Anda di halaman 1dari 13

Karakteristik Falsafah Hukum Islam

Arbabun Nuha, Shella Ainun AMS, Maulida Qurrotu A., Nayla Faizah, M. Rafli Bahtiar
Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Walisongo Semarang
Email: 2102016100@student.walisongo.ac.id

Abstrak
Dalam kajiannya, Filsafat Islam mengintegrasikan agama dan filsafat, prinsip dan
kebijaksanaan, wahyu dan akal, yangmana banyak banyak dikaji oleh para filosof muslim.
Tujuannya untuk menganalisis karakteristik hukum Islam serta mengintegrasi beberapa aspek
yang ada. Metode yang digunakan dalam artikel jurnal ini adalah metode analisis data
kualitatif dan metode korelasional. Dalam hal ini diperoleh kesimpulan bahwa terdapat
keterkaitan antara beberapa aspek dalam karakteristik hukum islam. Dari analisis yang
didapat oleh para filosof muslim terjadi relasi antar aspek, seperti akal dan wahyu, stabilitas
dan perubahan, demokrasi dan otoritas, serta hukum dan moral. Sehingga dalam hal ini
tergambar mengenai karakteristik dalam hukum Islam.
Kata kunci : Filsafat hukum Islam; karakteristik; keterkaitan

In his studies, Islamic philosophy integrates religion and philosophy, principles and wisdom,
revelation and reason, which many Muslim philosophers have studied. The aim is to analyze
the characterusties of Islamic law and integrate several existing aspects. The method used in
this journal article is a qualitative data analysis method and a correlational method. In this
case it is concluded that there is a relationship between several aspects of the characteristics
of Islamic law. From the analysis obtained by Muslim philosophers there is a relationship
between aspect, such as reason and revelation, stability and change, democracy and
authority, as well as law and morals. So that in this case the characteristics of Islamic law
are illustrated.
Keywords: Islamic legal philosophy; characteristics; relation.

Pendahuluan
Syariah dalam Islam sudah ada sebelum masyarakat ada. Hal tersebut pada dasarnya
karena itu adalah Firman Allah SWT yang nafs azali, di mana ada aturan yang jelas dan dalil
yang jelas dan tegas tentang haram dan halal, yangmana kita kenal dengan dalil qathi. Ada
pula yang kita ketahui dengan beberapa aturan yang tidak dijelaskan secara eksplisit. Kaidah
tersebut hanya merupakan intisari, membutuhkan dalil pendukung lain dari sumber asal
hukum yang lain, atau dalil yang lebih dikenal dengan dalil Zhanniy.
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan sosial dalam dua
ranah: kehidupan dunia dan akhirat. Tidak ada bidang keyakinan, aktivitas manusia, atau
fenomena alam tanpa pembahasan syariat Islam yang dipelajari secara lengkap dan
mendalam dalam segala hal.1 Semua syariat ini ditujukan untuk semua bangsa di muka bumi
ini, tidak hanya untuk umat Islam sebagai mukmin, tetapi untuk manusia sebagai pedoman
hidup menuju akhirat yang hakiki. Berdasarkan uraian tersebut, sudah selayaknya dilakukan
pengkajian lebih lanjut dalam pembahasan keilmuan tentang karakteristik dari hukum Islam.
Yang dimaksud dengan hukum Islam dalam ushul fiqh adalah kitab (firman) Allah
mengenai seperangkat aturan yang secara langsung dan tegas ditetapkan oleh Allah, atau
ditetapkan pokoknya saja untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dan
sesamanya, serta manusia dengan alam semesta.2
Hukum Islam memiliki karakter khusus dan beberapa ciri yang membedakannya
dengan jenis hukum lainnya. Beberapa kualitas ini berasal dari sifat hukum itu sendiri,
ataupun dari proses penerapannya sepanjang sejarah demi keridhaan Allah SWT.
Karakterisik hukum islam ini antara lain sempurna, elastis, dinamis, universal, sistematis,
progresif dan pada dasarnya Thaabbudi dan Thaaquli.
Filsafat adalah seni bertanya mengapa demikian dan mengapa tidak. Pertanyaan-
pertanyaan semacam itu adalah inti dari filsafat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
para filosof telah menghasilkan jawaban yang mendalam dan berdampak besar pada cara
pandang manusia dalam memandang dan memahami kompleksitas kehidupan.
