Anda di halaman 1dari 23

PERANAN MASLAHAH MURSALAH DAN MASLAHAH MULGHAH DALAM PEMBARUAN

HUKUM ISLAM

Abstrak

Kata Kunci: Maslahah, maslahah mursalah, maslahah mulghah, hukum Islam, ijtihad.

Tujuan penelitian ini menjawab rumusan masalah bagaimanakah peranan maslahah dalam
pembaharuan hukum Islam? Bagaimanakah kontribusi maslahah dalam hukum negara?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan dimensi doktrin, ditafsirkan secara logis
dan sosiologis. Hukum Islam senantiasa bertumpu pada hikmah dan ‘illat yang bermuara
pada maslahah, baik kepada individu maupun masyarakat. Hukum Islam dimaksud meliputi
bidang muamalah dan ibadah. Maslahah pada prinsipnya yaitu menjaga eksistensi hukum
Islam berupa kemanfaatan dan kebaikan yang dikehendaki oleh hukum Islam, bukan
berdasarkan keinginan manusia. Terdapat dua golongan tentang kebolehan menjadikan
maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum. Golongan pertama
berpandangan penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil dalam melakukan ijtihad
adalah diperbolehkan. Sedangkan golongan yang kedua mengatakan penggunaan maslahah
mursalah sebagai dalil hukum dalam ijtihad tidak diperbolehkan. Sementara itu dalam
menggunakan maslahah mulghah sebagai landasan untuk menetapkan hukum juga
terdapat perbedaan. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak memperbolehkan.
Adanya perbedaan pendapat mengenai hal tersebut karena tidak adanya dalil husus
mengenai hal tersebut.

Keywords: Maslahah, maslahah mursalah, mulghah masghah, Islamic law, ijtihad.

The purpose of this study is to answer the problem of how is the role of the maslahah in the
reform of Islamic law? How is the contribution of the maslahah in state law? This research is
a legal study with doctrinal dimensions, interpreted logically and sociologically. Islamic law is
always focused on the wisdom and 'illat' that originate in the maslahah, both for the
individual and for society. Islamic law is intended to cover the area of religion and worship.
The essence of the maslahah is to preserve and observe the purpose of Islamic law in the
interests and benefits required by Islamic law, not by human passions. There are two groups
about the ability to make the holy religion a proposition in establishing the law. The first
group to say that the use of holy maslahah as a legal proposition in carrying out ijtihad is
permissible. While the second group says the use of pure maslahah as a legal proposition in
ijtihad is not allowed. Meanwhile in the use of the rich maslahah as a basis for law
enforcement there are also differences. Some are allowed and some are not. There is a
difference of opinion on the matter as there is no specific proposition. The first group to say
that the use of holy maslahah as a legal proposition in carrying out ijtihad is permissible.
While the second group says the use of pure maslahah as a legal proposition in ijtihad is not
allowed. Meanwhile in the use of the rich maslahah as a basis for law enforcement there are
also differences. Some are allowed and some are not. There is a difference of opinion on the
matter as there is no specific proposition. The first group to say that the use of holy
maslahah as a legal proposition in carrying out ijtihad is permissible. While the second group
says the use of pure maslahah as a legal proposition in ijtihad is not allowed. Meanwhile in
the use of the rich maslahah as a basis for law enforcement there are also differences. Some
are allowed and some are not. There is a difference of opinion on the matter as there is no
specific proposition.

Pendahuluan

Pembicaraan tentang aktualisasi hukum Islam dikalangan para ahli hukum Islam tidak ada
habisnya. Hal ini dikarenakan umat Islam di satu pihak memerlukan Islam sebagai hukum agama
yang memandu kehidupan dunia akhirat, tetapi di sisi lain para ahli hukum Islam melihat bahwa
hukum Islam yang ada dalam kitab-kitab fiqh klasik tidak dapat lagi memenuhi kehidupannya.
Mereka menganggap terdapat isi dari kitab tersebut yang sudah tidak relevan lagi dengan keadaan
zaman sekarang.

Berkaitan Dengan hal tersebut, para fuqaha berusaha merumuskan hukum Islam dalam
konteks masa kini, sehingga hukum Islam relevan dengan zaman sekarang seperti yang dimaksudkan
oleh syari’. Memperbarui makna hukum Islam mempunyai arti berusaha mengembalikan pada
makna hukum asal tetapi kelihatan seperti sesuatu yang baru. Langkah yang dilakukan adalah
memperkuat aspek yang dianggap lemah sehingga kembali mendekati pada bentuk yang semula.

