Anda di halaman 1dari 8

JIUBJ

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi


Volume 19, Nomor 1, Februari 2019, (Halaman 27-34)
DOI 10.33087/jiubj.v19i1.548
ISSN 1411-8939 (Online) | ISSN 2549-4236 (Print)

Hukum Islam dan Perubahan Sosial


(Studi Epistemologi Hukum Islam dalam Menjawab Tantangan Zaman)
Muhammad Sulthon
UIN Sunan Ampel Surabaya
Email : sulthonproling@gmail.com

ABSTRACT
Deconstruction of Islamic law in accordance with the subject matter that is in harmony with the social dynamics
become mainstream. This deconstruction is epistemelogi idea is applied in the form of social thought Islamic
thinker Islamic law. In the Koran legislation contains general principles and legal-specific. The general principles
are the true meaning and arguments behind-specific legal provisions, sometimes explicitly stated also
accompany expressions of legal-specific. In the renewal of ideas Islamic law, substantive attention to texts that
are definitive (absolute) and zhanni (relative). The distinction between qath'i with zhanni so stressed, because in
this case it is an open space for diligence in order to respond to changing times. Deconstruction of Islamic law
seeks to find knowledge that is rooted to the moderate Islamic knowledge and adaptive to the times.

Keyword:
Ideas Islamic law, social change

PENDAHULUAN kepeloporan, karena dalam progresivisme


Kehidupan adalah sesuatu yang dinamis, inklusif termuat sifat kritis, yang kritisismenya
ia selalu berubah mengikuti irama zamannya. terlihat dalam tekanan yang kuat untuk membuat
Sementara syariah itu terbatas (al-syaria’ah distingsi-distingsi, kategori-kategori, analisis, dan
mutahaddidah), tetapi permasalahan kehidupan sebagainya. Dengan penghargaan yang besar
terus berkembang (al-waqaiq mutajaddidah). pada peran rasio, landasan progresivisme ini
Konsekuensi dari hal tersebut adalah hukum sangat penting dalam menampilkan corak
Islam bisa tertinggal dengan permasalahan Hukum Islam yang aplikatif dalam realitas
kehidupan sosial. kehidupan sehari-hari, responsif terhadap
Hukum Islam memiliki dua sifat atau dinamika perubahan dan kemajuan.
karakter, al-tsabat ( tetap ) dan al-tathawwur Nash telah selesai diwahyukan (al-
(dinamis). Al-tsabat artinya tetap, yaitu hukum Nushush Mutanahiyah), tetapi kehidupan
Islam yang tidak berubah karena perubahan berubah dan berkembang (al-waqaiq ghairu
zaman. Sifat hukum ini berkaitan dengan ibadah mutanahiyah). Muncul suatu pertanyaan, apakah
mahdah. Sedangkan tathawwur artinya dinamis, sesuatu yang dinyatakan selesai itu dapat
Hukum Islam yang karakternya seperti ini menjawab sesuatu ( aspek hukum permasalhan
berkaitan dengan muamalah. Hukum muamalah kehidupan) yang tidak pernah selesai, terus
mengikuti prinsip ibahah, artinya dalam bidang berkembang dan dinamis. Sehingga ada yang
muamalah apa saja diperbolehkan selama mengatakan hukum ketinggalan dengan
ajaran Islam tidak melarangnya atau sesuatu itu obyeknya. Fenomena yang ada adalah orang
tidak diatur secara husus. Hukum Islam yang selalu menggunakan hukum yang sudah ada,
masuk katagori muamalah sangat banyak, tanpa mau bersusah payah melihat cara
misalnya hukum pidana, perdata, politik, sosial, pengambilan suatu hukum dari sumbernya.
ekonomi, dan sebagainya. Sehingga ketika dihadapkan kepada masalah-
Gagasan dekonstruksi Hukum Islam masalah baru yang belum ada hukumnya
sesuai dengan subject matter yang selaras mengalami kesulitan.Dari sinilah dipandang
dengan dinamika perubahan sosial menjadi perlu adanya sebuah cara atau epistemologi
suatu mainsteam.Gagasan ini berkembang hukum yang berfungsi menjawab tantangan
memasuki ruang yang cenderung bersifat perkembangan zaman dan dinamika sosial.
kultural, yuridis, dan bahkan filosofis. Pemikiran Inilah yang dijadikan masalah yang diangkat
Hukum Islam progresif ini berupaya menemukan dalam penelitian ini.
pengetahuan yang mengakar mengenai ilmu Penelitian ini menggunakan pendekatan
keislaman yang moderat dan adaptif dengan yuridis, historis, dan filosofis untuk menjawab
perubahan sosial, untuk menghasilkan rumusan masalah di atas. Sementara untuk
kepercayaan atau keimanan yang puritan, yang epistemologis hukum Islam dibatasi pada qiyas
selanjutnya terimplementasikan dalam tingkah dan ijtihad.
laku yang dapat dipertanggungjawabkan secara
epistemelogis dengan mengacu pada Hukum PEMBAHASAN
Islam yang elastis atau amal yang aktif-progresif. Hukum Islam
Pengamalan Hukum Islam progresif ini menjadi Dalam studi atau kajian Hukum Islam era
betul-betul progress dengan semangat kontemporer, ada banyak hal yang

