Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS MASLAHAH MURSALAH DALAM PEMBAGIAN HARTA

WARISAN MENURUT ISLAM DAN ADAT KARO

Putri Agustina

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Email: agustinaputri564@gmail.com

Abstrak

Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber hukum utama yang digunakan untuk menyelesaikan
perselisihan yang muncul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Namun seiring berjalannya
waktu, muncul tantangan-tantangan hukum baru yang terkadang tidak dapat dijawab oleh dua
sumber hukum utama (Al-Qur'an dan As-Sunnah), sehingga perlu diciptakan pendekatan baru
untuk menangani persoalan tersebut dengan tetap mempertahankan tujuan dari dua sumber
utama. Dalam situasi ini, beberapa ahli hukum mengusulkan pendekatan mashlahah mursalah
dalam upaya untuk mengatasi masalah hukum saat ini. Metode mashlahah mursalah adalah
maslahah yang keberadaannya tidak ditegaskan atau disangkal oleh syara' melalui pembenaran
yang menyeluruh. Maslahat ini disebut sebagai mursalah karena tidak dipengaruhi oleh
pembenaran atau keberatan terhadapnya. Ini adalah mashlahat mutlaq, yang sejalan dengan
semangat syari'at tetapi tidak memiliki hubungan khusus atau ketergantungan pada teks. Syariat
bertujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia, dan semua hukum yang dikandungnya dapat
membawa kebaikan dan kebahagiaan; jika tidak, syariat tidak menyetujui apapun yang
membahayakan makhluk hidup.

Pendahuluan

Menurut syariat Islam, ada dua sumber hukum yang bisa digunakan. Mayoritas akademisi
menyepakati yang pertama sebagai sumber hukum. Terjadi perbedaan pendapat atas kedua
sumber hukum tersebut karena sebagian ulama memandangnya sebagai proposisi (sumber),
sedangkan sebagian lainnya tidak. Mayoritas ulama sepakat bahwa Alquran, sunnah, ijma, dan
qiyas adalah empat sumber hukum. Sedangkan maslahah mursalah, istihsan, dan sumber lainnya
dipertanyakan.

Secara umum, tidak ada persoalan yang signifikan dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah sebagai
sumber hukum utama. Ijma' dan qiyas diakui oleh semua ulama hukum sebagai sumber hukum
sekunder, sedangkan istisan dan maslahah tidak. Meski ditentang, istihsan sebagai preferensi
tetap mendapat dukungan dari teks-teks Islam. Sementara maslahah tidak memiliki bukti tekstual
yang signifikan, sejumlah kecil ahli mendukung penggunaan gagasan ini. Misalnya, jika
dibandingkan dengan pendekatan lain, maslaha memiliki persepsi konflik yang lebih menggelitik.

Ketika membahas topik-topik yang baik Al-Qur'an maupun Sunnah tidak memberikan "nashsh",
beberapa ahli hukum mengandalkan hukum Islam (dalil) pada Maslahah. Meskipun fuqaha
melarang menggunakannya sebagai pembenaran untuk meloloskan undang-undang.

Maslahah mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam hukum Islam karena semua
hukum diturunkan Allah kepada umat manusia untuk kesejahteraan dan kemaslahatannya;
bahkan hukum Muhammad SAW hanya diturunkan sebagai rahmatan li al-'alamin.
Dikhawatirkan jika keistimewaan ini diberikan kepada umat manusia tanpa kerangka dan
paradigma yang jelas, mereka akan terjerumus ke dalam kesenangan dan nafsu dengan menyebut
nama Allah. Pada hakekatnya, syari'at dan segala peraturannya dimaksudkan untuk memperkaya
eksistensi manusia agar membawa kebaikan dan kebahagiaan. Syariat, di sisi lain, tidak
menyetujui apapun yang membahayakan makhluk hidup.