Sebagaimana diketahui, filsafat hukum Islam tentunya merupakan kajian yang
mengkaji hakikat hukum Islam itu sendiri. Kajian yang analog dengan argumen semacam itu
dalam tradisi Islam adalah Ushul fiqh. Dalam hal ini, untuk mencapai tujuan mempelajari
filsafat hukum Islam, maka kajian hukum Islam tidak lepas dari metode atau struktur yang
harus diperhatikan sebelum pertimbangan filosofis. Dari segi filosofis hukum Islam tidak
dapat dipisahkan dari garis utama: Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber imbauan dan
informasi. Filsafat Islam mengintegrasikan agama dan filsafat, prinsip dan kebijaksanaan,
wahyu dan akal. Bentuk-bentuk seperti itu lumrah dalam pemikiran para filosof muslim.
Dalam pembahasan tulisan ini, membahas mengenai filsafat yang berkaitan dengan hukum
Islam yangmana bertujuan untuk mengetahui karakteristik filsafat hukum Islam.

1
Suparman Usman, Hukum Islam (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002).
2
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Metode
Jenis penelitian dalam penulisan artikel jurnal ini menggunakan metode penelitian analisis
data kualitatif, yaitu dengan meneliti suatu kajian data pengamatan secara luas dan
mendalam. Metode penelitian lain dengan menggunakan metode korelasional. Metode ini
dimaksudkan untuk menelaah keterkaitan dari beberapa aspek dalam falsafah hukum Islam.
Dalam mengumpulkan sumber data, pendekatannya dilakukan dengan pengumpulan data
pustaka terkait deskripsi dari aspek yang dikaji beserta relasinya, yaitu dengan literatur buku
dan jurnal terkait dengan materi yang bersangkutan.

Pembahasan
A. Aspek-Aspek Syari’at yang Berubah dan yang Abadi (Tidak Menerima
Perubahan)
Hukum Islam umumnya dipandang sebagai agama, suci dan karena itu abadi. Padahal fakta
empiris menunjukkan bahwa perubahan sosial selalu menuntut daya sesuai ketentuan hukum.
Oleh karena itu keabsolutan dan kekekalan hukum Islam akan selalu dihadapkan pada
perubahan dan modernisasi yang selalu terjadi di masyarakat. Dalam menyikapi masalah ini,
para ahli dan ahli hukum Islam memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain. Pandangan
pertama berpendapat bahwa dalam konsep, dan sesuai dengan sifat perkembangan dan
metodologinya, hukum Islam bersifat abadi dan karena itu tidak dapat disesuaikan dengan
perubahan sosial. Sedangkan pandangan kedua menyatakan bahwa adanya asas- asas hukum
seperti pertimbangan kemaslahatan, fleksibilitas hukum Islam dalam praktik, dan anjuran
ijtihad jelas menunjukkan bahwa hukum Islam dapat disesuaikan dengan perubahan.
Perbedaan pandangan tersebut disebabkan karena hukum Islam memiliki dua karakteristik
yang tampak bertentangan satu sama lain. Di satu sisi, mereka melihat bahwa beberapa bahan
hukum bersifat sakral dan mutlak (abadi), tetapi di sisi lain mereka juga menemukan banyak
bahan hukum yang bersifat relatif dan situasional (berubah). Oleh karena itu, tepat untuk
mengatakan bahwa hukum Islam bersifat berubah dan abadi dalam beberapa hal.
a. Aspek Syari’at yang Abadi
Sekalipun waktu dan tempat dapat berubah, hukum abadi ini adalah hukum yang tidak akan
berubah. Tidak ada perubahan, perkembangan, atau pembaharuan terhadap hukum ini. Dalam
nash telah memberikan penjelasan yang qath'iy dan detail tentang persoalan dengan
ketentuan hukum tersebut. Bidang ijtihad tidak mencakup nash dan ketentuan hukum seperti
ini. Dalam hal ketentuan syariat ini, misalnya, mengenai aqidah, rukun iman, hukum ibadah,
dan masalah hudud.
Perubahan tempat dan keadaan tidak boleh menyebabkan hukum abadi ini berubah. Ketika
sesuatu dijelaskan oleh nash sebagai ketentuan hukum qath'iy (pasti dan tegas), maka itu
konstan, permanen, dan universal atau berlaku untuk semua individu dan lokasi. Misalnya,
secara tegas dinyatakan dalam Al-Qur'an bahwa makan bangkai, darah, daging babi, dan
daging sembelihan tanpa menyebut nama Allah adalah haram yaitu dalam surat Al- Maidah
ayat 3 yang artinya: “diharamkan bagi kamu memakan bangkai, darah, daging babi dan
sembelihan tanpa menyebut nama Allah....”