27
Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Epistemologi Hukum Islam Muhammad Sulthon
dalam Menjawab Tantangan Zaman)

menyebabkan munculnya pertanyaan : apakah suatu ilmu yang berkaitan dengan hukum agama
Hukum Islam bisa atau perlu direformasi, atau yang sifatnya hukum cabang yang dihasilkan
apakah Hukum Islam perlu untuk diperbarui dan dari penalaran dan mengambil dalil.8
dirubah sesuai degan kondisi dan tuntutan Sehingga definisi di atas mempunyai
perubahan zaman?. Penyebab munculnya pengertian bahwa fiqh bukanlah hukum agama
pertanyaan tersebut adalah karena terdapat atau hukum syara’, melainkan sebuah
penggunaan terma-terma yang mirip artinya interpretasi yang bersifat dugaan terhadap
ketika membahas Hukum Islam. Terma-terma hukum agama atau syara’. Sehingga dengan
tersebut berasal dari bahasa Arab dan sering fiqh yang hanya bersifat interpretasi dugaan
menimbulkan kesalahpahaman ketika langsung yang kuat mengenai keadaan di sekitarnya,
dipakai dalamkonteks selain bahasa tersebut.1 maka fiqh dapat berubah sesuai dengan
Supaya tidak salah paham, harus dibedakan keadaan tersebut.
antara syariah dan fiqh.2 Adanya kekaburan penggunaan istilah
Problem yang muncul adalah dalam syariah dan fiqh dapat dilihat dalam literatur
bahasa aslinya atau bahasa Arab kedua terma Barat misalnya, istilah Islamic Law dipakai untuk
di atas artinya berbeda, sementara penggunaan syariah dan juga fiqh. Hal ini terjadi pula pada
dalam bahasa Indonesia orang sering literatur bahasa lain, seperti Islamistise Recht
menyamakannya. Banyak pendapat para ahli dalam bahasa Belanda, Islam Bukuku dalam
yang mencerminkan adanya perbedaan dua bahasa Turki, dan Hukum Islam dalam bahasa
terma di atas. Misalnya Syaltout mengatakan Indonesia.
bahwa syariah adalah sebuah aturan yang Kata Hukum Islam sama sekali tidak
dibuat Allah untuk dipatuhi hamba-hamba-Nyai.3 ditemukan dalam al-Quran dan literatur hukum
Pendapat hampir sama disampaikan oleh Faruq dalam Islam, yang ada dalam al-Quran adalah
Nabhan yang mengatakan syariah adalah kata syariah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar
sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba- dengannya. Atau yang biasa digunakan dalam
Nya. Sedangkan menurut Manna’ al-Qathan, literatur hukum dalam Islam adalah syariah
syariah berarti segala ketentuan Allah yang Islam, fiqh Islam dan hukum syara’.9
disyariatkan bagi hamba-hamba-Nya baik Dengan demikian kata Hukum Islam
menyangkut akidah, ibadah, ahlak maupun merupakan istilah khas Indonesia yang agaknya
muamalah.4 Dengan demikian dapat disimpulkan diterjemahkan secara harfiyah dari term Islamic
bahwa syariah itu identik dengan Agama.5 Jadi Law dari literatur Barat. Dalam penulisan ini
syariah adalah ajaran Islam yang sama sekali diketengahkan dua pengetian Hukum Islam oleh
tidak dicampuri oleh adanya nalar manusia. dua ahli, yaitu Hasbi al-Shiddiqi dan Amir
Syariah adalah wahyu Allah secara murni yang Syarifuddin. Menurut ahli yang pertama Hukum
bersifat tetap, tidak bisa berubah dan tidak boleh Islam adalah hasil upaya yang dikumpulkan oleh
diubah oleh siapapun kecuali oleh yang maha ahli fiqh dalam melaksanakan syariah yang
mutlak yakni Allah sendiri. berkesesuaian dengan kondisi masyarakat.
Secara semantis kata fiqh bermakna Nampaknya apa yang disampaikan oleh beliau
mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan ini senafas dengan pengertian fiqh..
baik.6 Sedangkan secara terminologis, fiqh Sedangkan ahli yang kedua, Amir
menurut Abu Zahrah artinya mengetahui segala Syarfuddin berpendapat, jia hukum dikaitkan
hukum agama yang bersifat praktis yang digali dengan Islam akan mempunyai pengertian
dari sumber-sumbernya dengan terperinci.7 seperangkat aturan yang bersumber dari Allah
Sementara al-Amidi berpendapat fiqh adalah dan Rasul-Nya mengenai perbuatan manusia
yang sudah mencapai derajat mukallaf yang
diyakini berlaku dan mengikat semua muslim.
1
Ahmad Minhaji, “Reformasi Hukum Islam”, Aula,Vol Dari pengertian yang disampaikan tersebut,
III, No. 2, 1994, hlm. 67.
2 dapat ditarik pengertian bahwa definisi tersebut
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT meliputi hukum syariah dan juga hukum fiqh,
Raja Grafindo, cet. XIII, 2013, hlm, 45-51. karena kedua kata tersebut masuk dalam
3
Hasbi As-l Shiddiqi, Fasfafah Hukum Islam, cet. IV, definisi.10
Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm.21.
4 Dari dua pendapat tersebut dapat
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet. V,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2013, hlm. 7. dikatakan bahwa Hukum Islam itu dikatakan
5
Lebih jauh Muhammad Daud Ali mengatakan, tetap dan tidak berubah manakala yang
bahwa syariah adalah ketentuan-ketentuan atau hukum- dimaksud itu syariah. Yaitu ajaran Allah dimana
hukum yang ada dalam al-Quran dan hukum-hukum yang kebenarannya bersifat mutlak, lengkap dan
ada dalam Hadis Nabi Muhammad SAW. Lihat: Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia,hlm. 42-55.
6
Abu al-Hasan Ahmad Faris bin Zakariya, Mu’jam 8
Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Maqayis al-Lughah. Mesir:Musthafa al-Babi al-Halabi, 1970, Kairo: Muasassah al-Halabi, i967, jilid I, hlm.8.
9
jilid II, hlm. 442. Fathurrahman Djamil, op cit, hlm. 11.
7 10
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. Mesir: Dar Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Hukum
al-Fikr al-Arabi, 1958, hlm. 56. Islam, cet. III, Padang:Angkasa Raya, 2005, hlm.19.