Secara umum, petunjuk Tuhan tentang warisan memiliki arti, arah, dan tujuan yang berbeda.
Rasulullah SAW telah menyampaikan melalui hadisnya hal-hal yang perlu diperjelas, baik yang
menegaskan maupun yang mendetail, namun penerapannya masih memicu diskursus pemikiran
dan diskusi di kalangan pakar hukum Islam, yang pada akhirnya terkodifikasi dalam ajaran
normatif. Kriteria ini kemudian dikodifikasikan dalam kitab-kitab fikih dan digunakan oleh umat
Islam untuk menyelesaikan masalah waris. 1

Dengan sudah adanya peraturan atau hukum yang mengatur tentang kewarisan Islam, dan juga
sudah adanya kompilasi hukum Islam sebagai acuan umat muslim Indonesia dalam penyeleseian
masalah waris2, sudah selayaknya umat muslim menggunakan hukum tersebut sebagai acuan
dalam penyeleseian persoalan kewarisan yang ada, akan tetapi kenyataannya masih banyak sekali
permasalahan pembagian waris yang terjadi dimasyarakat. Hukum kewarisan Islam pada
dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam di mana saja dan di dunia ini.

Kaitan hukum adat dengan konteks maslahah mursalah adalah pembagian harta peninggalan
menurut hukum adat yang sering dipandang oleh umat Islam tidak sesuai dengan hukum Islam.
Namun, kenyataan juga menunjukkan bahwa hukum waris Islam tidak lagi sejalan dengan
semangat keadilan bagi rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dari sudut pandang maslahah
mursalah, keputusan hukum yang didasarkan pada kepentingan umum atas suatu hal yang belum
ada perundang-undangan syara', baik secara umum maupun secara khusus, dapat dipahami. Dari
1
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 2.
2
Abul Ghofur Ansori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas (Yogyakarta:
Gadjahmadauniversitypress, 2012).
konteks pembahasan ini, jelaslah bahwa maslahah meliputi segala sesuatu yang mendatangkan
manfaat, baik dengan melakukan suatu perbuatan dan mengamalkannya, maupun dengan
menghindari dan menolak segala bentuk yang merugikan dan sulit.

Kajian Teori

Hukum waris Islam adalah seperangkat aturan yang mengatur pembagian hak kebendaan atau
harta benda dari orang yang meninggal (pewaris) kepada ahli warisnya dengan perbandingan
yang berbeda-beda berdasarkan status kedekatan hubungan hukum mereka 3. Menurut Zainuddin
Ali, hukum waris adalah suatu sistem peraturan yang mengatur bagaimana harta kekayaan
berpindah dari orang yang telah meninggal kepada ahli warisnya. Ini memerlukan identifikasi
siapa ahli waris, menghitung bagian masing-masing ahli waris, dan menghitung warisan orang
yang meninggal.

Lebih lanjut Soepomo yang dikutip oleh Eman Suparman menegaskan bahwa pengertian hukum
waris pada umumnya mencakup pedoman-pedoman yang memandu proses peralihan harta benda
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari suatu generasi kepada keturunannya4.

Hukum waris Islam mengatur siapa mendapat apa dan berapa banyak harta yang dibagikan di
antara ahli waris begitu seseorang meninggal dunia. Pengetahuan manusia tentang hukum waris
Islam telah ada dan akan terus ada di hati umat Islam dari dulu sampai sekarang dan di masa
depan.

Karena selalu ada dalam setiap keluarga dan karena dapat menimbulkan persoalan atau konflik
dalam masyarakat karena perpecahan yang dianggap tidak adil atau karena beberapa pihak
merasa dirugikan, maka persoalan waris menjadi krusial dan secara historis menjadi salah satu
pokok pembahasan dalam Hukum Islam. Akibatnya, hukum Islam mengkodifikasikan semua
ketentuan Al-Qur'an yang berkaitan dengan sengketa warisan.

Semua Muslim di seluruh dunia pada dasarnya tunduk pada hukum waris Islam. Namun, struktur
pemerintahan negara Islam dan cara hidup warganya berdampak pada hukum waris di wilayah
tersebut. Al-Qur'an sendiri adalah sumber hukum tertinggi dalam hal ini, dan Sunnah Nabi
berfungsi sebagai pelengkap yang menggambarkannya, di samping hasil ijtihad atau upaya para
ahli hukum terkemuka. Sumber-sumber ini bersama-sama membentuk hukum waris Islam.

