Penanggungjawab
Dr. Ida Umami, M.Pd.Kons
Editor
Dharma Setyawan, MA
ISBN : 978-602-74579-2-8
Diterbitkan oleh:
Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung
Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Kampus Kota Metro Lampung
Telp. 0725-41507, fax 0725-47296
Email : stainjusi@stainmetro.ac.id
Website : http://www.stainmetro.ac.id
Islam dan Hukum
Redaksi
Daftar isi
Jaih Mubarok
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung
Abstrak
Asas secara umum bersifat penyimpul (mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum
yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang
belum atau tidak diatur dalam hukum yang bersangkutan. Asas hukum yang menjadi
landasan perbuatan hukum itu sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas
suatu hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level peraturan
perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„-
jama„i yang sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam
dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara. Asas Tandhidh, asas Tertib
Administratif, dan asas fungsi, merupakan tawaran yang diharapkan dapat memperkaya
wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan”
sebagai asas dalam pembagian harta warisan.
Kata Kunci: Asas, Kewarisan
A. Pengantar
Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya
mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik menjalankan/
mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara umum bersifat penyimpul
(mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum yang ada, dan adakalanya
berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak
diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam kerangka
menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah dijelaskan oleh pakarnya,
serta tawaran yang mudah-mudahan layak untuk dipertimbangkan oleh para
penyusun naskah akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam.
2
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
antara nilai yang dianut dengan perilaku para penagnutnya; dan 3) etika kritis
(metaethics), yaitu penyelidikan yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah
yang digunakan dalam etika.4 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara
hokum dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai benar secara
hokum, tapi tidak/kurang relevan dengan moral yang dianut suatu masyarakat
yang bersangkutan.
Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme; pilihan antara
tradisionalisme (stability) dan modernisme (change; modify) adalah pilihan yang
sejak abad IV H. hingga sekarang terus berlanjut. Istilah “Kaum Muda” dan
“Kaum Tua”5 di di Indonesia merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara
statis dan dinamis.6
Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl
al-dîn wa tajdîduhu). Kesempurnaan agama Islam terletak pada nilai uiniversal
yang dikandungnya. Di samping itu, kesempurnaan agama juga terletak pada
kandungannya yang mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan
intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan agama tidak
dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya (termasuk aturan-aturan
teknis); akan tetapi, kesempurnaannya terletak pada nilai universal yang
dikandungnya dan peluang mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah
agama. Dengan kerangka yang demikian, wajarlah bila „Imarah menegaskan
bahwa salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara
kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya sepadan dengan
pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan antara musyawarah dan syari„ah.
Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum Negara; Salah satu
topik penting dalam hal terjadi ikhtuilaf antara gagasan fukaha dalam kitab fikih
dengan peraturan perundang-undangan di sebuah Negara, adalah pilihan
dalam taat hukum: apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara
ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh ulama yang
otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan peraturan perundang-
undangan, terdapat “kaidah” yang menyatakan bahwa suatu perbuatan hokum
dinilai sah secara agama (shahha dîn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara
(wa lâ yashihhu qadhâ‟[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa ketaatan
masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda dan kaidah yang
menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang dibuat oleh pemimpin dapat
menyelesaikan perbedaan pendapat (hukm al-hâkim yarfa„u al-khilâf) belum
sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat Muslim di berbagai negara.
4
Ibid., hlm. 141-142.
5Tradisionalisme biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme disebut aliran
rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96.
6Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Jogjakarta:
3
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
7
H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Tjun
Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.
8
Ibid., h. 120.
9
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” 1959), hlm. 46.
10
Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.
11
Ibid., h. 132.
12Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori,” dalam Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 102-
4
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
D. Survei Literatur
Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam telah
dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat normatif-rasional
maupun analisis yang cenderung bersifat sosiologis-aplikatif yang cenderung
berakar pada nilai budaya tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu
menjelaskan mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di
antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan pengendalian diri,
2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas kerukunan dan kekeluargaan, 4)
asas musyawarah dan mufakat, dan 5) asas keadilan.13
Dalam Tesis yang berjudul “Hukum Islam Dipandang dari Perspektif
Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan Mranggen Kabupaten Denak)”
yang ditulis oleh Mintarno dalam rangka menyelesaikan studinya di Program
Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan
bahwa di antara asas hokum waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas bilateral, 3)
asas individual, dan 4) asas keadilan.14
H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda, yang
mempublikasikan artikelnya yang berjudul “beberapa Asas Hukum kewarisan
Menurut KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat.” H. Hatpiadi
menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan adalah: pertama, asas kematian.
Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata, hukum adat, dan
hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar (hakim dan
ketua Pengadilan Agama Watampone yang menjelaskan bahwa asas kematian
merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta
seseorang sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan.
13
Riana Kesuma Ayu, “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.com, diakses tahun
2011.
Mintarno, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan Gender
14
5
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan. Asas ini terdapat
dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan darah
merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan,
karena faktor hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan
kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang berhak atau
tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.
Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini didasarkan pada
prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh karena itu, yang berhak menjadi ahli
waris hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus
menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan
menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH
Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris sebagaimana yang
terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam dan hukum adat. Dalam Hukum
Kewarisan menurut Hukum Adat, anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli
waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek,
saudara-saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa penentuan
kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya “anak lebih utama dari cucu, ayah
lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada saudara: ayah lebih utama
kepada anak dari pada kakek. Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum
kewarisan Islam menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya
saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se ibu, sebab
saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (dari ayah dan dari ibu),
sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya dihubungkan oleh satu
garis penghubung yaitu dari ayah atau dari ibu”. Ketiga sistem Hukum
Kewarisan sama-sama menempatkan anak, suami/isteri, dan orang tua
(Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu
anak sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis ke bawah,
sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan
pertama dalam garis ke atas, melibih derajat ahli waris lainnya seperti nenek,
paman/bibi dan saudara. Di dalam Hukum Kewarisan Islam dan hukum
kewarisan adat tidak demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi
waris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan
tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup (menghijab)
ahli waris tertentu.
Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Mengingat asas ini
merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak
menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris
meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi
ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga
yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi
solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan
secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
6
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada
pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang
tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia
lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum kewarisan Islam,
menurut sebagian pendapat, seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro dan
pendapat dari pakar hukum Islam, antara lain menurut Mahmud Yunus
menyebutkan bahwa pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda
dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam
mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan mawaly. Menurut
Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly) didasarkan pada al-Qur'an pada
Surah an-Nisa‟ (IV) ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan
pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti oleh Sajuti
Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini menjadi salah satu asas
penting dalam Hukum Kewarisan menurut Kompolasi Hukum Islam
sebagaimana yang terdapat ketentuannya dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam. Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh
melebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Kelima, asas
individual; asas ini menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara
individu-individu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan
kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa
harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk
dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan
dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya
tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. Konsekwensi dari ketentuan ini
adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli
waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan
dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara
memperoleh hak milik adalah melalui pewaris. Asas individual sangat popular
pula dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan adat.
Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, “Setiap ahli waris secara
individu berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahil waris
lainnya”. Akan tetapi dalam hukum kewarisan adat, selain dikenal sistem
pewaris individual, juga dikenal adanya sistem kolektif, dan mayorat namun
dari ketiga macam sistem pewaris tersebut, maka sistem individual yang lebih
umum berlaku dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat adat parental
yang tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia. Keenam, asas bilateral; yaitu
seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris
menurut garis ibu, demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara
perempuan. Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak laki-
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
7
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini
menetapkan juga suami isteri untuk saling mewaris. Ketujuh, asas segala hak dan
kewajiban pewaris beralih kepada ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban
pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan. Wirjono Prodjodikoro menje;askan bahwa BW mengenal tiga macam
sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu dari
tiga sikap itu, yaitu : 1) menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut
dalam BW (hak dan kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu hutang-
hutangnya; dan 3) menolak menerima harta warisan”. Menurut H. Muhammad
Daud Ali, “dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat keseimbangan antara
hak dan kewajiban yang harus ditunaikan”.Berdasarkan dengan berbagai
penjelasan dan ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan
dan ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan asas segala
hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris, namun sifatnya terbatas,
artinya harta peninggalan pewaris yang bersifat aktiva secara otomatis
berpindah dari pewaris kepada ahli waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa
pasiva (utang-utang, kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hak-
hak yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang seimbang.
Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari barang aktiva dengan
kewajiban yang dipikulnya, berupa utang. Akan tetapi kalau ada ahli waris yang
bersedia membayarkan utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris,
maka itu tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin dari
akhlak yang baik.15
H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta, menulis “Azas-
Azas Hukum Waris dalam Islam,” yang substansinya menjelaskan bahwa asas-
asas hukum waris Islam adalah: pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu
ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian
bahwa pelaksanakan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati untuk
mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya.
Kedua, asas ta' abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksanaan pembagian
waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT; ketiga,
asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban
terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak
dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan
kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam
suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris
terhadap Muwaris diatur dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1)
mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2)
menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban menagih piutang,
15
H. Hatpiadi, “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/ diakses tanggal 13 Pebruari
2011.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
8
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
9
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
16
H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/ diakses
tanggal 13 Pebruari 2011.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
10
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
11
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
12
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
yang tidak sesuai dengan semangat nalar Islami seperti ditawarkan oleh
al-Jabiri dalam kitab Bunyan al-„Aql al-„Arabi, termasuk para
pengarusutamaan jender yang menuntut pembagian sama antara laki-laki
dan perempuan karena ketentuan waris dalam Quran-sunah dianggap
bias jender, tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-mar‟ah.
H. Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas ta‟abudi
diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan dalam memahami
dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris) selaras dengan asas
integrity/ketulusan.
4. Tawaran: Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas Fungsi
Pada kesempatan ini ddiajukan tiga asas yang berkaitan dengan
cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas Tertib
Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci pada bagian
berikut.
Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun 2000an
dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam mu‟amalah, yaitu
tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab mudharabah (bagian dari
syirkah) dalam membagi keuntungan antara shahib al-mal/pemilik dana
dengan mudharib/pengelola. Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid
menjelaskan bahwa tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan
(tandhidh asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan
bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang menyatakan
bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan akad mudharabah
tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan tandhidh terhadap modal usaha
mudharabah; yaitu melakukan tahwil (penaksiran) terhadap barang
dengan harga/nilai tertentu (tahwiluhu min „urudh ila nuqud).17
Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan dalam
pembagian harta warisan, terutama terhadap mauruts/tirkah yang ragam
dari segi bentuk dan nilai. Misalnya Tuan Ahmad meninggal dunia
dengan harta peninggalan berupa sebuah bangunan ruko di Mangga Dua
Jakarta, satu bangunan ruko di Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10
hektar di Jonggol, tiga buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan
Avanza, dan tanah seluas 1o hektar di Pamengpeuk Garut. Maka ahli
waris Tuan Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus menaksir terlebih
dahulu seluruh harta warisan ke dalam bentuk rupiah (nuqud), pembagian
harta warisan dilakukan setelah dilakukan penaksiran sehingga sangat
mungkin luas tanah atau bangunan yang diterima oleh ahli waris berbeda-
beda tapi relatif sama dari segi nilai/harga setelah dilakukan perhitungan
17Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif
al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159. Penjelasan yang sama
juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li
al-Masharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
13
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
18Oyo
Sunaryo Mukhlas, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam dalam Tata
Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
14
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
F. Penutup
Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu sendiri
termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatru hukum dapat ditelusuri
dan digali secara akademik yang pada level peraturan perundang-undangan,
penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„-jama„i yang
sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam
dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara.
Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas fungsi, merupakan
tawaran yang diharapkan dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak
oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam
pembagian harta warisan. Wa Allah A„lam bi al-shawwab.
Daftar Pustaka
Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li al-
Masharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam.
E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.”
H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam
www.badilag.net/.
H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,”
www.badilag.net/.
Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX.
Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum
Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),”
Tesis Magister, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Muhammad „Imarah. 1991. Ma„alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar al-Syuruq.
15
Jaih Mubarok Asas-Asas Hukum…
Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham al-
Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr
al-Islami.
Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago &
London: The University of Chicago Press.
Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.
Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqîh al-Fushûl fî
Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah.
Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan
Pembentukan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
16
POSITIVISASI HUKUM EKONOMI ISLAM
Isa Ansori
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstract
The views on the important of legislation on economics come from legal positivism.
According to legal positivism, the main law is law made by state or legal institutions in a
state which is forced, exclusive, hirarkhis, systematic and uniform for all the people. The
positive economics law which is written on constitution or law is made to manage how
economic in a country is managed and aimed to make prosperity among the people. The
syariah economics law which its existence is received in Indonesia constitution also needs
to be made as positive law using methods that can easily received by all Indonesia people,
so that it would forced the people to implement it happily and could make prosperity for
all Indonesian people.
Key Word: Positivsm, Syariah Economics Law
19Panduan bantuan hukum di Indonesia: pedoman anda memahami dan menyelesaikan masalah
20Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010), h. x-xi
21Ibid.,h. xii-xiii
22Ibid.,h. 12.
18
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
23 Dikutip oleh Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Hukum dalam Ekonomi, Ed.2.,
19
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
baik ke dalam pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuan-
ketentuan hukum perundang-undangan, melainkan juga semua prosedur
penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa, misalnya
arbitrasi, konsiliasi, dsb. Kesemua lembaga itu hendaknya bekerja dengan
efisien, karena kehidupan ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang
maksimum.
3. Kodifikasi tujuan-tujuan. Perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu
kodifikasi tujuan serta maksud sebagaimana dikehendaki oleh negara.
Dalam bidang ekonomi tujuan-tujuan itu dirumuskan dalam perundang-
undangan yang baik secara langsung maupun tidak mempengaruhi
perekonomian.
4. Faktor penyeimbang. Sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang
memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam
masyarakat. Sistem itu memberikan “kesadaran akan keseimbangan” dalam
usaha-usaha negara melakukan pembangunan ekonomi.
5. Akomodasi. Perubahan yang cepat menuntut dipulihkannya keseimbangan.
Sistem hukum yang mengatur hubungan individu baik secara material
maupun formal memberikan kesempatan kepada keseimbangan yang
terganggu itu untuk menyesuaikan diri, dengan memberikan pegangan
kepastian hukum dan membuka kesempatan bagi dipulihkannya keadilan
melalui prosedur yang tertib dan sebagainya.
6. Definisi dan kejernihan tentang status, ialah memberikan ketegasan
mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat.
Peran hukum dalam bidang ekonomi sangat dibutuhkan.Hukum dibuat
untuk mengatur subyek dan obyek hukum dalam lapangan
perekonomian.Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya
pertumbuhan perekonomian.Hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi
kegiatan ekonomi, dengan harapan pembangunan perekonomian tidak
mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.
Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah penjabaran
hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial, sehingga hukum
ekonomi tersebut mempunyai dua aspek, sebagai berikut:26
1. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi, dalam arti
peningkatan kehidupan ekonomi secara keseluruhan.
2. Aspek pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi
secara merata di antara seluruh lapisan masyarakat, sehingga setiap warga
negara Indonesia dapat menikmati hasil pembangunan ekonomi sesuai
dengan sumbangan dalam usaha pembangunan ekonomi tersebut.
Karenanya, hukum ekonomi Indonesia dapat dibedakan menjadi dua,
yakni hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial.27
20
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
28 Marzuki Wahid, Rumadi, Fiqh madzhab negara: kritik atas politik hukum Islam di Indonesia,
h. 24, mengutip Imam Khomeini, Islam and Revolution: writings and declarations of Imam Khomeini,
Terjemahan dan anotasi Hamid Algar, (Berkeley: 1981), h. 55.
29Ibid.,h 25, mengutip Abu al-A‟la al-Mawdudi, Islamic Law and Constitution, (Lahore:
1967), h. 243.
30 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif modernis dan fundamentalis, (Magelang:
21
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
22
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
bukan raja, bukan pendiri negara, dan tidak pula mengajak umat untuk
mendirikan kerajaan duniawi.Atas dasar ini, kalau ada kehidupan
kemasyarakatan yang dibebankan kepada Nabi Muhammad, maka hal itu bukan
termasuk tugas risalahnya.Karena itu, setelah beliau wafat, tidak seorang pun
yang dapat menggantikan tugas risalah itu. Abu Bakar muncul hanya sebagai
pemimpin yang bersifat duniawi (profane) atau pemimpin politik yang bercorak
kekuasaan dan pemerintahan. Dengan demikian, menurut paradigma ini,
hukum Islam tidak dapat begitu saja diterapkan dan diberlakukan dalam suatu
wilayah politik tertentu.Disamping itu, hukum Islam tidak dapat dijadikan
huum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya.36
36Ibid.,h. 29-30
37 Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan
prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 70.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
23
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
38 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi Sistem
24
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
dalam isu penerapan syariat bahkan diperluas cakupannya untuk memilih opini
di luar madzhab Sunni yang empat, atau opini para pakar hukum sebelum
terkristalnya mazhab, atau opini pakar yang belakangan. Sementara talfiq adalah
suatu metode yang dengannya pandangan-pandangan berbagai mazhab atau
yuris Muslim dikombinasikan untuk membentuk suatu peraturan tunggal.
