NIM : 1401621036
Prinsip dalam hukum Islam adalah kebenaran universal yang inheren di dalam hukum
Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum dan setiap
cabang-cabangnya (Fatarib, 2014). Adapun prinsip-prinsipnya sebagai berikut:
a. Prinsip tauhid adalah sebuah prinsip umum yang bahwasannya semua manusia
dibawah satu ketetapan yang sama yakni kalimat La’illaha illa Allah, setiap manusia
bahwasannya hamba Allah.
b. Prinsip keadilan artinya keseimbangan dan prinsip keadilan lahir dari kaidah yang
menyatakan bahwa hukum Islam dalam praktiknya sesuai dengan ruang dan waktu.
c. Prinsip amar makhruf nahi munkar adalaj hukum islam bertujuan untuk mencapai
kebaikan dan benar yang dikehendaki oleh ridho Allah SWT.
d. Prinsip kebebasan dimana Islam menghendaki agar ajaran islam tidak disiarkan
berdasarkan paksaan melaikan melalui penjelasan, demonstrasi, dan argumentasi.
Kebebasan disini mencakup kebebasan individu dan kebebasan komunal.
e. Prinsip persamaan, bagian penting dalam pembinaan dan pegembangan hukum Islam
dalam menggerakan dan mengontrol sosial, setiap manusia bahwasannya sama yang
membedakannya tingkat ketaqwaannya kepada Tuhan.
f. Prinsip at-ta’awun memiliki makna dari saling membantu sesama manusia yang
diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid terutama dalam peningkatan kebaikan dan
ketaqwaan.
g. Prinsip toleransi, toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak islam dan
umatnya (Aravik, 2018).
4. Sumber-Sumber Hukum Islam (Dalil-Dalil Hukum/Pokok-Pokok Dasar Hukum)
Jawaban :
Dalam kepustakaan hukum islam di Indonesia, sumber hukum islam, sumber hukum
Islam kadang-kadang disebut dengan dalil hukum islam atau pokok hukum islamatau
dasar hukum Islam. Menurut surat Al-Nisa ayat 59, setiap muslim wajib menaati
(mengikuti) kemauan atau kehendak Allah, kehendak Rasul dan Ulil Amri yakni orang
yang mempunyai kekuasaan atau “penguasa”. Kehendak Rasul kini tertulis dalam kitab-
kitab hadis dan kehendak penguasa sekarang termaktub dalam hasil karya orang yang
memenuhi syarat untuk berijtihad karena telah mempunya “kekuasaan” berupa ilmu
pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari sumber utamanya yakni Al-
qur’an dan Al-Sunnah. Dari penjelasan di atas sumber hukum Islam ada tiga, yakni (1)
Al-Qur’an, (2) al-Sunah, (3) akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Akal fikiran ini dalam kepustakaan sering disebut dengan istilah al-ra’yu. Ketiga sumber
hukum Islam itu merupakan satu rangkaian kesatuan, dengan urutan seperti yang sudah
disebutkan dan tidak boleh dibalik. Sedangakn menurut Muhammad Idris Al-Syafi’i
dalam bukunya yang bernama Kitab Al-Risalah fi Usul al-Fiqh berpendaapt bahwa
sumber hukum Islam ada empat yakni (1) Al-Qur’an, (2) al-Sunnah, (3) al-ijma’ (4)al-
qiyas. Pendapat menurut Imam Syafi’i ini juga didasarkan pada surat al-Nisa:59 yang
berarti “Hai orang-orang yang beriman, taatlah pada Allah, dan orang-orang yang
memegang kekuasaan diantara kamu. Jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu,
maka kembalikanlah perbedaan pendapat itu kepada Allah dan Rasul”. dalam ayat
tersebut menunjuk pada Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum Islam sedang kata-
kata “jika kamu berbeda pendapat mengenai sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul”. menunjuk kepada al-qiyas sebagai sumber hukum Islam. Di Indonesia, kedua
sumber-sumber hukum Islam tersebut tertulis dalam kepustakaan hukum Islam.
Sebenarnya jika dikaji dnegan seksama antara kedua sistematika sumber hukum Islam
tersebut adalah sama. Baik yang menyebutkan sumber hukum islam tiga maupun empat
pada prinsipnya mereka mengambil sumber yang sama yaitu Al-qur’an surat Al-Nisa ayat
59 dan hadits Mu’adz bin Jabal. Mereka sama-sama berpendapat bahwa sumber utama
dan pertama adalah Al-Qur’an dan al-Sunnah. Sumber tambahan yang lain pada
hakekatnya juga sama, karena apa yang disebut oleh Syafi’I ijma’ dan qiyas
sesungguhnya merupakan jalan atau metode yang dipergunakan oleh akal pikiran
manusia (Rohidin, 2016).
5. Hukum Perkawinan & Hukum Waris Sebagai Hukum Positif dalam Sistem
Hukum Nasional
Jawaban :
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj.
Katana-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti kawin yang berarti
bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad. Menurut Fiqh, nikah adalah salah
satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang
sempurna. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan
keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya. Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang
merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaany adalah
merupakan ibadah. Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum
perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang
berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalil yang menjelaskan tentang
perintah dan petunjuk waris diatur dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176.
Disana diterangkan secara jelas oleh Allah Subhanahu Wata‟ala tentang pembagian waris
kepada ahli waris.