Islam mengakui kepemilikan harta seseorang, baik laki-laki maupun perempuan melalui jalan
yang dibenarkan oleh syariat, sehingga syariat Islam telah menetapkan aturan-aturan pewarisan
harta yang sejelas dan seadil-adilnya.

3
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 33.
4
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Peresfektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Rafika Aditama), hlm.
Pendekatan Penelitian Peneliti penelitian mengambil pendekatan kualitatif dan menggunakan
teknik deskriptif. Metodologi penelitian kualitatif digunakan. Langkah-langkah yang kami ambil
untuk mendekati masalah dan mencari solusi dikenal sebagai metodologi.

Pendekatan penelitian kualitatif, menurut Sugiyono, adalah pendekatan yang menggunakan


peneliti sebagai alat kunci, menggabungkan teknik pengumpulan data yang berbeda, melakukan
analisis data secara induktif, dan menekankan makna daripada generalisasi dalam temuannya
ketika mempelajari objek alam.

Alih-alih mengubah perilaku manusia menjadi entitas yang dapat diukur, penelitian kualitatif
berupaya melestarikan bentuk dan isi perilaku manusia serta mempelajari ciri-cirinya (Mulyana,
2008: 150). Membuat deskripsi, foto, atau gambar yang sistematis, faktual, dan tepat tentang
detail, sifat, dan hubungan antara fenomena yang diselidiki adalah tujuan dari penelitian
deskriptif ini.

Teknik Pengumpulan Data

Melakukan observasi merupakan salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian kualitatif.

Observasi

Temuan penelitian ini hanya observasi. Pengamatan remaja putri yang memanfaatkan media
komunikasi untuk mencari informasi kesehatan dilakukan melalui observasi non partisipan.

Hasil Dan Pembahasan

Menurut etimologinya, pewarisan mengacu pada pengalihan harta dari satu orang ke orang lain.
Di Indonesia, pewarisan lebih sering dipahami sebagai pengalihan berbagai hak dan kewajiban
yang berkaitan dengan harta peninggalan dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain.5

Salah satu persoalan yang diangkat dalam ilmu roseis fiqh adalah pembagian harta kepada ahli
waris orang yang telah meninggal. Fiqhmawaris adalah nama teknis dari cabang ilmu fikih atau
ilmu yang menyelidiki siapa yang berhak atas sesuatu, termasuk ahli waris, siapa yang bukan, apa
saja komponennya, dan bagaimana cara menghitungnya.

Warisan, di sisi lain, dapat dipahami dari segi hukum sebagai aturan yang memandu pembagian
warisan yang ditinggalkan oleh ahli waris, mengidentifikasi bagian yang diterima dan warisan
untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.
5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal. 6.
Semua ayat hukum dalam Al-Qur'an digunakan untuk menyelidiki hukum waris, dan Nabi
Muhammad SAW juga memberikan penjelasan tambahan dalam sunnahnya. Dalam pembahasan
ini akan dipaparkan lima prinsip pedoman tentang jenis harta yang diserahkan kepada ahli waris,
bagaimana penerima memiliki harta, jumlah harta yang diterima, dan waktu penyerahan harta.
Aturan-aturan ini termasuk aturan ijbari, aturan bilateral, aturan orang, aturan keadilan seimbang,
dan aturan semua efek kematian6.

a. Asas Ijbari

Kata "ijbari" berasal dari kata Arab untuk pemaksaan, yang berarti bertindak melawan kehendak
seseorang. Menurut hukum waris, pengalihan harta peninggalan kepada ahli waris yang masih
hidup tidak memerlukan tindakan hukum atau pernyataan wasiat dari ahli waris, meskipun ahli
waris masih hidup. Dengan kata lain, terlepas dari apakah ahli waris menginginkan properti itu,
properti itu selalu secara otomatis diberikan kepada mereka setelah kematian pemilik
aslinya.Asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu :

1. Dari segi peralihan harta.


2. Dari segi jumlah harta yang beralih.
3. Dari segi kepada siapa harta itu beralih.7

Komponen ijbari dari perpindahan menunjukkan bahwa harta orang yang meninggal berpindah
secara otomatis dan bukan oleh perantara manusia selain Allah SWT. Konsep ijbari pada
peralihan ini terdapat dalam surat An-Nisa ayat 7 yang mengatakan bahwa nasib seseorang
ditentukan oleh harta peninggalan orang tua dan kerabatnya, baik laki-laki maupun perempuan.
Yang dimaksud dengan “takdir” adalah bagian atau bagian dari sesuatu yang diperoleh dari pihak
lain. Kata takdir mengandung arti, disadari atau tidak oleh ahli waris, hak waris sudah ada
sebesar harta yang ditinggalkan pemberi.

Bentuk kuantitatif dari ijbari menandakan bahwa Allah telah menetapkan dengan jelas bagian
atau hak ahli waris dalam warisan dan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk
mengubah atau mengubah apa yang telah diputuskan.

Pengalihan harta dalam bentuk ijbari memastikan bahwa ahli waris telah dipilih dengan pasti dan
tidak ada kekuatan manusia yang dapat mengubahnya dengan menambah ahli waris baru atau
mengusir yang sudah ada. Kelompok ahli waris yang dijelaskan oleh Allah dalam surat An-Nisa
ayat 11, 12, dan 176 dapat digunakan untuk memahami adanya faktor ijbari.

b. Asas Bilateral

6
Ibid,. 17.
7
Suhrahwardi K. Lubis, Dkk. Fiqh Mawaris, (Jakarta: Gaya Mulia Pratama, 1997), hal. 36.
Menurut hukum waris Islam, asas bilateral menyatakan bahwa seseorang berhak mewarisi dari
kedua sisi kekerabatannya, yaitu dari garis keturunan perempuan dan laki-laki. 12 Surah An-Nisa'
7, 11, 12, dan 176 dalam Al-Qur'an memperjelas gagasan bilateral ini. Kerabat tidak langsung
juga tercakup dalam prinsip bilateral ini, khususnya ayah dan ibu.

Terlihat dari ayat-ayat di atas bahwa harta warisan berpindah dari kedua sisi garis keluarga, yaitu
laki-laki dan perempuan, dan menerima warisan dari dua orang. Itu bergerak ke bawah (anak), ke
atas (ayah dan ibu), dan ke samping (saudara). Garis pria dan wanita berkontribusi pada silsilah
keluarga. Prinsip bias adalah apa yang dimaksud dengan ini.

c. Asas Individual

Asas perseorangan ini berarti bahwa setiap ahli waris (secara sendiri-sendiri) berhak atas bagian
yang diterimanya tanpa ada hubungan dengan ahli waris, dimiliki sendiri-sendiri, dan ahli waris
lainnya tidak ada hubungannya dengan bagian yang diterimanya, sehingga setiap ahli waris bebas
memilih (dan berhak penuh atas) bagian yang diperoleh.

Ketentuan Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 7 yang menyatakan bahwa setiap bagian (pewaris
individu) telah ditentukan, mengandung prinsip khusus ini.

d. Asas Keadilan Berimbang

Keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara apa yang diperoleh untuk keperluan dan
kegunaan itulah yang dimaksud dengan asas keadilan seimbang. Ungkapan tersebut dapat
dipahami dalam kaitannya dengan hak kebendaan, khususnya yang berkaitan dengan warisan,
sebagai perimbangan antara hak dan kewajiban.

e. Kewarisan Sementara Akibat Kematian

Menurut hukum waris Islam, satu-satunya alasan pengalihan harta adalah kematian. Kaitan
lainnya adalah selama seseorang masih hidup, hartanya tidak dapat diwariskan (melalui warisan).
Dia memiliki hak untuk mengelola propertinya, tetapi hanya sejauh yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhannya pada saat itu dan tidak mengizinkan orang lain untuk menggunakannya
setelah kematiannya.

Akibatnya, hukum Islam tidak menerima ketentuan hukum KUHPerdata (BWinheritance),


disebut juga pewarisan dengan abintestato dan wasiat. Benar, istilah “wasiat” juga digunakan
dalam hukum Islam, tetapi hukum wasiat sama sekali berbeda dari topik pewarisan.