Sebagaimana takhayyur, talfiq juga diperluas cakupannya dengan memasukkan
pandangan-pandangan di luar madzhab Sunni yang empat.41
Menurut Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Pangabean, penerapan
metode seleksi (takhayyur) dan eklektik (talfiq) akan menghasilkan pranata-
pranata hukum yang serampangan, arbitrer dan self-contradictory. Memungut
fragmen-fragmen opini masa lalu yang terisolasi – tanpa melihat akar sosio-
historisnya – kemudian menyusunnya ke dalam sejénis mosaik yang arbitrer
dengan menyelundupkan ke bawah permukaannya berbagai struktur ide yang
diadopsi dari Barat tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensinya,
jelas merupakan upaya legislasi yang artifisial dan tidak realistis.42 Fazlur
Rahman, pemikir neo-modernis dari Pakistan, bahkan mengkritik secara pedas
kecenderungan penerapan metode seleksi dan eklektik dalam legislasi Islam
Modern. Rahman mengakui bahwa pada taraf terbatas, prosedur semacam itu
mungkin dapat diterapkan terhadap masalah-masalah tertentu tanpa merugikan
asas-asas reformasi Islam, asalkan tuntutan konsistensi-internal tidak
dikorbankan. Akan tetapi, penerapannya dalam skala besar-besaran pasti akan
mengorbankan modernisme di atas altar tradisionalisme dan membuat ijtihad
betul-betul pleonastic, karena metode tersebut menengok ke belakang, bukan ke
depan.43
Sementara itu menurut an-Nabhani, Tatkala negara melegalisasi hukum
apapun, pengambilannya harus berdasarkan pertimbangan dalil syar‟i yang kuat
disertai pemahaman yang tepat mengenai peristiwa yang sedang terjadi.Karena
itu, tindakan pertamayang dilakukan oleh negara hendaknya mengkajiperistiwa
yang dihadapi.Sebab, memahami secarabenar setiap peristiwa merupakan
halyang sangat penting dan diperlukan.Negara jugaharus memahami
hukumsyari‟atIslam yangberkaitan dengan peristiwayang dihadapinya,
disamping mengkaji dalil hukum syari‟at itu.Baru setelah itu, negara
melegalisasi hukum berdasarkan kekuatan dalil.Perlu diperhatikan disini bahwa
yudifikasihukum-hukum syari‟atIslam bisa diambil dari pendapat salah seorang
mujtahid, setelah mengetahui dalilnya danmerasa puasterhadap kekuatan dalil
tersebut.Bisa juga diambil (secaralangsung) dari Kitab, Sunah, Ijma‟
atauQiyas.Namun harus melalui ijtihad yang syar‟i, sekalipun berupa ijtihad
masalah (ijtihad juz‟i). Misalnya, jika Daulah Islam ingin melegalisasikan
41 Taufik Adnan Amal, Samsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga
25
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
44 Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, Penerjemah, Abu Amin dkk,
(Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), h. 136-7
45Pasal 2 berbunyi “Islam adalah agama negara dan bahasa Arab adalah bahasa resmi, dan dasar-
dasar syariat Islam adalah sumber utama (al-mashdar ar-ra‟isi) legislasi hukum Islam”. Sebelumnya
beberapa usulan diajukan untuk mengamandemen pasal ini, sebagian menguatkan pentingnya
bersandar pada syariat Islam pada saat penetapan legislasi, dan sebagian yang lain menguatkan
pentingnya menerapkan prinsip-prinsip syariat ini dengan menyatakan bahwa tidak ada paksaan
dalam agama dan tidak adanya pembedaan di antara orang-orang Mesir karena mereka berbeda
agama, dan tunduknya orang-orang non Muslim pada syariat agamanya masing-masing.
46 Muhammad Sa‟id „Ashmawi, Nalar Kritis Syariah, Penerjemah, Luthfi Tomafi,
26
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
E. Kesimpulan
Dalam era globalisasi saat ini, positivisasi hukum ekonomi adalah suatu
keniscayaan. Positivisasi hukum ekonomi tidak lagi menjadi domain Negara
komunis tetapi juga telah dipraktikkan oleh Negara-negara kapitalis liberal, ini
tidak lain bertujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi setiap Negara dari
persaingan bisnis global yang semakin ketat.
Hukum ekonomi Islam (Syariah), sebagai sumber hukum yang
keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, sudah saatnya
didorong untuk menjadi hukum positif yang mengatur bisnis ekonomi syariah di
Indonesia, tidak parsial tetapi dalam sekala yang lebih komprehensif sebagai
bagian mewujudkan tujuan masyarakat adil makmur dan sejahtara. Negara
berperan penting untuk mendorong positivisasi ini meggunakan beberapa
pendekatan dan metode yang lebih diterima oleh masyarakat Indonesia.
Daftar Pustaka
Abu al-A‟la al-Mawdudi, Islamic Law and Constitution, Lahore: 1967
Abu al-Hasan al-Mawardiy, al-ahkâm al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,
Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009
Bernard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the emerging democracy, Pasir
Panjang Singapore: Institute of Southeast Asian Studies ISEAS
Publishing, 2009
Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan
prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Hukum dalam Ekonomi, Ed.2., Jakarta:
Grasindo, 2007
Imam Khomeini, Islam and Revolution: writings and declarations of Imam Khomeini,
Terjemahan dan anotasi Hamid Algar, Berkeley: 1981
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif modernis dan fundamentalis,
Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001
27
Isa Ansori Positivisasi Hukum Ekonomi …
28
PEMBERIAN ASI; UPAYA PEMENUHAN HAK ANAK
ANTARA REGULASI DAN IMPLEMENTASI
Enizar
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstrak
Salah satu hak bayi untuk menjamin keberlangsungan kehidupannya dan tumbuh
kembangnya secara optimal adalah dengan mendapatkan ASI. ASI merupakan makanan
yang paling tepat untuk bayi, karena Allah telah mempersiapkan jauh sebelum si bayi
lahir ke dunia ini. Selain komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan bayi yang bisa
berubah sesuai dengan kebutuhan pada setiap saat, ASI juga mengandung zat pelindung
yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi. Orang tua dalam hal ini ibu
mempunyai kewajiban untuk memberikan ASI kepada anaknya. Baik hukum yang
bersumber dari al-Qur‟an dan hadis atau pun hukum yang disandarkan pada regulasi
yang ada di negara Indonesia menjelaskan hak bayi tersebut. Namun, dalam realitasnya
banyak bayi yang tidak mendapatkan haknya, bayi tidak mendapatkan ASI tetapi diberi
makanan pengganti ASI atau susu formula yang sebagian besar berasal dari ASPI (air
susu sapi). Fenomena ini menunjukan adanya pelanggaran hak anak untuk
mendapatkan makanan yang cocok. Dari pengkajian terhadap ayat dan hadis, serta
aturan yang mengatur tentang pemberian ASI bahwa Ibu mempunyai kewajiban untuk
memberikan ASI-nya sebagai makanan pokok bayinya, selama 2 (dua) tahun dan minimal
sampai bayi berusia 6 bulan. Ketika Ibu kandung tidak dapat melaksanakan kewajibannya
dengan alasan akan membahayakan bagi diri atau anaknya, Islam memberikan tuntunan
untuk membayar Ibu lain yang dapat memberikan ASI. Islam mengarahkan agar anak
tetap mengkonsumsi ASI. Berbeda dengan hukum yang ada di Indonesia, ketika ibu tidak
dapat memberi ASI kepada bayinya, maka orang tua menggunakan makanan penggganti
ASI yaitu susu formula atau donor ASI. Tidak memberikan ASI kepada bayi sama halnya
dengan melanggar hak anak. Oleh sebab itu, orang tua harus mengikuti ketentuan yang
oleh Islam 15 abad yang lalu telah memberikan solusi untuk pemberian ASI dari ibu
kandung atau pun ibu susu. Dalam aturan di Indonesia ASI dari ibu kandung atau
Donor ASI.
Kata kunci : Hak Anak, ASI, Susu Formula, Ibu susu
B. Pendahuluan
Manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini dimulai dari masa
bayi. Bayi sangat tergantung kepada ibunya atau orang di sekitarnya. Salah satu
kebutuhan pokok bayi adalah mendapatkan kebutuhan dasar hidupnya yaitu
mendapatkan air susu ibu (ASI). Air susu ibu (ASI) merupakan makanan pokok
bayi karena Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah
mempersiapkan ASI sebelum bayi lahir. Sebagai makanan pokok yang disiapkan
oleh Khaliq, tentu saja ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh bayi
dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sebagai warga negara Indonesia,
negara memberikan jaminan yang diberikan negara agar bayi mendapatkan
haknya. Dalam berbagai regulasi yang ada mulai dari UUD 1945, UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
49Air susu Ibu Eksklusif adalah pemberian hanya air susu ibu saja tanpa makanan atau
minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan Pasal 1 ayat 3 Permen PP dan
PA, h. 2
50 Lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 02
tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, h.22
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
30
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
51 Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai pengganti
ASI untuk Bayi sampai berusia 6 (enam) bulan. (Peraturan Pemerintah No. 33 2012, tentang
Pemberian ASI Eksklusif Pasal 1 ayat 5)
52 Lampiran Kepmen PP dan PA, h. 8
31
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
ada isyarat dari Q.S. Baqarah [2]: 233 yang membenarkan ASI lain.53 Ayat ini
memberikan prioritas memberikan ASI ditujukan kepada ibu kandung, namun
di penghujung ayat Allah memperbolehkan Air Susu Ibu lain (Ibu Susu). Ayat ini
dapat dijadikan sebagai legalisasi terhadap kebolehan untuk pemberian ASI
kepada anak sampai usia 2 tahun, baik dari ibu kandung atau pun ibu susu.
Untuk keperluan itu, ayat dan Hadis yang mengatur tentang hadiah harus
dipahami sesuai dengan konteksnya dan komprehensif.
Berdasarkan keterangan di atas, dalam pemberian ASI, ada kemungkinan
dari Ibu kandung atau Ibu Susu, namun dalam realitasnya sangat jarang Ibu
kandung menggunakan jasa Ibu Susu dan lebih memilih susu formula yang dari
berbagai aspeknya susu formula tentu saja tidak dapat sebagai pengganti ASI..
Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana pemenuhan
kebutuhan anak terhadap ASI menurut hukum positif dan hukum Islam ?
Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui pemberian ASI sebagai
pemenuhan hak bayi menurut hukum positif dan Islam dan solusi yang
ditawarkan kepada Ibu Kandung yang tidak bisa memberikan ASI bagi anaknya.
Hasil pembahasan ini diharapkan bermanfaat bagi akademisi untuk mengetahui
tentang pemberian ASI sebagai upaya pemenuhan hak anak. Bagi ibu, dapat
memberikan alternatif agar ASI tetap menjadi makanan pokok bayi meskipun
ibu kandungnya tidak bisa memberkan ASI nya.
Untuk menjawab permasalahan di atas, ketentuan dalam peraturan yang
berlaku dan keterangan yang diberikan oleh Rasulullah Saw. merupakan suatu
yang urgen untuk diperhatikan dan diungkapkan, karena terdapat beberapa
alasan normatif dan logis tentang itu. Pertama, secara normatif, Rasulullah Saw.
telah dinyatakan Allah sebagai teladan.54 Pada masa sekarang, untuk dapat
meneladani Rasulullah Saw. tentu hanya bisa dilakukan melalui penelusuran
terhadap Hadis yang ditinggalkannya. Begitu juga, secara eksplisit dinyatakan
oleh Rasulullah Saw. bahwa Hadis merupakan pedoman, selain Al-Qur'an yang
harus diperhatikan dan diamalkan oleh umat Islam yang tidak menginginkan
keluar jalur yang sudah ditetapkan Allah.55
Sumber data pembahasan ini adalah regulasi yang berlaku di negara
Indonesia. Sebagai umat Islam sumber data yang digunakan adalah kitab-kitab
tafsir, hadis yang telah dinyatakan sebagai kitab standar dan kitab fiqh.
Untuk menganalisis data dipergunakan content analysis. Analisis kontent
merupakan analisis terhadap isi atau pesan yang dapat disamakan dengan
53 “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Ayah wajib memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma‟ruf.
….Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan,
maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
54 Q. S. al-Ahzab/33: 21
55 Malik bin Anas, al-Muwatha‟, (Beirut, Dar al-Fikr, 1970), h. 602
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
32
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
C. Kajian Teori
Air Susu Ibu yang selanjutnya disebut ASI adalah cairan hidup yang
mengandung sel-sel darah putih, imunoglobulin, enzim dan hormon, serta
protein spesifik, dan zat-zat gizi lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan
dan perkembangan anak.57 Dalam PP No. 33 2012 Pasal 1 ayat 1 dijelaskan
bahwa ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu.58
Berdasarkan pengertian ASI di atas, ASI memiliki keunggulan:
1. Kadar ASI bisa berubah sesuai dengan fase-fase pertumbuhan bayi.
2. Jumlah kalori dan zat gizi berubah berdasarkan keadaan bayi saat lahir,
apakah ia lahir prematur ataukah tepat waktu. Bila bayi lahir prematur,
kadar lemak dan protein ASI lebih tinggi daripada kebutuhan bayi
umumnya, karena bayi prematur membutuhkan kalori lebih banyak.
Kenggulan yang ada pada ASI di atas tidak bisa ditemui pada susu
formula. Unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dibutuhkan bayi, seperti
anticore atau sel pertahanan tubuh, sangat tersedia dalam ASI. Ibaratnya mereka
sebagai Paspampres, mempertahankan tubuh bayi yang sebenarnya asing bagi
mereka, dan melindungi sang bayi dari musuh. Selain itu, ASI merupakan
antibakteri. Perbedaanya dengan bakteri pada susu formula, bakteri bisa tumbuh
dalam susu biasa yang disimpan pada suhu kamar selama enam jam. Namun,
tidak ada bakteri yang muncul dalam ASI yang disimpan dalam suhu dan jangka
waktu yang sama.
Ilmu biologi tetap menganggap bahwa ASI sangat di butuhkan bayi dalam
perkembangan otak dan tubuhnya. Namun, sampai saat ini, dengan banyaknya
iklan susu formula membuat ibu-ibu lebih tertarij, untuk memilih susu formula
dibandingkan dengan ASI. Susu formula adalah bentuk fermentasi dan
modifikasi dari susu sapi sehingga bisa disebut Air Susu Sapi (ASPI). Di dalam
ASI, terdapat tiga unsur protein yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
ASPI. Sehingga, dampaknya masih akan dirasa sampai dewasa dalam menjaga
kesehatannya. Sebab ASI akan memperbaiki dan mempertahankan sistem
kekebalan tubuh. Ini bisa ditemukan pada air susu ibu pertama keluar atau
56 Klaus Krippendorff, Content Analysis, an Introduction to its Metodology, (London, Sage Publication, 1980), h. 21, Noeng
(Yogyakarta, Rake Sarasin,
Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, 1996), h. 49-51
Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui pasal 1 ayat 2, h. 2
58 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian
33
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
Lampiran Permen PP dan PA, h. 12 Sunoto, Aspek imunologik daripada Air Susu Ibu
60
dalam Suharyono, Rulina Suradi dan Agus Finnansyah, Air Susu Ibu, Tinjauan dari beberapa Aspek.
Fakultas Kedokteran U.I., 1992.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
34
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
6. Air susu ibu akan melindungi bayi terhadap alergi makanan, jika
makanan yang dikonsumsi sang ibu hanya mengandung sedikit
makanan yang menyebabkan alergi.
7. Pemberian ASI akan menghemat pengeluaran keluarga yang digunakan
untuk membeli susu formula dan segala perlengkapannya.
8. Air susu ibu sangat cocok dan mudah, tidak memerlukan botol untuk
mensterilisasi, dan tidak perlu campuran formula.
9. Menyusui merupakan kegiatan eksklusif bagi ibu dan bayi. Kegiatan ini
akan meningkatkan kedekatan antara anak dan ibu.
10. Resiko terjadinya kanker ovarium dan payudara pada wanita yang
memberikan ASI bagi bayinya lebih kecil dari pada wanita yang tidak
menyusui
Namun, ada satu hal lagi anak yang tidak diasupi air susu sapi (ASPI)
sebelum 2 tahun insyaAllah akan sangat mudah sekali diberi makanan padat,
maksudnya tidak susah makan atau tidak pilih-pilih makan. Mengingat
pentingnya ASI bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, negara memberikan
regulasi untuk menjamin terpenuhi kebutuhan dasar bayi tersebut.
Regulasi yang mengatur tentang pemberian ASI kepada bayi adalah:
1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 109, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No.4235);
2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No.4437), sebagaimana yang
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang No.12
tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 No.59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia No.4844);
3. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No.144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No.5063);
4. Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia No.153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 5072);
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012
Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif
6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 450/MENKES/SK/IV/2004
tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di
Indonesia.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 237/MENKES/SK/IV/1997
tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
35
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
D. Keutamaan ASI
ASI sudah dipersiapkan oleh Allah yang Maha Mengetahui untuk bayi dan
secara ilmiah telah dibuktikan memiliki keunggulan yang sangat menakjubkan.
Keunggulan dan manfaat ASI bagi anak dapat dilihat dari beberapa aspek:
1. Aspek Gizi 61
Manfaat Kolostrum (Air Susu Ibu yang keluar pada hari-hari
pertama setelah bayi lahir) mengandung zat kekebalan terutama
Imunoglobulin A (IgA) untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit
infeksi terutama diare. Kolostrum mengandung protein, vitamin A
yang tinggi dan mengandung karbohidrat dan lemak rendah, sehingga
sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama kelahiran. Di
samping itu Kolostrum membantu mengeluarkan mekonium yaitu tinja
(faeces) atau kotoran bayi yang pertama berwarna hitam kehijauan.