Masalah tajdid selalu berkaitan dengan ijtihad. Konsekuensinya, jalan menuju pintu ijtihad
selalu diperbolehkan untuk ulama yang telah memiliki kemampuan melakukannya. Hukum ijtihad
adalah fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain diperuntukkan bagi ulama yang telah memiliki
kualifikasi minimal dalam melakukan ijtihad, ini berbeda dengan paradigma lama yang menentukan
syarat ijihad yang sangat berat sehingga tidak dapat atau sangat sulit untuk dipenuhi oleh siapapun
di era sekarang ini. Sedangkan fardhu kifayah, seluruh umat yang ada dalam suatu wilayah akan
berdosa jika tidak terdapat satu orang pun dari mereka yang melakukan ijtihad. Islam tidak
memperbolehkan umatnya berpikiran taqlid, terdapat contoh yang baik dari para mujtahid
terdahulu, yaitu pendiri empat mazhab yang menyatakan tidak memperbolehkan mengikuti
pendapatnya secara membabi buta. Dalam pembahasan ilmu ushul al-fiqh, ijtihad biasanya diberi
definisi dengan badzl al-jahd li al-wushul ila al-hukm al-syar’iy min dalil tafshiliy min al-adillah al-
syariyyah, mencurahkan daya upaya untuk sampai pada menemukan hukum syar’i dari dalil yang
spesifik dari dalil-dalil syar’i.1

Dalam melaksanakan ijtihad, para ahli hukum sepakat akan dua syarat tentang lapangan
ijtihad; pertama, masalah yang tidak terdapat nashnya, yang kepastian hukumnya sengaja dibiarkan
oleh Allah sebagai rahmat, supaya para mujtahid berusaha menentukan maksud syara’ sesuai
dengan cara ijtihad yang ditempuh oleh para mujtahid, seperti istihsan, istishab, maslahah mursalah,
dan sebagainya. Kedua, masalah yang nashnya bersifat dhanny (masih diragukan) baik dhanny al-
tawatur (diragukan dalam kemutawatirannya) yang banyak terdapat dalam hadis, maupun dhanny
al-dalalah (diragukan dalam maksudnya) yang terdapat dalam kebanyakan ayat al-Quran dan hadis.

Peranan maslahah dalam menetapkan hukum sangat dominan dan menentukan, sebab
sumber hukum Islam yang berupa al-Quran dan hadis maupun sumber yang berupa ra’yu semuanya

1
Abd al.Wahab Khallaf, 'Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 216.
memperhatikan aspek maslahah untuk memperbarui hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan semua
hokum yang dihasilkan oleh sumber-sumber tersebut adalah dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan bagi manusia. Maslahah yang hendak dicapai hukum Islam sifatnya universal, lahir
batin, individu maupun umum, maslahat hari ini maupun masa yang akan datang.

Dalil hukum Islam yang disepakati oleh jumhur ulama ada empat; al-Quran, hadits, ijma’ dan
qiyas. Mereka juga sepakat dalam mempergunakan dalil-dalil hukum ini harus secara berurutan.
Para ulama kemudian berbeda pendapat jika terdapat masalah dalam masyarakat, sementara qiyas
tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Dari sini kemudian lahir dalil-dalil hukum selain empat
tadi. Dalil-dalil tersebut yaitu maslahah, istihsan, syad al-zariah, istishab, mazhab shahabi, syar’un
man qablana dan ‘urf. Status kehujjahan dari dalil hukum ini diperdebatkan di kalangan ulama,
sebagaimana mereka berpendapat dalil hukum tersebut merupakan hujjah dalam mengistinbath
hukum, sementara sebagian lagi tidak menjadikan sebagai dalil hukum yang dapat digunakan
sebagai dalil istinbath hukum dalam menghadapi persoalan-persoalan masyarakat.

Maslahah mursalah dan maslahah mulghah merupakan dalil hukum Islam yang status
kehujjahannya masih diperselisihkan oleh para ulama. Di sini akan dicoba untuk menganalisis
masalah tersebut secara logis, sistematis dan faktual, sehingga dapat diketahui kedudukan kedua
masalah tersebut sebagai teori hukum yang dapat dipergunakan dalilnya untuk mengistinbath
hukum Islam dalam memecahkan masalah kontemporer saat ini.

