Anda di halaman 1dari 8

HAKIKAT HUKUM ISLAM:

ANTARA DIVINE LAW DAN MAN-MADE LAW


Imam Syaukani1

Balitbang Kemenag RI

ABSTRACT

This word tried to describe the debate surrounding the concept of Islamic law as the law
of God (divine law) and man-made laws (man-made law) as well. Studying this is
important to bridge the depression of some Muslims who want to apply Islamic law in
Indonesia. So far there has been no clear framework how Islamic law which is believed
that come from God, so it’s sacred and must be applied in the context of a fully
indonesian profane. Political and legal sistems that do not make Islam the sole source of
inspiration to make intelligent Muslims,it should be well understood in the context of
Islamic law such as this. Reinterpretation of the concept of Islamic law and placing
proper position between divine law and man-made law would be an option offered by
this word.

Kata-kata Kunci :
Hukum Islam, Divine Law, Man-Made Law

PENDAHULUAN Qur’an dan penjelasannya dari Nabi Saw.


yang disebut Sunnah.” (Soejoeti, 2001:23-
Sebagian ilmuwan mengategorikan 24).
hukum Islam sebagai divine law karena aturan- Bila kutipan di atas dikaitkan dengan
aturan yang ada di dalamnya dibuat langsung politik, maka itulah yang disebut dengan
oleh Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia nomokrasi negara Islam (Azhary, 1992). Sifat
di dunia. Pengertian seperti itu adalah nomokratis negara Islam menunjukkan
pengertian yang lazim dipahami selama ini. Bila kepercayaan terhadap sumpremasi hukum suci
kita perhatikan pengertian di atas betul-betul yang menjadi “sumber otoritas pemerintahan.”
menempatkan hukum Islam sebagai entitas yang Peraturan suci seperti itu secara inheren
murni bersifat top down dan melepaskan aspek- memiliki karakter supernatural dan yang luar
aspek historis-sosiologisnya, sebagaimana yang biasa (supernatural and extraordinary
dapat kita pahami pula dari kutipan di bawah character). Ikatan-ikatan penyatuan antara
ini: agama dan negara, dan supremasi hukum suci
“Konsep hukum menurut ahli fiqih pada yang berasal dari kehendak Tuhan secara
dasarnya terletak di atas ide bahwa hukum bersama-sama menegaskan kembali kewajiban
itu bersifat keagamaan. Sejak periode setiap hamba untuk taat kepada-Nya. Menurut
paling awal sejarah Islam, hukum telah Khadduri:
dipandang sebagai keluar dan merupakan Warga negara Islam adalah hamba Allah
bagian dari syari’ah. Adapun syari’ah (‘ibâd Allâh) dan hukum-hukumnya
sebagaimana telah dijelaskan, adalah pola adalah hukum suci, karena ia berasal dari
tingkah laku manusia yang diatur oleh Allah, tidak diterapkan dan dibuat oleh
Allah SWT. Konsep hukum seperti itu manusia. Hukum suci seperti itu adalah
sejalan dengan pandangan bahwa hukum pasti benar dan menusia hanya bisa
itu harus bersumber langsung atau tidak mematuhi karena Allah lebih tahu dari
langsung dari wahyu Tuhan yaitu al- otoritas manapun terhadap kebutuhan-

