Anda di halaman 1dari 14

Pengertian Ushul Fiqh

Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul ( ‫ ”) ﻝﻮﺻﺃ‬dan kata “ fiqh ( ‫) ﻪﻘﻔﻟﺍ‬
”. Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ ashal ( ‫ ”) ﻞﺻﻷﺍ‬secara etimologi berarti
“sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainya”. Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud
definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya
didasarkan “fiqh ”.

Kata “ fiqh ( ‫ ﺍ‬halitsi iges irad hqif itrA .”maladnem gnay mahap“ itrareb igolomite araces ” ( ‫ﻟﻔﻘﻪ‬
hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu:
“Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-
dalil tafsili ”. Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu
fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dan kedua tentang dalil-
dalil tafsili.

Dengan demikian “ushul fiqh ” secara istilah teknik hukum berarti : “Ilmu tentang kaidah-kaidah
yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci ,” atau dalam
artian sederhana adalah: “Kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hokum-
hukum dari dalil-dalinya”. [1]

Setelah definisi ushul dan fiqh diketahui, baik secar etimologi maupun terminologi, berikut ini
akan dikemukakan definisi ushul fiqh ( ushuliyyin ). Banyak definisi yang dikemukakan oleh
para ahli ushul fiqh. Sebagian ahi ushul fiqh menekankan pada fungsi ushul fiqh, sedangkan
yang lainya menekankan pada hakikatnya. Namun pada prinsipnya mereka sependapat, bahwa
ushul fiqh adalah ilmu yang objek kajianya berupa dalil hukum syara’ secara ijmal (global)
dengan semua permasalahanya. [2]

Pengertian Fiqih

Fikih (Bahasa Arab: ‫ ;ﻓﻘﻪ‬transliterasi: Fiqh) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam
yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan
Tuhannya.[1] Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai
pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.[2]

Fikih membahas tentang cara beribadah, prinsip Rukun Islam, dan hubungan antar manusia
sesuai yang tersurat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat empat mazhab dari
Sunni yang mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fikih disebut
Fakih.

Etimologi

Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.
Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu merupakan
ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan Sunnah.[3]
Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan hubungannya
dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.[1]
Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak literatur, bahwa fiqh adalah
"al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu
tentang hukum-hukum syari'ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci". Terdapat
sejumlah pengecualian terkait pendefinisian ini. Dari "asy-syar'iyyah" (bersifat syari'at),
dikecualikan ilmu tentang hukum-hukum selain syariat, seperti ilmu tentang hukum alam, seperti
gaya gravitasi bumi. Dari "al-amaliyyah" (bersifat praktis, diamalkan), ilmu tentang hukum-
hukum syari'at yang bersifat keyakinan atau akidah, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu kalam
atau ilmu tauhid. Dari "at-tafshiliyyah" (bersifat terperinci), ilmu tentang hukum-hukum syari'at
yang didapat dari dalil-dalilnya yang "ijmali" (global), misalkan tentang bahwasanya kalimat
perintah mengandung muatan kewajiban, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu ushul fiqh.[4]

syariah

Syariah adalah kosa kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti ”sumber air” atau ”sumber
kehidupan”[2], dalam Mukhtar al-Sihah diungkapkan sebagai berikut:[3] Syariah adalah sumber
air dan ia adalah tujuan bagi orang yang akan minum. Syariah juga sesuatu yang telah ditetapkan
Allah swt. kepada hamba-Nya berupa agama yang telah disyariahkan kepada mereka.

Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang
tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat mata. Jadi, kata demikian ini berarti jalan yang jelas
kelihatan atau ”jalan raya” untuk diikuti.[4]

Al-Qur’an menggunakan kata syirah dan syariah dalam arti agama, atau dalam arti jalan yang
jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia. Syariah sering digunakan sebagai senonim dangan
kata din dan millah yang berMakna segala peraturan yang berasal dari Allah swt. yang terdapat
dalam al-Qur’an dan hadis yang bersifat qat’I atau jelas nasnya.[5]

Sedangkan pengertian syariah Islam menurut Mahmud Syaltut adalah: syariah menurut bahasa
ialah tempat yang didatangi atau yang dituju oleh manusia dan hewan guna meminum air.