Hukum Waris Adat


Asas, norma, dan putusan/keputusan hukum yang berkaitan dengan proses pewarisan dan
pemindahan harta benda (goederen materiil) dan harta tak berwujud (goederen immateriil) dari
satu generasi ke generasi berikutnya semuanya tercakup dalam hukum waris adat. Empat (empat)
komponen hukum waris adat adalah sebagai berikut:

1. Norma, yang mengatur tentang proses penerusan harta benda dari pewaris kepada ahli
waris.
2. Subyek hukum waris, yaitu manusia yang mewariskan sejumlah harta bendanya yang
disebut si pewaris, dan sekelompok manusia yang menerima harta warisan dari pewaris
yang disebut ahli waris.
3. Obyek pewarisan, yaitu sejumlah harta benda baik berwujud maupun tidak berwujud
benda.
4. Proses peralihan sejumlah harta benda, mencakup proses sebelum maupun sesudah si
pewaris meninggal dunia.

Masyarakat Indonesia yang bermoral menjunjung tinggi filosofi kekeluargaan yang


menempatkan keharmonisan dan kedamaian di atas keuntungan materi dan kepentingan
diri sendiri. Dilema moral yang sebagian disebabkan oleh masuknya budaya asing ke
dalam benak masyarakat Indonesia muncul jika keluarga mulai menempatkan hal-hal
duniawi di atas ketenangan hidup keluarga atau tetangga. Hukum waris tradisional
memiliki ciri-ciri antara lain:
1. Menurut hukum waris adat, warisan bukanlah suatu kesatuan yang dapat dinilai harganya;
sebaliknya, itu adalah unit yang dapat dibagi atau tidak dibagi berdasarkan bentuk warisan
dan kepentingan ahli waris. Uang hasil penjualan tersebut kemudian dibagikan kepada
ahli waris sesuai dengan aturan yang berlaku, seperti dalam hukum waris Islam atau
Barat. Warisan adat tidak boleh dijual sebagai satu kesatuan.
2. Warisan tipikal terdiri atas harta tertentu yang dapat dibagi bersama dan sebagian yang
tidak dapat dibagi di antara para ahli waris dalam hal penguasaan atau pemilikan. Harta
yang tidak terbagi menjadi milik ahli waris secara keseluruhan; tidak dapat dimiliki secara
terpisah tetapi masih dapat dimanfaatkan dan diakses.
3. Dalam hal keadaan sangat mendesak, dapat digadaikan harta warisan adat yang belum
terbagi dengan persetujuan kerabat dan tetua adat yang bersangkutan untuk menghindari
pelanggaran hak tetangga (naastingsrecht) dan menjaga kerukunan hubungan
kekeluargaan.
4. Berbeda dengan hukum waris Barat (Pasal 913 KUH Perdata) dan Al-Qur'an, hukum
waris adat tidak mengenal adanya "legitieme portie" atau pembagian mutlak (Surat An-
Nisa).
5. Berbeda dengan Islam atau Pasal 1066 KUHPerdata, hukum waris adat tidak mengakui
kekuasaan ahli waris untuk menuntut agar warisan itu dibagi di antara mereka sewaktu-
waktu. Jika seorang ahli waris berhak atas suatu warisan tetapi juga mempunyai keperluan
atau kepentingan, ia dapat mengajukan permohonan untuk diizinkan menggunakan harta
warisan itu dengan jalan musyawarah dan mufakat dengan para ahli waris lainnya.8
Sistem Pewarisan dalam hukum adat menurut H. Hilman Hadikusuma9 meliputi :
1. SistemKeturunan
a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
bapak, sehingga kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan perempuan di dalam pewarisan.
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu
sehingga kedudukan perempuan lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan laki-laki di dalam pewarisan.
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis orang tua atau menurut garsi dua sisi (bapak dan ibu),
sehingga kedudukan laki- laki dan perempuan tidak dibedakan di dalam
pewarisan.
Harta warisan dalam waris adat dibagi menjadi 4 bagian :
1) Harta asal, yang terdiri dari harta peninggalan dan harta bawaan.
2) Harta pemberian, yaitu pemberian suami, pemberian orang tua, pemberian kerabat,
pemberian anak kemenakan, pemberian orang lain, hadiah-hadiah, hibah wasiat.
3) Harta pencaharian, meliputi Harta Bersama, harta suami, harta isteri
4) Hak-hak kebendaan, meliputi hak-hak pakai, hak tagihan (Hutang-piutang), hak-
hak lainnya.
Kekhususan dalam pewarisan adat dilihat dari sistem pewarisan berdasarkan keturunan,
yaitu
1) Pada masyarakat hukum adat menganut sistem Matrilineal, yang menjadi penerus
warisan pada dasarnya adalah kaum wanita, anak-anak perempuan dan
keturunanya yang perempuan. Jika tidak ada anak perempuan, ada 2 (dua)
kemungkinan yaitu anak laki-laki dapat dijadikan penggantinya dan diangkat anak
perempuan dari dansanak/wangsa terdekat.
2) Pada masyarakat hukum adat menganut sistem Patrilineal yaitu jalur pewarisan
melalui garis laki-laki, anak laki-laki dan keturunan laki-laki ke bawah. Jika tidak
ada anak laki-laki, kemungkinan anak perempuan yang dijadikan penggantinya,
atau dengan mengambil / mengangkat anak laki-laki agar kemudian mendapat