Ayat ini berisi aturan hukum yang jelas yang tidak akan pernah berubah dengan alasan
apapun. Hukum berikut tidak dapat diubah (tidak menerima perubahan), diantaranya:.
1. hukum yang mengatur keimanan dan keyakinan yang harus ada.
2. Shalat, zakat, puasa, dan haji, yang semuanya diakui sebagai ibadah menurut hukum
mahdah (ibadah murni).
3. hukum yang mengatur hudud dan qisas.
Al-Syatibi menegaskan bahwa hukum syar'ah dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
terkait dengan ibadah dan terkait dengan bidang mu'amalat. Ibadah pada hakekatnya bersifat
ta'abbudi, yaitu pelaksanaannya semata-mata didasarkan atas ketaatan (mukallaf) hamba
kepada Tuhannya, tanpa perlu terlebih dahulu mempertimbangkan tujuan atau keuntungan
yang diperintahkan. Dengan kata lain, tidak dapat dipahami secara rasional dari perbuatan
(ritual) itu sendiri, seperti wudhu, tayammum, salat, puasa, dan haji. Kita tidak pernah
mengetahui alasan di balik mengapa ibadah-ibadah tersebut dilakukan dengan cara yang
seperti itu, bukan dengan cara lainnya.
Sederhananya, ta'abbudi adalah suatu ibadah dengan tujuan utamanya adalah mendekatkan
diri dan beriman kepada Tuhan, yaitu berupa ibadah yang mengandung sifat ta'abbudi murni.
Hal ini mengandung arti gagasan dan konsep yang terkandung di dalamnya tidak dapat
dirasionalkan atau dinalar (ghairu ma'qulah al-ma'na) atau supra-rasional. Apa pun yang
diputuskan oleh syariat mangikat dan harus dijalankan.
Dalam pandangan Hasbi, ibadah adalah hukum yang tujuan utamanya adalah mendekatkan
diri kepada Tuhan. Hukum ini telah ditetapkan dalam nash, serta ketentuannya tetap dan tidak
terpengaruh oleh berlalunya waktu atau perbedaan geografis, mereka harus diikuti tanpa
menyelidiki penjelasan lebih lanjut tentang maksudnya.
Misalnya, Umar ra meriwayatkan bahwa dia menyaksikan Nabi mencium batu "Hajar
Aswad" saat mereka berdua sedang berziarah. "Kamu hanyalah sebuah batu; aku tidak akan
melakukan ini jika aku tidak melihat Nabi menciummu”, ucap Umar setelah melihat hal yang
Rasulullah lakukan tersebut.
b. Aspek Syari’at yang Berubah
Hukum yang telah berubah akibat perkembangan zaman, situasi, dan tempat itulah yang
dimaksud ketika kita berbicara tentang perubahan di sini. Hukum- hukum yang termasuk
dalam mu'amalat adalah yang dapat dikategorikan sebagai aspek- aspek syari'at yang
berubah. Hukum yang termasuk dalam kategori mu'amalat ini didasarkan pada manfaat dan
pembenaran yang dikenal rasional (ma'qulah al-ma'na). Tindakan yang melibatkan jual beli,
sewa, pernikahan, dan kegiatan serupa lainnya adalah contoh dari aspek syari'at yang berubah
ini.
Hasbi Mu'amalat menegaskan bahwa hukum diciptakan baik untuk mewujudkan
kemaslahatan global maupun untuk mengatur hubungan antar pribadi dan masyarakat.
Maksud dari hukum ini dapat diketahui secara jelas karena secara konsisten
mempertimbangkan bagaimana masyarakat akan mendapat manfaat dan karena cukup
fleksibel untuk beradaptasi dengan kondisi yang berubah di lokasi, waktu, dan konteks yang
berbeda.
Meskipun memiliki komponen ta'abbudi (ghairu ma'qulah al-ma'na), hukum-hukum dalam
kategori mu'amalat pada dasarnya bersifat (ma'qulah al-ma'na). Hal ini karena ketentuan
tersebut berkaitan dengan ketentuan Syara yang tidak dapat diabaikan begitu saja oleh
mukallaf. Sebagai ilustrasi yaitu pernikahan, yang pada hakekatnya termasuk dalam kategori
mu'amalat. Menurut Syara', perkawinan tunduk pada sejumlah syarat, antara lain adanya
akad, dua orang saksi yang tidak memihak, wali nikah yang memenuhi syarat, dan kedua
mempelai (laki-laki dan perempuan). Aturan-aturan ini tidak bisa dilanggar sembarangan.