28
Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Epistemologi Hukum Islam Muhammad Sulthon
dalam Menjawab Tantangan Zaman)

sempurna. Semntara kalau dikatakan Hukum dibayar dengan padi, jagung, biji-bijian lain,
Islamitu dapat berubah dan dikontektualisasikan bahkan dapat berupa susu, daging, ikan,
dengan situasi, konsisi dan zaman, maka yang ataupun komoditi lainnya.
dimaksud dengan Hukum Islamyang demikian Perubahan tersebut, menurut Ibnu al-
adalah Hukum Islam yang mempunyai arti fiqh, Qayyim didasarkan pada semangat yang
yaitu sebuah hasil dari ijtihad dan interpretasi menjiwai nas (teks syar’i) tentang zakat fitrah
ulama terhadap syariah dimana kebenarannya yang mengacu pada potensi ekonomi wilayah
bersifat relatif. Hijaz (Makkah, Madinah dan sekitarnya)
adalah berupa gandum, anggur, kurma dan
Elastisitas Hukum Islam kismis. Jenis-jenis komoditas tersebut tidak
Menurut Ibnu al-Qayyim transformasi selalu dikenal di wilayah lain, bahkan banyak
hukum Islam secara faktual tidak secara wilayah yang tidak mengenal sama sekali
kebetulan dan terumbar liar,melainkan berjalan komoditas tersebut. Oleh karena itu, yang
secara konsinten mengikuti prinsip dasar yang dijadikan standar baku adalah nilai ekonomi
mapan.Transformasi Hukum Islam terjadi dan nilai konsumtif dari komoditas tekstual
selaras dengan transformasi waktu, ruang, tersebut, bukan pada jenis komoditas yang
keadaan, motivasi dan tradisi.11 tertulis secara tekstual.
1. Prinsip Waktu
Prinsip ini mengacu pada urgensi 3. Prisnsip Keadaan
dimensi waktu sebagai faktor penyebab Prinsip ini selaras dengan dengan
terjadinya transformasi Hukum Islam. Namun transformasi keadaan. Prinsip ini mengacu
demikian, Ibnu al-Qayyim tidak menyajikan pada urgensi keadaan sebagai kunci
keterangan lebih lanjut perihal konsep waktu penyebab transformasi Hukum Islam. Untuk
yang dimaksudkan. Walaupun demikian, memperkuat prinsip ini, Ibnu al-Qayyim
melalui contoh kasus yang dijadikan menyajikan contoh transformasi hukum
pendukungnya dapat diduga bahwa konsep thawaf bagi wanita yang sedang haid.
waktu yang dimaksud adalah transformasi Berdasarkan panduan hadis
waktu dari waktu damai ke waktu perang, dari Rasulullah yang artinya ”Lakukanlah apa saja
waktu normal cukup pangan ke waktu yang dilakukan oleh haji pada umumnya,
peceklik dan kelaparan. Misalnya larangan kecuali thawaf”. Pada dasarnya thawaf itu
melaksanakan hukuman tindak pidana terlarang bagi wanita yang sedang haid.
pencurian pada waktu perang. Hukuman bagi Namun demikian, karena terjadi perubahan
pencuri dalam keadaan normal adalah keadaan, maka wanita yang sedang dalam
potong tangan. Tetapi pada kenyataannya keadaan haid pun diperbolehkan
Rasulullah melarang pelaksanaan hukuman melaksanakan thawaf. Thawaf wanita dalam
pidana potong tangan pada waktu perang.12 keadaan haid seperti ini tetap dinilai sah
Ini kemudian diindahkan dan dilestarikan oleh tanpa harus membayar dam (denda).
para sahabat seperti Umar bin Khattab, Abu Penetapan hukum yang demikian, didasarkan
Darada’, Huzaifah dan lainnya. pada pemahaman terhadap hadis tentang
Latar belakang pelarangan ini pelarangan thawaf bagi wanita haid tersebut
didasarkan pada kekhawatiran terjadinya adalah ditujukan kepada audiensinya yang
ekses yang lebih parah yang tidak disukai dalam keadaan normal dan mampu
Allah dengan pelaksanaan hukuman tersebut melaksanakannya dengan mencari alternatif
dibandingkan dengan membatalkan atau lain. Sedangkan jika keadaan telah
menundanya. mengalami transformasi dan tidak mungkin
mencari alternatif penyelesaiannya, maka
2. Prinsip Ruang hukumnya pun mengalami transformasi
Prinsip ini pada urgensi ruang sebagai pula.13
kunci trnsformasi Hukum Islam yang
didasarkan pada kasus-kasus penyelesian 4. Prinsip Motivasi
hukuman pidana klasik. Kasus-kasus yang Prinsip ini menempatkan motivasi pada
dijadikan landasan utuk menjelaskan posisi strategis terjadinya transformasi
transformasi ruang sebagai kunci penyebab hukum. Contoh kasus dalam prinsip ini
terjadinya transformasi hukum antara lain adalah pemberian kelebihan uang atau
pembayaran zakat fitrah sesuai dengan barang dari kreditur kepada debitur, jika
potensi ekonomi wilayah setempat motivasinya untuk dijadikan sebagai
masyarakat muslim. Artinya zakat fitrah dapat ungkapan rasa terimakasih tanpa ada
transaksi dari kedua belah pihak terlebih
dahulu sebelum akad kredit adalah
11
Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, juz 3. Mesir: diperbolehkan. Artinya, boleh bagi pemberi
Maktabah Tijariyah al-Qahirah, 1955,hlm. 33.
12
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid IV, 1998.
13
Bandung:Dahlan Press, hlm. 142. Ibnu al-Qayyim, Op. Cit, hlm. 16