A. Teori Maslahah dalam Hukum Islam


Maslahah secara etimologis mempunyai arti kebaikan, kelayakan, kebermanfaatan,
keselarasan, kepatutan. Istilah maslahah ada yang diantonimkan kepada kata mafsadah dan
adakalanya diantonimkan dengan kata madharrah, yang mempunyai arti kerusakan.2

Sedangkan menurut istilah, banyak pengertian yang disampaikan oleh ulama ushul fiqh.
Antara lain, al-Ghazali berpendapat bahwa maslahah adalah mewujudkan kemanfaatan atau
menghindari kemudaratan. Menurut al-Ghazali, yang dimaksud maslahah dalam arti terminologi
syariah adalah memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam yang berupa memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa setiap sesuatu
yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari lima hal tersebut dikategorikan
sebagai maslahah. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari
kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah. Maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu yang
dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut dikategorikan sebagai
maslahah.3
Maslahah dalam perspektif yang lain disampaikan oleh ‘Izzuddin Abdul Salam. Dalam
pandangannya, maslahah identik dengan al-khair (kebajikan), al-naf’ (kemanfaatan), al-husn
(kebaikan).4 Sementara Najm al-Din al-Thufi berpendapat bahwa makna maslahah dapat ditinjau
dari segi ‘urf dan syar’i. Dari segi ‘urf, maslahah adalah sebab yang membawa kepada kebaikan dan
kemanfaatan, seperti perniagaan yang merupakan sebab yang membawa kepada keuntungan,
2
Ismail Ibn Hammad al-Jauhari, al-Sihah Taj al-Lughah wa Sihah al-Arabiyah, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin,
1956), Juz 1, hlm, 383-384.
3
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Tahqiq wa Ta’liq, Muhammad Sulaiman
al-Asyqar, (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1997), juz 1, hlm. 416-417.
4
‘Izzuddin Ibn Abd Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-An’am, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah,
1994), juz1, hlm.5.
sedangkan dalam arti syar’i, maslahah merupakan sebab yang membawa kepada tujuan al-syar’i,
dalam segi ibadah maupun muamalah.5 Jelasnya, maslahat merupakan hal yang tidak terpisahkan
dari maqashid al-syari’ah.6
Ketentuan maslahat yang merupakan inti maqashid al-syariah berdasarkan pada: (1) nusush
al-syariah, terutama dalam bidang al-amar dan al-nahi, (2) 'illat dan hikmah yang terdapat dalam
nusush al-syariah, (3) istiqra’. Identifikasi maslahah berupa pembacaan nash-nash syariah, terutama
yang berkaitan al-amar dan al-nahy, dianut oleh ulama ahli uhul al-fiqh dari mazhab Zhahiri.
Sedangkan identifkasi maslahah dengan mengelaborasi al-‘illah dan al-hikmah yang ada dalam nash-
nash syariah dipakai oleh kalangan mayoritas ulama ahli ushul al-fiqh di luar mazhab Zhahiri.
Sedangkan penentuan maslahah dengan cara istiqra’ adalah pandangan orisinil Syatibi, walaupun al-
Syatibi tidak memungkiri adanya dua metode sebelumnya untuk menentukan suatu maslahah.7
Penting kiranya untuk dikaji siapa yang punya otoritas menilai sesuatu itu maslahah atau
bukan dalam melakukan ijtihad.8 Sesungguhnya ketika sudah diterima menjadi persyaratan mutlak
bahwa sesuatu itu dipandang maslahah apabila sejalan atau tidak bertentangan dengan nusush al-
syariah, dan sebaliknya, sesuatu itu bukanlah maslahah apabila bertentangan dengan nusush al-
syariah, seharusnya aplikasi maslahah oleh aktifitas ijtihad fardy merupakan hal yang tidak perlu
dihawatirkan. Sejauh yang menjadi obyeknya adalah masalah ijtihady, ijtihad fardy dapat dilakukan
oleh orang yang telah memenuhi kualifikasi. Akan tetapi, kemungkinan muncul pihak-pihak yang
menyalahgunakan metode maslahah memang tidak bisa dipungkiri. Mereka menggunakan
maslahah sebagai metode untuk menetapkan hukum tanpa mengindahkan batasan-batasan dan
kaidah-kaidah yang berlaku. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam menetapkan hukum
Islam, dan pada gilirannya dapat meresahkan masyarakat. Dalam konteks ini, kehadiran institusi
ijtihad jama’i, seperti MUI, Bahtsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, dan dewan Hisbah
Persis, menjadi urgen dalam mengeliminasi kemungkinan penyalahgunaan metode maslahah oleh
aktivitas ijtihad fardy sehingga konsepsi dan aplikasi maslahah dalam proses ijtihad tersebut
terhindar dari salah paham.9