B. Hukum Islam Ada Diantara


1. Akal dan Wahyu
Persoalan hubungan antara wahyu dan akal dalam tradisi filsafat Islam adalah hal yang selalu
dibicarakan. Hal ini penting karena memang kaitannya dengan argumen para mutakallimun
dan para filsuf yang mendalam pembahasan tentang konsep ketuhanan, konsep ilmu
pengetahuan, konsep etika, dan lainnya. Para mutakalim dan filosof berorientasi pada upaya
pembuktian atau hubungan antara akal dan wahyu. Seorang Filosof muslim, Ibnu Rasyid
membuktikan keterkaitan antara akal dan waktu dengan karya “Fasl al-Maqal" dan Ibn
Taimiyyah menulis "Dar' Ta'arud al-'aql wa al-naql" yang dulu disebut "Muwafaqat sarih
al-ma'qul 'ala sahih al-manqul". Ibnu Rasyid menggunakan prinsip hubungan (ittishal) yaitu
mencari argumennya mengenai hubungan antara agama dan filsafat. Dalam pendapatnya
harus menentukan kedudukan hukumnya terlebih dahulu sebelum belajar filsafat.
Menurutnya, belajar filsafat adalah belajar tentang Tuhan yaitu kegiatan berfilsafat mengkaji
serta memikirkan segala sesuatu yang ada (al- Mawjudat), yang merupakan tanda adanya
pencipta, karena al-mauwjudat adalah sebuah produk ciptaan. Karena Wahyu dengan aktifitas
tafakur pada almawjudat ini diharuskan dan diperintahkan belajar filsafat oleh Wahyu.
Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah berfokus pada pemahaman bahwa menurutnya,
masyarakat telah dirusak karena doktrin sufisme, teologi dan filsafat dalam praktek-praktek
bid’ah yang terlihat dalam masyarakat.
Namun, Arberry memandang karya Ibn Rasyid sebagai percobaan terakhir yang
menunjukkan keterkaitan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibnu Taimiyah digambarkan
sebagai orang yang menyelesaikan percobaan ini. Sebenarnya keduanya menganggap sama
bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tetapi karena situasi dan latar belakang social
pemikiran mereka, kesimpulan yang mereka ambil berbeda. Ibnu Rusyd tidak hanya
dipengaruhi oleh pemikiran yang menganggap sains dan filsafat bertentangan dengan agama,
tetapi juga oleh konflik yang muncul antara para filosof dan ahli agama.
Di sini Ibnu Rusyd berpendapat bahwa ada banyak ayat dalam Al-Qur'an yang
memerintahkan manusia menggunakan pikiran untuk memahami semua yang ada. Ibnu
Rusyd membagi masyarakat berdasarkan kapasitas akal manusia dalam tiga kelompok yaitu
 Kelompok yang tidak mampu menafsirkan Al- Qur’an,
 Kelompok dengan kemampuan interpretasi dialektis
 Mereka yang menafsirkan secara demonstratif disebut Ahl Al-Burhan.
Alasan yang mendalam mengenai klasifikasi ini dipahami sebagai kemampuan berpikir dan
memahami. Sebaliknya Wahyu terbagi menjadi tiga bentuk makna yang terkandung di
dalamnya, yang pertama, teks yang maknanya dapat dipahami melalui tiga metode yang
berbeda (metode retoris, dialektis dan demonstratif). Yang kedua, teks yang maknanya hanya
dapat diketahui metode presentasi. Yang terakhir, teks yang ambigu antara eksternal dan
internal. Wahyu Allah tetap menjadi sumber ilmu (hukum Islam). Tetapi itu tidak dianggap
sebagai satu- satunya sumber. Sebuah wahyu yang disandingkan dengan sumber sejarah yang
sebenarnya diambil dari khazanah ilmu pengetahuan Barat.
Menurut Syaf, sumber sejarah yang berasal dari sistem aturan dan konsep turunan sumber
informasi yang diungkapkan tidak cukup bertindak karena dua alasan. Pertama, karena
sistemnya terdiri dari aturan-aturan umum dan universal, penerapannya dalam kasus tertentu
membutuhkan lebih banyak pertimbangan dan penyempurnaan lebih lanjut. Kedua penerapan
aturan universal membutuhkan pengetahuan tentang kondisi keberadaannya.3
2. Stabilitas dan Perubahan
Pendapat Pound menyatakan bahwa hukum itu harus stabil untuk bisa berdiri tegak. Oleh
karena itu, semua pemikiran hukum berusaha untuk merekonsiliasi tuntutan stabilitas yang
berlawanan dan diperlukan perubahan. Hal ini menimbulkan berbagai teori. Adapun teori
negara hukum menekankan stabilitas atas perubahan. Menurut teori ini, tugas para ahli
hukum dan pembuat undang-undang adalah mengkaji dan membentuk keberadaan adat-
istiadat.