29
Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Epistemologi Hukum Islam Muhammad Sulthon
dalam Menjawab Tantangan Zaman)

dan halal bagi penerima. Namun demikian, haram kepala binatang yang lain seperti
jika motivasinya adalah untuk dijadikan kepala burung, ikan, dan lain-lain.
sebagai pemberian wajib yang ditransaksikan Dengan demikian Ibnu al-Qayyim
sebelumnya, maka hukumnya berubah tegas-tegas berprinsip bahwa penetapan
menjadi haram bagi pemberi dan hukum tentang perilaku yang sudah
penerimanya. Secara sosiologis, motivasi mentradisi harus didasarkan pada rasa
seseorang atau masyarakat untuk melakukan keadilan hukum tradisi, selagi panduan syara’
sesuatu tindakan hukum ada beberapa dalam keadaan netral atau vakum.
kemungkinan. Tindakan itu dilakukan untuk Secara sosiologis, tradisi atau istiadat
penyesuaian diri, mendapatkan imbalan atau merupakan bentuk kontrol sosial tertua
menghindari sanksi. Untuk menjaga dibanding yang lain.Tradisi merupakan
hubungan baik dengan anggota masyarakat seperangkat prosedur yang muncul secara
lainnya, kepentingan pribadi yang bertahap dari generasi kegenerasi lainnya
menguntungkan dan faktor penjiwaan dan sampai menjadi keyakinan sosial.16
penghayatan nilai dari tindakan hukum itu
sendiri sebagai motivasi tertinggi dan Epistemologi Hukum Islam Dalam Menjawab
termulia.14 Perubahan Zaman
Dengan demikian, motivasi pelaku 1. Ijtihad
suatu perilaku tertentu karena perbuatan itu Dinamika sosial dan zaman terus
sendiri yang secara inheren memiliki nilai berubah. Sementara al-Quran dan Hadis
esensial baik atau buruk. Namun demikian, sudah selesai turunnya. Sehingga diperlukan
menurut persepsi Hukum Islam, nilai suatu epistemologi Hukum Islam untuk
perbuatan dan perilaku itu ditentukan oleh menjawab problematika kehidupan yang
panduan wahyu, dalam hal ini panduan belum tercover oleh al-Quran dan Hadis
wahyu selaras dengan panduan nalar dan secara jelas. Disinilah pentingnya ijtihad
panduan indrawi. Oleh karena itu, motivasi Hukum Islam yang dengannya penggalian
perilaku karena perbuatan itu sendiri juga dan penetapan hukum dapat dilakukan
tercakup perambahan jaringan religius secara maksimal dengan berusaha
ilahiah.15 menangkap makna dan pesan al-Quran dan
Hadis.17
5. Prinsip Tadisi Keberadaan Hukum Islam seringkali
Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa tidak dibarengi dengan pemahaman yang
transformasi Hukum Islam itu selaras dengan memadai terhadap substansinya melalui cara
transformasi tradisi. Prinsip ini memberi ijtihad. Sehingga akibat yang muncul adalah
posisi terhormat bagi tradisi sebagai adanya stagnansi pada ilmu-ilmu keislaman,
pemegang kunci transformasi Hukum Islam. hususnya yang berkaitan dengan Hukum
Artinya, jika terjadi perubahan tradisi, Islam. Corak yang muncul dari pemikiran
perubahan itu akan diikuti oleh perubahan Hukum Islam Seperti ini adalah legal
Hukum Islam. Untuk memperjelas prinsip formalistik. Hal itu sudah lama terjadi,
tradisi dalam konteks transformasi hukum terutama setelah abad 10 M. Pemahaman
Islam ini Ibnu al-Qayyim menyampaikan teori yang mengatakan bahwa fiqh yang ada
“ Transformasi Hukum Suatu Kasus sudah mencakup hukum-hukum Allah telah
Berdasarkan pada Perilaku Tradisi, Amal menghambat usaha ijtihad, dan sebaliknya
Urf”. tradisi taqlid buta tumbuh secara subur.
Secara aplikatif, prinsip ini dapat Kondisi seperti ini semakin parah ketika
dicermati pada kasus transformasi penetapan Hukum Islam yang merupakan hasil dari
hukum suatu tindakan dan perilaku yang interpretasi nash dianggap teks yang
didasarkan pada perilaku dan tindakan otoritatif. Padahal tidak jarang, teks tersebut
tradisi. Ibnu al-Qayyim menyatakan bahwa hanya merupakan komentar atau bahkan
apabila ada masyarakat yang bersumpah mungkin komentar atas komentar sehingga
pantang atau bersumpah tidak mau makan teks pertama justru menjadi hilang. Pada
kepala yang secara tradisi dimaksudkan gilirannya, rumusan Hukum Islam kehilangan
untuk tidak makan kepala biri-biri, maka relevansinya dengan realitas kehidupan
dapat ditetapkan tidak boleh ( haram) bagi praktis.18
mereka makan kepala biri-biri, tetapi tidak

16
Karl Manheim, Sosiologi Sistematis, Cet. I,
terj.Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 143.
14 17
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Lihat: Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 237- Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago: Chicago
240. University Press, 1980, hlm. 6.
15 18
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai John L.Esposito, The Islamic Treat, terj. Alawiyah
Aspeknya, Jilid II, Jakarta:UI Press, 2002, hlm. 85. Abdur Rahman, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 46.