Menurut istilah ialah hukum-hukum dan aturan Allah disyariahkan buat hambanya untuk diikuti
dan hubungan mereka sesama manusia. Di sini dimaksudkan Makna secara istilah yaitu syariah
tertuju kepada hukum yang didatangkan al-Qur’an dan Rasul-Nya, kemudian yang disepakati
para sahabat dari hukum-hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nas dari al-
Qur’an atau sunah. Kemudian hukum yang diistinbatkan dengan jalan ijtihad, dan masuk ke
ruang ijtihad menetapkan hukum dengan perantara kias, karinah, tanda-tanda dan dalil-dalil.

Sedangkan syariah menurut Salam Madkur: tasyrik ialah lafal yang dikenal dari kata syariah
yang di antara Maknanya dalam pandangan orang Arab ialah jalan yang lurus dan dipergunakan
oleh ahli fikih Islam untuk nama bagi hukum-hukum yang Allah tetapkan bagi hambanya dan
dituangkan dengan perantaraan Rasul-Nya agar mereka mengerjakan dengan penuh keilmuan
baik hukum-hukum itu berkaitan dengan perbuatan ataupun dengan aqidah maupun dengan
akhlak budi pekerti dan dinamakan dengan Makna ini dipetik kalimat tasyrik yang berarti
menciptakan undang-undang dan membuat kaidah-kaidah-Nya, maka tasyrik menurut pengertian
ini ialah membuat undang-undang baik undang-undang itu dating dari agama dan dinamakan
tasyrik samawi ataupun dari pebuatan manusia dan pikiran mereka dinamakan tasyrik wa’i.[6]

Pengertian yang dikemukakan Syaltut tersebut dengan jelas telah memisahkan antara agama
dengan syariah. Manurutnya, agama (Islam) terdiri dari dua ajaran pokok yaitu akidah dan
syariah. Di mana syariah lebih dikhususkan pada persoalan amaliah. Lebih lanjut, masih menurut
Syaltut, aspek akidah merupakan pondasi tempat tumbuh dan berkembangnya syariah,
sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus tumbuh dari akidah itu.

Definisi syariah tersebut menunjukkan bahwa syariah sebagai ketentuan yang mengatur
persoalan-persoalan amaliah terdiri dari dua kategori; pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang
secara langsung ditetapkan oleh syari’. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak
berubah, karena tidak ada yang punya wewenang merubahnya kecuali Allah.

Sedangkan istilah syariah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan norma-
norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyrik, yaitu proses menetapkan dan membuat
syariah.[7]

Lebih lanjut terminologi syariah dalam kalangan ahli hukum Islam mempunyai pengertian umum
dan khusus. Syariah dalam arti umum merupakan keseluruhan jalan hidup setiap muslim,
termasuk pengetahuan tentang ketuhanan.
Syariah dalam arti ini sering disebut dengan fikih akbar.[8] Sedangkan dalam pengertian khusus
berkonotasi fikih atau sering disebut dengan fikih asghar, yakni ketetapan hukum yang
dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syariah tertentu tentang al-Qur’an
dan sunah dengan menggunakan metode ushul fikih.

Berdasarkan pengertian syariah itulah terbentuk istilah tasyrik atau tasyri’ Islami yang berarti
peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-prinsip yang
terkadung di dalam al-Qur’an dan sunah. Peraturan perundang-undangan tersebut terumuskan ke
dalam dua bagian besar, yakni bidang ibadah dan kedua bidang muamalah.

Fikih ibadah meliputi aturan puasa, zakat, haji dan sebagainya yang ditujukan untuk mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Adapun fikih muamalah diantaranya mengatur
tentang perikatan, sangsi hukum. Dan aturan selain yang diatur dalam fikih ibadah dan bertujuan
untuk mengatur subjek hukum baik secara indiviual maupun secara komunal.