 498 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


kebutuhan hamba-Nya. Dalam usahanya kondisi budaya yang harus diadaptasinya.
untuk menaati hukum, manusia menyadari Dalam hal ini, tesis Weber yang mengatakan
akan tujuan-tujuan agamanya. Karenanya, bahwa hukum ketuhanan merupakan hukum
hukum dalam Islam memiliki karakter yang paling kreatif karena berangkat tanpa
sebagai sebuah kewajiban religius. Pada preseden (Rahardjo, 1985:51), patut kita
waktu yang sama ia juga memberikan pertanyakan bersama. Bila itu dikaitkan dengan
dukungan politik bagi agama Islam. hukum Islam, apakah dalam hal ini hukum
Islam tergolong hukum yang paling kreatif
PEMBAHASAN karena berangkat dari ruang hampa?
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, pada
Pada kenyataannya hukum Islam kesempatan ini, penulis dengan berat hati
merupakan perintah Tuhan dan karenanya berpendapat bahwa hukum Islam tidak bisa
bersifat mengikat sebagai sebuah cita-cita dikategorikan sebagai hukum yang sepenuhnya
agama yang berbeda dengan hukum buatan paling kreatif dalam pengertian Weber. Karena
manusia (man-made law) dan dianggap sebagai ternyata, aturan-aturan hukum yang terdapat
sebuah fenomena sosial yang tunduk pada dalam al-Qur’an muatan materinya berangkat
kebutuhan-kebutuhan manusia dan nilai-nilai. dari realitas masyarakat yang sudah ada. Hukum
Karena alasan itulah “hukum dalam pandangan Islam, sebagai sebuah studi tidak dapat
pemikir-pemikir Muslim pada kenyataannya dilepaskan secara total dengan latar belakang
bukanlah termasuk kajian yang independen dan historisnya. Hukum Arab pra-Islam, hukum
empiris…” (Gibb, 1969:61). Sebagai implikasi Adat yang bersifat kesukuan dan primitif dan
dari kedua faktor tersebut, yakni sifat sucinya mengatur kehidupan, sistem sosial dan nilai-
dan ikatan yang kuat dengan tradisi-tradisi lama, nilai moral masyarakat Arab, adalah merupakan
hukum Islam berkembang menjadi sebuah seperangkat hukum yang bersifat konservatif
hukum yang statis yang bisa dianggap menjadi dan statis, dan juga merupakan warisan dari
penghalang bagi terjadinya perubahan. Inilah generasi ke generasi (Khadduri, 1985:17).
syari’ah yang mendominasi pemikiran dan Meskipun Islam sebagai sebuah keyakinan baru
kesadaran para generasi Muslim berikutnya dan mengklaim bahwa ia telah memperkenalkan
dianggap sebagai sumber serta bentuk tertinggi sebuah keyakinan yang berbeda dengan sunnah
hukum yang berisi moral, etika dan nilai-nilai (tradisi) nenek moyang bangsa Arab, tetapi hal
religius (Gibb, Harold Bowen, t.t.). itu secara pasti tidaklah mengarah pada
Padahal menurut Muhammad `Abid al- penggantian secara total terhadap sunnah yang
Jabiri dalam al-Dîn wa al-Dawlah wa Tathbîq berlaku sebelumnya (Khadduri, 1985:18). Islam
al-Syarî`ah (al-Jabiri, 2001:36) aspek historis- mengubah cara hidup orang Arab secara drastis.
sosiologis hukum Islam penting untuk bisa Namun, walaupun demikian, Islam juga
dipahami secara baik, karena melalui aspek mengakomodir elemen-elemen konservatif yang
inilah kita akan terbantu dalam memahami ayat- sangat dipegang teguh oleh bangsa Arab dari
ayat hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. generasi ke generasi. Oleh karena itu, ajaran
Selanjutnya al-Jabiri menjelaskan, hukum Islam Nabi Muhammad dapat digolongkan pada dua
itu dibangun di atas tiga pilar yaitu: kategori yang berbeda. Pertama, ajaran yang
penghapusan (naskh), sebab-sebab turunnya berupa seperangkat aturan-aturan, kebiasaan-
ayat (asbâb al-nuzûl) dan tujuan-tujuan syari’ah kebiasaan, dan nilai-nilai yang diperkenalkan
(maqâshid al-syarî`ah). Bila kita perhatikan, kepada bangsa Arab dan tidak memiliki akar
dua dari pilar tersebut, yaitu naskh dan asbâb dalam hukum adat bangsa Arab. Ajaran ini
al-nuzûl berkaitan erat dengan aspek historis- dikenal dengan hukum ta’sisi atau hukum-
sosiologis dari hukum Islam. Artinya, kendati hukum yang dibentuk tanpa adanya preseden
hukum Islam dipahami sebagai hukum terlebih dahulu. Kedua, berupa seperangkat
ketuhanan bukan berarti ia meninggalkan aturan-aturan yang diabdosi dan diambil dari
keunikan dan kekhasan tempat di mana kitab kebiasaan bangsa Arab pra-Islam yang dikenal
suci (al-Qur’an) itu diturunkan, serta situasi dan dengan hukum Emzai atau hukum-hukum yang

Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law 499
sebelumnya eksis dan kemudian dibenarkan persoalan. Pertama, wewenang agama. Kedua,
oleh nabi (Salahin, 2003:132). posisi al-Qur’an sebagai sumber eksplisit
Bila melihat kenyataan yang demikian, norma-norma yang didasari oleh wewenang
mestinya sejak awal hukum Islam memiliki Ilahi, prinsip pembacaan dan prosedur
warna empiris-fungsional yang sangat kuat. penyusunan. Ketiga, Sunnah dan wewenang
Disebut empiris-fungsional karena hukum Islam Nabi. Keempat, prosedur pengembangan oleh
dalam bentuk ayat-ayat al-Qur’an yang sifatnya manusia dan kepatuhan kepada wewenang
direct law pada saat itu diturunkan sebagiannya meliputi ijmâ` (konsensus umat), ijtihad dan
dalam rangka memberikan jawaban terhadap cara-cara pokoknya: qiyâs, istihsân, ikhtilâf
berbagai persoalan yang muncul saat itu, apakah (divergensi). Dengan demikian, ciri-ciri formal
itu melalui permintaan Rasul sendiri atau al-Risâlah ini menunjukkan adanya campur
pertanyaan dari kalangan sahabat, atau tangan suatu nalar yang bergerak dalam korpus
diturunkan atas inisiatif Tuhan sendiri. Aspek yang terbatas (al-Qur’an dan hadits) diarahkan
historis-sosiologis inilah yang tampaknya coba pada pemahaman yang transendental (Ilâhîyah)
dihilangkan oleh para ahli hukum Islam ketika (Arkoun, 1986:61).
hukum Islam tidak lagi menjadi kajian yang Begitu kuatnya orientasi transendental ini
sifatnya praktis tetapi teoritis. Ini semakin sehingga menurut Arkoun pemikiran al-Syâfi`î
diperparah ketika metode-metode yang dipakai telah memunculkan persoalan dialektika
dalam peng-istinbath-an hukum Islam hubungan kebenaran dan sejarah, bahkan al-
cenderung mendukung proses pengabaian Syâfi`î sendiri punya andil besar dalam
tersebut. Mohammed Arkoun adalah salah mengungkapkan metodologi nalar islami yang
seorang sarjana Muslim kontemporer yang berfungsi sebagai strategi peniadaan kesejarahan
melihat kecenderungan di atas ketika ia tersebut. Dalam hal ini, al-Syâfi`î berusaha
melakukan “pembacaan ulang” (i`âdah qirâah) mensistematisasikan penalaran yuridis, yang
terhadap karya-karya klasik-skolastik seperti al- diterapkan pada teks-teks formal (al-Qur’an dan
Risâlah al-Syâfi`î (Supena, M. Fauzi, hadits) secara terpisah dari pengalaman asli
2002:119). serta kebutuhan langsung, sehingga al-Syâfi`î
Arkoun melihat bahwa materi al-Risâlah menolak penalaran-penalaran pribadi (ra’yu,
umumnya membahas “asas-asas wewenang istihsân) yang memadukan tradisi hidup (living
dalam Islam” (al-siyâdah al-‘ulyâ fî al-Islâm), tradition) sambil menjauhkan diri secara relatif
sehingga persoalan dasar yang terlontar meliputi dari norma asal. Tidak cukup hanya dengan
“atas nama siapa”, “atas nama apa” dan menanamkan hukum dengan nilai-nilai etika
“dengan prosedur pembuktian yang agama, al-Syâfi`î kemudian
bagaimana”, suatu penilaian atas kebenaran mentransendensikan aspek yuridis ini dengan
atau kaidah hukum menjadi kaidah bagi menggunakan teknik-teknik formal untuk
manusia untuk berjalan di atas petunjuk dan menyimpulkan kaidah-kaidah yuridis
keselamatan (syarî`ah). Menurut Arkoun, berdasarkan suatu korpus tertutup yang berisi
pertanyaan-pertanyaan ini menentukan prinsip ujaran-ujaran Ilahi dan Nabi dalam suatu
pembacaan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber metodologi hukum Islam. Inilah barangkali
wewenang, yang pada gilirannya dipahami yang menyebabkan Lahmuddin Nasution dalam
sebagai instansi tertinggi yang dapat Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab
melegitimasi otoritas politis (khalîfah), otoritas Syâfi`î, tidak menemukan alasan-alasan
yuridis (qâdhi) dan otoritas intelektual (ulama lingkungan domestik yang mempengaruhi
atau faqîh). Oleh karena itu, obyek persoalan proses perubahan ijtihad Imam al-Syâfi`î dari
yang dibahas dalam al-Risâlah tidak qawl qadîm ke qawl jadîd. Artinya, perubahan
sepenuhnya bersifat epistemologis, tetapi juga pendapat itu murni karena perbedaan dalam
historis-politis dan linguistik sekaligus. Grand penggunaan sumber hukum dan metode yang
theory dalam bentuk “asas-asas otoritas dipakai. Adapun kasus yang dijadikan contoh
tertinggi” (asâs al-siyâdah al-‘ulyâ) ini adalah dalam penentuan zakat zaitun. Dalam
selanjutnya dapat diklasifikasikan pada empat qawl qadîm al-Syâfi’î mengatakan bahwa zaitun