8
Hilman Hadikusuma, 2015, Hukum Waris Adat, hal. 7-10.
9
Ibid, Hukum Waris Adat, hal. 23-34.
anak laki-laki, ataupun anak diangkat anak laki-laki dari saudara-saudara pewaris
terdekat ataupun yang jauh sesuai mufakat. Jika tidak ada sama sekali, anak
perempuannya sendiri diangkat menjadi anak angkat yang kelak menjadi ahli
waris. Masalah pewarisan diatur dan diawasi oleh anak laki-laki.
3) Pada masyarakat hukum adat yang menganut sistem Parental, dengan sistem
pewarisan individual. Segala persoalan mengenai pewarisan diatur dan dikelola
oleh keluarga yang bersangkutan, terutama anggota keluarga yang dituakan atau
terpandang. Pengurusan harta warisan pada umumnya bersifat sementara, karena
pada waktunya nanti harta tersebut akan dibagi lagi.

Hukum Waris Adat Karo

Kawasan Taneh Karo di Dataran Tinggi Karo merupakan tempat tinggal masyarakat hukum adat
Karo. Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Dairi, Aceh Tenggara, Kota Binjai, dan Kota Medan
merupakan wilayah leluhur masyarakat hukum adat Karo. Saat ini, dialek (varian linguistik) yang
menghubungkan Langkat, Deli Serdang, Dataran Tinggi Karo, dan Tanah Alas mengikat
masyarakat hukum adat Karo kolektif (Aceh Tenggara).

Beberapa pemahaman tentang hukum adat dalam masyarakat hukum adat Karo berpendapat
bahwa itu adalah hukum tidak tertulis yang bertahan dan mendarah daging dalam kesadaran
masyarakat hukum Karo. Bagi masyarakat Karo, praktik budaya merupakan pandangan hidup
yang mengatur segala aspek kehidupan sehari-hari, baik kebutuhan individu, keluarga, kelompok,
maupun masyarakat. Konsep marga, kekerabatan sangkep sitelu, dan pemilikan tanah ulayat, atau
yang dikenal dengan tanah pemulihen, semuanya terkait dengan sistem hukum waris adat Karo,
yang tidak dapat dianggap sebagai sistem yang berdiri sendiri. Setiap marga di tanah Karo
memiliki marga tanah, yang mengidentifikasi marga dari mana desa itu berasal. Jika terjadi
pergeseran yang unik pada status anak sebagai ahli waris, hal itu bersifat kasuistis.