Kategorisasi Maslahah
Syekh al-Buti berpendapat, kriteria maslahah itu meliputi empat; pertama, nash menjadi
acuan terhadap sesuatu yang diverifiasi, kedua, sesuatu yang dinilai adalah sesuatu yang tidak
bertentangan dengan al-Quran dan hadis, ketiga, tidak boleh betentangan dengan qiyas, empat,
sesuatu atau maslahah tersebut tidak mengalahkan maslahah lain yang nilainya lebih penting.
Muslehuddin berpendapat, pembagian maslahah berupa maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah,
dan maslahah mursalah tetap harus memperhatikan segi-segi kepentingan masyarakat dan realitas
sosial yang selalu berkembang dan terus berubah sehingga hukum Islam harus bergerak seiring

5
Najm al-Din al-Thufi, Syarh al-Arbain al-Nawawiyah, dalam Musthafa Zaid, al-Mashlahah fi al-Tasyri al-Islamy
wa Najmuddin al-Thufi,( t.tp: Dar al-Fikr al-Araby, 1964), hlm. 211.
6
Hamadi al-Ubaidi, Ibn Rusyd wa ulum syariah al-Islamiyyah, (Beirut: Darul Fikr al-Araby, 1991), hlm. 97-98.
7
Muhammad Hasyim Kamali, The Dignity of Man: an Islamic Perspective, (Kuala Lumpur-Malaysia: Ilmiah
Publisher, 2002), hlm. 93-95.
8
Lihat Muhammad Musa Tuwana, al-Ijtihad wa Maza Haajatina ilaihi fi Haz al-‘Ashr, (Kairo: Dar al-Kutub al-
Hadisah, 1971), hlm. 75.
9
Muhammad Athok Mudhar, Fatwas of the Council of Indonesian ‘Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in
Indonesia 1975-1988, (Jakarta: INIIS, 1993), hlm. 31.
sejalan dengan perubahan realitas sosial yang terjadi, yang pada gilirannya fleksibilitas hukum Islam
dapat dipertahankan.10
Dalam perspektif lainnya, al-Ghazali berpendapat, maslahat terbagi menjadi dua; 1)
maslahah mu'tabarah, yaitu maslahah yang diakui atau mendapat pengakuan dari nash. Maslahah
yang seperti ini identik dengan qiyas. 2) maslahah mulghah, maslahah yang tidak mendapat
pengakuan atau ditolak oleh nash, al-Ghazali menunjuk sebagai contoh kasus keputusan seorang
ulama kepada sang raja yang menyetubuhi isterinya pada siang hari di bulan Ramadhan, yakni
kewajiban berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai kaffarat yang harus ditunaikan sang raja,
dengan dasar pertimbangan bahwa kalau ditetapkan bagi sang raja itu memerdekakan budak
sebagai kaffarat, tertentu sangatlah ringan baginya sehinga tidak mendidik dirinya untuk belajar
menahan nafsu. Jadi, tidak membawa efek jera. Dari sinilah wujud maslahah dalam penetapan
kewajiban berpuasa dua bulan berturut-turut sebgai kaffarat yang dapat membawa efek jera
baginya. Dalam pandangan al-Ghazali, hal tersebut merupakan suatu pendapat yang tidak benar,
suatu tindakan penyimpangan terhadap nash al-Quran, yang pada gilirannya membawa kepada
dekonstruksi teks suci syariah dengan alasan adanya perubahan situasi dan kondisi. Ketiga, dalam
pandangan al-Ghazali, maslahah yang tidak mendapat ketegasan justifikasi nash syariah, baik
terhadap penerimaannya maupun penolakannya. Hal ini menjadi bahan perselisihan pendapat para
ulama.11
Di bagian lain, al-Ghazli juga membuat kategorisasi malahat berdasarkan dari segi kekuatan
maknanya, dimana dalam hal ini maslahah dibagi menjadi tiga, yaitu (1) maslahat tingkat al-darurah,