30
Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Epistemologi Hukum Islam Muhammad Sulthon
dalam Menjawab Tantangan Zaman)

Dalam dinamika historitas Islam, ijtihad pada masa sekarang dapat dilakukan melalui
sebagai media dinamisasi Hukum Islam dua cara, yaitu ijtihad intiqa’i dan ijtihad
sangat progresif, bebas tanpa adanya aturan insya’i.21
formal yang mengikutinya. Namun dalam a. Ijtihad Intiqa’i atau Ijtihad Tarjihi
perkembangannya, ulama ushul fiqh Yang dimaksud dengan Ijtihad
membuat aturan-aturan yang diantaranya intiqa’i atau ijtihad tarjihi adalah ijtihad
berupa pembatasan ruang lingkup dan yang dilakukan secara individu maupun
syarat-syarat ijtihad. Secara garis besar, kelompok dalam rangka menyeleksi dan
wilayah ijtihad ini meliputi dua hal: pertama, memetakan pendapat ulama pada masa
hukum-hukum yang tidak ada petunjuk lalu yang berkaitan dengan suatu jenis
nashnya sama sekali; dan kedua, hukum- masalah yang termuat dalam kitab-kitab
hukum yang ditunjuk oleh nash zhanny. fiqh, dari penelusuran tersebut lalu dipilih
Sedangkan hukum-hukum yang telah ditunjuk mana pendapat yang paling kuat dan
dengan qath’i al-dalalah tidak ada sedikitpun sesuai dengan perkembangan zaman.
peluang bagi ijtihad.19 Ada kemungkinan pendapat ulama atau
Pembatasan terhadap lapangan mujtahid terdahulu yang berkaitan dengan
hukum yang boleh dilakukan ijtihad dan tidak suatu masalah tertentu itu tidak sama.
boleh ijtihad sebenarnya adalah hal yang Menyikapi masalah seperti ini mujtahid
baik. Begitu pula persyaratan-persyaratan muntaqi berusaha mencermati,
bagi seorang mujtahid juga baik, supaya mempertimbangkan dan menyeleksi dalil
orang hati-hati dalam merumuskan hukum. 20 dan berbagai argumentasiyang dibangun
Namun disisi lain, dibatasinya lapangan dari masing-masing pendapat, setelah itu
ijtihad menyebabkan pembaruan Hukum langkah berikutnya adalah membuat
Islam bersifat parsial ad hoc. Karena untuk preferensi terhadap pendapat yang dinilai
mewujudkan pembaruan secara universal lebih kuat dan dapat diterima. Sepertinya,
diperlukan adanya pemberian ruang gerak mujtahid tipe ini hampir sama dengan ahlu
ijtihad seluas-luasnya. al-tarjih dalam pengelompokan tingkatan
Dalam ijtihad, teks al-Quran dan Hadis mujtahid yang disampaikan ulama atau
dapat dipahami untuk digeneralisasikan ahli ushul fiqh pada umumnya.22
sebagai prinsip-prinsip dan bahwa prinsip- Apa yang dilaksanakan ahlu al-
prinsip tersebut lalu dapat dirumuskan tarjih pada masa kebangkitan kembali
menjadi aturan-aturan yang baru. Dalam hukum Islam berbeda dengan kegiatan
mekanisme kerja ijtihad meliputi pemahaman tarjih pada masa kemunduran Hukum
teks dalam keutuhan konteknya di masa Islam. Pada masa kemunduran Hukum
lampau, pemahaan situasi baru yang sedang Islam, tarjih diartikan sebagai kegiatan
terjadi sekarang, dan perubahan aturan- yang tugas pokoknya adalah menyeleksi
aturan hukum yang terkandung didalam teks. pendapat para ahli fiqh di lingkungan
Reformulasi metode ijtihad tersebut mazhab tertentu. Artinya ruang lingkup
dimanfaatkan sebagai upaya dari sebuah tarjih hanya berlaku dikalangan intern
usaha pembaharuan Hukum Islam dan mazhab tertentu, seperti Hanafiyah,
sekaligus sebagai usaha menjawab problem Malikiyah, dan lain-lain. Sedangkan tarjih
perkembangan zaman. pada masa kebangkitan kembali Hukum
Islam ruang lingkupnya jauh lebih luas
Pembagian Ijtihad dari tarjih sebelumnya. Tarjih pada
Harus diakui bahwa masalah-masalah periode ini berarti menyeleksi berbagai
yang muncul sekarang adakalanya sudah pendapat, dari mazhab apapun ia berasal,
ada atau mirip dengan yang tercantum dalam kemudian diambil pendapat yang rajih,
kitab-kitab klasik karangan ulama terdahulu, yang paling kuat, berdasarkan kriteria
tetapi ada juga banyak kasus yang belum yang telah ditetapkan. Coulson dan
dibahas ulama atau mujtahid terdahulu. Anderson menyebutnya sebagai electic
Berkenaan dengan keadaan tersebut, ijtihad expedient. Jadi lebih bersifat lintas
mazhab, tidak terbatas pada mazhab
19
Ad-Dawalibi, al-Madkhal ila Ilm Ushulal-Fiqh, tertentu.23
Damaskus: Dar al-Basyar al-Islamiyat, cet. 3, 1979, hlm.
414.
20
Syarat-syarat mujtahid antara lain adalah; 1-
21
Mengetahui bahasa Arab dan berbagai aspeknya, misalnya Yusuf Qardawi, al-Ijtihad fi al-Syariat al-Islamiyat
nahwu, shorof, balaghah, mantiq dan lain sebagainya.2- ma’a Nazharatin Tahliliyat fi al-Ijtihad al-Muashir, Kuwait: Dar
Mengetahui Ilmu al-Quran dan cabang-cabangnya, misalnya al-Qalam, 1985, hlm. 101.
22
ilmu asbab al-nuzul, tafsir, ilmu tafsir, dan lain sebagainya. 3- Pengelompokan tingkatan mujtahid dapat dilihat di
Memahami hadis dan cabang-cabangnya, misalnya ilm jarh bukunya Abu Zahrah, Ushul Fiqh, tt: Dar al-Fikr al-Arabiy,
wa al-ta’dil, ilmu asbabul wurud, dan lain sebagainya. Lihat: tth, hlm. 396.
23
As-Syatibi,al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. Riyadh: Lihat: N.J. Coulson, A History of Islamic Law,
Maktabah Musthafa al-Baz, juz 2,hlm. 346. Edinburg: Edinburg University Press, 1964, hlm. 185.