ASI memiliki Komposisi 62 yang mudah dicerna, mengandung zat
gizi yang sesuai, juga mengandung enzim-enzim untuk mencerna zat-
zat gizi yang terdapat dalam ASI ; mengandung protein yang tinggi
36
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
63Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang terbanyak dalam ASI yang berfungsi
sebagai neuro-transmitter dan berperan penting untuk proses maturasi sel otak.
64 Decosahexanoic Acid (DHA) dan Arachidonic Acid (AA) adalah asam lemak tak jenuh
rantai panjang (polyunsaturated fatty acids) yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak yang
optimal
65 Kepmen PP dan PA, h. 11-12
66 Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang
mengikat zat besi di saluran pencernaan.
67 enzym yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan salmonella) dan virus.
Jumlah lysozim dalam ASI 300 kali lebih banyak daripada susu sapi.
68 Sel darah putih pada ASI pada 2 minggu pertama lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri
dari 3 macam yaitu: Bronchus-Asociated Lympocyte Tissue (BALT) antibodi pernafasan, Gut
Asociated Lympocyte Tissue (GALT) antibodi saluran pernafasan, dan Mammary Asociated
Lympocyte Tissue (MALT) antibodi jaringan payudara ibu.
69 Kepmen PP dan PA,h. 12
70 Peneliti mempelajari 52 orang, rata-rata berusia 44 tahun, yang menjalani pengobatan
depresi di rumah perawatan, dibandingkan dengan 106 orang sehat. Hasilnya, 73 persen orang
yang tidak depresi mendapat ASI waktu bayi, dan hanya 46 persen dari yang depresi mendapat
ASI. Kompas. com
71 Penelitian menunjukkan bahwa IQ pada bayi yang diberi ASI memiliki point IQ 4,3
point lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4 sampai 6 point lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8,3 point
lebih tinggi pada usia 8,5 tahun, dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
37
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa pemberian ASI tidak akan dapat
tergantikan oleh susu formula apapun. ASI merupakan hak ibu dan anak,
sehingga tidak ada alasan bagi ibu yang memiliki ASI untuk tidak menyusui
anaknya. Kebolehan ibu tidak menyusukan sendiri secara langsung hanya
dibolehkan dengan alasan karena ada alasan kesehatan.
Muhammad Rasyid ibn „Ali Riḍa (w. 1354 H) (selanjutnya disebut Rasyid Riḍa, Tafsir al-
72
38
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
dapat mencarikan ibu lain untuk memberikan ASI kepada anaknya.73 Namun,
ibu diwajibkan memberikan ASI pada 3 kondisi yaitu: 74
1. Bayi hanya mau menyusu dengan ibu dan tidak mau dengan ibu yang
lain.
2. Tidak ada yang bisa memberikan ASI selain ibu, maka ibu wajib
memberikan ASI
3. Tidak ada bapak sehingga hanya ibu yang dapat melakukannya atau
bapak tidak mempunyai kemampuan financial untuk membayar orang
lain untuk menyusukannya.
Bahkan untuk menjamin keberlanjutan pemberian ASI bagi ibu yang sudah
bercerai dengan suaminya, maka ibu si bayi berhak mendapatkan bayaran dari
mantan suaminya. Hal itu secara eksplisit diatur Allah di dalam Q.S. al-
Ţalāq/65:6 dan Q.S. al-Baqarah/2: 233. Bahkan ibu lain yang akan memberikan
ASI kepada bayinya pun berhak menerima bayaran yang wajar.
Dalam ayat tersebut di atas ASI bukan hanya diberikan oleh ibu
kandungnya yang masih menjadi isteri ayahnya atau yang dalam iddah talak
raj‟i, karena ada kebolehan memberikan ASI dari ibu lain. Keharusan
memberikan ASI kepada bayi telah dibuktikan oleh masyarakat Islam bahkan
sebelum Islam, yaitu dengan memberikan ASI lain (menyusu dengan ibu lain)
Solusi yang sangat luar biasa telah diberikan kepada manusia agar tetap
mengasup ASI meski bukan dari ibu kandung, seperti yang dialami oleh
Rasulullah sendiri dengan ibu susu Tsuaibah Al-Aslamiyah dan Halimah As-
Sa‟diyah di Thaif, daerah yang subur banyak ditanami sayur dan buah-buahan
serta bahasanya lembut dan bagus.
Dilihat dari pemilihan ibu susu yang akan memberikan ASI adalah ibu
yang memiliki ASI yang memenuhi syarat karena si ibu susu mengkonsumsi
buah-buahan dan sayur-sayuran yang akan berpengaruh pada kadar ASI yang
diproduksi. Begitu juga dengan Ibu lain pemberi ASI memiliki kelembutan dan
bahasa yang santun. Ibu lain yang dipilih adalah ibu yang sehat secara pisik dan
psikis.
Dalam realitas di masyarakat terdapat bayi yang tidak mendapatkan ASI
dan untuk menggantikannya bayi dipaksa mengkonsumsi susu formula. Alasan
yang sering digunakan adalah kurangnya produksi ASI, ibu bekerja dan karena
alasan kecantikan. Namun berdasarkan pengalaman Menteri Kesehatan RI
Nafsiah Mboi saat melakukan kunjungan kerja di Gorontalo, 75 bahwa banyak
orang tua di Indonesia mengabaikan Air Susu Ibu (ASI) dan dengan senang hati
menggantinya dengan air susu sapi atau bahkan tidak keduanya. Data
Kementrian Kesehatan RI menunjukkan hingga tahun 2011 satu juta anak
73 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2, h. 56, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa
39
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
Indonesia masih menderita gizi buruk. Ini wajar, salah satunya karena kesadaran
orang tua untuk menyusui masih rendah.
Alasan dari ibu yang tidak menyusui bervariasi karena produksi ASI
kurang, ibu sibuk bekerja, takut bayi kurang gizi dan iklan susu formula yang
membuat para ibu terpengaruh untuk memberikan yang terbaik. Menteri
Kesehatan RI mencontohkan di Gorontalo cakupan bayi yang mendapatkan ASI
esklusif pada tahun 2011 hanya 23,2 persen, sementara Angka Kematian Bayi
(AKB) terus bertambah dari 179 orang di tahun 2007 menjadi 269 orang pada
tahun 2011. Belum lagi Angka Kematian Balita (AKBA) juga menunjukkan
kenaikan luar biasa dari 128 orang tahun 2007, menjadi 326 orang tahun 2011.
"Tidak memberikan ASI dan imunisasi merupakan kombinasi yang tepat dan
cepat untuk membunuh bayi," tukasnya.76
Untuk menjamin ibu memberikan ASI kepada bayinya, telah ditetapkan
beberapa Undang-undang dan peraturan. Pasal 5 Penerapan Sepuluh Langkah
Menuju Keberhasilan Menyusui huruf c. menetapkan ada kewajiban petugas
untuk menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan
penatalaksanaannya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir sampai
umur 2 (dua) tahun termasuk cara mengatasi kesulitan menyusui;77
Pasal 5 Huruf h. ada usaha membantu ibu menyusui semau bayi, tanpa
pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui; sementara huruf i. tidak
memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI;78
Di Jakarta sejak tahun 2007 telah terbentuk Asosiasi Ibu Menyusui
Indonesia (AIMI). Saat pertama kali berdiri, dalam sebulan permintaan ASI
donor melalui AIMI hanya satu-dua orang. Sekarang dalam sehari bisa ada tiga-
empat permintaan ASI donor,"
Ketika ibu tidak dapat memberikan ASI kepada anaknya ternyata juga
diatur dalam Regulasi tentang pemberian ASI terbaru dijelaskan bahwa dalam
hal ibu kandung tidak dapat memberikan ASI Eksklusif bagi bayinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemberian ASI Eksklusif dapat dilakukan
oleh pendonor ASI.79 Namun untuk pemberian ASI dari pendonor diatur dalam
pasal 11 ayat 2: Pemberian ASI Eksklusif oleh pendonor ASI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan:
1. permintaan ibu kandung atau Keluarga Bayi yang bersangkutan;
2. identitas, agama, dan alamat pendonor ASI diketahui dengan jelas oleh
ibu atau Keluarga dari Bayi penerima ASI;
3. persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas Bayi yang diberi
ASI;
40
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
“Dari Uqbah bin al-Harits, bahwa ia menikahi anak perempuan Abi Ihab bin
Aziz, kemudian datanglah seorang perempuan tua seraya berkata, “Sungguh
saya telah menyusui Uqbah dan perempuan yang dinikahinya.” Kata Uqbah,
“Saya tidak tahu, engkau telah menyusuiku dan engkau tidak memberitahu ku.”
(Sahih Muslim), Beirut: Dar al-Jail, tt., jilid 2 juz 4, h. 162 , Turmuzi, juz 3, h. 452, Abu daud, juz 2,
177, Ibn Majah, juz 3, h. 119
82 PP no. 33/ 2012, h. 9
83 Al-Bukhari, juz 16 h. 55, Turmuzi, juz 3, h. 457
41
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
Daftar Pustaka
Abu Daud, Sulaiman bin al-Asy‟as al-Sijistani, t.t., Sunan Abi Daud, juz 2,
Ali al-Sayis , Muhammad, Tafsir Ayat al-Ahkam,Maktabat al-„Asriyah li Ţaba‟aṯ
wa al-Nasyar, 2002, juz. 1
Antara News, Selasa 6/11 /2012.
Bukhari, Muhammad bin Isma‟il Al-, Sahih al-Bukhari, juz 16
Ibn Majah, Abi „Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini,. T.t., Sunan Ibn
Majah. juz 3
42
Enizar Pemberian ASI; Upaya…
43
KONTROVERSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM:
MELACAK RESPON MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA TERHADAP
COUNTER LEGAL DRAFT (CLD) ATAS KHI
Tobibatussaadah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung
Abstrak
Polemik tentang rancangan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang terjadi pada tahun 2004, meski sudah lama dan tim worknya telah
dibubarkan, akan tetapi dalam perspektif perkembangan pembaruan pemikiran hukum
Islam di Indonesia merupakan sebuah wacana baru yang cukup menarik. Dalam beberapa
diktum yang terdapat dalam rancangan pasal-pasal Counter legal Draft KHI tersebut
secara tegas menyatakan bahwa rancangan tersebut juga dimaksudkan untuk
mempejuangkan masalah kesetaran gender (al-Musawa al-Jinsiyyah), liberalisasi hukum,
demokratisasi dan sebagainya.Gagasan pembaruan hukum Islam yang ditawarkan oleh
TPG melalui proyek CLD---khusunya menyangkut hukum keluarga dalam Islam-----
merupakan fenomena baru dalam spektrum pembaruan hukum Islam di Indonesia pada
era Reformasi. Tetapi tampaknya gagasan pembaruan hukum Islam tersebut, belum
banyak menyentuh kebutuhan riil masyarakat Muslim, sehingga tidak banyak mendapat
“tempat” dan berkenan dalam masyarakat Muslim Indonesia. Mungkin dalam tataran
wacana dalam rangka memperkaya khazanah intelektual hukum Islam kontemporer di
Indonesia, CLD masih bisa ditolelir, akan tetapi dalam konteks praksis tampaknya masih
perlu dikaji ulang secara seksama. Dalam perspektif lain tampaknya “fiqh lama” yang
diformulasikan oleh para imam madzhab klasik Islam tetap kuat pengaruhnya, walaupun
ada upaya untuk mereformasi bagian susbtansial dari wacana fiqh itu, tetapi tidak
berhasil dengan baik.
Kata Kunci: CLD, Pembaruan, KHI
A. Pendahuluan
Polemik tentang rancangan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang terjadi pada tahun 2004 merupakan sebuah wacana baru
yang cukup menarik dalam perspektif perkembangan pembaruan pemikiran
hukum Islam di Indonesia. Pada awalnya gagasan pembaruan hukum Islam
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa terdapat berbagai kelemahan dalam
pasal-pasal yang dalam KHI, hal yang paling kentara adalah adanya anggapan
bahwa KHI kurang responsif terhadap perkembangan zaman, problematis, dan
sarat dengan nuasa “bias gender” dalam berbagai pasalnya.84
Secara realitas ide pembaruan KHI tersebut merupakan gagasan sebuah
tim yang menamakan diri “Pengarusutamaan Gender” (PUG) Departemen
Agama, yang bermaksud mengkritisi KHI dalam rangka memperbarui isi dari
84 Dalam CLD disebutkan bahwa KHI merupakan produk kebijakan hukum pemerintah
dan nuansa pemikiran fiqhnya sangat dipengaruhi oleh fikih madzhab Syafi‟i sehingga terlihat
tidak akrab dengan hukum nasional maupun internasional yang memiliki ciri egaliter, pluralis,
dan demokratis. Dan disinyalir bahwa pasal-pa
sal dalam KHI mengandung potensi sebagai penghambat laju gerak demokrasi di
Indonesia. Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft KHI,
(Jakarta: Depag, 2004), h. 9.
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
85 Siti Musda Mulia , dalam “ Kata Pengantar”, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender Depag, 2004), h. V-iv.
86 Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bagian lampiran, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum
45
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
telah ditangani bersama antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung dan
dengan melibatkan para ulama dari seluruh Indonesia. Dengan Kompilasi
Hukum Islam Hakim Agama mempunyai pegangan tentang hukum yang harus
diterapkan dalam masyarakat.
Sebelum KHI diberlakukan secara realitas dalam perspektif sejarah
perkembangan hukum Islam di Indonesia---terutama pada era Orde baru---telah
diberlakukan juga UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No. 7
tahun 1989 tentang peradilan Agama (PA). Dalam konteks ini pula menurut M.
Atho Mudzhar, sesungguhnya umat Islam di Indonesia telah memiliki peraturan
perundangan yang cukup memadai untuk mengatur masalah keluarga,
perkawinan, perceraian dan warisan. Sementara sebagian ulama tradisional
Indonesia masih ada yang belum sepenuhnya memahami atau menyetujui
berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut karena dianggap tidak
selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Namun
demikian, sebagian yang lain cukup bangga dengan dengan lahirnya kedua
undang-undang tersebut karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam
perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia.87
Dalam perkembangan selanjutnya sebelum disahkannya UU No.7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, pada tahun 1988 sebenarnya telah disepakati
hasil Kompilasi hukum Islam di Indonesia oleh para ulama, yang kemudian hasil
kesepakatan tersebut diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni
1991 untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi
Hukum Islam tersebut, maka hal itu secara realitas telah menandai lembaran
baru dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia
khususnya dalam bidang hukum keluarga.88 Dengan mencermati proses
kelahiran KHI tersebut sebenarnya pada periode itu, secara ideal peraturan itu
muncul dalam suasana yang sangat matang karena sebelumnya telah dibentuk
institusi peradilan agama dan dalam waktu yang tidak lama kemudian diukuti
oleh aturan berupa KHI yang menjadi pedoman para hakim agama dalam
memecahkan berbagai problematika hukum keluarga Islam dalam konteks
keindonesiaan.
Namun dibalik data historis tersebut ternyata secara obyektif munculnya
KHI sesungguhnya sudah ada sejak tahun 1985. Hal ini bisa dilacak dengan
mencermati konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun
1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam
melalui yurisprudensi atau lebih dikenal sebagai proyek Kompilasi Hukum
46
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
47
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
94 Bustanul Arifin, Kompilasi; Fiqh dalam Bahasa Undang-Undang, dalam Pesantren No. 2,
48
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
prosesnya cukup lama dan dilakukan oleh tim pakar dan praktisi hukum Islam
yang sangat berragam latar belakangnya antara lain, dari Departemen Agama,
Mahkamah Agung, MUI, para akademisi dari berberapa IAIN, dan Pesantren
(ulama). Perumusan draft materi KHI diperoleh melalui jalur antara lain,
pengkajian dan penelitian kitab-kitab fiqh, wawancara dengan para ulama,
yurisprudensi Pengadilan Agama, studi perbandingan hukum dengan negara
lain, lokakarya/seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama dan dilakukan
secara akademis dibeberapa IAIN di Indonesia.96
Sementara itu CLD lahir melalui proses pemikiran untuk meningkatkan
status hukum KHI dari sekadar Inpres menjadi Undang-undang. Dan upaya ini
sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Depag, sebelum hijrah ke Mahkamah Agung (MA) pernah
mengupayakan KHI menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Hukum Keluarga Islam.97 Upaya itu dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan status hukum dan melengkapi cakupan materi hukum Islam,
tidak sekadar terbatas pada tiga bidang hukum perdata itu saja (perkawinan,
perwakafan dan kewarisan), melainkan lebih luas dari itu. Upaya ini dalam
konteks lain bisa menjadi alternatif dari kebutuhan pilihan hukum untuk
menerapkan Syariat Islam ke dalam tubuh negara.
Menurut Siti Musda Mulia sebagai ketua tim PUG, mengatakan bahwa
proses penyusunan CLD KHI dilakukan dengan mengadakan penelitian yang
dilakukan oleh para peneliti yang diturunkan diberbagai daerah di Indonesia
untuk menyerap pelbagai informasi dan masukan dari masyarakat sekaligus
juga merekam berbagai tradisi dan kearifan lokal yang belum terakomodasi
dalam KHI.98 Dalam lampiran buku CLD KHI , terlihat bahwa proses
penyusunannya melibatkan Tim Kajian dan Kontributor Aktif yang tergabung
dalam pokja (kelompok kerja) Pengarusutamaan Gender Depag.