Masyarakat adat Karo mewarisi menurut garis keturunan bapak, dalam hal ini anak laki-laki yang
berhak mewarisi. Anak perempuan hanya diperbolehkan mendapat bagian dari saudaranya
berdasarkan "nafsu", bukan karena berhak atas warisan. Hukum waris adat Karo tidak
memperbolehkan bagian anak perempuan. Menurut sejumlah pertimbangan hukum, adat warisan
ini bias terhadap hak-hak perempuan. Meskipun disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin
keluarga, namun dalam budaya Karo, baik suami maupun istri sama-sama berjuang untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga. Biasanya anak perempuanlah yang memahami dan lebih
memperhatikan kondisi orang tuanya saat merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Pentingnya
anak perempuan dalam masyarakat Karo telah tumbuh secara signifikan sejak mereka masih kecil
hingga pemuda Beru. Karena persoalan tidak dapat dihindarkannya penetapan anak perempuan
sebagai ahli waris, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri Kabanjahe sampai dengan
putusan Mahkamah Agung No. 179/K/Sip/1961 tanggal 23 Oktober 1961. Mahkamah Agung
memutuskan bahwa anak perempuan Rumbane Sitepu, yang merupakan anak dari Rolak Sitepu
(ayah) dan Benih Ginting (ibu), memiliki kedudukan yang sama dengan anak laki-laki dalam hal
mewarisi harta dari kedua orang tuanya. Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu telah mengajukan
kasasi. Sistem hukum adat masyarakat Karo mengalami perubahan akibat putusan Mahkamah
Agung, khususnya di bidang hukum waris adat. Putusan MA tersebut didukung oleh TAP MPR
No II tahun 1960. Isi dari Putusan MA tersebut bahwa MA menganggap sebagai hukum yang
hidup di seluruh Indonesia juga di Tanah Karo, sehingga anak perempuan dan anak laki-laki
bersama berhak atas harta warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan
bagian anak perempuan. Asas keadilan dan parimirma (welas asih) berdasarkan sila keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan menunjukkan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM) khususnya perempuan di dalam hukum waris adat Karo, melalui pembagian warisan anak
laki-laki adalah sama dengan anak bagian perempuan.10

waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris
ke ahli waris. Sistem pewarisan dalam Hukum Adat terdiri dari Sistem keturunan (Patrilineal,
Matrilineal dan Parental atau Bilateral), Sistem pewarisan individual, Sistem pewarisan Kolektip,
Sistem pewarian Mayorat, Sistem pewarisan Islam, dan Sistem pewarisan Barat. Hukum waris
masyarakat adat Karo adalah pewarisan berdasarkan dari garis keturanan ayah, dalam hal ini
yang berhak mewaris adalah anak laki-laki. Anak perempuan tidak berhak menerima warisan,
hanya diberi bagian dari saudara- saudaranya berdasarkan “kekelengen”. Dalam hal merawat
orang tua yang sudah lanjut usia, biasanya anak perempuan yang lebih mengerti dan
memperhatikan keadaan orang tuanya tersebut. Sejak kecil hingga menjadi anak beru, peran anak
perempuan dalam masyarakat Karo sangat besar. Keputusan Mahkamah Agung No.
179/K/Sip/1961 pada tanggal 23 Oktober 1961 memberi perubahan pada tatanan hukum adat
masyarakat Karo, terutama dalam hukum waris adat, sehingga anak perempuan dan anak laki-laki
bersama berhak atas harta warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan
bagian anak perempuan. Asas keadilan dan parimirma (welas asih) berdasarkan sila keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan menunjukkan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM) khususnya perempuan di dalam hukum waris adat Karo, melalui pembagian warisan anak
laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan.

Dalam penetapan hukum juga tidak bisa lepas dari hokum adat istiadat. Adat istiadat disini adalah
adat istiadat yang mengikat anggota masyarakat. Maka dari itu dapat dilihat dari konteks
Maslahah Mursalahnya. Untuk itu dapat dibagiempatprinsip,yaitu:

10
Venia Aprilia Sembiring dkk, 2016, Perkembangan Pewarisan Masyarakat Adat Batak Karo Di Kabupaten Karo,
Sumatera Utara.
1. Hukum Islam menjadikan hukum adat sebagai bagian permanen dari sistem. Jika praktik
tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, yaitu. Dalam hal ini, teori yang berlaku
adalah bahwa hukum adat hanya dapat diterapkan jika telah diakui oleh hukum Islam,
bukan sebaliknya.
2. Konsep hukum adat diakui oleh hukum Islam. Namun demikian, karena implementasinya
berbeda, maka perlu dilakukan modifikasi. Metode ini tepat jika hukum adat pada
dasarnya tidak bertentangan dengan hukum waris Islam.
3. Jika terjadi pertentangan mendasar antara hukum Islam dan hukum adat, maka hukum
Islam yang akan diutamakan.
4. Islam menentang hukum adat jika tidak sesuai dengan hukum Islam, apalagi jika
memperhitungkan kemaslahatan dan kemudlaratan yang diakui oleh hukum adat.
Misalnya, hukum Islam melarang penyebaran informasi kepada individu yang tidak
diberikan kepada mereka pada saat berdirinya Islam. Namun, perombakan yang
sebenarnya harus memastikan bahwa masyarakat umum dilindungi oleh syariat Islam agar
perlu adanya bisnis yang fokus pada kekinian. Usaha Rasulullah untuk menerapkan
hukum, untuk memperoleh hak dan bagian warisan tidak sepenuhnya diterapkan laki-laki
dan perempuan sama-sama.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
sepanjang adat itu tidak mengandung kemudharatan dan relevan dengan prinsip-prinsip ajaran
Islam secara umum. Dengan kata lain adat dapat dipergunakan untuk mengecualikan ketentuan
umum dalam nash dalam bidang kewarisan, dimana kewarisan adat itu lebih condong untuk
mencapai kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat.

Kesimpulan

Mashlahah mursalah ialah sesuatu yang dapat membawa manfaat yang dibutuhkan dalam
kehidupan manusia secara umum, termasuk di dalamnya sesuatu yang dapat menghalangi
mudharat: sedang teks syari’at tidak ada yang khusus membenarkan atau membatalkannya.

Meskipun pada awalnya masyarakat Batak Karo tidak dapat menerima sepenuhnya uang muka
tersebut, namun tetap ada keuntungan dan kerugian dari pemerataan hak waris. Perkembangan
pusaka ini menyebabkan perubahan signifikan pada pusaka masyarakat adat Batak Karo.
Masyarakat Adat Batak Karo lambat laun telah menerima perkembangan warisan ini dan
pengaruh globalisasi, dan pewarisan kedudukan putra dan putri telah disamakan; Namun sampai
saat ini masyarakat adat Batak Karo belum dapat sepenuhnya menerima seorang janda sebagai
ahli waris. Anak laki-laki terus membawa marga yang masih dipegang erat oleh orang Batak
Karo melalui warisan ini.

Saran-saran yang dapat disampaikan berkaitan dengan penelitian ini adalah:

a. Masyarakat adat Batak Karo sebaiknya tidak menutup mata dengan adanya
perkembangan pewarisan dan dapat menerima perkembangan itu. Kedudukan perempuan
dalam pewarisan adat Batak Karo harus diperjuangkan dalam pewarisan terutama
kedudukan janda. Kedudukan Janda menjadi sorotan paling besar karena sampai saat
inimmasyarakat Adat Karo belum menerima penuh janda sebagai ahli waris, berbeda
dengan anak perempuan yang hak nya sudah diterima penuh.
b. Pemerintah sebagai pihak yang berhak untuk membuat suatu Undan-Undang atau
peraturan sebaiknya membuat suatu ketentuan aturan untuk menegaskan bagaimana
kedudukan anak laki-laki dan perempuan di muka adat ketika kedudukan itu menjadi
suatu sengketa di muka pengadilan.

Daftar Pustaka

Muhibbin, Moh Dkk, (2009). Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Ansori, Abul Ghofur. (2012).. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan
Adaptabilitas. Yogyakarta: Gadjahmadauniversitypress.
Ali, Zainuddin. (2009). Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Syarifuddin, Amir. (2004). Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Prenada Media.
Suhrahwardi K. Lubis, Dkk. (1997). Fiqh Mawaris. Jakarta: Gaya Mulia Pratama.

Anda mungkin juga menyukai