31
Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Epistemologi Hukum Islam Muhammad Sulthon
dalam Menjawab Tantangan Zaman)

Dalam rangka melakukan ijtihad dengan baik dan benar. Jadi, dalam
intiqai ini sebaiknya kita tidak membatasi menghadapi persoalan yang sama sekali
diri pada mazhab yang empat saja, baru diperlukan pengetahuan mengenai
melainkan harus menjangkau berbagai masalah yang sedang dibahas, disamping
mazhab lain, baik yang telah dikenal atau pengetahuan yang menjadi persyaratan
tidak. Yang perlu diteliti dan diperhatikan ijtihad itu sendiri. Dalam hubungan ini,
bukan siapa yang mengatakannya, tetapi ijtihad jama’i (ijtihad kolektif), mutlak
bagaimana dalil dan cara berpikir yang diperlukan. Karena keterbatasan
digunakan, bagaimana relevansinya pengetahuan seseorang disertai semakin
dengan masa sekarang, dan bagaimana ketatnya disiplin ilmu pada masa
pula hubungannya dengan maqashid al- sekarang. Sehingga ijtihad fardi (ijtihad
syariah. individual) mengenai kasus yang sama
Contoh dari ijtihad intiqai adalah sekali baru, akan kurang maksimal
masalah yang berhubugan dengan thalaq bahkan kemungkinan besar akan
atau perceraian. Menurut mayoritas ulama membawa kepada kekeliruan.
ahli fiqh, thalaq dinyatakan jatuh apabila Contoh dari ijtihad model ini adalah
diucapkan oleh suami kepada istrinya pencangkokan jaringan atau organ tubuh
dalam keadaan sadar dan atas kehendak manusia. Guna menetapkan hukumnya,
sendiri, tanpa harus tergantung pada perlu didengar lebih dahulu pendapat ahli
adanya saksi.24 Akan tetapi, menurut ahli dalam bidang kedokteran, hususnya ahli
fiqh dari kalangan Syi’ah, thalaq baru bedah. Dari padanya akan dapat
dianggap terjadi kalau disaksikan oleh dua diperoleh informasi mengenai cara dan
orang saksi yang adil.25 Agaknya untuk mekanisme pencangkokan organtubuh itu.
masa sekarang pendapat Syi’ah itu Setelah diketahui secara jelas, baru
dengan segala modifikasinya bisa dibahas perihal pencangkokan itu dari
dipertimbangkan. berbagai disiplin ilmu agama Islam, untuk
Faktor-faktor yang harus kemudian diambil kesimpulan hukumnya.
diperhatikan oleh mujtahid muntaqi adalah Kegiatan ijtihad kolektif ini harus
perubahan sosial budaya, kemajuan ilmu ditempuh, mengingat sudah semakin jelas
pengetahuan dan teknologi, dan dan tegasnya pembidangan ilmu yang
kesesuaian dengan perkembangan didalami oleh seseorang.
zaman. Faktor-faktor tersebut dapat Dalam ijtihad insya’i juga diperluan
dijadikan bahan pertimbangan dalam pemahaman yang baik tentang metode
menyelesaikan masalah yang sedang penetapan hukum. Ada beberapa metode
ditetapkan hukumnya. Jadi, dalam penetapan yang telah dikemukakan oleh
pelaksanaan ijtihad intiqa’i diperlukan para ahli ushul fiqh terdahulu. Diantara
analisis yang cermat terhadap masalah metode itu adalah qiyas, istihsan,
yang sedang dikaji. Analisis tidak hanya maslahat mursalah, dan saddu al-zari’ah.
terbatas pada dalil dan argumentasi yang Hal lain yang perlu mendapat perhatian
dikemukakan para ulama ahli fiqh dari orang yang akan melakukan ijtihad
terdahulu, melainkan juga harus melihat insya’i adalah pengetahuan tentang tujuan
relevansinya dengan masa sekarang. disyariatkannya Hukum Islam, sebab pada
b. Ijtihad Insya’i dasarnya semua metode penetapan
Yang dimaksud dengan Ijtihad Hukum Islam bermuara pada hal tersebut.
Insyai adalah usaha untuk menetapkan
suatu hukum yang berkaitan dengan 2. Qiyas
peristiwa-perisrtiwa baru yang belum ada Secara etimologis, kata qiyas berarti
atau belum pernah diselesaikan oleh para al-taqdir dan al-musawat yang artinya
ulama ahli fiqh terdahulu.26 Yang membandingkan atau menyamakan.
diperlukan dalam ijtihad ini adalah Sedangakan secara istilah banyak
pemahaman meyeluruh terhadap kasus- disampaikan oleh para ulama ushul fiqh.
kasus baru yang akan ditetapkan Misalkan yang disampaikan oleh al-Baidhawi,
hukumnya. Karena tanpa mengetahui qiyas adalah menetapkan semisal hukum
secara baik apa dan bagaimana kasus yang diketahui pada sesuatu yang lain
yang baru itu, sulit bagi mujtahid munsyi’ diketahui, karena keduanya berserikat dalam
untuk dapat menetapkan hukumnya ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang
menetapkan.27
24
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Daral-Fikr,
tth, jilid II, hlm. 220.
25
Ayatullah al-Uzma al-Syairazi, al-Fiqh Mausuat
27
Istidlaliyat fi al-Fiqh al-Islami, Beirur: Darul Ulum, 1988, juz Syamsuddin Abd rahman al-Asfahani, Syarh al-
VI, hlm. 227. Minhaj li al-Baidhawi Fi al-‘ilm al-Ushul, jilid II. Riyadh:
2626
Yusuf Qardawi,Op. Cit., hlm. 126. Maktabah al-Rusd, t.th, hlm. 634