(2) maslahat tingkat al-hajat, dan (3) tingkat al-tahsinat al-tazyinat. Masing-masing bagian disertai
oleh maslahah penyempurna. Menjaga prinsip dasar hukum Islam yang jumlahnya ada lima (al-ushul
al-khamsah), al-darurat merupakan tingkat tertinggi dari maslahah. Lima prinsip dasar tersebut
adalah (1) menjaga agama, (2) menjaga jiwa, (3) menjaga akal, (4) menjaga keturunan, dan (5)
menjaga harta. Pandangan al-Ghazali tentang al-ushul al-khamsah ini disempurnakan lagi oleh
Syihab al-Din al-Qarafi dengan menambahkan satu tujuan atau prinsip lagi, yaitu memelihara
kehormatan diri (hifd al-‘ird) meskipun diakui sendiri oleh Qarafi bahwa hal ini menjadi bahan
perdebatan di kalangan para ulama.12
Sementara maslahat tingkat al-hajat adalah maslahath pada tingkatan kedua. Selanjutnya
maslahat tingkat al-tahsinah al-tazyinah adalah maslahat yang bukan termasu tingkat darurat dan
juga bukan pada tingkat hajat. Sedangkan maslahah yang berada pada tingkat al-hajat dan tingkat
al-tahsinat al-tazyinat tidak boleh dijadikan sebagai dasar yang mandiri bagi penerapan hukum
apabila tidak diperkuat oleh maslahah, karena jika tidak demikian berarti menerapkan hukum
dengan al-ra’yu, jadi sama dengan al-istihsan. Jika didukung oleh al-ashl, itu namanya qiyas. Untuk
maslahah yang berada pada tingkat al-darurat dapat dicapai oleh ijtihad meskipun tidak didukung
oleh al-ashl yang bersifat husus. Usaha mengkonstruksi maslahat tingkat al-darurat seperti di atas
harus memenuhi tiga kriteria, yaitu daruriyyat, qat’iyyat, dan kulliyat.
Sementara itu, Thahir ibn Asyur mengatakan bahwa maslahat dikelompokkan atas dua
bagian, yaitu maslahat ‘ammah dan maslahat khassah. Maslahat al-‘ammah adalah segala sesuatu
yang mempunyai kebaikan atau kebermanfaatan untuk semua masyarakat, misalnya pemeliharaan
10
Muhammad Muslihuddin, Philosopphy of Islamic Law and The Orientalist, (New Delhi-India: Markazzi
Maktaba Islami, 1985), hlm. 160-163.
11
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, (Mesir: Dar al-Fikr, tt), juz 1, hlm. 415-
416.
12
Abdul Aziz ibn Abd al-Rahman ibn Ali ibn Rabiah, ‘Ilm maqashid al-syar’i, (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-
Wataniyah, 2002), hlm, 63.
harta benda dari pencurian. Maslahat ammah inilah yang menjadi perhatian sebagian besar
pengundangan al-Quran. Termasuk dalam maslahat ini adalah sebagian besar amaliah fardhu
kifayah, seperti mempelajari ilmu agama, mempelajari ilmu umum untuk kemajuan masyarakat dan
berjihad. Sedangkan al-maslahah al-khassah adalah sesuatu yang mengandung kebaikan atau
kemanfaatan orang per orangan, dimana dengan terwujudnya kebaikan atau kemanfaatan orang
perorangan, akan terwujud pula kebaikan atau kemanfaatan masyarakat. Jenis maslahat ini
dikandung oleh sebagian legislasi al-Quran dan sebagian besar legislasi sunnah, seperti pemeliharaan
harta dari sikap boros dengan cara membawa orang boros itu ke dalam pengampuan. Ini jelas
membawa kebaikan atau kemanfaatan bagi diri orang yang diampu itu. 13

Hubungan Maslahah dengan Nash Syara'