Catatan Kaki

[1]Muhammad bin Saad bin Muni Abu Abdullah al-Bishriy al-Zuhri, al-Thabaqat al-Kubra (Dar
al-Shadr, Beirut, tt.), h. 307.

[2]Muhammad bin Makram bin Manzur al-Afriqiy atau Ibnu Manzur, Lisan al-Arab (Dar al-
Shadr, tth.), h. 40-44.

[3]Muhammad bin Abi Bakr bin Abd al-Qadir a-Raziy, Mukhtar al-Shihah (Maktabah Lubnan
Nasyrirun, Beirut, 1995), juz 1, h. 141.

[4]Ibnu Munzur, Op.Cit.

[5]Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 200.

[6]Muhammad salam Madkur, al-Madkhal li al-Fiqh al-Islami, h. 44.

[7]Ibnu Munzur, op.cit., jil. 8, hal. 157.

[8]Dalam pengertian keagamaan, kata syariah berarti jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai
agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam Makna yang kongrit.
Sumber: https://www.tongkronganislami.net/definisi-makna-dan-pengertian-syariah/

Hukum islam

Islam

Pengertian Hukum Islam (Syari'at Islam)


Pengertian Hukum Islam (Syari'at Islam) - Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin
(kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa
ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh
kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah .

Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang
diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang
berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan
amaliyah. Hukum Islam

Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya
manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya
sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam
seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.

Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun


memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah,
akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.

b. Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut
(ditaati) oleh seorang muslim. Dari definisi tersebut syariat meliputi:

1. Ilmu Aqoid (keimanan)


2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah)
3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan)
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat
yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh
seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-
hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).

Perbedaan Ushul Fiqih ada fiqih

Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih


Juni 4, 2015 · by kholid mawardi · in agama. ·

 Pengertian Ushul Fiqih

Ushul menurut bahasa artinya yang menjadi tempat berdirinya sesuatu, seperti akar adalah
sebagai penguat tegaknya pohon, begitu juga ushul fiqih., jadi ushul fiqih menurut bahasa adalah
pokok-pokok dari fiqih. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Haromain dalam kitab
Waraqat, yaitu :

“Kata-kata al-ashlu yang merupakan bentuk mufrad dari bagian pertama (yakni ushul) adalah
sesuatu yang selainnya dapat didirikan di atasnya. Seperti (ungkapan) ashul jidar atau asal
tembok yang berarti fondasinya dan ashlus syajaroh atau asal pohon yang yang berarti
pangkalnya yang tertancap di dalam tanah”.

Dan menurut Imam Baidhowi


‫معرفة دالئﻞ ﺍﻟﻔﻘﻪ إجماال وكيﻔية ﺍالستﻔادة منها وحاﻝ ﺍﻟمستﻔيد‬
Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan
sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta kondisi (prasyarat)seorang mujtahid

Kata ‫ ﺍﻟﻔرع‬menurut bahasa yang artinya yang berdiri pada sesuatu, seperti cabang atau ranting
pohon yang berada di atas asal atau akar, begitu juga ‫ ﺍﻟﻔرع‬dikatakan furu’ fiqih karena hokum-
hukumnya merupakan cabang dari ushul fiqih.

Ushul menurut istilah artinya dasar/dalil atau ‫ قاعده‬yang bersifat keseluruhan, contoh: pada
dasarnya ketetapan wajib sholat adalah karena adanya dalil, yaitu firman Allah SWT :

َ‫ص ََلة‬
َّ ‫َوﺍَقِ ْي ُم ْﻮﺍﺍﻟ‬

Dan dirikanlah shalat.(QS A-Nisa)

Dan bolehnya memakan bangkai bagi yang terpaksa karena tidak adanya makanan lain, hal ini
bertentangan dengan hokum asal atau Qa’idah kulliyah bahwa setiap bangkai haram hukumnya.