Dari personel yang terlibat dalam proyek tersebut menujukkan bahwa
nama-nama yang tergabung dalam kedua tim itu adalah para pakar hukum
Islam yang aktif dalam beberapa bidang antara lain dari Depag, akademisi dari
IAIN, ulama (pondok Pesantren), dan beberapa aktifis LSM. Dari perspektif ini,
sebenarnya latar belakang dan proses penyusunan “KHI lama” dengan CLD
cukup berbeda baik dari setting sosial penyusunan maupun proses yang melatar
belakanginya. Oleh karena itu produk yang duihasilkan oleh kedua produk
hukum tersebut sangat berseberangan, bahkan yang terakhir terkesan sangat
kontroversial karena terlihat “menantang” arus pemikiran hukum Islam yang
berlaku di Indonesia selama ini.
Meskipun semangat “liberasi” hukum Islam dalam CLD sangat kental. Hal
ini terlihat dalam visi yang ditawarkan CLD antara lain Pluralisme (al-
49
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
50
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
sebagian orang dianggap harus berlaku untuk semua masa, sehingga oleh
sebagian orang lainnya dianggap beku alias jumud.101
Dengan memperhatikan klasifikasi sumber pemikiran hukum Islam
tersebut tampaknya KHI bisa dianggap sebagai fiqh produk ketiga yaitu fiqh
produk dari peraturan-peratutan perundangan yang berlaku di negeri Muslim.
Walaupun secara faktual KHI maupun CLD---meskipun masih dalam bentuk
rancangan--- tidak bisa dilepaskan meterinya dari kitab-kitab fiqh yang
mempengaruhi konstruski pemikiran hukum yang terdapat dalam materi
keduanya.
51
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
kalangan. Keberatan publik atas materi pembaruan yang ada dalam CLD
misalnya, disampaikan oleh M. Tahir Azhari, Guru Besar Fakultas
Hukum UI, yang tidak sependapat dengan hampir semua usulan di
dalam CLD. Mengenai wali nikah, misalnya menurut Prof Tahir sudah
merupakan konsensus alim ulama dan pakar hukum Islam sebagai rukun
pernikahan. Kemudian mengenai pembagian warisan untuk anak laki-
laki dan perempuan yang ditawarkan menjadi 1:1 atau 2:2 menurut Tahir
bertentangan dengan Surat An-Nisa‟ (QS. 11), ayat 11. Begitu juga
dengan mengenai perkawinan beda agama, menurut Tahir tidak sejalan
dengan surat Al-Baqarah ayat 221.103
Selanjutnya Tahir mengungkapkan penolakannya terhadap CLD
menyangkut masalah terminologi pernikahan. Menurutnya pengertian
perkawinan adalah merupakan pengertian baku dalam hukum Islam dan
bersifat universal, karena diakui oleh masyarakat muslim dimanapun
mereka berada. Dipandang dari sudut hukum, pernikahan merupakan
suatu perikatan tapi bukan hanya sekedar perikatan kemanusiaan saja
namun suatu perjanjian yang sangat kokoh (mitsaqan ghalizan). Jadi
pernikahan di dalam Islam bukan hanya hubungan antara dua manusia
dalam arti muamalah saja, tetapi didalamnya terkandung nilai-nilai
ubudiah. Oleh karena itu perkawinan antara orang Islam dan non-
Muslim haarus secara tegas dilarang.104
Respon yang tidak setuju (kontra) dengan gagasan CLD juga
dikemukakan oleh Rifyal Ka‟bah. Yang mengakui bahwa bahwa
kemunculan CLD sebenarnya telah menimbulkan reaksi yang luas baik
yang pro maupun kontra. Hal ini diperparah oleh beberapa alasan antara
lain dari sudut kontroversi yang ditimbulkannya ditinjau dari sudut
hukum Islam, pendanaan proyek berasal dari pihak asing---dari The Asia
Foundation---, dan pengatasnamaan Departemen Agama.105
Selanjutnya Rifyal Ka‟bah mengkritik dengan pedas dan
menyatakan bahwa pembaruan yang diajukan oleh perumus KHI
tandingan bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian), dan ishlah
(perbaikan terhadap fasad), tetapi dalam pengertian bid‟ah dan
penyimpangan dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli.
52
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
53
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
menjadi batal secar hukum, beberti menurut pandangan ini poligami itu
haram. Ini yang sangat berbahaya, orang yang telah melakukan poligami
menjadi “tidak sah” (haram). Berbahaya karena menentang haal yang
ditetapkan dalam al-Qur‟an, Allah dan Rasulullah serta ijma‟ sahabat
sepanjang masa.108
Selanjutnya Ali Mustafa Ya‟qub juga menilai bahwa menentang al-
Qur‟an berarti dapat dihukum sebagai murtad. Semua itu merupakan
poin pemikiran dari orang-orang yang tidak mau menjadikan a-Qur‟an
dan al-Hadits sebagai sandaran hukum Islam. Menurutnya, pemikiran
liberal berarti iblis, pemikiran otak dengan mendasarkan HAM dan
kesetaraan gender. Pemikiran iblis liberal dan tidak Islam sebab Islam itu
berarti tunduk hanya kepada Allah SWT.109 Akhirnya Ali Muatafa
Ya‟qub menyarankan untuk kembali ke jalan yang benar bagi para
anggota yang tergabung dalam tim perumus CLD. Dan menurutnya,
pada prinsipnya hukum Islam itu adalah al-Qur‟an dan al-Hadits,
sedangkan orang yang menggunakan rasio, mendasarkan pada HAM
dan gender sehingga berdebat tidak akan pernah ketemu. Tidak ada
gunanya lagi memperdebatkan kecuali semua sama-sama mendasarkan
kepada al-Qur‟an dan al-Hadits, serta sumber-sumber hukum Islam yang
disepakati masyarakat muslim.110
Senada dengan pendapat Ali Mustafa Ya‟kub, menurut Nabilah
Lubis menyatakan bahwa sejak awal kemunculan CLD yang dimotori
oleh TPG (Tim Pengarusutamaan Gender) langsung mendapatkan reaksi
yang keras dari kaum muslimin Indonesia. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada saat itu langsung dengan tegas menyatakan bahwa draft
tersebut bertetangan dengan syariat Islam. Sehingga akhirnya pada
tanggal 12 Oktober 2004, Menteri Agama RI mengeluarkan larangan
sosialisasi CLD KHI baik melalui seminar maupun kegiatan sejenis
lainnya dengan melibatkan atau mengatasnamakan Departemen Agama
RI. Lebih lanjut Nabilah mengibaratkan CLD sebagai “sel kanker” yang
dapat meghancurkan keterikatan umat Islam pada al-Qur‟an dan al-
Hadits.111
Secara umum perubahan isu-isu penting yang menjadi bahan
polemik dalam CLD dapat dipetakan table sebagai berikut ini:
108 Ali Mustafa Ya‟qub, Departemen Agama Kebobolan Pemikiran Iblis, dalam Harian Pelita, 8
Oktober 2004.
109 Ali Musatafa Ya‟qub, ibid.
110 Ali Muatafa Ya‟qub, ibid.
111 Nabilah Lubis, Perkembangan Pemikiran Akatual Hukum Perkawinan Indonesia dalam
Perspektif Islam, makalah disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Muslimat NU
tanggal 14 Mei 2005 di Jakarta.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
54
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
Tabel No.1
No Isu-Isu Krusial KHI CLD Kompilasi
berdasarkan Inpres No. 1 Hukum Islam
tahun 1991
1 Pengertian Merupakan ibadah yang Bukan ibadah, tapi
Perkawinan wajib dilaksanakan hubungan sosial
kemanusiaan biasa
2. Wali Nikah Menjadi Salah satu rukun Bukan rukun
perkawinan perkawinan,
perempuan boleh
menikahkan dirinya
sendiri
3. Pencatatan Tidak termasuk rukun Rukun perkawinan,
perkawinan, hanya karenanya
kewajiban administratif perkawinan tidak
sah tanpa pencatatan
4. Batas Usia 16 tahun bagi calon istri 19 tahun dengan
perkawinan dan 19 tahun bagi calon tidak membedakan
suami antara calon istri dan
suami.
5. Mahar Wajib diberikan oleh Wajib diberikan oleh
calon suami kepada calon calon suami atau
istri calon istri atau
kedua-duanya
sesuai dengan adat
setempat
6. Kawin beda agama Haram dilakukan secara Boleh dilakukan
mutlak selama dalam batas
untuk mencapai
tujuan perkawinan
7. Poligami Boleh dilakukan dengan Haram dilakukan
persyaratan (haram li ghairihi)
8. Hak Cerai Istri dan Istri tidak mempunyai Istri mempunyai hak
rujuk hak untuk menceraikan untuk menceraikan
dan merujuk suami dan merujuk
suaminya (setara
dengan hak
suaminya)
9. „Iddah „Iddah hanya untuk istri „Iddah dikenakan
saja, tidak untuk suami bagi Istri dan suami
10. Ihdad Ihdad hanya untuk istri Ihdad dikenakan
tidak untuk suami bagi suami dan istri
11. Pencarian Nafkah Menjadi kewajiban suami Kewajiban bersama
antara suami dan
istri, tugas
reproduksi istri lebih
bernilai dari pada
tugas pencarian
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
55
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
nafkah
12. Perjanjian Tidak mengatur soal Mengatur soal
Perkawinan jangka waktu perkawinan jangka waktu
perkawinan
13. Nusyuz Nusyuz hanya Nusyuz dapat
dituduhkan kepada isteri ditudukan kepada
suami atau isteri
14. Hak dan kewajiban Hak dan kewajiban suami Hak dan kewajiban
istri tidak sama, timpang suami dan istri sama
15. Waris beda agama Beda agama adalah Beda agama bukan
penghalang (mani‟) waris penghalang (mani‟)
mewarisi untuk waris
mewarisi
16. Bagian Anak laki-laki Bagian anak laki-laki dan Bagian anak laki-laki
dan perempuan perempuan adalah 2:1 dan perempuan
adalah 1:1 dan 2:2
17. Wakaf beda agama Orang yang beda agama Dibolehkan orang
dilarang menerima dan beda agama untuk
memberi wakaf memberi dan
menerima wakaf
18. Anak diluar Hanya punya hubungan Jika diketahui ayah
perkawinan saling mewaris dengan biologisnya maka
ibunya, sekelipun ayah anak tetap memiliki
biologisnya sudah hak waris dari ayah
diketahui biologisnya
56
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
57
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
Hidayat dan Ahmad Gaus, (ed.), Islam Negara dan Civil Society Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer, (Jakarta:Paramadina, 2005), hlm. 375.
119 Nurul Agustina, ibid. hlm. 394.
58
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
mendapat hukuman mati atau diusir dari negaranya, akibat ide-idenya yang
dianggap telah melanggar syariat Islam.
Dalam konteks ke-Indonesia-an respon yang beragam terhadap CLD
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah latar belakang
pendidikan, profesi, kecenderungan pola pemikiran, dan usia tokoh yang
merepresentasikan trend dan corak pemikirannya. Secara umum terdapat
perbedaan mencolok antara kelompok yang pro dan kontra CLD, dalam
perspektif latar belakang pendidikan, profesi dan kecenderungan pemikiran
serta usia para tokoh-tokoh tersebut.
Kelompok yang banyak mengkritik CLD rata-rata mempunyai background
pendidikan dari Perguruan Tinggi di Timur Tengah yang sangat konsens
terhadap pendekatan fiqh Islam, seperti Huzaemah Tahido Yanggo, Nabilah
Lubis, dan Ali Mustafa Ya‟kub dan M. Tahir Azhari dan Rifyal Ka‟bah yang
berasal dari UI Jakarta. Dari perspektif disiplin ilmu yang menjadi kajiannya
kebanyakan tokoh yang kontra CLD adalah terkenal sebagai kelompok
memegang tradisi fiqh yang kuat dan mereka sangat faham dengan
perbandingan madzhab fiqh dalam Islam, atau paham tentang seluk beluk
hukum Islam. Dan pada umumnya mereka juga sangat menjaga tradisi
intelektual dan dogma-dogma ajaran Islam secara “rigid” bahkan terlihat agak
literal dalam melihat hukum Islam. Dari pesrpektif profesi kelompok kontra
mayoritas adalah pengajar dan Guru Besar di beberapa perguruan tinggi Negeri
di Jakarta. Selengkapnya dapat dilihat dalam table berikut ini:
Table No. 2
Data Kelompok Kontra CLD
No Nama Latar Belakang Pendidikan Profesi
1. Huzaemah Tahido S2 Universitas Al-Azhar Guru Besar UIN
Yanggo Mesir Jakarta
S3 Universitas Al-Azhar
Mesir
2. Nabilah Lubis S2 Univ. Al-Azhar Mesir Guru Besar UIN
S3 IAIN Jakarta Jakarta
3. M. Tahir Azhari S3 UI Jakarta Guru Besar UI
Jakarta
4. Mustafa Ali Ya‟kub S2 Univ. Ummul Qura‟ Dosen dan Ulama
Makkah
5. Rifyal Ka‟bah S3 UI Jakarta Dosen, dan
Pengamat Politik
Dari tabel tersebut dengan jelas dapat difahami bahwa latar belakang
pendidikan juga mempengaruhi terhadap respon tokoh-tokoh tersebut terhadap
CLD. Dan yang menarik adalah diantara para kritikus CLD tersebut adalah
“perempuan” yang menjadi bagian terpenting dari bidang utama yang
diperjuangkan dalam CLD. Tetapi tampaknya isu “gender” yang mengemuka
59
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
dalam CLD ternyata tidak cukup efektif mempengaruhi sikap para pengkritik
CLD. Di samping itu, dilihat dari perspektif usia, tampaknya para pengkritik
CLD rata-rata udah berada dalam usia diatas 50 tahunan, hal ini bisa dilihat dari
jabatan dan profesinya sebagai guru besar senior di lembaga pendidikan tempat
mereka bekerja.
Sementara itu dari kelompok yang membela CLD atau kelompok yang pro
CLD, pada umumnya mereka berasal dari latar belakang yang yang berbeda-
beda. Sebagian dari mereka adalah berpendidikan dari IAIN ada juga yang
berasal dari pesantren tradisional NU, dan dari Perguruan Tinggi umum. Dari
perspektif profesi diantarnya adalah pengajar IAIN dan para aktivis LSM,
disamping para ulama. Karena yang mendukung CLD mayoritas berasal dari
Tim Pengausutamaan Gender, maka latar belakang dan profesi kelompok ini
bisa dilihat dalam daftar para kontributor yang tergabung dalam tim tersebut.
Dari susunan tim tersebut kan terlihat komposisi latar belakang profesi dan latar
belakang pendidikan, termasuk latar belakang organisasi sosial keagamaan yang
mereka wakili. Secara singkat perbedaan kelompok pro-CLD, dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel No. 3
Data Kelompok Pro-CLD
No Nama Latar Belakang Profesi
Pendidikan
1. Siti Musda Mulia S3 IAIN Jakarta Dosen UIN, dan Peneliti
2. Abdul Moqsith Al-Ghazali S2 IAIN Jakarta Dosen Univ.
Paramadina, dan aktivis
JIL
3. Muhammad Husein IAIN Pengasuh Pesantren di
Cirebon
4. Aida Vitalaya Hubeis S3 IPB Dosen IPB, dan aktivis
LSM Perempuan
5. Ulil Abshar Abdallah LIPIA dan STF Direktur JIL dan
Driyakara Freedom Institute
Jakarta
60
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
konteks ini tampaknya polemik tentang CLD juga tampak sekana terjadi
pertentangan secara vis-à-vis kelompok “tua” dan kelompok “muda”, dalam
konteks pembaruan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.
Secara realitas dalam konteks perkembangan pemikiran Islam di Indonesia,
kelompok JIL merupakan kelompok baru---- pasca gerakan pembaruan
Nurcholish Madjid pada tahun 1970-an dan 1980an---- gerakan ini terkenal
dengan gagasan-gagasannya yang liberal dan terlihat berseberangan dengan
pendapat kebanyakan para ulama Islam. Isu-isu semacam “dekonstruksi
Syari‟ah” yang digagas El-Naim, kemudian gagasan “Kiri Islam” Hasan Hanafi,
dan Hamid Nasr Abu Zaid dan sebagainya, sangat mempengaruhi paradigma
pemikiran mereka. Oleh karena itu dalam mengungkapkan pendapatnya
kebanyakan para aktivis tersebut kadang menimbulkan polemik di kalangan
umat Islam, karena berseberangan dengan arus pemikiran Islam yang selama ini
telah dianggap “mapan” dan Qath‟i. Termasuk dalam menggagas ide-ide yang
terdapat dalam CLD juga sedikit banyak dipengaruhi oleh pemahaman mereka
yang liberal terhadap teks-teks ajaran Islam, sehingga menyulut reaksi dan
respon yang sangat luas dan keras serta menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh
para pakar hukum Islam, dan masyarakat Islam.