Positivisme analitis, yang menekankan logika dan kelemahan dalam hukum tertulis,
cenderung menganggap stabilitas dan kekekalan sebagai objek akhir bagi interpretasi hukum.
Sebaliknya, semua teori utilitarian dan sosiologis cenderung menekan perubahan hukum
karena melihat keadilan menurut latar belakang sosial dan kebutuhan hidup. Hukum harus
berubah karena faktor- faktor ini.
Hukum Tuhan berbeda dengan hukum manusia karena hukum Tuhan memiliki metode dan
standar etika baik dan buruk yang membatasi perubahan sosial. Selain itu, hukum Tuhan
memberikan kemampuan luar biasa untuk menggabungkan stabilitas dan perubahan. Dalam
hukum Tuhan terdapat asas- asas yang luas yang dapat ditafsirkan dengan mengacu pada
wahyu yang telah diturunkan yaitu Al- Qur’an. Semua bagian hukum Islam berdasarkan teks
telah dikembangkan secara menyeluruh dan baik oleh para ahli Fiqih. Menurut Mustofa
Abdurraziq, syaratnya dari Perubahan hukum, yaitu4
 Perubahan itu memang diperlukan,
 Peraturan ini tidak mempertimbangkan isi ibadah
 Perubahan baru sesuai dengan nilai dan prinsip syariah yang berbeda
Antara stabilitas dan perubahan dalam hukum Islam dapat diungkapkan secara sederhana.
Stabilitas hukum Islam terletak pada ketentuan nashnya (ayat dan hadits), sedangkan
perubahan hukum Islam terletak pada kondisi sosial budayanya. Masalah sosial memberikan
tekanan pada hukum dalam arti bahwa hukum harus selalu bereaksi dan menanggapi masalah
sosial tersebut. Misalnya, 4 (empat) orang saksi laki-laki mutlak diperlukan dalam perkara
perzinahan karena Tuhan menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seorang perempuan
dan berhubungan dengan harga dirinya (muru'ah). Upaya mengatasi konflik dan ketegangan

3
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Cet.2 (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).
4
Hamzah, “Konflik Dan Ketegangan Dalam Hukum Islam Antara Stabilitas Dan Perubahan,” Al Daulah Vol.
4 ,No. 2 (2015).
hukum Islam bertujuan untuk melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan
zamannya dengan mengkaji faktor- faktor sosial, politik dan budaya yang melatarbelakangi
lahirnya produk pemikiran hukum Islam dan dampaknya bagi masyarakat, serta interaksi
antara para pemikir hukum dengan lingkungan sosial budaya atau sosial politik di sekitarnya.
Oleh karena itu, jika hukum Islam tidak lagi sesuai terhadap berbagai persoalan umat yang
muncul dari perubahan zaman, maka hukum Islam harus direformasi untuk menyesuaikannya
dengan perkembangan yang ada. Perkembangan sikap ilmiah ini membebaskannya dari
ketersanderaan otoritas agama atau kekuatan lain terhadap kemampuan akal itu sendiri.
Dengan bantuan ijtihad, materi hukum Islam dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
berbagai daerah dan realitas sejarah yang selalu berubah. Artinya, mencoba memunculkan
ide-ide baru untuk mengikuti perkembangan zaman. 
3. Otoritarianisme dan Demokrasi
Otoritarianisme adalah sebuah konsep kepemipinan yang diambil dari bahasa Inggris
“Authoratarian’’ yang berasal dari bahasa latin Auctoritas. Arti dari Otoritarian sendiri
merupakan sistem yang mengandalkan kekuasaan sebagai kendali terhadap massa, sedangkan
Otoritarianisme berarti paham atau aliran politik yang menitik beratkan pada kekuasaan
sepihak. Artinya Otoritarian tidak memberikan ruang kepada pihak yang berlawanan dengan
penguasa untuk menentukan kebijakan.