Secara garis besar ushul fiqih itu adalah dasar bagi ilmu fiqih, seperti contoh:
Perintah ‫ ﺍﻷمر‬itu pada hakikatnya menunjukkan wajib, ‫ ﺍﻟنهي‬itu menunjukkan hukum haram, dan
secara mutlak apa yang di kerjakan nabi, ijma’ dan qiyas merupakan hujjah.

Jadi, ilmu ushul fiqih pada hakekatnya adalah suatu metodologi hukum islam (suatu metode yang
memuat prosedur dan teknik bagaimana hukum syari’at dapat dirumuskan untuk pedoman hidup
dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum islam tersebut).

 Pengertian Fiqih

Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123;

“Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber
“tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya
bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan
larangan Allah).”

Hadits Nabi :

“Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya
diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. Bukhari-
Muslim).

Menurut bahasa “fiqih” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau
paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sinilah ditarik perkataan fiqih, yang memberi
pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan menurut istilah adalah mengetahui hukum syara’ yang diambil dari dalilnya yang
terperinci. Menurut sebagian ulama juga didefinisikan bahwa fiqih merupakan pengetahuan
tentang hukum syara’ yang jalan penetapannya adalah ijtihad. Seperti mengetahui bahwa niat
pada wudhu adalah wajib, witir adalah sunnah dan lain sebagainya. Yang di maksud dengan
dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum
tertentu.

 Perbedaan Antara Ushul Fiqh dan Fiqih

Sebagaimana dalam pembahasan tentang definisi Ushul Fiqh di atas, terdapat perbedaan makna
etimologi antara kata ‘usul’ dan kata ‘fiqh’. Perbedaan lebih konkrit dalam makna
terminologinya dapat dipaparkan sebagai berikut :
a. Ilmu Ushul Fiqh merupakan dasar-dasar bagi usaha istinbath hukum, yakni menggali hukum-
hukum dari sumber-sumbernya. Oleh itu, setiap mujtahid wajib mengetahui betul-betul ilmu
Ushul Fiqh. Ini tak lain kerana tujuan ilmu ini adalah untuk mengimplementasikan kaedah-
kaedah Ushul Fiqh terhadap dalil-dalil terperinci yang mengandung hukum-hukum cabang di
dalamnya. Dengan demikian, kajian Ushul Fiqh sesungguhnya terfokus pada kompetensi orang-
orang tertentu saja kerana tidak semua orang dapat mengkaji serta mengimplementasikannya.Hal
ini berbeda dengan kajian ilmu fiqh.
Jika ilmu Ushul Fiqh mesti diketahui oleh seseorang mujtahaid, maka ilmu fiqh harus dipahami
oleh mukallaf (orang-orang yang dikenakan beban hukum) secara keseluruhan. Ini kerana ilmu
fiqh merupakan kajian tentang ketentuan hukum bagi setiap perbuatan manusia. Dengan
ketentuan hukum inilah beragam perdebatan dan persengketaan di kalangan masyarakat dapat
dielakkan.
b. Pembahasan Ushul Fiqh berkenaan dengan dalil-dalil syar‘i yang bersifat global (‫)كلي‬. Ia
bertujuan untuk membuat rumusan kaedah-kaedah yang mempunyai fungsi memudahkan
pemahaman terhadap hukum-hukum beserta sumber-sumber dalilnya secara terperinci. Sebagai
contohnya adalah beberapa kajian seperti berikut :

1) Kajian tentang kedudukan dan tingkatan dalil, baik dalil tersebut mempunyai taraf qath’i
(hanya mempunyai satu interpretasi) ataupun dhanni (multi-interpretasi).