Adagium bahwa hukum Islam (syariah) itu pada intinya adalah maslahah, sudah dipahami
hampir seluruh umat Islam, baik kalangan cerdik-cendikia dan juga kalangan awam. Proposisi yang
sering disampaikan mereka antara lain adalah: ” syariah itu datang membawa misi realisasi
maslahah dan eliminasi madarrah”; “syariah itu dapat mendatangkan kemanfaatan dan mencegah
kerusakan”; “syariah itu diciptakan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya,
baik di dunia maupun di akhirat”; “ syariah itu dibangun berdasarkan al-hikmah dan maslahah bagi
umat manusia, ia sepenuhnya mengandung keadilan, kasih sayang, dan maslahah”; dan “Di mana
saja didapati maslahah, di situlah hukum Allah, dan di mana saja ada hukum Allah, disitulah didapati
maslahah”.14
Manifestasi istilah yang mengatakan maslahah merupakan syariah,15 memunculkan
beberapa konsepsi dan legal maxim hukum Islam yang bertumpu pada maslahah. Dalam kajian teori
hukum, misalnya dikenal adanya al-istihsan, syad al-zari’ah, dan al-‘urf.16Sedangkan dalam legal max
im hukum Islam, antara lain:
a. Al-ashl fi al-manafi’ al-hill wa fi al-madarr al-man’u (pada prinsipnya segala yang
bermanfaat itu halal dan segala yang mengandung mudarat itu haram);
b. La darar wa la dirar (tidak boleh mendatangkan mudarat kepada diri sendiri dan tidak
boleh mendatangkan mudarat kepada diri orang lain);
c. Al-darar yuzal (yang mengandung mudarat itu harus dihilangkan atau dicegah);
d. Al-darar la yuzal bi mitslih (suatu mudarat itu tidak boleh dilenyapkan atau dicegah
dengan suatu mudarat lain yang setara);
e. Yutahammal al-darar al-khas li daf al-darar al-‘am (suatu mudarat yang terbatas dapat
diterima demi menghindarkan mudarat yang tidak terbatas);
f. Al-darar al-asyadd yuzal bi al-darar al-akhaff (suatu mudarat yang lebih ringan dapt
diterima demi menghindari mudarat yang lebih berat.
Banyak yang harus diperhatikan ketika berbicara maslahah. Misalnya, bisa saja
sesuatu yang dipandang maslahah bagi suatu generasi, ternyata dalam perkembangannya
kemudian dipandang sebagai madarrah bagi generasi selanjutnya. Bisa saja sesuatu yang
dipandang maslahah di dunia, ternyata dalam perkembangannya kemudian dipandang sebagai
13
Thahir ibn Asyur, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, (Tunis: Dar Suhnun, Kairo: Dar al-Salam, 2006), hlm. 63.
14
Muhammad Said Ramadhan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-syariah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-
Muttahidah dan al-Muassasah al-Risalah,2000), hlm. 13-22.
15
Ahmad al-Raisuni, al-Ijtihad bain al-Nash, wa al-Maslahah wa al-Waqi’, dalam Ahmad al-Raisuni dan
Muhammad JamalBarut, al-Ijtihad:al-Nash wa al-Waqi’ wa al-Maslahah. (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 31-34.
16
Husayn Hamid Hisan, Nazdariyyat al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Darul-Nahdhah al-Arabiyah,
1971), hlm. 220.
mudarrah di akhirat, dan bisa juga sesuatu yang dipandang sebagai maslahah bagi kalangan orang
tertentu, merupakan mafsadah bagi kalangan kebanyakan orang, sedang maslahah yang benar dan
otentik adalah maslahah yang kebaikan dan kemanfaatan yang dikandungnya menjangkau
kalangan orang tertentu dan kebanyakan orang sekaligus. Konsekuensi dari hal tersebut adalah
antara maslahah bisa bahkan kerapkali terjadi pertentangan. Memegang suatu maslahah hampir
pasti menyingkiran maslahah yang lain atau justru mendatangkan mafsadah. Atas pertimbangan di
atas, dipandang perlu untu merumuskan parameter menyangkut mana maslahah yang layak diakui
dan diutamakan dan mana maslahah yang tidak layak, sehingga yang diaplikasikan hanyalah
maslahah yang valid dan otentik.
Menjadikan teks atau nash sebagai tolok ukur maslahat mempunyai arti mencegah
atau mengurangi munculnya kemungkinan adanya pemahaman yang mengasumsikan terdapat
kontradiksi antara nash dan maslahat. Sikap seperti ini meniscayakan integrasi maslahat dengan
nash. Jika ukuran maslahah itu ditentukan oleh akal dan pengalaman manusia, tanpa adanya
petunjuk nash, akan terjadi kontradikasi antara nash dan sesuatu yang dinilai maslahah oleh
manusia. Sehingga besar kemungkinan akan terjadi subyektifitas terhadap maslahah. Disamping
itu, nash menunjukkan terdapat maslahah yang bersifat spiritual yang tinggi bagi kehidupan
manusia dan kebahagiaan hidup duniawinya, juga ada nash yang menunjukkan tingginya nilai
maslahat yang bersifat etik-moral.17