Sebenarnya dalam konteks CLD ini tidak bisa dilepaskan dari faktor
adanya proses bargaining kepentingan antara berbagai kelompok baik yang
pro-CLD maupun kontra terhadap proses pembaruan hukum Islam yang
ditawarkan CLD. Dan dalam perspektif sosiologi hukum Islam, hal ini wajar
karena dalam pendekatan sososilogi dalam studi hukum Islam, sebagaimana
pendapat M. Atho Mudzhar selalu berkaitan dengan tema-tema utama yang
menjadi wilayah kajiannya. Pertama, terdapatnya pengaruh hukum Islam
terhadap masyarakat dan perubahan masyarakat. Kedua, pengaruh perubahan
dan perkembangan masyarakat terhadap pemikiran hukum Islam. Ketiga,
Tingkat pengamalan hukum agama masyarakat. Keempat, pola intekasi social
masyarakat muslim diseputar hukum Islam.120
Dalam kasus CLD tempaknya sinyalemen tersebut terjadi karena CLD
telah menimbulkan reaksi dari berbagai lapisan masyarakat yang beragam,
termasuk dampaknya bagi perkembangan hukum Islam di Indonesia pada
periode mendatang. Tetapi tidak kalah menarik untuk dicermati adalah bahwa
CLD sebenarnya berusaha merevisi KHI yang sedang dipersiapkan untuk
ditetapkan menjadi undang-undang yang permanen. Dalam konteks ini nuansa
politik dan kepentingan kelompok menjadi sangat mendominasi. Oleh karena
itu, menurut Abdurrahman menilai bahwa KHI sebenarnya bukan produk
hukum yang sudah final, karena pembentukan KHI bagi umat Islam merupakan
langkah strategis dalam upaya penerapan hukum Islam. Penetapan KHI baru
merupakan langkah awal yang perlu dikembangkan lebih lanjut, dengan
120M. Atho Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, pada IAIN Sunan Kalijaga, 1999, hlm. 56.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
61
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
F. Penutup
Gagasan pembaruan hukum Islam yang ditawarkan oleh TPG melalui
proyek CLD---khusunya menyangkut hukum keluarga dalam Islam-----
merupakan fenomena baru dalam spektrum pembaruan hukum Islam di
Indonesia pada era Reformasi. Tetapi tampaknya gagasan pembaruan hukum
Islam tersebut, belum banyak menyentuh kebutuhan riil masyarakat Muslim,
sehingga tidak banyak mendapat “tempat” dan berkenan dalam masyarakat
Muslim Indonesia. Mungkin dalam tataran wacana dalam rangka memperkaya
khazanah intelektual hukum Islam kontemporer di Indonesia, CLD masih bisa
ditolelir, akan tetapi dalam konteks praksis tampaknya masih perlu dikaji ulang
secara seksama. Dalam perspektif lain tampaknya “fiqh lama” yang
diformulasikan oleh para imam madzhab klasik Islam tetap kuat pengaruhnya,
walaupun ada upaya untuk mereformasi bagian susbtansial dari wacana fiqh itu,
tetapi tidak berhasil dengan baik.
Prakarsa para perumus CLD atau “KHI Tandingan” sebenarnya bukanlah
sebuah gejala baru dalam dunia Islam. Jauh sebelumnya telah muncul berbagai
konsep sempalan. Misalnya gagasan sekularisasi Ali Abdur Raziq di Mesir pada
tahun 1920-an, dan Khalid Muhammad Khalid ditahun 1940-an di Mesir, serta
gagasan reformasi Mahmud Taha di Sudan dan muridnya Abdullah el-Naim,
juga gagasan Abu Zaid di Mesir, gagasan sekularisasi Cak Nur, gagasan
reaktualisasi Munawir Syadzali tahun 1980-an di Indonesia, kemudian gagasan
liberal JIL. Semuanya dihubungkan oleh benag halus atau kasar karena takjub
dengan nilai-nilai yang datang dari Barat, dukungan moril dan materil Barat
untuk merombak ajaran Islam berangkat dari paham liberal.
Oleh karena itu setting sosial dan politik termasuk kecenderungan fiqh
yang berlaku di masyarakat juga perlu mendapatkan pertimbangan dari para
praktisi dan pemikir hukum Islam sebelum melakukan pembaruan hukum
Islam. Disamping itu pembaruan hukum Islam seperti kasus CLD harus
mengedepankan kepentingan dan kecenderungan aliran yang dianut umat Islam
dalam koteks pengamalan agamanya. Termasuk melibatkan seluruh komponen
umat Islam, yang terdiri dari para akademisi, ulama, pakar dan praktisi dari
berbadgai organisasi dan sekte-sekte, serta madzhab-madzhab fiqh yang
beragam yang ada di Indonesia.
121 Abdurrahman, Beberapa Catatan Sekitar Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam, Makalah
pada Pembahasan CLD KHI, Kelompok Kerja Perdata Agama, Maaaahkamah agung RI 3
November 2004.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
62
Tobibatussaadah Kontroversi Pembaruan Hukum…
Daftar Pustaka
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan dan Peraturan Peradilan
Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991)
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakrta: Akademika Pressindo,
1995
____________, Beberapa Catatan Sekitar Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam,
Makalah pada Pembahasan CLD KHI, Kelompok Kerja Perdata Agama,
Mahkamah Agung RI, 3 November 2004.
Ali Mustafa Ya‟qub, Departemen Agama Kebobolan Pemikiran Iblis, dalam Harian
Pelita, 8 Oktober 2004.
Bustanul Arifin, Kompilasi; Fiqh dalam Bahasa Undang-Undang, dalam Pesantren
No. 2, Vol. II tahun 1985.
Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bagian lampiran, Kontroversi Revisi Kompilasi
Hukum Islam, (Jakarta :Adelina, 2005
Kompas, Menyosialisasikan “Counter Legal Draft” Kompilasi Hukum Islam, tanggal
11 Oktober 2004.
M. Atho Mudzhar , Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998
_______________, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, pada IAIN
Sunan Kalijaga, 1999.
Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1989
M. Tahir Azhary, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Islam Counter Legal
Draft KHI, Makalah Diskusi Disampaikan di hadapan Forum Diskusi
pembaharuan Hukum Islam, Senin, 4 Oktober 2004 di Ball Room Hotel
Aryaduta, Jakarta.
Nabilah Lubis, Perkembangan Pemikiran Akatual Hukum Perkawinan Indonesia
dalam Perspektif Islam, makalah disampaikan dalam seminar yang
diselenggarakan oleh Muslimat NU tanggal 14 Mei 2005 di Jakarta.
Nurul Agustina, “Gerakan Feminisme Islam dan Civil Society” dalam
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus, (ed.), Islam Negara dan Civil Society
Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta:Paramadina, 2005
Panji Masyarakat No. 502, Th XXVII tanggal 1 Mei 1986.
Rifyal Ka‟bah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tandingan, Makalah Tanggapan
Umum Terhadap CLD, Jakarta, 2004
Siti Musda Mulia , dalam “ Kata Pengantar”, Pembaruan Hukum Islam Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender
Depag, 2004)
Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal
Draft KHI, (Jakarta: Depag, 2004
63
MEMAHAMI IJTIHÂD HUKUM ISLAM ‘UMAR BIN AL- KHATTÂB
Solihin Panji
Program Pascasarjana (PPs) STAIN
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstract
Basically, this article will discuss the 'Umar bin al-Khattâb ijtihâd in Islamic law. One of
the related problem is how to describe 'Umar bin al-Khattâb theoretical framework and
methodology of Islamic law istinbât. According to this second caliph to develop Islamic
law thought it is urgent need to explore the philosophy of Islamic law and public interest
especially to response several contemporary problems of Islamic law at that time. In this
context, the using and the integrating or combining the legal formal - ideal moral
approach model and emphirical - inductive approach model constitutes the necessity
because it is a way to produce solutive intellectual exercise in the field of Islamic law.
Keywords: ijtihâd, istinbât, dan hukum Islam
“Orang yang patut memegang kekuasaan seyogyanya hanya mereka yang memiliki
empat sifat: lunak tetapi tidak lemah, keras tetapi tidak kejam, hemat tetapi tidak kikir,
dan murah hati tetapi tidak berlebih-lebihan”.
(„Umar bin al-Khattâb)122
A. Pendahuluan
„Umar bin al-Khattâb adalah salah seorang tokoh besar dalam khazanah
sejarah Islam. Khalîfah kedua ini memeluk dîn al-Islâm pada tahun keenam dari
kenabian Muhammad saw ketika beliau berumur 27 tahun.123 Ia adalah profil
seorang pemimpin yang sukses, mujtahid ulung dan dikenal dengan sikapnya
yang tegas dalam menegakkan keadilan.
Sulit ditemukan kepribadian seorang penguasa yang banyak memberikan
kekaguman orang-orang di sekitarnya sebagaimana yang ada pada pribadi
„Umar bin al-Khattâb. Sehingga pokok-pokok pikiran maupun metodologi ber-
ijtihâdnya banyak diadopsi oleh pemikir-pemikir Islam modern dalam
merumuskan produk hukum yang dinilai sesuai dengan perkembangan zaman.
Muhammad Husain Haikal dalam prakata bukunya menulis:124
Jika orang berbicara tentang zuhud —meninggalkan kesenangan dunia— padahal
orang itu mampu hidup senang, maka orang akan teringat pada zuhud Umar.
Apabila orang berbicara tentang keadilan yang murni tanpa cacat, orang akan
teringat pada keadilan Umar. Jika berbicara tentang kejujuran, tanpa membeda-
bedakan keluarga dekat atau bukan, maka orang akan teringat pada kejujuran
122 Muhammad „Abdul „Azîz al-Halâwî, selanjutnya disebut al-Halâwî, Fatwa dan Ijtihad
„Umar bin al-Khattâb; Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, terj. Zubeir Suryadi Abdullah (Surabaya:
Risalah Gusti, 1999), h. 8.
123 Ruwai'î, Fiqh „Umar bin al-Khattâb Muwâzinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidîn, Juz 1 (Beirut:
Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, terj. Ali Audah, Cet. Kesepuluh (Jakarta: Lentera
Antar Nusa, 2010), h. xix
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
Umar, dan jika ada yang berbicara tentang pengetahuan dan hukum agama yang
mendalam, orang akan teringat pada Umar.
Hal tersebut bisa terjadi lantaran dalam berbagai kesempatan „Umar bin al-
Khattâb tercatat sering diajak berunding oleh Rasulullah saw, terutama dalam
menghadapi persoalan-persoalan kemasyarakatan.125 Tidak jarang apa yang
disarankan „Umar bin al-Khattâb disetujui oleh Rasulullah saw, bahkan lebih
jauh ada pula pendapatnya yang mendapat konfirmasi dari al-Qur‟an.126
Pada masa „Umar bin al-Khattâb menjabat sebagai khalifah kedua, wilayah
kekuasaan Islam telah sedemikian luasnya hingga ke daerah Mesir. Dalam
wilayah yang sedemikian luas itu, persoalan-persoalan baru dalam masyarakat
menjadi bertambah kompleks. Berbagai pertimbangan terhadap situasi konkrit
dan realitas umat nampaknya ikut mempengaruhi Khalîfah „Umar bin al-Khattâb
dalam mengurus masyarakat dan menafsirkan kembali aturan-aturan yang
sudah berlaku sebelumnya. Atas dasar pemahaman itu, dalam beberapa kasus
Khalîfah „Umar bin al-Khattâb mengadakan perputaran hukum dan melakukan
penyesuaian sesuai dengan kasus dan dasar perilaku orang yang berperkara.
Namun perlu dicatat, bahwa keberhasilan penerapan hukum Islam masa
Khalîfah „Umar bin al-Khattâb tidak lepas dari upayanya dalam melakukan
“setting sosio-kultural” masyarakat masa itu. Setting sosio-kultural
dimaksudkan untuk membangun paradigma berfikir masyarakat dengan
menanamkan pemikiran yang logis tanpa mengesampingkan al-adillah al-
naqliyah.
Pada tataran inilah, makalah ini hadir sebagai usaha untuk mengeksplorasi
dan mengelaborasi Pemikiran dan Ijtihad Hukum „Umar bin al-Khattâb,
khususnya di bidang Hukum Keluarga, dengan berusaha menjawab apa yang
melandasi Ijtihad Hukum „Umar bin al-Khattâb? dan bagaimana metodologi
istinbât al-hukm „Umar bin al-Khattâb dalam berfatwa?
Pembahasan akan dititikberatkan kepada kajian sejarah dan metodologi
istinbât} al-hukm „Umar bin al-Khattâb yang digunakannya dalam memecahkan
masalah-masalah sosial dan contoh-contoh ijtihâd Hukum „Umar bin al-Khattâb.
Hal-hal lain yang berkaitan erat dengan pokok-pokok masalah tersebut akan
dikemukakan secara garis besar, seperti sketsa biografis dan kontribusi
pemikiran „Umar bin al-Khattâb dalam mewarnai khazanah intelektual Islam.
125 Amiur Nuruddin, Ijtihad „Umar bin al-Khattâb: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam
konfirmasi dari Al Quran, antara lain: Pertama, Usulan „Umar bin al-Khattâb agar Maqâm Ibrahim
dijadikan tempat salat, yang kemudian turun ayat "wattakhaz\û min maqâmi ibrâh>ima mus}allâ";
Kedua, Usulan „Umar bin al-Khat}t}âb kepada Nabi agar Muslimah memakai h}ijâb ketika
berhadapan dengan orang laki-laki, kemudian turun ayat "Wa iz\â sa‟altumuhunna mata‟an
fasa‟altumuhunna min warâ'i h}ijâb", Ketiga, Permohonan penjelasan dari „Umar bin al-Khat}t}âb atas
keharaman arak yang kemudian dijawab oleh Allah swt dalam surat al-Mâidah ayat 90. Lebih jelas
baca Ruwai'î, op.cit., h 23-28.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
65
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
B. Pembahasan
1. Sketsa Biografis ‘Umar bin al-Khattâb
a. Nasab ‘Umar bin al-Khattâb
Nama lengkap beliau adalah „Umar bin al-Khattâb bin Nufail bin
„Abdul „Uzzâ bin Riyah bin Abdullâh bin Qart} bin Razah bin „Adî bin
Ka‟ab bin Lu‟ay bin Gâlib, dari Banî Adî, salah satu rumpun suku
Quraisy. Dilahirkan di Mekah pada tahun 561 M, 40 tahun sebelum
hijriah. Ayahnya bernama Khattâb bin Nufail al-Simh al-Quraisyî dan
ibunya Hantamah binti Hâsyim bin al Mugîrah al Makhzûmiyah.
Rasulullah memberi beliau kunyah (nama panggilan berdasarkan sisilah)
Abû Hafs (bapak Hafsah) karena Hafsah adalah anaknya yang paling
tua dan memberi laqab (julukan) al-Fâruq kepadanya.128
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah saw pada
kakeknya, Ka‟ab. Antara beliau dengan Rasulullah selisih 8 kakek.
Moyangnya memegang jabatan duta besar dan leluhurnya adalah
pedagang. Ia salah satu dari 17 orang Mekah yang terpelajar ketika
kenabian dianugerahkan kepada Muhammad saw. „Umar juga dikenal,
karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.129
b. ‘Umar bin al-Khattâb memeluk Islam
Ketika ajakan memeluk Islam dideklarasikan oleh Nabi
Muhammad saw, „Umar bin al-Khattâb mengambil posisi untuk
membela agama tradisional kaum Quraisy (menyembah berhala). Pada
saat itu „Umar bin al-Khattâb adalah salah seorang yang sangat keras
dalam melawan pesan Islam dan sering melakukan penyiksaan
terhadap pemeluknya.
Menurut pendapat yang masyhur, sebagaimana telah disinggung
dimuka bahwa „Umar bin al-Khattâb masuk Islam pada tahun keenam
127 Nasr Hâmid Abû Zaid, Mafhûm al-Nâs; Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân (Hazîrân: al-Markâz al-
66
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
130 Sejarah merekam detik-detik masuknya „Umar bin al-Khat}t}âb dalam Islam, bahwa
suatu hari, beliau keluar dengan menghunus pedangnya bermaksud membunuh Rasulullah saw.
Dalam perjalanan, beliau bertemu dengan Nu‟aim bin Abdullâh al „Adawî, seorang laki-laki dari
Bani Zuhrah. Lelaki itu berkata kepada „Umar bin al-Khattâb, “Mau kemana wahai Umar?” „Umar
bin al-Khattâb menjawab, “Aku ingin membunuh Muh}ammad.” Lelaki tadi berkata, “Bagaimana
kamu akan aman dari Banî Hâsyim dan Bani Zuhrah, kalau kamu membunuh Muhammad?” Maka
Umar menjawab, “Tidaklah aku melihatmu melainkan kamu telah meninggalkan agama nenek
moyangmu.” Tetapi lelaki tadi menimpali, “Maukah aku tunjukkan yang lebih
mencengangkanmu, hai Umar? Sesungguhnya adik perampuanmu dan iparmu telah
meninggalkan agama yang kamu yakini.” Kemudian dia bergegas mendatangi adiknya yang
sedang belajar al-Qur‟an, surat Tâhâ kepada Khabab bin al-Arat. Tatkala mendengar „Umar bin al-
Khat}t}âb datang, maka Khabab bersembunyi. „Umar bin al-Khattâb masuk rumahnya dan
menanyakan suara yang didengarnya. Kemudian adik perempuan „Umar bin al-Khat}t}âb dan
suaminya berkata, “Kami tidak sedang membicarakan apa-apa.” „Umar bin al-Khat}t}âb
menimpali, “Sepertinya kalian telah keluar dari agama nenek moyang kalian.” Iparnya menjawab,
“Wahai Umar, apa pendapatmu jika kebenaran itu bukan berada pada agamamu?” Mendengar
ungkapan tersebut „Umar bin al-Khat}t}âb memukulnya hingga terluka dan berdarah, karena tetap
saja saudaranya itu mempertahankan agama Islam yang dianutnya, „Umar bin al-Khattâb berputus
asa dan menyesal melihat darah mengalir pada iparnya. „Umar bin al-Khattâb berkata, “Berikan
kitab yang ada pada kalian kepadaku, aku ingin membacanya.” Maka adik perempuannya berkata,
“Kamu itu kotor. Tidak boleh menyentuh kitab itu kecuali orang yang bersuci. Mandilah terlebih
dahulu!” Lantas „Umar bin al-Khat}t}âb mandi dan mengambil kitab yang ada pada adik
perempuannya. Ketika dia membaca surat Tâhâ, dia memuji dan muliakan isinya, kemudian minta
ditunjukkan keberadaan Rasulullah. Tatkala Khabab mendengar perkataan„Umar bin al-Khattâb,
dia muncul dari persembunyiannya dan berkata, “Aku akan beri kabar gembira kepadamu, wahai
Umar! Aku berharap engkau adalah orang yang didoakan Rasulullah pada malam Kamis, „Ya
Allah, muliakan Islam dengan „Umar bin al-Khattâb atau Abû Jahl (Amru) bin Hisyâm.‟ Waktu itu,
Rasulullah saw berada di sebuah rumah di daerah Safâ.” „Umar bin al-Khattâb mengambil
pedangnya dan menuju rumah tersebut, kemudian mengetuk pintunya. Ketika ada salah seorang
melihat „Umar bin al-Khattâb datang dengan pedang terhunus dari celah pintu rumahnya,
dikabarkannya kepada Rasulullah saw. Lantas mereka berkumpul. Hamzah bin Abdul Mut}âlib
bertanya, “Ada apa kalian?” Mereka menjawab, “Umar datang!” Hamzah bin Abdul Mut}âlib
berkata, “Bukalah pintunya. Kalau dia menginginkan kebaikan, maka kita akan menerimanya,
tetapi kalau menginginkan kejelekan, maka kita akan membunuhnya dengan pedangnya.”