2) Kajian tentang indikasi hukum lafadz perintah (‫ )ﺍﻷمر‬dan lafadz larangan (‫ )ﺍﻟنهي‬baik dalam al-
Qur’an ataupun al-Hadits. Dalam kaitan ini kajian Ushul Fiqh menemukan rumusan bahwa
lafadz perintah menunjukkan hukum wajib sedangkan kata larangan menunjukkan hukum haram
sejauh tidak ada indikasi (‫ )قرينة‬yang menyatakan sebaliknya. Oleh itu, kajian ini kemudiannya
dapat melahirkan kaedah Ushul Fiqh sebagai berikut :
‫ﺍﻷ ﺻﻞ في ﺍﻷمر يد ﻝ على ﺍﻟﻮجﻮب وﺍﻷﺻﻞ في ﺍﻟنهي يد ﻝ على ﺍﻟتحريم‬
Artinya: “Hukum asal daripada perintah adalah wajib sedangkan hukum asal daripada larangan
adalah haram”.
3) Kajian tentang lafadz-lafadz ‘am atau lafadz-lafadz khas baik dalam al-Qur’an maupun al-
Hadith. Kajian tentang hal ini kemudian melahirkan kaedah Ushul Fiqh:
‫ﺍﻟعام يتناوﻝ جميع ﺃفرﺍده ماﻟم يخصص‬
Artinya: “Lafadz am itu meliputi semua unit-unit di bawahnya sejauh tidak dikhususkan
[ditakhsis] oleh lafadz lain”.
Sedangkan pembahasan dalam fiqh tidaklah demikian. Pembahasan ilmu fiqh adalah berkaitan
dengan perbuatan mukallaf. Apakah perbuatan mukallaf itu dihukumi halal atau haram Apakah
perbuatan mukallaf itu sah atau batal? Dalam menentukan aspek hukum perbuatan mukallaf
tersebut digunakan dalil-dalil terperinci (‫ )تﻔصيلي‬berdasarkan pada kaedah-kaedah Ushul Fiqh
yang bersifat umum dan global (‫)إجماﻟي‬.

Tujuan

Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh

Menurut Abdul Wahab Khallaf (1942), merumuskan bahwa tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh
adalah:

1. Menerapkan kaidah-kaidah, teori, pembahasan dalil-alil secara terperinci, dalam menghasilkan


hukum syariat islam, yang diambil dari dalil-dalil tersebut. [3]
2. Untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.

3. Untuk mempeljari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.

4. Kaum muslimin harus ber tafaqquh artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum
agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang ibadah maupun muamalah. [4]

C. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqh

Ruang lingkup dalam pembahasan ushul fiqh, yaitu sebagai berikut:

1. Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik
yang disepakati maupun yang diperselisihkan.

2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahiriyah dianggap bertentangan.

3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik
yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus
dimiliki mujtahid.

4. Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya.

5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dengan cara menggunakannya dalam


mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui
pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadist). [5]

Perkembangan

Perkembangan Ushul Fiqh

1. Masa Nabi Muhammad SAW

Benih-benih ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa Rasulullah. Pada masa Nabi
Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan ilmu fiqh dikembalikan kepada Rasul. Selain itu,
dalam pertumbuhan dan pembentukannya ilmu ushul fiqh juga berpijak kepada Al-Qur’an dan
Sunnah. Namun ijtihad Nabi tidaklah dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in dan
lainnya, karena ijtihad Nabi terjamin kebenarannya, dan bila salah, seketika itu juga datang
wahyu untuk membetulkannya. Demikian demi terjaganya syariat. [6]

2. Masa Sahabat

Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum Islam
adalah para Sahabat Nabi. Pada masa ini para Sahabat banyak melakukan ijtihad ketika suatu
masalah tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat berijtihad, para sahabat telah
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu.
[7] Ijtihad mereka dilakukan baik secara perseorangan maupun secara bermusyawarah.

Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah tersebut dikenal dengan ijma’ Sahabat.
Selain itu, mereka melakukan ijtihad dengan metode qiyas (analogi) dan mereka juga berijtihad
dengan metode istishlah . Praktik ijtihad yang dilakukan para Sahabat dengan metode-metode
tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu.