32
Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Epistemologi Hukum Islam Muhammad Sulthon
dalam Menjawab Tantangan Zaman)

Berdasarkan rumusan tersebut, qiyas yang berserikat dengan penjual dalam


mempunyai empat rukun, yaitu ‘ashl atau sebidang tanah atau tempat tinggal. Dalam
pokok atau maqis alaih, furu’, hukum ‘ashl hal ini persekutuan merupakan ‘illat adanya
dan ‘illat. Dari empat rukun tersebut, ‘illat hak syuf’at. Sedangkan hikmatnya adalah
paling memegang peranan penting. Karena untuk menghindari kesulitan yang timbul
adanya hukum dan tidak adanya tergantung disebabkan masuknya orang lain yang bukan
dari adanya ‘illat. sekutunya. Dengan demikian, persekutuan
Dalam masalah ‘iilat ini sering terjadi dijadikan sebagai ‘illat adanya hak syuf’at,
kesalahan, yaitu menyamakan antara ‘illat karena diasumsikan bahwa karena masuknya
dan hikmah. Illat adalah suatu sifat tertentu unsur lain dalam persekutuan itu akan terjadi
yang jelas dan dapat diketahui secara kesulitan. Pernyataan terakhir ini dianggap
obyektif (zhahir), dapat diketahui dengan sebagai mazhinnat.30
jelas tolok ukurnya (mundabith), dan sesuai Walaupun diatas dikemukakan dua
dengan ketentuan hukum (munasib), yang contoh yang mewakili dua aspek ilmu fiqh,
keberadaannya merupakan penentu adanya ibadah dan muamalah, namun perlu
hukum. Sedangkan hikmah adalah menjadi dibedakan antara ‘illat dalam bidang ibadah
tujuan atau maksud disyariatkannya hukum, dan ‘illat dalam bidang muamalah. Dalam
dalam wujud kemaslahatan bagi manusia.28 bidang ibadah, ‘illat tidak lebih dari sekedar
Sementara al-Syatibi berbeda dengan manfaat, tidak ada pengaruhnya terhadap
jumhur ulama ushul fiqh, dimana ia istinbath al-hukm. Dengan kata lain ‘illat
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalam bidang ibadah tidak efektif. Karena itu
‘illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk pada dasarnya qiyas dalam bidang ibadah
mashlahat dan mafsadah, yang berkaitan tidak dapat diberlakukan. Sedangkan dalam
dengan ditetapkannya perintah, larangan bidang muamalah, ‘iilat berlaku efektif dalam
atau keizinan, baik keduanya itu zhahir atau menetapkan hukum. Hal ini didasarkan pada
tidak, mundhabith atau tidak. Jadi, baginya teori, bahwa pada dasarnya aspek muamalah
‘illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dapat diketahui hikmat dan rahasianya
dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian (ma’qul al-makna), sedangkan dalam aspek
halnya, maka baginya hukum dapat ibadah tidak demikian. Praktis qiyas
ditetapkan berdasarkan hikmat, tidak merupakan metode yang sering digunakan
berdarkan ‘illat. dalam hukum yang menyangkut bidang
Sebenarnya hikmat dengan ‘illat muamalah.
mempunyai hubungan yang erat dalam
rangka penetapan hukum. Hikmat merupakan SIMPULAN
sifat yang zhahir tetapi tidak mundhabith. Hukum Islam mempunyai dua sifat, yaitu
Hikmat itu baru akan menjadi ‘illat setelah al-tsabat (tetap) dan al-tathawwur (berkembang).
dinyatakan mundhabith. Untuk itu maka perlu Sifat pertama, yaitu Hukum Islam sebagai wahyu
dicari mazhinnatnya, yaitu indikator yang Allah yang tetap dan tidak berubah sepanjang
menerangkan bahwa hikmat itu dapat masa, sedangkan sifat yang kedua, yaitu
dinyatakan mundhabith.29 Hukum Islam yang berkembang, tidak kaku
Dalam bidang ibadah contoh yang dalam berbagai situasi dan kondisi sosial. Dalam
sering digunakan oleh kebanyakan ahli ushul keterpaduan antara dua sifat itulah Hukum Islam
fiqh adalah mengenai shalat qashar. Untuk dapat bertahan sepanjang masa. Sifat yang
menetapkan boleh atau tidaknya shalat pertama disebut syariah. Sedangkan sifat yang
qashar telah ditetapkan, bahwa safar atau kedua disebut fiqh, yaitu pemahaman dari
bepergian merupakan ‘illat dibolehkannya syariah.
shalat qashar. Sedangkan masyaqat atau Dalam menjawab tuntutan zaman yang
kesulitannya merupakan hikmat terus berubah, dalam tulisan ini diketengahkan
dibolehkannya shalat tersebut. Jadi boleh dua epistemologi Hukum Islam, yaitu ijtihad dan
atau tidaknya melakukan shalat qashar, qiyas. Dengan kedua metode tersebut segala
menurut mereka, tergantung ada atau persoalan ditengah-tengah masyarakat dapat
tidaknya ‘illat, yakni bepergian, sebab dipecahkan, walaupun secara yurisprudensi
bepergian dianggap sebagai indikator hukum dari persoalan tersebut tidak ada.
(mazhinnat) adanya masyaqat. Dengan qiyas segala hukum furu
Sedangkan dalam bidang muamalah, dicarikan rujukan kepada hukum ashal.
biasanya dikemukakan contoh tentang hak Sedangkan ijtihad untuk masa sekarang dapat
syuf’at, yakni hak pembelian bagi seseorang dilakukan dengan dua cara, yaitu ijtihad Intiqa’i
dan ijtihad insya’i. Ijtihad Insya’i adalah ijtihad
28
yang dilakukan seseorang atau sekelompok
Lihat Wahbah Zuhaili, al-Wasith fi ushul al-Fiqh, orang dengan cara memilih hukum masa lalu
Dimasyqi: al-Mathbaat al-Ilmiyyat, 1969, hlm. 415.
29
Al-Baghdadi, Qawaid al-Ushul wa ma’aqid al-ushul.
30
Beirut: Alam al-Kutub, 1986, hlm. 34. Abu Zahrah, Op.Cit, hlm. 237.