Ilmu waris merupakan ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu Wata‟ala yang secara rinci
tertuang dalam Al-Quran sehingga tidak perlu banyak penafsiran lebih lanjut. Ini
menunjukkan bahwa ilmu faraid (ilmu hukum waris) menjadi ilmu yang sangat penting
karena dijelaskan secar rinci dalam Al-Quran, berbeda dengan ilmu lain yang hanya
dibahas secara umum dalam Al-Qur’an. Hukum Waris berasal dari bahasa arab al miirats
yang berarti “berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain”, atau dari suatu
kaum kepada kaum lain. Makna dari waris tersebut bukan hanya menyangkut barang
tetapi juga yang bukan barang misalnya ilmu. Hal ini sebagaimana terlihat salah satunya
dalam hadits yang berbunyi “Ulama adalah ahli waris para nabi”. Sementara menurut
istilah yang diterangkan oleh para ulama fiqih, al-miirats berarti berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik
yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syar'i. Hukum
waris di Indonesia mengacu pada hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum
waris perdata.
Hukum waris Islam adalah pengaturan peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada ahli waris dan berapa bagian yang diperoleh. Perumusannya tidak
lepas dari nilai-nilai Islam dalam Alquran. Yang disebut sebagai waris atau ahli waris
adalah orang-orang yang berhak menerima warisan. Sementara muwaris atau pewaris
merupakan orang yang meninggal dunia dan harta benda peninggalannya diwariskan.
Warisan yang dibagikan kepada ahli waris dapat berupa harta bergerak seperti logam
mulia serta kendaraan dan harta tidak bergerak seperti tanah serta rumah. Harta tersebut
dapat dibagikan kepada ahli waris setelah dikurangi untuk biaya perawatan jenazah,
pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat (Yustisia, 2006).
a. Prinsip kebebasan memilih pasangan. Hal ini merupakan hak dasar yang telah
diberikan oleh islam tidak hanya untuk laki-laki namun perempuan memiliki hak
yang sama.
b. Prinsip kesetaraan. Perkawinan merupakan sebuah akad antara dua orang
pasangan yang terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam posisi
yang setara. Karena hubungan antara suami dan isteri adalah hubungan horizontal
bukan hubungan vertikal, sehingga tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan
didominasi. Semua pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam
sebuah ikatan cinta dan kasih sayang.
c. Prinsip Mu’asarah bi al-ma’raf. Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah SWT
terdapat di surat An-Nisa ayat 19.
d. Prinsip musyawarah. Sudah tertera di surat At-Talaq ayat 6. Suami dan istri
merupakan dua jenis kelamin yang berbeda, yang memiliki pemikiran dan
keinginan yang berbeda. Apabila hal tersebut tidak mampu dikelola dengan baik,
maka didalam rumah tangga akan senantiasa ada perselisihan diantara keduanya.
e. Prinsip saling menerima. Masing-masing pasangan saling menerima tidak hanya
dari segi kelebihan pasangannya, namun juga segala kekurangan pasangannya
dan juga menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya sendiri. Dengan
prinsip ini maka masing-masing pihak tidak ada yang merasa sempurna, sehingga
tidak memunculkan rasa gumede (sombong) atas pasangannya. Dan dengan
prinsip ini pula memunculkan kesadaran bahwa keduanya saling
menyempurnakan kekurangan pasangannya dengan kelebihan yang dimilikinya
(Jamaluddin, 2016).
Jawaban :
a. Memilih Jodoh
Rukun Perkawinan
Rukun adalah sesuatu yang harus dikerjakan daram merakukan suatu pekerjaan. Jadi,
rukun berarti sebagai bagian yang pokok. Adapun rukun perkawinan yang harus
dipenuhi oleh kedua mempelai menurut jumhur ulama sebagaimana disebutkan oleh
(Abror, 2020) adalah sebagai berikut.
Jawaban :
HAK
1 Hak Suami untuk ditaati oleh istri Hak mendapatkan mahar dari suami
dalam seluruh perkara, kecuali
maksiat.
2 Tidak mengizinkan seseorang masuk Istri berhak atas nafkah makan dan
ke dalam rumah, kecuali dari minum, pakaian, hingga tempat
persetujuan suami tinggal dari suaminya
Kewajiban
4. Menjaga Istri Dari Perkara Memelihara Kehormatan Diri Dan Harta Saat Suami
Dosa Tak Ada
Jawaban :
Setelah adanya perceraian, bagi perempuan akan timbul masa iddah, yakni
waktu tunggu atau menanti yang terjadi pada perempuan setelah perceraian
dengan tujuan mengetahui apakah sedang mengandung atau tidak. Disamping
itu, seorang mantan suami, dapat menikahkan kembali mantan istrinya jika
syarat- syarat yang tertulis sudah dipenuhi. Hal ini dinamakan ruju’ atau rujuk.
Rujuk adalah mengembalikan istri yang telah diceraikan kepada pernikahan awal.
Bagi laki-laki yang telah menjatuhkan talak tiga atau bain qubra kepada sang
istri, maka ia tidak boleh melakukan rujuk kepada mantan istrinya sebelum
perempuan tersebut menikah dan dicampuri oleh laki-laki lain, kemudian sudah
diceraikan, dan sudah habis masa iddahnya. Rujuk memiliki sejumlah hukum,
seperti wajib apabila suami menalak sang istri sebelum ada kesempurnaan pada
pembagian waktu terhadap istri, haram apabila rujuk dapat menyakiti istri,
makruh apabila perceraian dirasa lebih baik, jaiz (boleh), dan sunnah apabila
bertujuan untuk memperbaiki hubungan (Abror, 2020).
Jawaban :
Ali, Z. (2006). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Fatarib, H. (2014). Prinsip dalam Hukum Islam. Prinsip Dasar Hukum Islam (Studi terhadap
Fleksibilitas dan Adabtabilitas Hukum Islam), 10.
Rohidin. (2016). Pengantar Hukum Islam. Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Book.