3. Masa Tabi’in

Pada masa Tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan tambah
meluasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. [8] Para Tabi’in
melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah, di Irak dan di Basrah. Titik tolak para
ulama dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari suatu maslahat , sementara
yang lain menetapkan hukumnya melalui Qiyas . Dari perbedaan dalam mengistinbatkan hukum
inilah, akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah Al-Irak , Madrasah Al-Kaufah
yang lebih dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Ra’yu dan Madrasah Al-Madinah dikenal
dengan sebutan Madrasah Al-Hadits . Namun pada masa ini ilmu ushul fiqh masih belum
terbukukan.

4. Masa Imam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i

Pada periode ini, metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan demikian bertambah
banyak pula kaidah-kaidah istinbath hukum dan teknis penerapannya. Imam Abu Hanafiah an-
Nu’man (80-150 H) pendiri mazhab Hanafi. Dasar-dasar istinbathnya yaitu : Kitabullah, Sunnah,
fatwa (pendapat Sahabat yang disepakati), tidak berpegang dengan pendapat Tabi’in, qiyas
dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179 H) pendiri mazhab Maliki. Di
samping berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, beliau juga banyak mengistinbathkan hukum
berdasarkan amalan penduduk Madinah. [9] Pada masa ini, Abu Hanifah dan Imam Malik tidak
meninggalkan buku ushul fiqh.

5. Pembukuan Ushul Fiqh

Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’i
(150-204 H) pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan
ushul fiqh. Pada masa ini ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman
dengan ditandai didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad
pada masa itu. [10] Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’i yang datang
kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbath para mujtahid sebelumnya, sehingga
beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul
fiqh untuk mewujudkan metode istinbath yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum
Islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di
masa sebelumnya.

Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul
Al-Risalah (sepucuk surat) menjadi bukti bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh.
Dalam kitabnya Imam Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat
yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah.
Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh.

6. Ushul Fiqh Pasca Syafi’i

Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan
para ulama ushul fiqh secara luas. Ada yang membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa
mengubah atau mengurangi yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada juga
yang membahas bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i.

Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Salah
satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri mazhab
Hanbali. Pertengahan abad keempat ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di
bidang fiqh, dengan pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk
mazhab baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli
analisis ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushul fiqh
menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung
memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi pada zaman masing-
masing. [11]

E. Aliran-aliran Ushul Fiqh

1. Aliran Mutakalimin (Syafi’iyah)

Aliran Syafi’iyah atau sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam). Aliran ini
disebut Syafi’iyah karena Imam Syafi’i adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqih dengan
menggunakan metode ini.Aliran ini berpegang pada analisis-analisis kebahasaan ( linguistic ).
Dalam membangun teori, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik
dari naqli (Al-Qur’an dan atau Sunnah) maupun dari aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan
furu’ dan adakalanya tidak. [12] Ketidakterikatan dengan masalah-masalah furu’ yang telah ada
dari suatu mazhab, menjadikan pembahasan mereka lebih bersifat teoritis.

Para ulama Mutakallimin ini menciptakan kaidah-kaidah ushul atas tuntutan ilmiah dan
melakukan langkah-langkah secara deduktif.

[13] Deduktif merupakan sebuah cara berpikir yang dilakukan dengan cara menyusun kaidah
guna mengistinbath hukum dari narasumbernya. Namun demikian, ulama ushul tetap
mempelajari masalah fiqhiyah terlebih dahulu sebelum mepelajari ushul. Hal ini untuk
mengetahui pemikiran para mujtahid dan mengetahui metode istinbath mereka.

Diantara kitab-kitab ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:

a. Kitab Al-‘Ahd , hasil karya Al-Qadhi Abul Hasan Jabbar (wafat 415 H)
b. Kitab Al-Mu’tamad , hasil karya Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu’taziliy
asy-Syafi’iy (wafat 463 H).

c. Kitab Al-Burhan, hasil karya Abdul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-
Naisaburiy asy-Syafi’iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain (wafat 487 H).

d. Kitab Al-Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy
Syafi ‘ iy (wafat 505 H).

