HUKUM ISLAM
NAMA: IRSANDHI
NIM: H1A122172
KELAS: B
BAB III
TUJUAN HUKUM ISLAM
A. Pengertian tujuan hukum islam ( maqasdh-al syariah)
Secara etimologis, kata maqashid al-syari'ah berasal dari dua kata: maqashid dan alsyari'ah.
Kata maqashid adalah bentuk jamak dari kata maqshad yang berarti 'maksud' atau 'tujuan' (al-
Syathibi, 1997: 7; Munawwir, 1997: 1124), sedang makna kata al-syari'ahsudah dijelaskan di bab
sebelumnya (bab II), atau sering disebut juga dengan hukum Islam. Dengan demikian, secara
sederhana maqashid al-syari'ah berarti maksud-maksud atau tujuan-tujuan disayariatkan hukum
Islam.
Secara terminologis maqashid al-syariah dipahami secara variatif oleh para pakar hukum
Islam. Ibnu Asyur memahaminya sebagai 'makna-makna dan hikmah-hikmahyang diperhatikan
oleh syari' (pembuat hukum) dalam semua hal tentang penetapan hukum atau sebagian besarnya
yang tidak dikhususkan perhatiannya pada jenis hukum syarak tertentu. Termasuk dalam hal ini
sifat-sifat syariat dan tujuan umumnya danmakna-makna yang tidak luput dari perhatian tasyri'
(penetapan hukum), dan begitu juga makna. Makna dari hukum yang tidak mendapatkan
perhatian pada setiap macam hukum,tetapi hanya pada sebagian besarnya saja (al-Badawi, 2000:
47). Al-Fasi mendefinisikan maqashid al-syari'ah sebagai tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang
ditetapkan oleh syari' pada setiap hukum dari semua hukum syariat (al-Badawi, 2000: 48).
Semua ketentuan hukum Islam (syariat) baik yang berupa perintah maupun larangan,
sebagaimana tertera dalam Alquran dan sunah, mempunyai tujuan tertentu. Tidak ada satu
ketentuan pun dalam syariat yang tidak mempunyai tujuan. Hukum Islam datang ke dunia
membawa missi yang sangat mulia, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi.
1. kebutuhan Primer, kebutuhan yang harus ada untuk melakukan kemaslahatan agama dan
dunia. Jika kebutuhan tidak dipenuhi, kemaslahatan manusia akan menjadi kacau balau,
kemaslahatan tidak tercapai dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat diraih al syathibi,
1997:17 al-zuhali 1998: 1020i Zahrah 1958:370)
2. Kebutuhan sekunder, merupakan kebutuhan yang sangat dibutuhkan manusia bukan untuk
memelihara salah satu dan kebutuhan Pokok yang lima, tetapi untuk menghilangkan kesulitan
dan kesempitan Yang menjaga kelima kebutuhan pokok (Zanrah, 1958:371, al-syathibi,
1997:21) Jika dtidak diadakan hanya membawa kesulitan (al-zuhalii, 1986: 1022)
3. kebutuhan tersier, kebutuhan pelingkap bagi manusia dalam menunjang pemenuhan
kebutuhan primer dan sekunder. al-syathibi (1997:22) Tujuannya untuk munghilangkan
ketakutan dan menjaga kemuliaan dalam memeuhara kebutuhan yang luma (zahrah, 1978: 372
BAB IV
SUMBER HUKUM ISLAM
A. Pengertian Sumber Hukum Islam Kata sumber dapat diartikan sebagal 'suatu wadah yang
darinya dapat ditemukan atau ditimba norma hukum'. Sedang dalil hukum diartikan sebagai
'sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah' atau
yang menunjukkan kepada sesuatu apa pun, baik hissi (rasa) nnaupun ma'nawi (arti); atau
baik maupun buruk.
Menurut Amir Syarifuddin, istilah sumber hukum Islam hanya dapat diguiiakah untuk
Alquran dan sunah, karena keduanya memang merupakan wadah yang dapat ditimba oleh
hukum syarak, dan tidak tepat digunakan untuk ijmak dan kias, karena keduanya bukan
merupakan wadah yang dapat ditimba oleh norma hukum.
B. Pembagian Dalil dalam Hukum Islam Untuk melihat gambaran mengenai sumber atau
dalil hukum islam, dapat diiihat apa yang dikemukakan oleh al-Syathibi sebagai berlkut:
1. Dalilsyarak tidak bertentangan dengan tuntutan akal. Prinsip ini didasarkan pada
ketentuan:
a. jika dalil syarak menyalahi akai maka ia bukanlah dalil syarak untuk hamba yang
berakal;
b. jika dalil syarak menyalahi akal, berarti membebani manusia dengan sesuatu yang
tidak mampu diiakukan manusia;
c. Sumber taklif atau pembebanan hukum adalah akal;
d. hasil penelitian menunjukkan bahwa dalil syarak berlaku menurut akal.
2. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia dalam
perhitungannya.
3. Setiap dalil bersifat kulli (global). Dalil yang bersifat juz'i (parsial) disebabkan oleh hal-
hal
yang datang kemudian, dan tidak menurut asal penempatannya.
4. Dalil syarak terbagi menjadi qath'i dan zhanni.
5. Dalil syarak terdiri dari dalil n’aqli dan ‘aqli.
BAB V:
METODE FORMULASI HUKUM ISLAM
Terdapat dua bahasan pokok yang akan dibahas pada bab ini mengenai formulasi Hukum Islam yakni
masalah pemahaman lafaz dari nas Al-Qur’an dan sunah serta masalah nasakh antar dalil dalam Hukum
Islam.
1. Lafaz Al-Qur’an dan Sunah Ditinjau dari Segi Makna dan Penunjukannya
a. Lafaz ditinjau dari Segi Maknanya Apabila ditinjau dari segi makna atau kejelasan artinya, lafaz
terbagi menjadi dua bagian yaitu pertama yakni lafaz yang jelas maknanya dimana terdapat empat
tingkatan menurut Ulama Hanafiah yakni jelas, lebih jelas, sangat jelas, dan paling jelas (zhahir, nas,
mufassar, dan muhkam) dan kedua yakni lafaz yang belum jelas maknanya terbagi menjadi empat
tingkatan juga yakni tidak jelas, lebih tidak jelas, sangat tidak jelas, dan paling tidak jelas (Khafi,
musykil, mujmal, dan mutasyabih).
b. Lafaz ditinjau dari Segi Penunjukannya Cukup banyak pembahasan terkait dengan lafaz yang ditinjau
dari penunjukannya (aldalalah). Dibagian ini akan dijelaskan bagian kecil saja yang dianggap cukup
penting untuk diungkapkan dan dipahami, mengingat begitu seringnya terungkap dalam pembicaraan
hukum Islam yakni al-dalalah terutama dalam pandangan ulama Syafiah. Dalam pandangan ulama
Syafiah terdapat dua macam dalalah yakni (1) dalalah manthuq adalah penunjukan lafaz pada apa yang
diucapkan atas hukumm menurut apa yang disebut dalam lafaz itu, (2) dalalah mafhum adalah
penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya
hukum yang disebutkan.
2. Nasakh Antardalil dalam Hukum Islam
a. Pengertian nasakh Secara etimologis, kata nasakh bisa berarti izalah (menghilangkan atau meniadakan),
tabdil (mengganti), tahwil (mengalihkan), dan naqal (memindahkan atau mengalihkan). Ulama usul
mendefinisikan nasakh sebagai penghapusan syari’ (pembuat hukum) terhadap hukum syarak dengan
dalil yang datang kemudian, atau membatalkan berlakunya hukum syarak dengan dalil yang datang
kemudian, baik dengan pembatalan yang jelas atau tersembunyi secara kulil atau juz’I, demi tercapainya
kemaslahatan. Secara mudah nasakh berarti penghapusan hukum suatu dalil yang datang terdahulu
dengan hukum dalil yang datang kemudian.
b. Dasar Hukum Nasakh Secara umum, pendapat mengenai pemberlakuan nasakh terbagi menjadi dua
golongan yakni golongan yang mengakui pemberlakua nasakh dan golongan yang mengingkarinya. Dasar
hukum yang digunakan oleh golongan yang mengakui adanya nasakh adalah surat alBaqarah (2): 106; al-
Nahl (16): 101; dan al-Ra’ad (13): 39. Adapun golongan yang mengingkari adanya nasakh dalam Al-
Qur’an berusaha menafsirkan ketiga ayat diatas dengan penafsiran lain yang berbeda dengan penafsiran
yang dilakukan oleh golongan yang mengakuinya.
c. Rukun dan Syarat Nasakh Golongan ulama yang mengakui adanya nasakh mengemukakan rukun dan
persayaratan tertentu untuk dapat dilakukannya nasakh. Rukun dan persayaratan nasakh antara lain
sebagai berikut:
1) Dalil yang dinasakh (masukh), dengan syarat (a) harus berupa hukum syar’I yang bersifat ‘amali, (b)
bukan hukum kulli, sebab hukum kulli bersifat permanen, (c) tidak dibatasi waktu berlakunya, karena
kalau dibatasi waktunya maka akan berakhir ketika waktunya sudah selesai sehingga tidak perlu
dinasakh, (d) bukan hukum yang berlaku abadi, karena hukum seperti ini terus berlaku tanpa dibatasi
waktu, (e) harus lebih dulu datangnya dari hukum yang menasakhnya, dan (f) ditetapkan dengan suatu
dalil, dan hukum yang ditetapkan oleh kias tidak dapat dinasakh.
