Balitbang Kemenag RI
ABSTRACT
This word tried to describe the debate surrounding the concept of Islamic law as the law
of God (divine law) and man-made laws (man-made law) as well. Studying this is
important to bridge the depression of some Muslims who want to apply Islamic law in
Indonesia. So far there has been no clear framework how Islamic law which is believed
that come from God, so it’s sacred and must be applied in the context of a fully
indonesian profane. Political and legal sistems that do not make Islam the sole source of
inspiration to make intelligent Muslims,it should be well understood in the context of
Islamic law such as this. Reinterpretation of the concept of Islamic law and placing
proper position between divine law and man-made law would be an option offered by
this word.
Kata-kata Kunci :
Hukum Islam, Divine Law, Man-Made Law
Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law 499
sebelumnya eksis dan kemudian dibenarkan persoalan. Pertama, wewenang agama. Kedua,
oleh nabi (Salahin, 2003:132). posisi al-Qur’an sebagai sumber eksplisit
Bila melihat kenyataan yang demikian, norma-norma yang didasari oleh wewenang
mestinya sejak awal hukum Islam memiliki Ilahi, prinsip pembacaan dan prosedur
warna empiris-fungsional yang sangat kuat. penyusunan. Ketiga, Sunnah dan wewenang
Disebut empiris-fungsional karena hukum Islam Nabi. Keempat, prosedur pengembangan oleh
dalam bentuk ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya manusia dan kepatuhan kepada wewenang
direct law pada saat itu diturunkan sebagiannya meliputi ijmâ` (konsensus umat), ijtihad dan
dalam rangka memberikan jawaban terhadap cara-cara pokoknya: qiyâs, istihsân, ikhtilâf
berbagai persoalan yang muncul saat itu, apakah (divergensi). Dengan demikian, ciri-ciri formal
itu melalui permintaan Rasul sendiri atau al-Risâlah ini menunjukkan adanya campur
pertanyaan dari kalangan sahabat, atau tangan suatu nalar yang bergerak dalam korpus
diturunkan atas inisiatif Tuhan sendiri. Aspek yang terbatas (al-Qur’an dan hadits) diarahkan
historis-sosiologis inilah yang tampaknya coba pada pemahaman yang transendental (Ilâhîyah)
dihilangkan oleh para ahli hukum Islam ketika (Arkoun, 1986:61).
hukum Islam tidak lagi menjadi kajian yang Begitu kuatnya orientasi transendental ini
sifatnya praktis tetapi teoritis. Ini semakin sehingga menurut Arkoun pemikiran al-Syâfi`î
diperparah ketika metode-metode yang dipakai telah memunculkan persoalan dialektika
dalam peng-istinbath-an hukum Islam hubungan kebenaran dan sejarah, bahkan al-
cenderung mendukung proses pengabaian Syâfi`î sendiri punya andil besar dalam
tersebut. Mohammed Arkoun adalah salah mengungkapkan metodologi nalar islami yang
seorang sarjana Muslim kontemporer yang berfungsi sebagai strategi peniadaan kesejarahan
melihat kecenderungan di atas ketika ia tersebut. Dalam hal ini, al-Syâfi`î berusaha
melakukan “pembacaan ulang” (i`âdah qirâah) mensistematisasikan penalaran yuridis, yang
terhadap karya-karya klasik-skolastik seperti al- diterapkan pada teks-teks formal (al-Qur’an dan
Risâlah al-Syâfi`î (Supena, M. Fauzi, hadits) secara terpisah dari pengalaman asli
2002:119). serta kebutuhan langsung, sehingga al-Syâfi`î
Arkoun melihat bahwa materi al-Risâlah menolak penalaran-penalaran pribadi (ra’yu,
umumnya membahas “asas-asas wewenang istihsân) yang memadukan tradisi hidup (living