2. Aliran Fuqaha (Hanafiyah)

Aliran fuqaha dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’
dalam mazhab mereka. Penetapan kaidah-kaidah ushul berdasarkan hukum-hukum furu’ (hukum
yang sudah berkembang dimasyarakat) .

[14] Artinya mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap
masalah-masalah furu’ yang ada dalam mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila
terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut diubah
dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut. [15]

Diantara kitab-kitab ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut:

a. Kitab Al-Fushul fi al-Ushul, oleh Abu Bakar al-Razi yang lebih dikenal dengan sebutan al-
Jashshash (w. 370 H)

b. Kitab Al-Taqwim fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)

c. Kitab Ushul al-Sarakhsi, oleh Muhammad al-Sarakhsi (w. 430 H)

d. Kitab Kanz al-Wushul ila ma’rifat al-Ushul, oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H)

3. Aliran Gabungan

Aliran yang menggabungkan kedua metode yang dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh aliran
Syafi’iyah dan aliran Hanafiyyah. Aliran ini mengemukakan bahwa alasan-alasan yang kuat dan
juga memperhatikan penyesuaiannya dengan hukum-hukum furu’ yang telah ada. [16]

Diantara mereka itu adalah:

a. Muzhaffarudin al-Sa’ati (w. 694 H) menulis kitab Badi’u al-Nidzam . Kitab ini perpaduan
antara kitab Ushul al- Bazdawi

yang ditulis oleh al-Bazdawi dengan kitab al- Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang ditulis al-Amidi.
b. Shadr al-Syari’ah ‘Ubaidillah bin Mas’ud al-Bukhari al-Hanafi (w. 747 H) menulis kitab
Tanqih al-Ushul . Kitab tersebut merupakan ringkasan dari kitab Ushul al-Bazdawi, al-Maushul
dan Mukhtashar al-Muntaha.

PENUTUP

Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh
adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh.
Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.Ushul
fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara
mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah
tentang hal-hal tersebut.Secara garis besar objek bahasan ushul fiqih adalah sumber hukum
syara’ dengan semua seluk beluknya, Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode
penggalian hukum dari sumbernya, dan Persyaratan orang-orang yang berwenang melakukan
istinbath.

Secara rinci ushul fiqih berfungsi sebagai Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah
dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum, Menggambarkan persyaratan yang
harus dimiliki seorang mujtahid, Memberi bekal untuk menentukan hukum-hukum yang baru,
Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka
gunakan, dengan demikian kita bisa memilih pendapat mereka.

Peranan ushul fiqih terhadap pengemban fiqih Islam dapat dikatakan sebagai kerangka acuan
yang dapat digunakan sebagai pengembanganpemikiran fiqih islam.Pada hakikatnya ilmu ushul
fiqh dan ilmu fiqh itu telah ada pada saat yang bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh
belum dipandang sebagai suatu ilmu, tetapi metode-metode yang telah digunakan pada saat itu
untuk menetapkan suatu hukum yaitu dengan cara teori ushul fiqh, seperti berdasarkan Al-
Qur’an, sunah dan ijtihad. Ilmu ushul fiqh dibukukan (kodifikasi) pada masa Imam Asy-Syafi’i.
Hal tersebut ditunjukkan dengan karyanya yang berjudul Al-Risalah (sepucuk surat). Setelah
masa imam Syafi’i banyak karya-karya di bidang ushul fiqh yang bermunculan, itu menandakan
bahwa perkembangan ilmu ushul fiqh sangat pesat pada masa itu.

Daftar pustaka

Anwar, Syahrul. 2010. Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Bogor: Ghalia Indonesia

Chaerul Umam, Ushul fiqih 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 26-27

Dedi Rohayana,Ade. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press

Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana

Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh Cet-2. Jakarta: PT Logos Wacan Ilmu

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah

Karim, Syafi’i. 1997. Fiqih/Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia,

Syarifudin, Amir. 1997. Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Anda mungkin juga menyukai