Kemudian Rasulullah saw menemui „Umar bin al-Khattâb dan berkata kepadanya, “Ya Allah, ini
adalah „Umar bin al-Khattâb. Ya Allah, muliakan Islam dengan „Umar bin Khattab.” Dan dalam
riwayat lain, “Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan Umar.” Seketika itu pula „Umar bin al-Khattâb
bersyahadat, dan orang-orang yang berada di rumah tersebut bertakbir dengan keras. Menurut
pengakuannya dia adalah orang yang ke-40 masuk Islam. Abdullâh bin Mas‟ûd berkomentar,
“Kami senantiasa berada dalam kejayaan semenjak „Umar bin al-Khattâb masuk Islam.” Lihat Abû
„Isâ al-Tirmizî, Sunan al-Tirmizî. (Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.), nomor: 3614, hadîs hasan sahîh
garîb.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
67
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
131 Adam Smith, The Wealth of Nations (New York: The Modern Library, 1937), h. 365.
132 Ganîmah adalah harta rampasan perang dari kafir harbî yang ditinggalkan oleh mereka di
medan peperangan, sedangkan Fai‟ adalah harta hasil rampasan dari kafir harbî yang diperoleh
tanpa peperangan. Lihat Abû Ja‟far Muh}ammad bin Jarîr al-Tabarî selanjutnya disebut al-Tabari,
Târikh al-Umam wa al-Mulûk, Jilid V (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), h. 78.
133 Kharâj (tributan soli) adalah pajak tanah yang dipungut dari non-muslim ketika tanah
mereka berhasil ditaklukkan. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil produksi
kepada negara (wazîfah). Lihat Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm al-Harwî, Kitâb al-Amwâl. ed.
Muh}ammad Khalîl Harrâs (Beirut: Dâr al-Fikr li al-Tibâ„ah wa al-Nas}r wa al-Taujî„, 1988), Juz I,
hlm. 94-95. Istilah kharâj ini, dilihat dari kacamata sejarah, dipinjam oleh bangsa Arab dari bahasa
administratif Bizantium, yang pada mulanya berarti upeti, yang dalam bahasa Persia dikenal
dengan istilah kharag. Terminologi ini sudah dikenal sejak masa Yunani ketika dibawah kekuasaan
Romawi dengan istilah Tributan soli, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Arab dan dicernakan
dengan pertimbangan makna yang sama dengan hasil bumi, kemudian dalam terminologi ekonomi
dimaknai dengan “Pajak yang harus dibayar atas dasar hak kepemilikan tanah”, Lihat
Muh}ammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hlm.
183. Berbeda dengan pengertian di atas, Masdar F Mas‟udi mengemukakan bahwa kharrâj
bukanlah pajak tanah, melainkan semacam retribusi atau sewa tanah negara yang dibayarkan oleh
penggarapanya. Lihat Masdar F Mas‟udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), h. 2-6.
134 Jizyah (tributum capitis) adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non-muslim khususnya
ahlu-kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, serta bebas dari nilai-nilai, dan tidak
wajib militer. Pada masa Rasûlullâh s.a.w., jizyah ditetapkan melalui sahabatnya Muaz\ bin Jabal
ketika diutus ke Yaman, yaitu sebesar satu dinar per tahun bagi yang sudah balig dan mampu
membayar. Pembayaran tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa.
Namun menurut Abû „Ubaid, ukuran ini rupanya tidak menjadi ketentuan baku, hal ini beliau
analogikan dari sikap „Umar bin al-Khat}t}âb yang memungut jizyah sebanyak 4 (empat) dinar atau
40 (empatpuluh) dirham. Lihat Abû „Ubaid, op. cit., Juz I, h. 37, no: 72.
135 „Usyr adalah bea cukai/import yang dikenakan kepada semua pedagang (baik pedagang
Muslim maupun non-Muslim) ketika melintasi wilayah daulah Islamiyyah. Pedagang Muslim
dikenakan rub„u al-„ushr (2,5%), ahlu al-dhimmah dikenakan nisf al-„ushr (5%) dan ahlu al-harb
dikenakan „usyr (10%); bea cukai dikenakan terhadap barang-barang yang lebih dari 200 dirham.
Abû „Ubaid, Ibid, Juz I, hlm. 24; Juz IV, h. 642.
136 Ibid, Juz I, h. 51, 76, 108-109.
137 al-Tabari, Târikh al-Umam wa al-Mulûk…., op.cit., h. 182.
68
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
138 Iran dan Irak pada saat itu adalah Negara yang Monarkhi, yang mana sistem ekonomi
yang diterapkan adalah sistem feodalisme yang membagi ekonomi menjadi dua kelas, yaitu kelas
kaya dan kelas miskin. Kelas kaya yaitu terdiri dari raja, para anggota istana, para pejabat, para
baron, para tuan tanah, dan pemimpin-pemimpin agama. Kelas ini menguasai segala sumber
produksi yang ada. Sedangkan kelas yang miskin terdiri dari para petani, tukang-tukang dan para
penghasil barang, dan mereka ini tidak dibenarkan untuk mengkonsumsikan barang yang mereka
hasilkan sendiri. Dan cara ini dimaksudkan untuk membantu kelompok kaya agar selalu
bertambah kaya dengan mengekploitasi kelompok orang-orang miskin. Dan yang paling berkuasa
dalam penerapan sistem seperti ini adalah para raja yang bebas untuk menggunakan kekayaannya.
139 Joesoef Sou‟yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 318.
140 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Cet. Kelima (Jakarta
69
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
70
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
149 Jamâl al-Dîn Muh}ammad Ibn Marwân, Lisân al-Arab, Juz III (Mesir: Dâr al-Misriyyah al-
71
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
syarî‟ah, tasyrî‟, dan fiqh, walaupun secara terminologi ada perbedaan dari
ketiga istilah tersebut.153
153 Kata syarî‟ah dalam bahasa Arab berarti tempat air minum yang selalu menjadi tujuan
manusia maupun binatang. Oleh karena itu syarî‟at dalam arti hukum Islam berarti sumber hukum
Islam yang tidak berubah sepanjang masa. Adapun kata tasyrî‟ berarti pembentukan hukum Islam
secara sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan hukum-hukum praktis. Tasyrî‟ terbagi
menjadi dua, yaitu tasyrî‟ samâwî (hukum buatan Allah swt) dan tasyrî‟ wad‟î (hukum buatan
manusia). Sedangkan Fiqh mengandung arti hukum-hukm yang dibentuk berdasarkan syarî‟at,
yaitu hukum-hukum yang penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman
atau pengetahuan ijtihâd. Lihat Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Unisba, 1995), h. 10
154 Abdul Wahab Khalaf, Khulâs}ah Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî, terj. Wajidi Sayadi, Cet. I
72
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
73
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
157 Disebut juga kawin sementara, atau kawin terputus, oleh karena laki-laki yang
mengawini perempuannya itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan. Dinamakan kawin mut‟ah
karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang sementara waktu. Lihat Sayyid Sabiq,
Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10 (Bandung: Al-Ma‟arif, 1995), h. 57.
158 Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dari Muh}ammad bin Khalf al-„Asqalânî, dari al-
Firyâbî, dari Abân bin Abî Hâzim, dari Abû Bakar bin Hafs, dari Ibnu „Umar. Lihat Ibnu Mâjah,
Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company, versi. 2, 1997), hadis nomor
1953.
159 Mâlik bin Anas, Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company,
74
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
161 Silahkan lihat al-Bukhâri: 2494; Muslim: 2495-2499; Ah}mad bin Hanbal: 15907, 15937,
15956.
162Ini dapat dilihat dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari al-Hasan
bin al-Hulwânî, dari „Abdurrazâq, dari „Ata‟, dari sahabat Jabir bin „Abdillâh, ia berkata, “bahwa
nikah mut‟ah telah disyariatkan (diperbolehkan) sejak zaman Rasulullâ saw, hingga zaman Abû
Bakar, dan sampai zaman „Umar bin al-Khattâb.” dari riwayat ini bisa kita tangkap bahwa
pemahaman para sahabat bisa berbeda antara satu sama lain tentang sebuah hukum, disebabkan
intensitas pertemuan dengan Rasulullâh yang berbeda pula.
163 al-Halawî, op.cit., h. 193-195.
75
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
164 Ibid.
165 Ibid.
166 Imâm Muslim, Software Mausû‟ah al-Hadîs al-Syarîf (Global Islamic Software Company,
76
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
pendapat ini didasarkan pada riwayat Ibnu „Abbâs di atas, ada pun
yang termasuk memegang pendapat ini antara lain, sebagian pengikut
mazhab al-Zâhiriyyah.167
Ketiga, Kelompok yang berpendapat bahwa talak semacam ini
adalah bid‟ah, sehingga tertolak dan dianggap tidak sah. Pendapat ini
dipelopori oleh Ibnu Ulaiyyah dari ulama salaf, Ibnu Taymiyyah, Ibnu
Hazm, dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan ulama khalaf, dan Sayyid
Sâbiq dari ulama kontemporer.168
Keempat, Kelompok yang membedakan antara mereka yang sudah
pernah digauli (hubungan seksual) dengan mereka yang belum pernah
berhubungan seksual. Adapun istri yang sudah pernah diajak
berhubungan seksual, talak tiga sekaligus dihitung tiga, sedangkan istri
yang belum pernah disetubuhi tetap dihitung satu.169
4. Khulu’170
Khulu‟, dalam pandangan „Umar bin al-Khattâb harus disikapi
secara bijaksana oleh seorang suami, dan beliau menganjurkan kepada
para suami untuk mengabulkan permintaan khulu‟ istrinya.
Sebagaimana diriwayatkan al-Baihaqî, sesungguhnya „Umar bin al-
Khattâb pernah mengemukakan tentang perempuan yang meminta
khulu‟, bahwa ganti rugi yang diberikan oleh pihak istri bisa diterima
asal memiliki nilai, sekali pun lebih rendah dari nilai kelabang sanggul
kepalanya. Pendapat ini juga diikuti oleh imam Mâlik, al-Syâfi‟î, Abû
Sulaimân, dan sahabat-sahabat mereka. Sementara itu imam Abû
Hanîfah mengemukakan, bahwa pihak suami tidak boleh meminta ganti
rugi khulu‟ dari istrinya yang nilainya lebih dari mahar yang pernah
diberikan kepadanya. Kalau suaminya terpaksa melakukannya, maka
hendaknya menyedekahkan kelebihan tersebut.171
Juga dengan tegas „Umar bin al-Khattâb mengatakan,
sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqî, “Apabila kaum perempuan
menuntut cerai kepada suaminya dengan khulu‟, maka janganlah kalian
menolaknya.”172
167al-Halawî, loc.cit.
168 Sayyid Sâbiq, Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10 (Bandung: Al-Ma‟arif,
1995), h. 44-45.
169 Al-San‟ânî, Subul al-Salâm, Juz II (t.t.: t.tp, 1990), h. 1085
170 Khulu‟ secara secara etimologis bermakna melepaskan. Sedangkan menurut terminologi
fiqhiyah adalah perceraian yang muncul karena pihak istri menuntut cerai dengan membayar ganti
rugi yang diberikan kepada pihak suami yang menceraikan.
171 Ibnu Hazm, al-Muh}allâ (t.t.: t.tp., 1979), h. 594
172 al-Halawî, op.cit., h. 223.
77
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
78
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
79
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
179 Menurut A. Hanafi, Usul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1963), hlm. 75; Mutlaq ialah suatu lafaz
yang menunjukkan sesuatu hal atau barang atau orang yang tidak tertentu tanpa ada ikatan yang
tersendiri berupa perkataan.
180 Ruwai'î, op.cit., hlm. 287
181 al-Halawî, op.cit., hlm. 265.
80
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
C. Kesimpulan
Melalui praktik hukum Islam yang rasional dan dinamis, Khalîfah „Umar
bin al-Khattâb secara tidak langsung mengukuhkan dirinya sebagai ahli hukum
81
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
184 Nurkholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 6.
185 Dalam pandangan Satria Effendi kasus-kasus hukum ijtihad „Umar bin al-Khattâb
termasuk kategori ijtihâd tatbîqî, dengan demikian ijtihâd „Umar bin al-Khattâb dalam berbagai
kasus hukum tersebut tidak meninggalkan nass, apalagi mengganti atau menghapuskannya. Ijtihad
dalam pandangan Satria Effendi M. Zein terbagi menjadi 2 macam, yaitu ijtihâd istinbâtî dan ijtihâd
tatbîqî, ijtihâd istinbâtî adalah upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya, sedangkan
ijtihâd tatbîqî adalah upaya menerapkan hukum itu secara tepat terhadap suatu kasus. Dalam ijtihâd
istinbâtî, yang menjadi pusat perhatian adalah sumber-sumber hukum Islam, yang dilakukan baik
dengan pendekatan kebahasaan maupun pendekatan maqâsid syarî‟ah. Dalam ijtihâd tatbîqi yang
menjadi perhatian utama adalah untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan
hukum secara tepat dalam suatu kasus, yang menjadi objek kajiannya adalah hal-hal yang meliputi
perbuatan manusia dengan segala bentuk objek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai
pelaku hukum dengan segala kondisi dan perbuatannya. Ijtihâd tat}bîqi dapat berlaku pada setiap
hukum, baik yang dinilai qat‟î, rinci maupun yang zannî. Lihat Satria Effendi M. Zein. “Metodologi
Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad dkk (Editor), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional Mengenang 65 Th Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 117-
128.
186 Alî Muhammad al-Sya‟labi, The Great Leader of „Umar bin al-Khattâb; Kisah Kehidupan dan
Kepemimpinan Khalifah Kedua, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar,
2008), hlm. 45; Bandingkan dengan Jalâl a-Dîn al-Suyût}î, Târikh Khulafâ‟. Terj. Samson Rahman
(Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 158.
187 Al-Bagdâdî, al-Farq baina al-Firâq (Kairo: t.tp, 1924), h. 106.
82
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
dari golongan Syî‟ah,188 telah tercampur dengan unsur luar Islam semacam
Persianisme atau Iranisme yang muncul ke permukaan oleh dorongan gerakan
Syu‟ûbiyyah ––semacam chauvinisme/paham kesukuan––. Mengingat bahwa di
bawah kekhalifahan „Umar itulah Persia dibebaskan oleh tentara Islam Arab, dan
mengingat mayoritas golongan Syî‟ah adalah orang-orang Persia atau Iran.
Sedangkan lepas dari penilaian kurang baik dari kelompok tertentu
terhadap „Umar bin al-Khattâb itu, khalîfah kedua ini oleh umat Islam Ahlu al-
Sunnah (sunni) disepakati sebagai pemimpin kaum beriman yang paling berhasil.
Boleh dikata bahwa, dari sudut peninjauan yang menyeluruh, masa „Umar bin
al-Khattâb adalah masa keemasan sejarah Islam. maka tak mengherankan
kiranya bahwa pada zaman mutakhir ini, bilamana aspirasi reformasi
keagamaan, sosial dan politik Islam harus mencari model klasik bagi
wawasannya, ia akan dengan bersemangat dan penuh simpati menyebut masa
„Umar bin al-Khattâb. golongan pemikir Islam modernis misalnya, sangat
mengagumi „Umar bin al-Khattâb tidak saja karena ia menauladani bagaimana
menangkap semangat Islam secara menyeluruh, tetapi juga karena ia berhasil
menciptakan masyarakat yang menurut jargon-jargon modern tentunya akan
dinamakan demokratis dan sosialistis. Wallahu A‟lam bi al-Sawâb
Daftar Pustaka
Bagdâdî, al-. al-Farq baina al-Firâq, Kairo: t.tp, 1924
Baltajî, Muhammad. Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattâb, terj. Masturi Ilham,
Jakarta: Khalifah, 2005
Bik, Muh}ammad Khudrî. Tarikh Tasyrî‟ al-Islâmî, Kairo: Matba‟ah al- Istiqomah,
Cet. V, Tt.
CD-ROM. Software Mausû‟ah al-Hadîs\ al-Syarîf, Global Islamic Software
Company, versi. 2, 1997
Djauli, A. (et.al.), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet. I., Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991
Godgson, Marshall G. S.. The Venture of Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta:
Yayasan paramadina, 1999
Hâkim, Abdul Hamîd. Mabadi' Awwaliyah, Jakarta: Sâdiyah Putra, t.t.