dalam Islam” (al-siyâdah al-‘ulyâ fî al-Islâm), tradition) sambil menjauhkan diri secara relatif
sehingga persoalan dasar yang terlontar meliputi dari norma asal. Tidak cukup hanya dengan
“atas nama siapa”, “atas nama apa” dan menanamkan hukum dengan nilai-nilai etika
“dengan prosedur pembuktian yang agama, al-Syâfi`î kemudian
bagaimana”, suatu penilaian atas kebenaran mentransendensikan aspek yuridis ini dengan
atau kaidah hukum menjadi kaidah bagi menggunakan teknik-teknik formal untuk
manusia untuk berjalan di atas petunjuk dan menyimpulkan kaidah-kaidah yuridis
keselamatan (syarî`ah). Menurut Arkoun, berdasarkan suatu korpus tertutup yang berisi
pertanyaan-pertanyaan ini menentukan prinsip ujaran-ujaran Ilahi dan Nabi dalam suatu
pembacaan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber metodologi hukum Islam. Inilah barangkali
wewenang, yang pada gilirannya dipahami yang menyebabkan Lahmuddin Nasution dalam
sebagai instansi tertinggi yang dapat Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab
melegitimasi otoritas politis (khalîfah), otoritas Syâfi`î, tidak menemukan alasan-alasan
yuridis (qâdhi) dan otoritas intelektual (ulama lingkungan domestik yang mempengaruhi
atau faqîh). Oleh karena itu, obyek persoalan proses perubahan ijtihad Imam al-Syâfi`î dari
yang dibahas dalam al-Risâlah tidak qawl qadîm ke qawl jadîd. Artinya, perubahan
sepenuhnya bersifat epistemologis, tetapi juga pendapat itu murni karena perbedaan dalam
historis-politis dan linguistik sekaligus. Grand penggunaan sumber hukum dan metode yang
theory dalam bentuk “asas-asas otoritas dipakai. Adapun kasus yang dijadikan contoh
tertinggi” (asâs al-siyâdah al-‘ulyâ) ini adalah dalam penentuan zakat zaitun. Dalam
selanjutnya dapat diklasifikasikan pada empat qawl qadîm al-Syâfi’î mengatakan bahwa zaitun
Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law 501
2002:87-103). Dengan perkataan lain, bila kita khususnya untuk hal-hal yang berkaitan dengan
kaitkan dengan perbincangan kita sebelumnya muamalat. Dengan perkataan lain, eklektisisme
tentang hukum Islam sebagai divine law dan (talfîq) antara hukum Islam dan sistem hukum
man-made law --- atau mengutip istilah A. lain adalah alamiah saja sifatnya. Seperti dalam
Qodri Azizy --- hukum umum atau hukum kasus hukum dagang, W. Montgomery Watt
sekuler, keduanya tidak tepat bila terus mengatakan bahwa pada awal-awal
didikotomikan sebagai entitas yang saling perkembangan Islam dan setelah penyebarannya
bermusuhan. Untuk itu, alangkah menarik bila ke Eropa agama Islam selalu menghasilkan
kita mencermati analisis George Makdisi: atmosfir yang kondusif terhadap perdagangan.
In the Middle Ages, the development of the Atmosfir yang kondusif itu tidak semata-mata
English common law showed certain dalam pengertian lingkungan perdagangan
similarities with that of Islamic law. Both tetapi juga aspek-aspek legal yang mendukung
legal sistems were indigenous, national aktivitas perdagangan tersebut baik dalam
laws; both were based on custom; unlike tataran filosofis maupun praksisnya (Haqqi,
civil (Roman) law and canon law, they 1999). Pada saat itulah, terjadi proses
were not codified laws; each in its own pengadopsian dari hukum Islam ke dalam
peculiar way was a judge-made law, hukum Barat, yang oleh De Santillana dalam
following a case-law method, and the The Legacy of Islam sebagai kebaikan yang
courts of each were characterized by a abadi dari hukum Islam kepada hukum Eropa.
