat diketahui
bahwa objek hukum Islam adalah tingkah laku dan perbuatan. Jadi
hukum hanya berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan
tersebut. Dengan demikian, atribut hukum hanya dapat dikenakan
pada perbuatan, tidak dapat dikenakan pada zat atau benda. Jadi
kalau dikatakan bangkai itu haram, maka maksudnya adalah yang
diharamkan itu memakannya dan memanfaatkannya.
d) Dari kata-kata al-mukallafîn, dapat diketahui bahwa perbuatan yang
dikenakan sanksi hukum adalah perbuatan orang-orang dewasa. Selain
itu, seperti anak kecil, orang gila, orang yang terlupa, orang yang
sedang tidur, dan orang yang dipaksa tidak ada sanksi hukumnya.
e) Dari kata-kata bi al-iqtidhâ’ aw al-takhyîr aw al-wadh`i, dapat
diketahui bahwa hukum Islam terbagi menjadi dua: hukum taklîf
dan hukum wadh`i. Al-iqtidhâ’ di sini ialah tuntutan.

Berikut yang dimaksud dengan tuntutan.

1. Tuntutan tegas dari kalâm nafsi untuk melakukan sesuatu dikenal


dengan istilah îjab.
2. Tuntutan tidak tegas dari kalâm nafsi untuk melakukan sesuatu
dikenal dengan istilah nadb.
3. Tuntutan tegas dari kalâm nafsi untuk meninggalkan sesuatu
dikenal dengan istilah tahrîm.
4. Tuntutan tidak tegas dari kalam nafsi untuk meninggalkan
sesuatu dikenal dengan istilah karâhah.

Hukum Islam un ada dua macam. Pertama, hukum Islam yang


ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah Swt serta
tidak mengandung pentakwilan, maksudnya ialah hukum-hukum yang
diturunkan dari dalil yang qath`i. Hukum semacam ini jumlahnya tidak
banyak dan hukum itulah yang dalam perkembangannya dikenal dengan
istilah syarî`ah. Kedua, hukum yang ditetapkan pokok-pokoknya saja,
maksudnya ialah hukum yang ditetapkan oleh dalil yang zhanni. Hukum
jenis ini jumlahnya sangat banyak, dan dapat atau perlu dikembangkan
dengan ijtihad. Hasil pengembangannya itulah yang kemudian dikenal
dengan istilah fqh.
B. Ruang Lingkup Studi Fiqih

Ruang lingkup fikih terbagi menjadi dua:

1. Fikih Ibadah

Fikih ibadah mengkaji masalah hubungan hamba dan Allah, seperti


shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah-ibadah lainnya. Tujuan dari ibadah ini
adalah mendekatkan diri kepada Allah, menjalankan perintah-Nya, menjauhi
larangan-Nya, mengharapkan ridha dari-Nya, dan dijauhkan dari api neraka.
Pada fikih ibadah ini ulama memposisikan akal tidak mampu dengan sendiri
memahami makna dan tujuan hakiki disyariatkannya ibadah, karena ibadah
merupakan kategori ghair ma’qûl al-ma’nâ (tidak bisa dicerna oleh akal). Pada
bagian ini, ulama tidak dapat melakukan ijtihad, meskipun mereka memahami
tujuan dan ilat suatu ibadah tidak bisa dijadikan analogi untuk proses ijtihad.
Allah menurunkan kewajiban ibadah dan Nabi menjelaskan secara rinci
tentang ibadah itu. Sementara manusia diwajibkan untuk melaksanakannya.