 500 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


wajib dizakati, berdasarkan dalil surat al- Al-Qur’an adalah kalâm Allah yang turun
An’am:141 dan riwayat Umar. Sedangkan qawl mengenai sejarah umat manusia dan al-Qur’an
jadîd mendasarkan pada hadits yang tidak berhutang apapun kepada sejarah manusia.
diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi Al-Qur’an malahan mencatat sejarah manusia
(Nasution, 2001:207). kesimpulan tersebut dalam perputaran waktu eskatologis karena
sangat menarik karena selama ini seperti segala tingkah laku di dalam kehidupan ini (al-
Mun`im A. Sirry dalam Sejarah Fiqih Islam: dunyâ) hanya memiliki makna sebenarnya
Sebuah Pengantar menganggap bahwa dalam kehidupan lain (âkhirah). Inilah syarat-
perubahan fatwa itu berkaitan erat dengan syarat keshahihan setiap campur tangan suatu
perbedaan lingkungan domestik yang dihadapi wewenang manusia di dalam bidang hukum
al-Syâfi`î. al-Syâfi`î tinggal di Iraq pada zaman (Arkoun, 1986:75)
kekuasaan al-Amin. Pada waktu itu, al-Syâfi`î Analisis yang ditorehkan Arkoun
terlibat perdebatan dengan ahli fiqih rasional menggugah kesadaran penulis bahwa
Iraq. Di tengah perdebatan itulah, ia menulis tampaknya pemahaman tentang otensitas dan
buku yang berudul al-hujjah yang secara otoritas hukum Islam sebagai divine law atas
komprehensif memuat sikapnya terhadap man-made law adalah juga berangkat dari
persoalan yang berkembang. Menurut Sirry, prinsip-prinsip di atas. Padahal, sebagaimana
sementara ini para ahli hukum berkesimpulan telah dipaparkan di muka, melepaskan al-
bahwa munculnya qawl qadîm dan qawl jadîd Qur’an dari realitas sejarah masa lalu bangsa
merupakan tahapan dari perkembangan Arab pra-Islam adalah sangat tidak mungkin.
“kematangan” pemikiran al-Syâfi`î. Pandangan Sama tidak mungkinnya juga kita membatasi
ini tidak benar, tetapi munculnya qawl qadîm diri dari eksistensi man-made law.
dan qawl jadîd lebih sebagai suatu refleksi dari Sesungguhnya, bila kita jujur melihat sejarah
kehidupan sosial yang berbeda, sebagaimana hukum dari masa lalu hingga sekarang, tidak
juga dialami oleh dua Imam madzhab ada satu sistem hukum pun di dunia ini yang
sebelumnya (sirry, 1995:106-107). secara mandiri muncul begitu saja tanpa melalui
Menurut pengamatan Arkoun, hubungan proses kritik dan penyesuaian-penyesuaian
kebenaran dan sejarah yang diperlihatkan al- dengan sistem hukum yang lain. Menurut Rene
Syâfi`î tersebut berada pada posisi yang tidak David dan John E.C. Brierley dalam buku yang
proporsional, karena seringkali al-Syâfi`î berjudul Major Legal Sistem in the World
membahas masalah kebenaran (haq), tetapi ia Today: An Introduction to the Comparative
tidak membahas sejarah sebagai sebuah disiplin Study of Law mengungkapkan, bahwa saat ini di
khusus secara eksplisit. Pengacuan pada fakta dunia hidup empat rumpun sistem hukum
atau tokoh bersejarah pun jarang. Fenomena ini dominan, yaitu rumpun hukum romano-
sesuai dengan sudut pandang al-Syâfi`î yang germanic, rumpun hukum sosialis, rumpun
cenderung berorientasi transenden, sehingga hukum common law, dan rumpun hukum lain
sejarah manusia tampaknya dianggap tidak (seperti hukum Islam, India, China, Jepang, dan
begitu penting, bahkan sebelum wahyu al- Afrika). (David, John E.C. Brierley, 1985)
Qur’an turun kondisinya dikaburkan, melantur Bahkan, menurut A. Qodri Azizy dalam
dan negatif. Adapun setelah turunnya wahyu al- bukunya Eklektisisme Hukum Nasional
Qur’an, maka sejarah manusia harus dimurnikan memaparkan bahwa sistem-sistem hukum itu
dan diarahkan pada perintah-perintah dan saling pengaruh-mempengaruhi dalam
larangan-larangan yang disampaikan Allah dan pengertian saling memanfaatkan. Tidak soal
Rasul-Nya. Kepatuhan nalar sehat (al`aql al- sistem hukum mana yang lebih dahulu
shahîh) pada wewenang hukum Allah itu begitu mempengaruhi atau dipengaruhi, itu
kuat sebagaimana tercermin dalam ungkapan al- sesungguhnya tidak terlalu penting. Karena,
Syâfi`î seperti “jika Allah menghendaki,” yang terpenting bagi ahli hukum adalah,
“Allah Maha Tahu” dan sebagainya. Dengan bagaimana hukum yang mereka bentuk dapat
demikian, hubungan kebenaran dengan sejarah memberikan manfaat bagi proses transformasi
dalam pemikiran al-Syâfi`î bersifat satu arah. masyarakat kepada yang lebih baik (Azizy,

Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law 501
2002:87-103). Dengan perkataan lain, bila kita khususnya untuk hal-hal yang berkaitan dengan
kaitkan dengan perbincangan kita sebelumnya muamalat. Dengan perkataan lain, eklektisisme
tentang hukum Islam sebagai divine law dan (talfîq) antara hukum Islam dan sistem hukum
man-made law --- atau mengutip istilah A. lain adalah alamiah saja sifatnya. Seperti dalam
Qodri Azizy --- hukum umum atau hukum kasus hukum dagang, W. Montgomery Watt
sekuler, keduanya tidak tepat bila terus mengatakan bahwa pada awal-awal
didikotomikan sebagai entitas yang saling perkembangan Islam dan setelah penyebarannya
bermusuhan. Untuk itu, alangkah menarik bila ke Eropa agama Islam selalu menghasilkan
kita mencermati analisis George Makdisi: atmosfir yang kondusif terhadap perdagangan.
In the Middle Ages, the development of the Atmosfir yang kondusif itu tidak semata-mata
English common law showed certain dalam pengertian lingkungan perdagangan
similarities with that of Islamic law. Both tetapi juga aspek-aspek legal yang mendukung
legal sistems were indigenous, national aktivitas perdagangan tersebut baik dalam
laws; both were based on custom; unlike tataran filosofis maupun praksisnya (Haqqi,
civil (Roman) law and canon law, they 1999). Pada saat itulah, terjadi proses
were not codified laws; each in its own pengadopsian dari hukum Islam ke dalam
peculiar way was a judge-made law, hukum Barat, yang oleh De Santillana dalam
following a case-law method, and the The Legacy of Islam sebagai kebaikan yang
courts of each were characterized by a abadi dari hukum Islam kepada hukum Eropa.
jury sistem of sworn witnesses, familiar Sebaliknya, menurut A. Qodri Azizy
with the facts of the case. (Makdisi, mengungkapkan, bahwa hukum Islam yang
2002:93-94). mengadopsi adat kebiasaan lokal atau nasional
Dari kutipan di atas nyata benar bahwa secara umum sehingga sangat mungkin
ada kemiripan-kemiripan dalam proses terpengaruh oleh hukum Barat dalam suatu
pengembangan awal antara hukum Islam dan negara atau daerah, khususnya Eropa, setelah
tradisi common law. Kendatipun menurut Wael melepaskan diri dari zaman kegelapan (dark
B. Hallaq dalam tulisannya berjudul The Logic age) melalui Renaissance dan dibarengi dengan
of Legal Reasoning in Religious and non- kemajuan pesat dalam hampir semua bidang.
Religious Cultures: the Case of Islamic Law and Eropa mulai menjajah bangsa-bangsa di Timur
the Common Law dikatakan: yang tidak sedikit beragama Islam. Bahkan
All in all, Islamic law can be described as kasus negara Turki yang tidak secara langsung
more “logical” than common law…This dijajah oleh Eropa, ketika Eropa mulai maju.
seemingly positive characteristics of Turki sudah mengadopsi beberapa ketentuan
“logicism” has cost Islamic law a hingh hukum yang sudah berlaku di Eropa. Bahkan
prise, manifesting it-self in drastic reforms pembaharuan hukum di banyak negara yang
in the modern era, including the mayoritasnya beragama Islam juga berorientasi
wholesale borrowing of European codes pada sistem hukum di Barat, baik dari rumpun
to replace the inoperative traditional Roman Law Sistem maupun dari rumpun
laws. (Hallaq, 1985:98) Common Law Sistem. Banyak contoh dapat kita
Apa yang dikemukakan oleh Hallaq, tunjukkan, seperti negara-negara Timur Tengah,
bukan saja kaitan hukum Islam dengan logika, termasuk Turki, Pakistan, Indonesia, Malaysia,
namun juga sekaligus menunjukkan bahwa dan lainnya (Azizy, 2002:102). Negara-negara
hukum Islam sudah menjadi biasa untuk terbuka ini ketika memulai modernisasi juga tidak lepas
terhadap perubahan sesuai dengan dari tradisi kemajuan hukum di Barat. Bahkan,
perkembangan tuntutan. Hal ini juga erat sekali dengan membawa nama siyâsah syar`îyah yaitu
kaitannya dengan kebiasaan atau adat istiadat kewenangan pemerintah untuk melakukan
kedaerahan atau negara, sehingga tidak aneh kebijakan yang dikehendaki kemashlahatan,
kalau ada kejadian bahwa hukum Islam melalui aturan-aturan yang tidak bertentangan
menampakkan perbedaan antara yang ada di dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu
satu negara dan yang ada di negara lain, (Khallaf, 1994:6-7), negara-negara ini telah