Baskara Wardana dalam bukunya “Menelusuri Otoritarianisme di Indonesia”
mendefinisikan Otoritarian sebagai pemerintahan yang bercirikan poros kekuasaan sebuah
wilayah hanya dikuasai oleh negara.5 Berdasarkan pengertiannya saja sudah dapat kita
pahami bahwa otoritarian menginginkan kekuasaan absolut dan tidak berniat memberikan
potongan roti kekuasaan pada pihak oposisi. Para penganut Otoritarianisme meyakini bahwa
menjalankan kekuasaan dengan kendali penuh akan lebih efektif ketimbang membagi
kekuasaan pada kalangan bawah. Komunikasi yang dijalankan oleh Otoritarian cenderung
berjalan satu arah. Hal ini dikarenakan pola komunikasi mereka kepada kalangan bawah
diartikan sebagai instruksi, bukan diskusi. Dengan kekuasaan yang mereka genggam, kaum
otoritarian sangat adidaya dalam mengusung berbagai keputusan. Sebut saja Kim Jong Un
yang mewarisi kekuasaan di negara Komunis Korea Utara “KoRut”. Gaya kepemimpinan
yang diusung oleh Kim Jong Un adalah Otoritarian. Dalam setiap kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah Korut hampir sebagian besar merupakan kebijakan pribadi sang presiden.
Dalam berbagai kesempatan, Kim Jong Un sering mengekang pendapat bawahannya bahkan
dengan kekuasaan yang diperoleh berkat darah keturunan Kim Il Sung (Kakek Kim Jong Un)
5
Bagaskara Wardana, Menelusuri Otoritarianisme di Indonesia, Bandung, Detak Pustaka, 2007. Hal 5
yang merupakan presiden pertama memberikan CoerSive Power sehingga apabila
bawahannya melakukan kegagalan dalam menjalankan perintah.
Theodohe M. Vestale menyatakan setidaknya ada lima prinsip Otoritarianisme, yaitu:
a. Struktur kekuasaan yang terpusat
Prinsip pertama dari Otoritarian adalah memusatkan kekuatan kepada satu titik
kendali. Kemudian satu titik inilah yang menjadi induk dari cabang kekuasaan
dibawahnya. Dalam praktiknya, pusat kendali ini memegang peranan penting dalam
memberikan instruksi. Semua kebijakan yang ada di bawah harus sesuai dengan
ketetapan yang telah diberikan oleh pusat.
b. Nilai-nilai otoritarian
1) Aturan manusia
Biasanya peraturan dibuat oleh kesepakatan seluruh masyarakat. Namun
dalam otoritarian aturan yang dipakai bukanlah supremasi hukum yang
tercipta dari proses interaksi sosial yang ada, melainkan aturan sepihak yang
dikeluarkan oleh pemangku kebijakan untuk memperoleh tujuan tertentu.
2) Manipulasi pemilu
Tak ayal dalam sebuah masyarakat negara pasti menginginkan adanya
pemilihan umum untuk memilih pemimpin yyang mereka sukai. Dalam
praktik otoritarian pemegang status quo menginginkan kekuasaan yang
langgeng dan abadi. Untuk memperoleh kekuasaan dan legitimasi masyarakat,
pemegang status quo mengadakan pemilu yang sudah dimodifikasi sedemikian
rupa sehingga hasil dalam pemilu sudah pasti sesuai dengan apa yang
diinginkan. Sebut saja korut yang dalam pemilu tahun 2019 kompak memilih
Kim Jong Un sebagai presiden untuk kesekian kalinya dengan presentase
99,98 persen masyarakat korut memilih Kim Jong Un. Hal yang sangat
fantastis memang. Jika dilihat sekilas masyarakat Korut nampak sangat
menyayangi Kim Jong Un, padagal dibalik itu semua ada kekuatan yang
mencengkram mereka apabila mereka ingkar ketika pemilu. Dengan contoh
yang demikian telah nampak bahwa meskipun nampak baik-baik saja, pemilu
yang demikian tentu bukanlah hal yang baik.
3) Keputusan diambil oleh pejabat
Keputusan seyogyanya diambil berdasarkan suara mayoritas masyarakat yang
ada dalam sebuah negara. Cara seperti itulah yang umumnya dipilih oleh
banyak kalangan. Kesetaraan, persamaan, dan hak yang sama selalu
digaungkan sebagai bentuk keadilan. Tak memungkiri memang jika nantinya
ditemukan cara baru yang tanpa disadari sebagai cara lama dalam menentukan
kebijakan, yaitu pemutusan sepihak yang diambil oleh pemerintah. Tindakan
ini diambil karena kekuasaan mutlak ada pada otiritarian dan tidak dapat
dibagi kepada kalangan di bawah.
4) Birokrasi
Birokrasi merupakan sebuah piramida kekuasaan dimana tugas dibagi
berdasarkan kemampuan dan wilayah kewenangan.
c. Kepemimpinan ditunjuk sendiri
Salah satu prinsip yang ditekankan pada Otoritarian adalah memilih bidak yang akan
dipasang di atas papan kuasa mereka. Dengan menempatkan bidak-bidak pada tempat
yang strategis akan memudahkan mereka dalam mengakomodir kekuasaan yang ada.