188Paling tidak ada 5 pandangan terhadap ijtihâd „Umar bin al-Khat}t}âb, yaitu: (1) ijtihâd
„Umar bin al-Khattâb tidak meninggalkan nass, apalagi mengganti atau menghapuskan
ketentuannya, (2) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb memang meninggalkan zâhir-nya nass. Karena ia
berpegang pada ruh nass atau maqâsid al-syarî‟ah, (3) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb berkenaan dengan
masalah yang qat‟iyah yang bukan bidang ijtihâd, tetapi ini diperbolehkan khusus „Umar bin al-
Khattâb, (4) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb telah menginggalkan nass yang sarih, tetapi sebagaimana
berlaku pada setiap mujtahid, ijtihâd-nya tetap memperoleh satu ganjaran, dan (5) ijtihâd „Umar bin
al-Khattâb memang banyak melanggar nass yang qat‟i, tetapi itu dilakukan „Umar bin al-Khattâb
karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan-persoalan yang bersangkutan.
Baca Jalaluddin Rakhmat, “Kontroversi Sekitar Ijtihad Khalîfah „Umar bin al-Khattâb R.A. dalam
Iqbal Abdurrauf Saimina (Penyunting), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988), h. 43-59.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
83
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattâb; Sebuah Telaah Mendalam tentang
Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, terj. Ali Audah, cet.
Kesepuluh, Jakarta: Litera Antarnusa, 2010
Halâwî, Muhammad „Abdul „Azîz al-. Fatwa dan Ijtihad „Umar bin al-Khattâb;
Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, terj. Zubeir Suryadi Abdullah,
Surabaya: Risalah Gusti, 1999
Hanafi, A. Usul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1963
Harwî, Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm al-. Kitâb al-Amwâl. Beirut: Dâr al-Fikr li
al-Tibâ„ah wa al- Nas}r wa al-Taujî„, 1988
Hazm, Ibnu. al-Muh}allâ, t.t.: t.tp., 1979
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010
Hosen, Ibrahim (et.al.), Ijtihad Dalam Sorotan, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1996
Khalaf, Abdul Wahab. „Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Daar Al-Kuwaitiyah, 1968
--------. Khulâsah Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî, terj. Wajidi Sayadi, Cet. I, Jakarta:
Grafindo Persada, 2001
Madjid, Nurkholis (ed.). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1994
Mahmassani, Subhi. Falsafah al-Tasyrî‟ fî al-Islâm, terj. Ahmad Sudjono, Cet. I,
Bandung: al-Ma‟arif, 1981
Marwân, Jamâl al-Dîn Muh}ammad Ibn. Lisân al-Arab, Juz III, Mesir: Dâr al-
Misriyyah al-Ta‟lîf wa Tarjamah, t.t.
Mas‟udi, Masdar F. Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba
Empat, 2002
Munir, Samsul. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009
Munthoha, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 2009
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam terhadap Dunia Intelektual Barat: Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah,
Surabaya: Risalah Gusti, 2003
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985
Nûruddin, Amiur. Ijtihad Umar bin al-Khattab; Studi tentang Perubahan Hukum
dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam, Bandung: Unisba, 1995
Pulungan, J. Sayuti. Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: LSIK,
1994
Rahman, Fazlur. Islam. terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000
Rakhmat, Jalaluddin. “Kontroversi Sekitar Ijtihad Khalîfah „Umar bin al-Khattâb
R.A. dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (Penyunting), Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988
Ruwai'î, Fiqh „Umar bin al-Khattâb Muwâzinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidîn, Juz 1,
Beirut: Dâr al Garbi al-Islâmî, 1403 H
San‟ânî, al-. Subul al-Salâm, Juz II, t.t.: t.tp, 1990
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10, Bandung: Al-
Ma‟arif, 1995
Shiddieqy, M. Hasbi ash-. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Cet. Keenam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1994
84
Solihin Panji Memahami Ijtihâd Hukum…
85
BAHASA ARAB DALAM KONSTRUKSI HUKUM ISLAM
(TELAAH ATAS FUNGSI DAN PENGARUH HURUF MA’ANI
TERHADAP KHILAFIAH DALAM ISTINBATH HUKUM)
Husnul Fatarib
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstrak
Peran bahasa dalam kajian keislaman tidak hanya terbatas pada pemaknaan terhadap
sebuah subyek, melainkan juga turut memberikan pengertian terminology dan
epistimologi terhadap subyek tersebut, bahkan juga tidak jarang dijumpai bahasa
memberikan penafsiran dan perluasan makna terhadap rangaian teks atau kata yang
terangkai menjadi siyaqul kalam tersendiri. Para pelaku analisis hukum, pemerhati
hukum, mufti, bahkan mujtahid, harus memahami dan menguasai bahasa Arab sebagai
bahasa awal setiap rumpun keilmuah tentang hukum Islam. Perbedaan dalam pemaknaan
terhadap sebuah kata atau keragaman dalam penggunaan sebuah kata telah banyak
berkontribusi terhadap konstruksi hukum Islam yang merupakan awal munculnya varian
baru dalam nomenklatur hukum Islam yaitu khilafiah fikih yang pada mulanya adalah
sub unit dari muqaranah madzahib. Huruf ma‟ani dari huruf „athaf, huruf ma‟ani dari
huruf jar dan huruf ma‟ani dari adawat syarth, maka semua perbedaan makna dari
masing-masing huruf sebagai produk dari ulama bahasa (Al-Nahwiyun) tidak bisa tidak
juga mempengaruhi makna teks hukum (nas hukum) baik dari Al-Quran maupun dari
Al-Sunnah. Perbedaan dalam pemaknaan ini pada tahap selanjutnya memberikan warna
dalam konstruksi hukum Islam dengan muncuklnya varian produk fikih yang
selanjutnya disebut khilafiyah. Khilafiyah hukum yang terjadi dari perbedaan pemaknaan
terhadap huruf-huruf ma‟ani dalam konstelasi ijtihad dan istinbath hukum bisa diterima
selama masing-masing pihak menggunakan sandaran atau dalil yang mandukung
pemaknaan itu; apakah dalil itu bersumber dari nas atau teks itu sendiri atau dari
pemahaman umum dari bahasa tersebut di kalangan bangsa arab
Kata Kunci: Bahasa Arab, Huruf ma‟ani, Hukum Islam
“Lughawi dan Ishthilahy” yang berarti makna secara sebuah subyek secara
bahasa dan secara terminologi.
Peran bahasa dalam kajian keislaman tidak hanya terbatas pada
pemaknaan terhadap sebuah subyek, melainkan juga turut memberikan
pengertian terminology dan epistimologi terhadap subyek tersebut, bahkan juga
tidak jarang dijumpai bahasa memberikan penafsiran dan perluasan makna
terhadap rangaian teks atau kata yang terangkai menjadi siyaqul kalam
tersendiri.189 Dalam konteks kajian ini, lagi-lagi bahasa menunjukkan peran yang
sangat signifikan yang pada gilirannya memaksa pelaku analisis hukum Islam
untuk memberikan ruang khusus pada awal setiap pembahasannya terhadap
bahasa dan mengkorelasikannya dengan pokok bahasan. Hal inilah yang
menyebabkan kajian-kajian bahasa selalu mengawali setiap kajian apa pun
subyek hukum dalam diskursus keislaman.
Selanjutnya sesuatu yang tak terbantahkan dalam hal ini ialah bahwa
pelaku analisis hukum, pemerhati hukum, mufti, bahkan mujtahid, harus
memahami dan menguasai bahasa Arab sebagai bahasa awal setiap rumpun
keilmuah tentang hukum Islam. Pengetahuan tentang bahasa dan ilmu bahasa
Arab tidaklah dipahami kalau kemampuan itu dimonopoli oleh bangsa Arab
atau Negara Arab saja, tapi pensyaratan kompetensi ini merupakan persyaratan
universal yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak melakukan
kegiatan ijtihad, baik dari bangsa Arab maupun bukan Arab („Ajam). Prinsip
umum dalam ijtihad adalah bahwa selama persyaratan ijtihad terpenuhi dan ada
kebutuhan untuk itu, maka ijitihad bisa dilakukan oleh siapa pun, kapan saja
dan dimana saja. Mungkin ini agaknya manisfestasi dari istilah “Al-nushus
mutanahiyah, al-masail al-fiqhiyah ghairu mutanahiyah”, walaupun (masa turun)
wahyu telah berakhir, tetapi persoalan-persoalan hukum tetap hidup dan
berkembang.
Dengan mencermati subyek-subyek hukum utama dalam kajian hukum
Islam, maka pengetahuan dan penguasaan terhadap kandungan substantive dari
kedua sumber hukum utama; Al-Quran dan Al-Sunnah menjadi sesuatu yang
tidak bisa tidak dalam setiap kajian dan diskursus hukum Islam, hal ini tidak saja
dikarenakan keduanya turun dan diriwayatkan dalam bahasa Arab, tapi yang
urgen adalah penggunaan kata dan bahasa dalam kedua sumber itu sangat sarat
dengan makna Lughawy hingga sampai ke tingkat penggunaan huruf, karena
pemakaian sebuah huruf pun juga memberikan pemaknaan yang mungkin bisa
189 Lihat As‟as Abd Al-Ghany Alsayyid Al-Kafrawy : Istidlal „Inda Al-Ushuliyyin, Dar Al-
Salam, Kairo, hal. 434-435. Hal serupa juga yang disinyalir oleh Yusuf al-Qaradahwi, bahwa
penafsiran teks wahyu bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan bahasa (lughawi) selama
masih mengacu kepada dalalah alfazh (makna kata), kaidah-kaidah bahasa arab serta balaghahnya.
Dan lebih lanjut al-Qaradhawi mengatakan, pendekatan bahasa dipentingkan dalam penafsiran
dan heurmenetika teks/wahyu karena bahwa teks wahyu juga banyak tersusun dengan bahasa
majaz dan musytarak. Lih. Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Beriinteraksi dengan Al-Quran,
Jakarta, Al-Kautsar 2000, hal. 245, dan Al-Quran dan Al-Sunnah Sebagai Referensi Tertinggi
Ummat Islam, Jakarta, Rabbani Press, 1997, hal. 54.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
87
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
memicu khilafiyah di antara sesama pelaku ijtihad (mujtahid). Hal ini tergambar
dalam pemakaian dan pemakanaan huruf “Ba” ( ) بdalam Q.S. Al-Maidah, ayat
6 tentang pemaknaan antara littab‟idh (ضٞ )ىيتثؼatau lil kull ()ىينو.
Perbedaan dalam pemaknaan terhadap sebuah kata atau keragaman dalam
penggunaan sebuah kata telah banyak berkontribusi terhadap konstruksi hukum
Islam yang merupakan awal munculnya varian baru dalam nomenklatur hukum
Islam yaitu khilafiah fikih yang pada mulanya adalah sub unit dari muqaranah
madzahib.
Berdasarkan fenomena sosiolinguistik di atas, maka semakin jelas fungsi
dan kedudukan bahasa Arab dalam sebuah rangakaian ijtihad atau istinbath
hukum dari teks-teks hukum (nushus syar‟i). Setiap pemahaman yang selalu
beranjak dari teks hukum (nash) selalu terbuka untuk ruang polemik / khilafiah
fikih yang menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat dalam hukum Islam
atau bahkan munculnya mazhab atau aliran fikih baru.190
Peran dan kedudukan bahasa Arab ini – yang bersumber dari pemahaman
mujtahid-memang sudah diketahui khalayak sebagai salah satu sumber khilafiah
dalam hukum Islam, namun seperti apa peran dan bagaimana peran itu
dimainkan serta unsur apa saja dari bahasa Arab itu yang memainkan peran
sebagai instrument dan media pemahaman berikut implikasi dari peran tersebut
dalam meracik hukum Islam (fikih), masih menjadi perdebatan akademik dan
materi yang tetap segar untuk disajikan dalam setiap diskusi sejak periode salaf
umat ini.191 Mencermati struktur kajian bahasa dalam hukum Islam seperti yang
baru saja dipaparkan tadi, menunjukkan bahwa ruang lingkup kajian
kebahasaan dalam hukum Islam sangat luas sehingga perlu membatasi obyek
penelitian ini pada aspek huruf ma‟ani yang merupakan salah satu variable
bahasa Arab yang dominan dalam memunculkan khilafiah terhadap
pemahaman hukum.
Untuk itu dirasa sangat perlu menyemarakkan kajian-kajian fikih
perspektif bahasa atau peran bahasa Arab dalam konstruksi hukum Islam secara
komprehensif dan simultan, dan walaupun penelitian ini bukan lah penelitian
pertama atau awal dalam topik ini, tetapi paling tidak bisa menjawab
kedahagaan ilmiyah tentang upaya membuka tabir peran dan kontribusi bahasa
190 Karena pada dasarnya perbedaan pendapat / khilafiyah di kalangan ulama / fuqaha
bersumber kepada dua penyebab utama; pertama: perbedaan pandangan mereka dalam teori
keabsaha sebuah teks / nash, teori ini yang lazim disebut ikhtilaf fi tsubut al-nash wa darajutu.
Kedua : perbedaan mereka dalam memahami dan penafsiran nash, teori ini disebut juga ikhtilaf fi
fahmi al-nash wa idrak hikmatihi. Yang terakhir inilah yang perna disebut Umar Ibn al-Khattab
bahwa beliau berijtihad dalam memahami nash. Lih. Abdu Al-Wahab Abd Al-Salam Al-Thawilah :
Atsaru Al-Lughah fi Ikhtilafi Al-Mujtahidin, hal.4.
191 Kajian-kajian fikih dan lughah (bahasa) secara khusus sudah lama dimulai oleh fuqaha
periode salaf, seperti Muhammad Ibnu Al-hasan Al-Syaibani yang menyusun kitab khusus kajian
fikih dengan nahwu dalam kitabnya “Al-Jami‟ Al-Kabir”, Imam Syafi‟i dengan kitabnya yang
fenomenal “Al-Umm”, dan Imam Al-Asnawi dengan kitabnya “Al-Kaukab Al-Durry”. Lihat Abdul
Wahab Abdu Al-Salam Al-Thawilah, Atsaru Al-Lughah fi ikhtilafi al-Mujtahidin, h.4-5.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
88
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
Arab – dalam hal ini huruf ma‟ani - terhadap hukum Islam secara umum dan
dalam bingkai kebahasaan secara khusus.
89
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
192 Ibnu Mandzur al-Afriqy al-Mishry dalam karyanya yang fenomenal “ Lisan al-„Arab”
mengatakan:”huruf dalam bahasa arab terbagi kepada dua macam; pertama huruf hijaiyyah yang
juga disebut dengan huruf tahajji, yaitu huruf-huruf yang tidak memiliki arti atau makna sendiri,
yang kedua huruf ma‟ani, yaitu huruf-huruf yang memilki makna atau arti tertentu tergantung
posisi dan penempatannya dalam kalimat. Lih. Lisan al-Arab, Dar al-Shadir, cet II, Maktabah
Syamilah.
193 Lih. Mushthafa al-Ghalayani, Jami‟ al-Durus al-“Arabiyah, maktabah al-Syamilah.
90
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
sini bukanlah huruf yang merupakan qasimah (rangkaian dari fi‟il dan isim)
dalam diskursus bahasa arab.194
Berikut ini adalah huruf-huruf ma‟ani yang telah penulis pilih berdasarkan
penggunaanya dalam teks wahyu yang banyak memunculkan makna-makna
beragam sesuai dengan penempatannya dalam kalimat.195
194 Dalam literature ushul fikih, ulama ushul fikih biasanya menempatkan pembahasan
makna huruf ini dalam Bab tentang Hakikat dan Majaz, karena biasanya huruf itu disamping
dugunakan untuk makna hakikat (dasar) juga bisa digunakan untuk makna yang lain (majaz),
dalam metode mereka biasanya makna hahikat didapat dengan cara induksi, dan selaian metode
induksi (istiqra‟) adalah makna majazi.
195 Lih. Mushthafa al-Ghalayani, Jami‟ al-Durus al-“Arabiyah, maktabah al-Syamilah.
196 Q.S. Al-Qashash:7
197 Q.S Al-Maidah:6
198 Abdul Wahab Abdul Al-Salam Al-Thawilah: Atsar Al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin,
h.222.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
91
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
92
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
h.249-250.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
93
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
seluruh tangan) menurut makna lafzhi. Adapun min pada “min al-
shawa‟iq” menunjukkan makna ta‟lil, sebab atau ilat, yaitu mereka
menutup kuping mereka karena takut (makna min) terhadap suara keras
petir.
b. Huruf “( ”ئىئIla)
Seperti huruf-huruf Jar yang lainya , “Ila” ini juga mempunyai
beberapa arti yang tergantung pada posisi dan penempatannya dalam
kalimat atau siyaqul kalam. Di antara maknanya yaitu “sampai” untuk
menunjukkan akhir waktu atau tempat, atau secara hukum untuk
menyatakan berakhirnya hukum subyek sebelumnya. “Ila” juga
dipakaikan untuk makna-makna berikut; intiha‟, yaitu untuk
menunjukkan akhir dari sesuatu, baik waktu maupun tempat, seperti
“tsuma atimmu al-shiyam ila al-lail”, juga berarti al-Mushahabah, yaitu
berrati bersama atau dengan, seperti; “qala man anshari ila Allah?” dan
juga bisa berarti sama dengan “inda”/ ػْذyang berarti bagi atau untuk,
seperti; rabbi al-sijnu ahabbu ilayya mimma yad‟unani ilaihi”.