33
Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Epistemologi Hukum Islam Muhammad Sulthon
dalam Menjawab Tantangan Zaman)

yang sesuai dengan kondisi sekarang. Syamsuddin Abd rahman al-Asfahani, Syarh al-
Sementara ijtihad insya’i adalah sebuah ijtihad Minhaj li al-Baidhawi Fi al-‘ilm al-Ushul,
untuk memecahkan masalah baru yang belum jilid II. Riyadh: Maktabah al-Rusd, t.th.
diselesaikan oleh para ahli fiqh terdahulu. Wahbah Zuhaili, al-Wasith fi ushul al-Fiqh,
Dimasyqi: al-Mathbaat al-Ilmiyyat, 1969.
DAFTAR PUSTAKA Yusuf Qardawi, al-Ijtihad fi al-Syariat al-Islamiyat
Abu al-Hasan Ahmad Faris bin Zakariya, Mu’jam ma’a Nazharatin Tahliliyat fi al-Ijtihad al-
Maqayis al-Lughah. Mesir:Musthafa al- Muashir, Kuwait: Dar al-Qalam, 1985.
Babi al-Halabi, 1970, jilid II.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid IV, 1998.
Bandung:Dahlan Press.
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, tt: Dar al-Fikr al-Arabiy,
tth.
Ad-Dawalibi, al-Madkhal ila Ilm Ushulal-Fiqh,
Damaskus: Dar al-Basyar al-Islamiyat,
cet. 3, 1979.
Ahmad Minhaji, “Reformasi Hukum Islam”, Aula,
Vol, III, No. 2, 1994.
Al-Baghdadi, Qawaid al-Ushul wa ma’aqid al-
ushul. Beirut: Alam al-Kutub, 1986
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran
Hukum Islam, cet. III, Padang:Angkasa
Raya, 2005.
As-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah.
Riyadh: Maktabah Musthafa al-Baz, juz 2.
Ayatullah al-Uzma al-Syairazi, al-Fiqh Mausuat
Istidlaliyat fi al-Fiqh al-Islami, Beirur: Darul
Ulum, 1988, juz VI.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, cet.
V, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2013.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity:
Transformation of an Intellectual Tradition,
Chicago: Chicago University Press, 1980.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, Jakarta:UI Press, 2002.
Hasbi As-l Shiddiqi, Fasfafah Hukum Islam, cet.
IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, juz 3. Mesir:
Maktabah Tijariyah al-Qahirah, 1955.
John L.Esposito, The Islamic Treat, terj.
Alawiyah Abdur Rahman, Bandung:
Mizan, 1994.
Karl Manheim, Sosiologi Sistematis, Cet. I,
terj.Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh. Mesir:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo, cet.
XIII, 2013.
N.J. Coulson, A History of Islamic Law,
Edinburg: Edinburg University Press,
1964.
Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Kairo: Muasassah al-Halabi, i967, jilid II.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Daral-Fikr,
tth, jilid III.
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.

34

Anda mungkin juga menyukai