2. Fikih Muamalah dan Adat

Fikih muamalah membahas masalah hubungan sesama manusia, baik


hubungan antar individu, hubungan individu dengan masyarakat, atau
hubungan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, seperti transaksi
perdagangan, penentuan kejahatan dan sanksi, pengaturan perang dan
perjanjian, perusahaan, dan sebagainya. Tujuan utama dari fikih muamalah
adalah mengatur hubungan sesama manusia dan mewujudkan kemaslahatan
bagi mereka yang sesuai dengan prinsip syari’ah.
Fikih kategori ini menurut ulama adalah fikih yang dapat dipahami
maksud dan hikmah disyariatkannya suatu hukum oleh akal (ma’qûl alma’nâ).
Akal manusia dapat memahami hikmah dan illat dari disyariatkannya suatu
hukum muamalah dan ulama dapat melakukan ijtihad dan analogi dalam
masalah muamalah ini.
Nash yang menunjuk masalah muamalah berlaku umum dan sangat
sedikit yang dijelaskan secara rinci oleh Nabi. Hal ini menunjukkan begitu
hebatnya syari’ah Islam, sehingga dapat diterapkan dimana dan kapanpun
berada. Ulama dapat melakukan ijtihad terhadap persoalan-persoalan
kontemporer terkait dengan masalah muamalah.
Muamalat, menurut ibnu Najim, menyangkut lima hal; pertukaran harta,
perkawinan, persengketaan, pemberian kepercayaan, dan kewarisan.
Sa’id Muhammad al-Jalîdi membagi bentuk-bentuk muamalat sebagai
berikut:
a. Kepemilikan, yaitu transaksi (‘aqd) dan tindakan (tasharruf) yang
menyebabkan kepemilikan sesuatu atau manfaat. Termasuk dalam
kategori ini adalah serah terima atau pertukaran, seperti jual beli, sewa
menyewa, sharf, salam, perkawinan, muzara’ah, musaqah dan
sebagainya. Termasuk serah terima dengan niat kebaikan (tabarru’),
seperti hibah, shadaqah, wasiat, i'arah, dan sebagainya.
b. Pembatalan, yaitu tindakan yang menyebabkan pembatalan tanpa
penggantian, seperti cerai, pemutusan, pencabutan hak, pengampunan
qishash. Juga masuk kategori ini adalah pembatalan sesuatu dengan
penggantian, seperti khulu’, perdamaian utang, pengampunan qishash
dengan ganti rugi.
c. Pemberian wewenang, yaitu tindakan yang menyebabkan kebolehan
melakukan tindakan terhadap harta atau hak yang sebelumnya dilarang,
seperti pelimpahan, perwakilan, izin berdagang bagi anak kecil dan
anak dalam pengampuan.
d. Pencabutan wewenang, yaitu tindakan yang menyebabkan terputusnya
wewenang yang diberikan sebelumnya, seperti penghentian perwakilan
dan pencabutan izin bagi anak kecil dalam berdagang.
e. Kerjasama, yaitu transaksi dan kesepakatan bekerjasama baik dari
modal maupun pekerjaan atau keduanya, seperti mudharabah,
muzaraah, musaqah, dan sebagainya.
f. Pemberian kepercayaan, yaitu segala yang mengandung unsur
mengembalikan atau kerugian, seperti rahn, kafalah, hiwalah, asuransi
syari’ah dan sebagainya. (al-Jalidi)
Ruang lingkup ilmu Fiqh, meliputi berbagai bidang di dalam hukum-hukum
syara’, antara lain :
1) Ruang lingkup Ibadat, yaitu hubungan manusia dengan khaliqnya (Allah
Swt.).
2) Ruang lingkup Mu’amalat, yaitu hokum yang mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya baik pribadi maupun kelompok
3) Ruang lingkup Munakahat (Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah), yaitu Hukum
ini mengatur manusia dalam keluarga baik awal pembentukannya sampai
pada akhirnya.
4) Ruang lingkup Jinayat, ialah tindak pelanggaran atau penyimpangan dari
aturan hukum Islam sebagai tindak pidana kejahatan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi pribad, keluarga, masyarakat, dan Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Andiko Toha, M.Ag. 2013. Fiqih Kontemporer. IPB Press. Bogor


Noor Harisudin, 2019. Pengantar Ilmu Fiqih. Surabaya : Pena Salsabila.

Anda mungkin juga menyukai