Ada pun aplikasinya dapat dilihat seperti dalam ayat berikut :206
َُ٘ش ىنٌ ئُ مْتٌ تؼيٞسشج ٗأُ تصذق٘ا خٍٞ ٚٗئُ ماُ رٗ ػسشج فْظشج ئى
“Ila” dalam “fanazhiratun Ila Maisaroh” berarti mengabaikan waktu
sampai datangnya maisaroh/kelapangan.
“Ila” juga dimaknai dengan “bersama” sepadan dengan “”ٍغ
(dengan/bersama), seperti dalam ayat berikut: 207
شاٞ أٍ٘اىنٌ ئّٔ ماُ ح٘تا مثٚة ٗال تأمي٘ا أٍ٘اىٌٖ ئىٞج تاىطٞ أٍ٘اىٌٖ ٗال تتثذى٘ا اىخثٍٚتاٞٗآت٘ا اى
“Ila” dalam bagian ayat “amwalahum ila amwalikum” adalah “dengan”
atau “bersama”, yaitu bermakan “”ٍغ.
Contoh aplikasi pemaknaan “ ”ئىئyang berkontribusi dalam khilafiyah
fikih Islam yaitu pada ayat berikut:208
ٌ اىَشافق ٗاٍسح٘ا تشؤٗسنٌ ٗأسجينٚنٌ ئىٝذٝ اىصالج فاغسي٘ا ٗجٕ٘نٌ ٗأِٚ آٍْ٘ا ئرا قَتٌ ئىٖٝا اىزٝا أٝ
ِٞ اىنؼثٚئى
Ulama berbeda pendapat dalam posisi siku; apakah termasuk ke dalam
tangan dan wajib membasuhnya dalam berwudhu‟ atau tidak. Sebagian
ulama – Zufar dari Hanafiah dan sebagian ulama mutaakhirin dari
Malikiyah, sebagian Zhahiriyah dan Imam Thabary berpendapat bahwa
siku tidak termasuk ke dalam tangan dan tidak wajib membasuhnya
waktu berwudhu‟. Pendapat fikih didasarkan pada argumentasi ulama
nahwu (Al-Nahwiyun) bahwa “Ila” berfungsi untuk menunjukkan batas
akhir sebuah obyek.209
siku tidak masuk ke bagian tangan, karena tangan sudah berakhir sampai di siku.”
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
94
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
95
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
ُٗٔ تجأسٍٞٗا تنٌ ٍِ ّؼَح فَِ هللا حٌ ئرا ٍسنٌ اىضش فاى
Dalam ayat ini menunjukkan kalau seandianya nanti akan terjadi sesuatu
(kemudharatan) di laut, maka kepadanya kalian akan minta tolong.
Kemudian jika makna ini diterpakan dalam istinbath hukum, bisa
diumpamakan dalam ungkapan berikut: “ Jika seseorang memiliki beberapa
budak dan beberapa isteri, kemudian dia berkata; jika saya menthalaq
seorang wanita / isteri maka salah satu dari budakku menjadi merdeka.
Kemudian dia menthalaq empat orang isterinya secara berturut-turut atau
sekaligus, maka kejadian ini hanya memerdekan satu orang budak saja
(bukan empat budak), dengan alasan bahwa secara bahasa, “idza” itu tidak
dipakai untuk umum.212
E. Simpulan
Melihat dari pemakaian dan pemaknaan beberapa kelompuk huruf ma‟ani
dalam pembahasan ini ; huruf ma‟ani dari huruf „athaf, huruf ma‟ani dari huruf
jar dan huruf ma‟ani dari adawat syarth, maka semua perbedaan makna dari
masing-masing huruf sebagai produk dari ulama bahasa (Al-Nahwiyun) tidak
bisa tidak juga mempengaruhi makna teks hukum (nas hukum) baik dari Al-
Quran maupun dari Al-Sunnah. Perbedaan dalam pemaknaan ini pada tahap
selanjutnya memberikan warna dalam konstruksi hukum Islam dengan
muncuklnya varian produk fikih yang selanjutnya disebut khilafiyah.
Khilafiyah hukum yang terjadi dari perbedaan pemaknaan terhadap huruf-
huruf ma‟ani dalam konstelasi ijtihad dan istinbath hukum bisa diterima selama
masing-masing pihak menggunakan sandaran atau dalil yang mandukung
pemaknaan itu; apakah dalil itu bersumber dari nas atau teks itu sendiri atau
dari pemahaman umum dari bahasa tersebut di kalangan bangsa arab. Semoga
penelitian ini bisa memberikan sebagian informasi dari kekayaan khazanah
bahasa arab dan rahasia teks wahyu dan nas hukum yang diturunkan dalam
bahasa arab. Dan semoga penelitian ini bisa menjadi penyemangat kaum
muslimin untuk lebih meminati kajian linguistic arab yang masih menyimpan
banyak rahasia dan hikmah yang yang tak terhingga. Semoga.
Daftar Pustaka
A.Qadri Azizi : Eklektisme Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiyar menuju
Ijtihad Saintifik Medoern, Cet. 2, Teraju Mizan, Jakarta 2005.
Abdul Wahab Abdu Al-Salam Al-Thawilah, Al-Lughah fi ikhtilafi al-Mujtahidin,
Dar Al-salam, Kairo Mesir, tt.
As‟ad Abd Al-Ghani Al-Sayyid Al-Kafrawy : Istidlal „Inda Al-Ushuliyyin, Dar Al-
Salam, Mesir, 2002.
Syamsul Ma‟arif : Nahwu Kilat, Cet.III, Nuansa Mulia, Bandung, 2010.
212 Abdul Wahab Abdul Al-Salam Al-Thawilah: Atsar Al-Lughah fi Ikhtilaf al-Mujtahidin,
h.268-272
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
96
Husnul Fatarib Bahasa Arab dalam…
97
PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN KETERKAITANNYA
DENGAN PERMASALAHAN GENDER
DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Ida Umami
Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro Lampung
Abstract
Man is created by the God as perfect creature and granted with high standing and
prestige better than the other creatures. One of them is materialized by human right . the
Materialization of the human right must be in line with execution of the obligation and
responsibility applied universally. In Al-Qur''an prespektif, judicially man has the same
position either men and also woman, while becoming distinguishment is level of belief in
God and his godfearing. Women also have potential in developing their environmental
conditions and give directions on the social, economic, political, and personal. Various
human quality to support a positive quality of life should be developed in the dignity of
women and men. Furthermore, women‟s beliefs and attitudes influenced by myths and
stereotypes that apply to her. In this case, the effect of adverse social and cultural
development of status and dignity of women can be changed. Therefore it is necessary for
the preparation of empowerment format that can refer to a gender gap so that the
similarities between the position of lacquers and men in law can realized that the
difference is due to faith of Allah SWT.
Keyword: Human Right, Gender, and Perspective of Qur‟an
A. Pendahuluan
Pengkajian tentang hak-hak asasi manusia, sejarah hak asasi manusia
dimulai di Inggris dengan lahirnya Magna Charta (1215), yaitu perlindungan
tentang kaum bangsawan dan gereja. Pada tahun 1776 di Amerika Serikat
terdapat Declaration of Independence (Deklarasi Kemerdekaan) yang di dalamnya
memuat hak asasi manusia dan hak asasi warga negara. Perkembangan
selanjutnya adalah setelah Revolusi Prancis.
Tuntutan tentang hak-hak asasi warga negara dengan semboyannya
kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Setelah Perang Dunia II peristiwa
yang penting dalam perkembangan hak-hak asasi manusia, adalah paham
demokrasi (dari, oleh, untuk) rakyat dan peristiwa penting diakuinya hak-hak
asasi manusia secara umum (universal), yaitu lahirnya ”Universal Declaration of
Human Rights” sebagai pernyataan umum tentang hak-hak asasi manusia, pada
tanggal 10 Desember 1948 dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-
bangsa di Paris yang memuat 30 pasal tentang hak asasi manusia (H.A.W.
Widjaja, 2000).213 Namun demikian, sampai saat ini, masih terjadi pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusia terutama terkait dengan permasalahan gender,
dalam hal ini, kaum perempuan sering menjadi korban perampasan hak-hak
asasinya. Padahal dalam Islam melalui alqur‟an, jelas sekali adanya persamaan
213 H.A.W. Widjaja. 2000. Penegakan Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
B. Pembahasan
Hak asasi manusia tercantum dalam dokumen naskah deklarasi sedunia
tentang hak-hak asasi manusia yang diadakan di Teheran, 22 April-13 Mei 1968,
U.N. Doc.A/CONF.32/41, Sales No. E. 68, XIV dalam Pasal 1 disebutkan bahwa
semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
persaudaraan (Arend, 1994). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ruswiati
Suryasaputra (2006) bahwa sejarah hukum internasional menjadi saksi adanya
perjanjian internasional yang memberi perlindungan hak-hak asasi manusia
kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, hak-hak asasi manusia
memang sudah memiliki dasar dan fondasi yang kuat.
Hak asasi manusia di Indonesia tertuang dalam pembukaan Undang-
undang Dasar 1945 sebagai perwujudan Pancasila (sumber dari segala sumber
hukum) sebagai dasar negara, memuat ajaran tentang hak-hak asasi manusia
sebagai berikut:
1. Alinea pertama: mengandung pengakuan adanya hak asasi di samping
kewajiban asasi. Hak asasi manusia baik perseorangan maupun sebagai
bangsa berdasarkan martabat kemanusiaan dan keadilan.
2. Alinea kedua: mengandung adanya pengakuan dari bangsa Indonesia
untuk mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan
makmur. Perwujudan dan keinginan ini terkandung di dalamnya hak-
hak asasi baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.
3. Alinea ketiga: mengandung adanya pengakuan tercakup di dalamnya
hak-hak asasi beragama dan hak-hak asasi di bidang sosial budaya dan
bidang politik.
4. Alinea keempat: menyimpulkan pengakuan terhadap hak-hak asasi
manusia, hak-hak dan kewajiban warga negara, yaitu bersama-sama
berkewajiban mewujudkan tujuan nasional dalam segala bidang baik
dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam.
Dengan memperhatikan isi dan makna pembukaan Undang-undang Dasar
1945 jelas bahwa bangsa Indonesia mengakui tentang adanya hak-hak asasi
manusia dan kewajiban-kewajiban warga negara (nasional). Hak dan kewajiban
warga negara diatur secara khusus dalam pasal-pasal dan batang tubuh Undang-
undang Dasar 1945. Adapun pasal-pasal yang mengatur hak-hak dan kewajiban-
kewajiban warga negara ialah:
1. Pasal 27 Ayat 1, segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
2. Pasal 27 Ayat 2, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
perlindungan yang layak bagi manusia.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
99
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
Artinya: ” Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta
itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al
Baqaráh (2):188).
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
100
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An
Nisaa‟ (4):59).
5. Kebebasan Berorganisasi
Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebijakan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali Imran (3):104)
6. Hak untuk Hidup
101
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
214 Ruswianti Suryasaputra. 2006. Perlindungan Hak Asasi Bagi Kelompok Khusus terhadap Diskriminasi
dan Kekerasan. Jakarta: Restu Agung.
102
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
215 Sadli, Saparinah. 1995. "Pengantar Tentang Kajian Wanita". Dalam Ihromi. 1995. Kajian Wanita
dalam Pembangunan. Jakarta : Obor.
216 Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
103
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
dan pemajuan sumber daya manusia (SDM) menurut jenis kelamin untuk
menjamin kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan,
termasuk pendidikan. Dalam bidang pendidikan, kesenjangan gender pada
umumnya disebabkan oleh empat faktor, yaitu:
a. Faktor akses yang tampak dalam proses penyusunan kurikulum dan
pembelajaran yang cenderung bias.
b. Faktor kontrol terhadap kebijakan pendidikan yang lebih didominasi
oleh laki-laki (posisi strategis lebih banyak ditempati oleeh laki-laki).
c. aktor partisipasi yang nampak pada jumlah perempuan dan laki-laki
peserta didik.
d. Faktor benefit yang terlihat dari dominannya laki-laki sebagai
penentu kebijakan
Saat ini, di tingkat dunia, sebanyak 880 juta orang dewasa buta aksara,
dua pertiga di antaranya adalah perempuan. Dari 110 juta anak yang tidak dapat
menikmati pendidikan dasar, dua pertiganya adalah anak perempuan
(Depdiknas, 2003).217 Hal itu menunjukkan bahwa kesenjangan gender masih
terjadi dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk
menanggulanginya..
Di Indonesia, dalam GBHH, sejak tahun 1978 dicantumkan bahwa
"Wanita mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-
laki untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembangunan." Hal itu
mengisyaratkan bahwa pemerintah mengakui adanya kesetaraan antara
perempuan dan laki-laki dalam segala kegiatan pembangunan di Indonesia .
Paling tidak, pernyataan pemerintah ini memberi peluang yang seluas-luasnya
pada pengembangan wawasan gender dalam hal kemitrasejajaran antara
perempuan dan laki-laki di Indonesia .
Dalam wawasan gender, perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai
sesama manusia yang punya potensi. Karakteristik perempuan seperti tidak
kompeten, lemah, tidak mandiri yang merupakan konstruk budaya perlu diimbangi
dengan gambaran tentang perempuan yang berpotensi, cerdas, mandiri, etis.
Memang, berdasarkan perjalanan sejarah, salah satu konsep yang sampai saat ini
masih melekat kuat pada diri setiap manusia adalah konsep pembagian kerja
secara seksual yang selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lemah.
Namun, sadarkah manusia bahwa seorang anak laki-laki dan perempuan
semenjak lahir sudah diasuh untuk menjadi laki-laki dan perempuan secara
sosial. Mereka senantiasa diarahkan untuk menyesuaikan diri dengan gagasan
tentang sifat laki-laki dan perempuan melalui imbalan dan hukuman. Imbalan
dalam wujud hadiah atau pujian akan diberikan jika mereka menyesuaikan diri
dengan apa yang dianggap pantas bagi jenis kelamin mereka, sedangkan
217 Depdiknas. 2003. Pedoman Umum Sosialisasi Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Jakarta .
104
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
hukuman akan diberikan jika mereka tidak menyesuaikan diri dengan apa yang
dianggap pantas bagi jenis kelamin mereka.
Menurut hasil temuan antropologi, apa yang dianggap sebagai peran
"alamiah" (kodrat) perempuan dan laki-laki di setiap masyarakat sama sekali
tidak ditetapkan secara biologis. Oleh sebab itu, "pengabsahan pembagian kerja
secara seksual sebagai tatanan alamiah bisa dibantah karena hal itu jelas
merupakan konstruksi sosial yang dibuat laki-laki." (Ibrahim dan Suranto,
1990).218
Selanjutnya, beberapa pengamatan dan penelitian terdahulu menyatakan
perlakuan subordinatif masih selalu diterima perempuan. Sebut saja istilah
'bekerja' yang secara rasional dibatasi oleh waktu, misalnya: 8 jam per hari,
dalam masyarakat cenderung mempunyai konotasi "maskulin". Sementara
perempuan yang melaksanakan pekerjaan rumah tangga hampir sepanjang hari,
mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi tidak dikatakan "bekerja" karena
mereka hanya akan mendapatkan sebutan ibu rumah tangga. Padahal, produk
hasil pekerjaan ibu rumah tangga digunakan secara langsung oleh keluarga,
tetapi mereka tidak pernah dibayar untuk "pekerjaan"nya itu
Apabila ada perempuan yang merambah pada "bekerja" dengan konotasi
maskulin ini, dia akan dijuluki sebagai perempuan yang berperan ganda, yaitu
sebagai ibu rumah tangga dan sebagai perempuan pekerja. Adapun istilah
"peran ganda laki-laki" tidak pernah muncul karena laki-laki memang tidak
dididentikkan dengan pekerjaan rumah tangga (Budiman, 1982).219
Untuk mengatasi ketimpangan gender inilah pemerintah berusaha untuk
menyosialisasikan program pengarusutaaan gender (gender mainstreeaming).
Program itu terdapat dalam Instruksi Presiden no. 9 tahun 2000 yang antara lain
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program
pemberdayaan perempuan.
b. Untuk itu dapat ddigunakan pedoman teknis yang disusun oleh
kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai acuan
c. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan bertugas
memfasilitasi dan membantu instansi dan daerah yang memerlukan
(bekerja sama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan
perguruan tinggi yang ada)
d. Sesuai fungsi dan kewenangannya, setiap instansi dan daerah dapat
mengembangkan lebih lanjut pelaksanaan inpres ini kepada
masyarakat.
218 Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi
105
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
C. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dikemukakan bahwa dalam
prespektif Al-qur‟an, kaum laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama.
Pembeda antara kaum laki-laki dan perempuan di mata Allah SWT adalah
derajat keimanan dan ketaqwaaanya. Oleh karena itu, perlu adanya persamaan
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
STAIN Jurai Siwo Metro
106
Ida Umami Perlindungan Hak Asasi...
Daftar Pustaka
Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di Dalam Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
Depdiknas. 2003. Pedoman Umum Sosialisasi Pengarusutamaan Gender Bidang
Pendidikan. Jakarta : Depdiknas
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta :
Gramedia.
H.A.W. Widjaja. 2000. Penegakan Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi
Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Ihromi, T.O. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta : Obor.
Ruswianti Suryasaputra. 2006. Perlindungan Hak Asasi Bagi Kelompok Khusus
terhadap Diskriminasi dan Kekerasan. Jakarta: Restu Agung.
Sadli, Saparinah. 1995. Pengantar Tentang Kajian Wanita, Kajian Wanita dalam
Pembangunan. Jakarta : Obor.
_________. 1995. Identitas Gender dan Peranan Gender Kajian Wanita dalam
Pembangunan. Jakarta : Obor.
107