 502 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


memproduksi qânûn dalam rangka lebih Pemahaman seperti itu menurut penulis, telah
menjamin pengaturan masyarakat secara lebih membuat apa yang disebut dengan hukum Islam
baik sehingga tercapai kemaslahatan bersama. itu terkukung dalam dunia idealnya. Dalam
Alhasil, menurut Azizy, perkembangan di dunia kerangka berpikir seperti inilah, penulis setuju
telah terjadi dan akan selalu terjadi eklektisisme dengan apa yang dikemukakan oleh al-Jabiri
dalam sistem hukum. sebelumnya bahwa pilar-pilar hukum Islam ada
Dari apa yang telah dipaparkan di atas, tiga, yakni naskh, asbâb al-nuzûl dan maqâshid
tampaknya Azizy mencoba untuk melerai al-syarî`ah. Artinya, hukum Islam yang baik
ketegangan yang tidak perlu antara hukum harus dibangun di atas kesadaran kesejarahan
Islam dengan hukum sekuler, atau antara divine dan pastinya tujuan. Berkaitan dengan pilar
law dan man-made law. Dengan kata lain, yang disebutkan terakhir, para ahli ushul telah
mengapa umat Islam harus takut untuk merumuskan bahwa ada lima tujuan
mengkompromikan antara hukum Islam dan disyariatkan hukum Islam, yaitu dalam rangka
hukum sekuler padahal sejarah telah memelihara agama (hifzh al-dîn), memelihara
membuktikan selama ini tidak ada masalah. jiwa (hifzh al-nafs), memelihara akal (hifzh al-
Tentunya, yang dimaksud kompromi di sini `aql), memelihara keturunan (hifzh al-nasl), dan
dalam pengertian bahwa aspek-aspek yang memelihara harta (hifzh al-mâl). Pada
dikompromikan tidak bertentangan dengan sifat kesempatan ini penulis tidak akan memerinci
dasar hukum Islam yang berorientasi mengenai kelima tujuan syariah itu, tetapi
keagamaan. Inilah yang paling sulit, karena secara umum masalah maqâshid al-syarî`ah
selama teoritisi hukum Islam lebih melihat akan penulis gunakan untuk melihat hukum
hukum Islam sebagai pengejawantahan dari Islam dari sisi yang berbeda dari sebelumnya.
kalâm Allah yang abadi, selama itu pula proses- Menurut hemat penulis (Syaukani, 2003),
proses kompromi itu tidak akan pernah terjadi. masalah maqâshid al-syarî`ah adalah satu faktor
Karena banyak pengalaman bahwa proses penting untuk mengetahui identitas suatu
eklektisisme kerap mengalami kegagalan karena hukum. Apakah hukum itu bernuansa islami
konsep-konsep dasar dari beberapa sistem atau tidak dapat dilihat dari aspek ini. Analisis
hukum yang akan dieklektisiskan tidak ini tidak mengada-ada karena bila kita lihat
diselesaikan terlebih dahulu. Dalam hal ini, sejarah, kita akan banyak menemukan kasus-
berkaitan dengan pembangunan hukum kasus yang semestinya tidah harus terjadi. Di
nasional, penulis setuju dengan Bushtanul Sudan misalnya, pada masa pemerintahan rezim
Arifin bahwa satu hal penting untuk dilakukan Numeiri (1969-1985) telah diberlakukan tindak
segera adalah penyamaan bahasa hukum dari kekerasan dan hukuman badan kepada anggota
tiga sistem hukum yang ada di Indonesia (Adat, masyarakat yang dianggap melanggar hukum
Islam, dan Barat) (Arifin, 1996:41). Oleh karena dan terhadap lawan-lawan politiknya tanpa
itu, menurut penulis, diperlukan pergeseran melalui proses peradilan dengan
paradigma di dalam memahami apa yang mengatasnamakan Islam dan hukum Islam
disebut hukum Islam itu. (Safwat, 1988:231-232). Akibatnya, alih-alih
Bila kita perhatikan, pemahaman terhadap ingin menciptakan ketentraman malah menuai
hakikat hukum Islam sebagai divine law lebih sebaliknya. Dari contoh kasus tersebut, maka
dilihat dari tataran sumber atau asal-muasal memandang hukum Islam semata-mata dari
hukum itu dibentuk, tidak dilihat dari aspek sumber dan labelnya (mashâdir al-ahkâm) an
tujuan hukumnya (maqâshid). Artinya, asalkan sich dan mengabaikan aspek-aspek tujuan
suatu produk hukum disarikan dari al-Qur’an hukumnya (maqâshid al-ahkâm), yakni
dan hadits serta ditambah dengan kemasan terciptanya ke-mashlahat-an bagi segenap
simbol-simbol Islam --- tanpa manusia, akan menjadikan pemahaman kita
mempertimbangkan aspek teleologis hukum terhadap apa yang disebut dengan hukum Islam
yaitu doktrin atau studi mengenai tujuan akhir itu sangat sempit. Padahal aspek maqâshid dan
dari hukum (Alexander, 1983:1-2) tersebut --- mashlahah menurut Imam Mâlik dengan
langsung saja dianggap sebagai hukum Islam. mashlahat mursalah-nya lebih penting daripada

Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law 503
semata-mata mempertahankan sumber. Adapun penulis, secara epistemologis ia tidak bisa lagi
menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri, atas nama dianggap sebagai hukum non-Islam, sekuler
kemashlahatan, teks yang eksplisit dan definitif atau apapun namanya, tetapi bisa diadopsi
(qath’î) sekalipun dapat ditinggal jika situasi sebagai bagian dari hukum Islam. Dengan kata
tertentu memang menuntut penundaan (al-Jabiri, lain, tanpa bermaksud menafikan rumusan dari
2001:5-6). Sementara itu, Muhammad ibn hukum Islam yang telah ada, “sebuah produk
Ashûr (1978) menegaskan bahwa tujuan hukum (man-made law) kendati tidak berlabel
tertinggi dari syarî’ah adalah realisasi keadilan Islam tetapi dapat membantu tercapainya
(mashlahah) dan penolakan terhadap kejahatan tujuan-tujuan syariah seperti telah disinggung
(mafsadah). di atas, ia pada hakikatnya hukum Islam juga”.
Dalam rangka mewujudkan idealisme Maka makna a contrario-nya (mafhûm
tersebut, kita bisa memanfaatkan beragam mukhâlafah) adalah “sebuah produk hukum
sumber hukum tanpa harus membatasi diri pada kendati berlabel Islam tetapi tidak bisa
al-Qur’an dan hadits, melalui apa yang disebut membantu tercapainya tujuan-tujuan syariah,
dengan ijtihad. Ini sangat dimungkinkan, bahwa pada hakikatnya ia bukan hukum Islam.”
memang benar al-Qur’an sebagai sumber Pemaknaan seperti ini mengajak kita untuk
hukum Islam pertama dan paling utama tidaklah melihat hukum Islam dari sisi pragmatisnya
memuat seluruh persoalan-persoalan hukum, juga, karena akal sehat kita sulit bisa menerima
akan tetapi, ia memberikan konsep-konsep ketika sebuah produk hukum yang katanya
umum yang mungkin bisa diterapkan dalam bersumber dari al-Qur’an dan hadits
merealisasikan hukum, termasuk empat wilayah memperkenankan suami untuk melakukan
berbeda yang mungkin secara langsung kekerasan kepada istrinya. Atau, membatasi
berhubungan dengan permasalahan- gerak perempuan dalam dunia publik hanya
permasalahan hukum (legal subjects): (a) dalam semata-mata alasan melindungi mereka.
pengertian terminologi hukum secara ketat,
terdapat ayat yang mungkin bisa diterima KESIMPULAN
sebagai referensi-referensi hukum; (b) anjuran
yang bersifat etis dan moral yang telah Penulis melihat, bila pemahaman hukum
dijelaskan oleh para qâdhi dan para fuqahâ Islam sebagaimana telah diutarakan di atas bisa
mungkin bisa dijadikan sebagai sebuah sumber diterima, sejak saat ini mestinya tidak ada lagi
hukum; (c) berdasarkan keterangan al-Qur’an pertentangan antara apa yang disebut dengan
bahwa ahl al-kitâb mematuhi hukum Allah yang hukum Islam dan hukum non-Islam (hukum
diturunkan pada mereka sebelum kedatangan negara misalnya) atau antara divine law dan
Islam, maka para ahli hukum tanpa ragu juga man-made law. Keduanya bisa dilaksanakan
mengaplikasikan hukum yang diturunkan pada secara bersama-sama dan terintegrasi dalam
ahl al-kitâb sebelum kedatangan Islam; dan (d) menciptakan ke-mashlahat-an bagi segenap
hukum Islam, sebagai hukum suci dan berasal lapisan masyarakat. Penulis yakin, pemahaman
dari Tuhan Yang Maha Kuasa melingkupi terhadap hakikat hukum Islam “gaya baru” itu
seluruh persoalan-persoalan dan permasalahan- akan terasa “aneh” bagi kebanyakan umat Islam,
permasalahan yang mungkin dihadapi manusia. terutama mereka yang selama ini terbiasa
Langkah-langkah di atas bisa saja memahami hukum Islam semata-mata dari sisi
dilakukan, asal saja produk hukum yang kita sumber hukumnya, bukan tujuannya. Lebih dari
rumuskan itu harus tetap dalam bingkai itu, penulis berharap pendekatan terhadap
“realisasi kebaikan dan penolakan terhadap hukum Islam di atas dapat dijadikan jalan
kejahatan” dan --- meminjam analisis sosiologi tengah bagi kelompok yang mendukung
hukum --- “sesuai dengan kesadaran hukum formalisme hukum Islam dan kelompok yang
masyarakat”. Bila ini telah terpenuhi maka mendukung deformalisme hukum Islam,
semestinya umat Islam se-cara obyektif dapat sehingga keduanya tidak terjatuh pada titik
menerimanya, dan ikut serta bertanggung jawab ekstrim yang dapat merugikan Islam sendiri.
untuk menegakkannya. Bahkan, menurut Dengan demikian, aspek khusus yang menonjol