jury sistem of sworn witnesses, familiar Sebaliknya, menurut A. Qodri Azizy
with the facts of the case. (Makdisi, mengungkapkan, bahwa hukum Islam yang
2002:93-94). mengadopsi adat kebiasaan lokal atau nasional
Dari kutipan di atas nyata benar bahwa secara umum sehingga sangat mungkin
ada kemiripan-kemiripan dalam proses terpengaruh oleh hukum Barat dalam suatu
pengembangan awal antara hukum Islam dan negara atau daerah, khususnya Eropa, setelah
tradisi common law. Kendatipun menurut Wael melepaskan diri dari zaman kegelapan (dark
B. Hallaq dalam tulisannya berjudul The Logic age) melalui Renaissance dan dibarengi dengan
of Legal Reasoning in Religious and non- kemajuan pesat dalam hampir semua bidang.
Religious Cultures: the Case of Islamic Law and Eropa mulai menjajah bangsa-bangsa di Timur
the Common Law dikatakan: yang tidak sedikit beragama Islam. Bahkan
All in all, Islamic law can be described as kasus negara Turki yang tidak secara langsung
more “logical” than common law…This dijajah oleh Eropa, ketika Eropa mulai maju.
seemingly positive characteristics of Turki sudah mengadopsi beberapa ketentuan
“logicism” has cost Islamic law a hingh hukum yang sudah berlaku di Eropa. Bahkan
prise, manifesting it-self in drastic reforms pembaharuan hukum di banyak negara yang
in the modern era, including the mayoritasnya beragama Islam juga berorientasi
wholesale borrowing of European codes pada sistem hukum di Barat, baik dari rumpun
to replace the inoperative traditional Roman Law Sistem maupun dari rumpun
laws. (Hallaq, 1985:98) Common Law Sistem. Banyak contoh dapat kita
Apa yang dikemukakan oleh Hallaq, tunjukkan, seperti negara-negara Timur Tengah,
bukan saja kaitan hukum Islam dengan logika, termasuk Turki, Pakistan, Indonesia, Malaysia,
namun juga sekaligus menunjukkan bahwa dan lainnya (Azizy, 2002:102). Negara-negara
hukum Islam sudah menjadi biasa untuk terbuka ini ketika memulai modernisasi juga tidak lepas
terhadap perubahan sesuai dengan dari tradisi kemajuan hukum di Barat. Bahkan,
perkembangan tuntutan. Hal ini juga erat sekali dengan membawa nama siyâsah syar`îyah yaitu
kaitannya dengan kebiasaan atau adat istiadat kewenangan pemerintah untuk melakukan
kedaerahan atau negara, sehingga tidak aneh kebijakan yang dikehendaki kemashlahatan,
kalau ada kejadian bahwa hukum Islam melalui aturan-aturan yang tidak bertentangan
menampakkan perbedaan antara yang ada di dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu
satu negara dan yang ada di negara lain, (Khallaf, 1994:6-7), negara-negara ini telah
Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law 503
semata-mata mempertahankan sumber. Adapun penulis, secara epistemologis ia tidak bisa lagi
menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, atas nama dianggap sebagai hukum non-Islam, sekuler
kemashlahatan, teks yang eksplisit dan definitif atau apapun namanya, tetapi bisa diadopsi
(qath’î) sekalipun dapat ditinggal jika situasi sebagai bagian dari hukum Islam. Dengan kata
tertentu memang menuntut penundaan (al-Jabiri, lain, tanpa bermaksud menafikan rumusan dari
2001:5-6). Sementara itu, Muhammad ibn hukum Islam yang telah ada, “sebuah produk
Ashûr (1978) menegaskan bahwa tujuan hukum (man-made law) kendati tidak berlabel
tertinggi dari syarî’ah adalah realisasi keadilan Islam tetapi dapat membantu tercapainya
(mashlahah) dan penolakan terhadap kejahatan tujuan-tujuan syariah seperti telah disinggung
(mafsadah). di atas, ia pada hakikatnya hukum Islam juga”.