2) Dalil yang digunakan untuk menasakh (mansukh bih), dengan syarat (a) harus berupa khithab dari
pembuat hukum, (b) harus seimbang atau lebih tinggi dari yang dinasakh, dalam hal kekuatan
penetapannya, penunjukannya, dan kewajiban mengamalkannya, (c) datangnya harus lebih akhir dari
yang dinasakh, dan (d) hukum yang dijadikan penasakhnya bertentangan dengan hukum yang dinasakh
yang keduanya tidak dapat dikumpulkan atau diamalkan bersamaan.
3) Subjek yang menerika nasakh (masukh ‘anhu). Satu-satunya syarat yakni adalah cakap bertindak,
sehingga begitu datang dalil yang menasakhnya ia dapat meninggalkan hukum yang dinasakh.
4) Yang berhak menasakh (nasikh), semua ulama sepakat bahwa yang berhak menasakh adalah syari’
al-hakim (pembuat syariat yang bijaksana).
d. Macam-Macam Nasakh
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (naskh kitab bi al-Kitab)
2. Nasakh Alquran dengan sunah (naskh al-Kitab bi ai-Sunnah). Dalam hal ini ada dua golongan, yaitu:
(1) ulama ahli usui Hanaflah membolehkan menasakh Alquran dengan sunah mutawatir dan masyhur,
tetapi mereka tidak memperkenankan menasakh Alquran dengan sunah ahad dan (2) jumhur uiama
ahli usul tidak membolehkan me-nasakh Alquran dengan sunah baik yang mutawatir, masyhur
maupun ahad. Contohnya, surat al-Baqarah (2): 180 tentang wasiat yang dinasakh oleh sabda Nabi,
"Tidak ada wasiat bagi ahli waris" (H.R. al-Daruquthni).
3. Nasakh sunah dengan sunah (naskh al-Sunnah bl ai-Sunnah). Contohnya, hadis Nabi yang
diriwayatkan Muslim tentang wajibnya mandi (besar) Jika terjadi persetubuhan yang mengeluarkan
air mani, dinasakh oleh hadis Nabi yang diriwayatkan al-Bukhari-Musllm tentang wajibnya mandi
jika terjadi persetubuhan, meskipun tidak mengeluarkan air mani.
4. Nasakh sunah dengan Alquran (naskh ai-Sunnah bi ai-Kitab). Dalam hal ini terjadi perbedaan
pendapat. Ulama Hanafiah membolehkan menasakh sunah dengan Alquran, demikian juga Malik,
ulama kalam Muktazilah, dan uiama Asyariah. AI-Syafi dalam satu pendapatnya melarang nasakh
Alquran dengan sunah dan sebaltknya. AiAmidi (dari Syafiiah) membolehkan nasakh Alquran
dengan sunah jika sunah itu mutawatir. Ahmad dalam satu riwayat melarang hat ini dan dalam
riwayat lain membolehkan dengan syarat sunahnya mutawatir. Ulama Zhahiri juga membolehkan hal
ini baik sunahnya mutawatir atau ahad. Sebagai contoh adalah sunah tentang menghadap Baltul
Maqdis waktu salat dinasakh oleh Alquran surat al-Baqarah (2): 150 tentang perlntah menghadap
Masjidll Haram waktu salat.
5. Nasakh Ijmak dengan ijmak (naskh al-ijma' bi ajma') Dalam hal ini, ada ulama yang membolehkan
dan ada ulama yang melarang. Masing-masing memlliki alasan. Alasan yang membolehkan karena
Ijmak merupakan ijtihad yang hasilnya relatlf. Sedang yang melarang beralasan, jlka ijmak dibatalkan
berarti di situ terdapat kesalahan, sehingga meniadakan ijmak sebagai sumber hukum.
6. Nasakh ijmak dengan nas (naskh al-ijma' bi al-nash) atau sebaliknya Ahli usul sepakat tidak ada.
nasakh ijmak dengan naskh, karena ijmak baru ada sepeninggal Nabi, padahal sepeninggal Nabi tidak
mungkin ada nas lagi. Begitu juga jumhur ulama ahli usul tidak menyetujui nasakh nas denagn ijmak
karena berbeda tingkatannya.
7. Nasakh kias dengan kias (naskh al-qlyas bi al-qiyas) Dalam hal ini semua ulama sepakat tidak ada.
8. Nasakh kias dengan nas (naskh al-qiyas bi al-nash) atau sebaliknya Mengenai nasakh kias dengan
nas, ulama sepakat melarangnya, karena hal ini tidak mungkin terjadi. Sedang mengenai nasakh nas
dengan kias, ada dua pendapat, satu pendapat membolehkan dan satu pendapat melarang