 504 ULUMUDDIN, Volume VI, Tahun IV, Januari – Juni 2010


(distinctive features) dari hukum Islam, yaitu Haqqi, Abdurrahman Raden Aji. (1999). The
bahwa hukum Islam bersifat teoritis, etis dan Philosophy of Islamic Law of Transaction.
tidak bersifat empiris runtuh dengan sendirinya Kuala Lumpur: Univision Press.
(Paydar, 2003:132). Dan ini bermanfaat untuk Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. (1994). Politik
mentransformasikan hukum Islam ke dalam Hukum Islam (al-Siyâsah al-Syar’îyah).
sistem hukum nasional secara lebih elegan. (Terj. Zainuddin Adnan). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
DAFTAR PUSTAKA Nasution, Lahmuddin. (2001). Pembaharuan
Hukum Islam dalam Madzhab Syâfi’î.
Alexander, Frank S. (1983, 27 September). Bandung: Remaja Rosdakarya.
Three Fallacies of Contemporary Paydar, Manouchehr. (2003). Legitimasi
Jurisprudence. Wake Forest University. Negara Islam: Problem Otoritas Syari’ah
Hal 1-2. dan Politik Penguasa (Aspects of the
Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. (2001). Agama, Islamic State: Religious Norms and
Negara dan Penerapan Syari’ah (al-Dîn Political Realities). (Terj. M. Maufur el-
wa al-Dawlah wa Tathbîq al-Syarî’ah). Khoiry). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
(Terj. Mujiburrahman). Yogyakarta: Fajar Rahardjo, Satjipto. (1985). Beberapa
Pustaka Baru. Pemikiran tentang Ancangan Antar
Arifin, Busthanul. (1996). Pelembagaan Disiplin dalam Pembinaan Hukum
Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Nasional. Bandung: Sinar Baru.
Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Safwat, Safiya. (1988). Islamic Law in The
Gema Insani Press. Sudan. London dan New York:
Arkoun, Mohammed. (1986). Târikhîyah al- Routledge.
Fikr al-‘Arabî al-Islâmî. Beirut: Markaz Sirry, Mun’im. A. (1995). Sejarah Fiqih Islam:
al-Inma. Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah
Azhary, Muhammad Tahir. (1992). Negara Gusti.
Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip- Soejoeti, Zarkowi. (2001). Pengantar Ilmu
Prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Fiqih. Yogyakarta: Gema Media
Implementasinya Pada Periode Negara Supena, M. Fauzi. (2002). Dekonstruksi dan
Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Bulan Rekonstruksi Hukum Islam. Yogyakarta:
Bintang. Gama Media.
Azizy, A. Qodri. (2002). Eklektisisme Hukum Syaukani, Imam. (2003, 23 Januari-5 februari).
Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam Rekonseptualisasi Hukum Islam.Panjimas.
dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama No. 09.
Media.
David, John E.C. Brierley. (1985). Major Legal
Sistem in the World Today: An
Introduction to the Comparative Study of
Law. London: Stevens & Sons.
Gibb, H.A.R. (1969). Mohammedanism: An
History Survey. London: Oxford
University Press.
Gibb, Harold Bowen. (t.t.). Islamic Society and
the West. Vol 1 Londo, New York,
Troronto: Oxford University Press.
Hallaq. Wael. B. (1985-1986). The Logic of
Legal Reasoning in Religious and non-
Religious Culture: the Case of Islamic
Law and the Common Law.

Imam Syaukani, Hakikat Hukum Islam: Antara Divine Law Dan Man-Made Law 505

Anda mungkin juga menyukai