Dengan begitu tidak ada seorangpun yang mampu menghalangi keputusan yang akan
ditetapkan.
Poin-poin tentang otoritarian bisa didelegitimasi dengan penanaman nilai-nilai demokrasi
dalam lingkup masyarakt bernegara. Demokrasi tak ubahnya sebagai musuh alami atau
anonim dari Otoritarian itu sendiri. Sifat demokrrasi yang bertolak belakang itulah yang
nantinya akan mengikis sikap Otoritarian yang ada. Namun jangan salah kira karena
demokrasi juga dapat mengembalikan sistem yang awalnya demokrasi menjadi oligarri-tirani.
Pada dasarnya demokrasi mengakomodasi semua kebutuhan individu dan mengakomodir
semua fikiran dan hak individu. Demokrasi berhasil hidup kembali pada abad 17 lewat
Aufklarung dengan pedoman merdeka dalam berfikir, sikap saling menghargai hak individu,
dan hak atas kehidupan. Poin bahwa sebuah masayarakat dapat dikatakan demokratis adalah
apabila manusia dewasa yang menempati daerah tersebut sudah purna dalam memenuhi
kriteria untuk menggerakan roda pemerintahan baik itu untuk dirinya maupun sekitar. Dalam
hal ini dikenal juga dengan teori strong pronciple of equality yang dikemukakan oleh Robert
A. Dahl. Prinsip ini berpegang pada dua hal yaitu persamaan intrinsik dan otonomi pribadi.
4. Legal dan Moral
Hukum agama adalah satu-satunya cara untuk menghasilkan manusia yang beretika.
Pemisahan hukum dan etika dari kajian filsafat justru malah memperburuk hubungan antara
agama dan manusia. Jika kehendak bebas dipahami hanya sebagai kebebasan manusia untuk
memaksakan hukum, itu diperlukan sebagai legitimasi dalam keabsahannya. Menurut Judith
Shaklar, legalisme adalah sikap etis yang menganut pandangan bahwa perilaku moral harus
terdiri dari mengikuti aturan. Saat menyusun undang-undang, aspek moral harus selalu
dimasukkan kedalamnya. Karena jika tidak, orang dengan kedok yurisdiksi yang sah tidak
cacat secara hukum, tetapi mereka mungkin akan cacat secara moral. Jika suatu undang-
undang asal-asalan atau tidak mencerminkan nilai-nilai etis, maka tidak layak disebut sebagai
hukum. Kebenaran hukum ushul-fiqh diperiksa terhadap kriteria obyektifnya (al-illah).
Dikonseptualisasikan, dalam falsafah hukum Islam dan sebagaimana dalam etika selalu
memiliki dua wajah, yang keduanya saling membutuhkan. Dimensi murni tekstual dan
dimensi murni rasional dari konsep etik perumusan dalam perspektif agama merupakan hasil
dari dialektika relasional antara teks agama, realitas kontekstual dan akal manusia. Kant
membagi moralitas menjadi dua bagian, yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom.
Moralitas heteronom adalah sikap di mana komitmen dijaga dan, karena komitmen itu
sendiri, tetapi karena suatu hal di luar kehendak pelaku itu sendiri, seperti keinginan untuk
mencapai suatu tujuan atau perasaan takut pada penguasa. Sikap seperti itu merusak moral.
Meskipun moralitas otonom dari kesadaran manusia, dia melakukan tugas karena dia ingin,
karena orang berpikir itu adalah hal yang baik. Sedangkan moralitas otonomi kehendak
adalah prinsip moralitas tertinggi karena jelas terkait dengan kebebasan, inti dari tindakan
rasional atau manusia.6
Tujuan hukum juga sebagai institusi publik dengan tujuan sosial rasional utilitarian dan
moralitas sebagai institusi normatif yang tumbuh dari agama. pemisahan antara hukum dan
agama. Henskin menentang tindakan legislasi moral. Menurutnya, hanya undang-undang
yang bertujuan pada rasionalitas utilitarian yang sah disebut hukum. Pada saat yang sama,
moral dasar dan sumber agamanya tidak didukung oleh peraturan perundang-undangan.