Dalam rangka mewujudkan idealisme Maka makna a contrario-nya (mafhûm
tersebut, kita bisa memanfaatkan beragam mukhâlafah) adalah “sebuah produk hukum
sumber hukum tanpa harus membatasi diri pada kendati berlabel Islam tetapi tidak bisa
al-Qur’an dan hadits, melalui apa yang disebut membantu tercapainya tujuan-tujuan syariah,
dengan ijtihad. Ini sangat dimungkinkan, bahwa pada hakikatnya ia bukan hukum Islam.”
memang benar al-Qur’an sebagai sumber Pemaknaan seperti ini mengajak kita untuk
hukum Islam pertama dan paling utama tidaklah melihat hukum Islam dari sisi pragmatisnya
memuat seluruh persoalan-persoalan hukum, juga, karena akal sehat kita sulit bisa menerima
akan tetapi, ia memberikan konsep-konsep ketika sebuah produk hukum yang katanya
umum yang mungkin bisa diterapkan dalam bersumber dari al-Qur’an dan hadits
merealisasikan hukum, termasuk empat wilayah memperkenankan suami untuk melakukan
berbeda yang mungkin secara langsung kekerasan kepada istrinya. Atau, membatasi
berhubungan dengan permasalahan- gerak perempuan dalam dunia publik hanya
permasalahan hukum (legal subjects): (a) dalam semata-mata alasan melindungi mereka.
pengertian terminologi hukum secara ketat,
terdapat ayat yang mungkin bisa diterima KESIMPULAN
sebagai referensi-referensi hukum; (b) anjuran
yang bersifat etis dan moral yang telah Penulis melihat, bila pemahaman hukum
dijelaskan oleh para qâdhi dan para fuqahâ Islam sebagaimana telah diutarakan di atas bisa
mungkin bisa dijadikan sebagai sebuah sumber diterima, sejak saat ini mestinya tidak ada lagi
hukum; (c) berdasarkan keterangan al-Qur’an pertentangan antara apa yang disebut dengan
bahwa ahl al-kitâb mematuhi hukum Allah yang hukum Islam dan hukum non-Islam (hukum
diturunkan pada mereka sebelum kedatangan negara misalnya) atau antara divine law dan
Islam, maka para ahli hukum tanpa ragu juga man-made law. Keduanya bisa dilaksanakan
mengaplikasikan hukum yang diturunkan pada secara bersama-sama dan terintegrasi dalam
ahl al-kitâb sebelum kedatangan Islam; dan (d) menciptakan ke-mashlahat-an bagi segenap
hukum Islam, sebagai hukum suci dan berasal lapisan masyarakat. Penulis yakin, pemahaman
dari Tuhan Yang Maha Kuasa melingkupi terhadap hakikat hukum Islam “gaya baru” itu
seluruh persoalan-persoalan dan permasalahan- akan terasa “aneh” bagi kebanyakan umat Islam,
permasalahan yang mungkin dihadapi manusia. terutama mereka yang selama ini terbiasa
Langkah-langkah di atas bisa saja memahami hukum Islam semata-mata dari sisi
dilakukan, asal saja produk hukum yang kita sumber hukumnya, bukan tujuannya. Lebih dari
rumuskan itu harus tetap dalam bingkai itu, penulis berharap pendekatan terhadap
“realisasi kebaikan dan penolakan terhadap hukum Islam di atas dapat dijadikan jalan
kejahatan” dan --- meminjam analisis sosiologi tengah bagi kelompok yang mendukung
hukum --- “sesuai dengan kesadaran hukum formalisme hukum Islam dan kelompok yang
masyarakat”. Bila ini telah terpenuhi maka mendukung deformalisme hukum Islam,
semestinya umat Islam se-cara obyektif dapat sehingga keduanya tidak terjatuh pada titik
menerimanya, dan ikut serta bertanggung jawab ekstrim yang dapat merugikan Islam sendiri.
untuk menegakkannya. Bahkan, menurut Dengan demikian, aspek khusus yang menonjol
Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law 505