Setidaknya ada empat perbedaan yaitu
 Hukum lebih terkodifikasi daripada moralitas (hukum lebih tertulis daripada
moralitas);
 Meskipun hukum dan moralitas mengatur perilaku manusia, hukum terbatas pada
perilaku eksternal, sedangkan moralitas juga mencakup sikap internal seseorang,
 Berbeda dalam sanksi dari hukum jauh dari sanksi yang berkaitan dengan moralitas
 Menurut hukum, hak kehendak masyarakat pada akhirnya menjadi kehendak negara,
sedangkan moralitas didasarkan pada standar moral yang melampaui individu dan
masyarakat.
Hukum Islam memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sebagai
pedoman atau aturan, hukum tidak dapat berdiri sendiri dalam interaksinya dengan
6
Tjahjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika Dan Imperatif Kategoris (Yogyakarta: Kanisius,
1991).
masyarakat. Sebaliknya, harus disamakan dengan komponen lain, yaitu moralitas yang sering
digunakan secara religius disebut Tasawuf atau Akhlaq karimah. Hukum dan moralitas,
semuanya mrmiliki peraturan dan larangan. Contohnya larangan membunuh. Hukum yang
melarang pembunuhan ini dengan memerintahkan secara sah seseorang untuk melakukan
pembunuhan adalah orang lain yang ditentukan oleh undang-undang. Hukum menggunakan
cara pemaksaan tertentu yang ditentukan oleh aturan hukum dan orang yang melakukannya
akan dikenakan hukuman. Sedangkan moral bermuara pada perilaku seseorang ‘jangan
membunuh’.7 Pelanggaran terhadap etika agama Islam adalah pelanggaran terhadap hukum
Tuhan dan pelanggaran lainnya yang harus diputuskan hukumannya. Hukum Islam mengikuti
hukum sebab akibat ( sabâbiyah ), artinya sesuatu disebabkan oleh sesuatu, kewajiban
mengambil taklif disebabkan oleh yang akil, dewasa, dewasa, berakal dan sadar.

Kesimpulan
Keabsolutan dan kekekalan hukum Islam akan selalu dihadapkan pada perubahan dan
modernisasi yang selalu terjadi di masyarakat. Aspek syariat terbagi dalam 2 pandangan
a. Hukum Islam bersifat abadi dan karena itu tidak dapat disesuaikan dengan perubahan
sosial.
b. Hukum Islam dapat disesuaikan dengan perubahan, dengan pertimbangan adanya
asas-asas hukum seperti pertimbangan kemaslahatan, fleksibilitas hukum Islam dalam
praktik, dan anjuran ijtihad jelas menunjukkan bahwa

1. Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyah, keduanya menganggap sama bahwa akal dan wahyu
tidak bertentangan, tetapi karena situasi dan latar belakang social pemikiran mereka
berbeda, kesimpulan yang mereka ambil berbeda.
2. Antara stabilitas dan perubahan dalam hukum Islam dapat diungkapkan secara
sederhana. Stabilitas hukum Islam terletak pada ketentuan nashnya, sedangkan
perubahan hukum Islam terletak pada kondisi sosial budayanya. Masalah sosial
memberikan tekanan pada hukum dalam arti bahwa hukum harus selalu bereaksi dan
menanggapi masalah sosial tersebut.
3. Kaitannya mengenai otoritarian dan demokrasi, otoritarian bisa didelegitimasi dengan
penanaman nilai-nilai demokrasi dalam lingkup masyarakt bernegara. Sifat demokrasi
yang bertolak belakang itulah yang nantinya akan mengikis sikap Otoritarian yang ada.
Namun demokrasi juga dapat mengembalikan sistem yang awalnya demokrasi menjadi
oligarri-tirani.
4. Legalisme adalah sikap etis yang menganut pandangan bahwa perilaku moral harus
mengikuti aturan. Dikonseptualisasikan, dalam falsafah hukum Islam dan sebagaimana
dalam etika selalu memiliki dua wajah, yang keduanya saling membutuhkan. Hukum
Islam memandang keduanya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

7
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (Bandung: Nusa Media, 2014).
Daftar Pustaka
Hamzah. “Konflik Dan Ketegangan Dalam Hukum Islam Antara Stabilitas Dan Perubahan.”
Al Daulah Vol. 4 ,No. 2 (2015).
Hans Kelsen. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara. Bandung: Nusa Media, 2014.
Hasbi Ash-Shiddieqy. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Juhaya S Praja. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM
UNISBA, 1995.
Muhammad Syukri Albani Nasution. Filsafat Hukum Islam. Cet.2. Jakarta: Rajawali Pers,
2014.
Suparman Usman. Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002.
Tjahjadi. Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika Dan Imperatif Kategoris.
Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Anda mungkin juga menyukai