B. Maslahat: Model Integrasi Hukum Islam ke dalam Hukum Negara


Pada dasarnya hukum Islam adalah hukum yang diambil dari doktrin agama Islam.
Karakter normatif telah melekat pada doktrin ajaran agama Islam, Isam dikenal sebagai “agama
hukum”. Ajaran agama Islam mengatakan bahwa hukum dan akidah tidak dapat dipisah, karena
dari akidah sebuah aturan atau hukum itu dibangun, begitu juga dengan melaksanakan hukum
akidah dapat dipertahankan. Al-Quran dan Hadis merupakan dua sumber utama dari semua aturan
hukum yang harus ditaati setiap muslim. Hubungan antara hukum dan agama tidak dapat
dipisahkan. Dalam hukum Islam peran Nabi Muhammad sangatlah besar, ia tidak hanya sebagai
utusan Tuhan, tetapi juga model percontohan bagi seluruh umat manusia dalam menjalankan
hukum Tuhan demi keselamatan hidup mereka di dunia dan akhirat. 18 Karena itu tidaklah
mengherankan kalau kenabian Muhammad memainkan peran yang sangat penting dalam tradisi
hukum Islam, yang tanpa peran demkian tidak akan ada hubungan antara yang sakral dan yang
profan.
Dalam perspektif Islam, hukum mengatur segala sesuatu sesuai dengan kehendak
Tuhan. Ide hukum sebagai entitas yang mencakup segalanya menjadi karakter utama bagaimana
hukum Islam memandang kehidupan ini. Sejak awal pembentukannya, hukum Islam dalam
kenyataannya tidak membedakan antara persoalan hubungan Tuhan dengan manusia maupun
hubungan manusia dengan manusia. Hubungan antara sesama manusia bahkan dilihat sebagai
refleksi dari hubungan manusia dengan Tuhan di mana sumber teks sakral (al-Quran dan hadis)
berfungsi sebagai rujukan dalam memahami kehendak Tuhan tentang kehidupan ini. Seluruh aspek
kehidupan manusia menjadi cakupan hukum. Tidak ada satupun dalam aspek kehidupan manusia
yang berada diluar hukum karena semua tingkah laku manusia dalam kehidupan ini diderivasikan

17
Ahmad al-Raisuni, al-Ijtihad bain al-Nash, wa al-Maslahah wa al-Waqi’, dalam Ahmad al-Raisuni dan
Muhammad JamalBarut, al-Ijtihad:al-Nash wa al-Waqi’ wa al-Maslahah. (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 50-51.
18
Retno Lukitto, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik & Resolusi dalam Sistem Hukum di
Indonesia, terj. Inyiak Ridwan Munzir, (Jakarta: Pustaka Alvaber, 2008), hlm. 73-75.
dari pandangan teologisnya. Karena tidak ada lagi pemisahan anatara “negara” dan “agama” maka
dalam Islam agama dan pemerintahan menjadi satu. Hukum Islam dikontrol, diatur oleh agama
Islam. Sebagai konsekuensinya, Islam lebih dekat dengan paham teokrasi di mana wilayah publik
dan privat diatur oleh hukum, karena pemerintah, hukum dan agama esensinya adalah bersatu
berkelindan. Tentu saja dalam praktiknya bermacam-macam variasi muncul di berbagai negara
Islam, tetapi satu hal sudah jelas bahwa semua hukum, pemerintahan dan otoritas sipil didasarkan
pada akidah Islam.
Menurut pendapat Abdullah Ahmaed An-Na’im, hukum Islam hanya dapat ditawarkan
dan diaplikasikan melalui adaptasi dengan kebutuhan masyarat Islam modern. Tetapi adaptasi
prinsip-prinsip hukum Islam dalam legislasi hukum negara modern tetap harus dilakukan melalui
proses yang sekuler, dan ia bukan merupakan legislasi langsung prinsip-prinsip hukum Islam itu
sendiri.19
Dalam Islam tidak ada dikotomi antara agama dan negara maupun antara agama dan
hukum. Ketiga komponen tersebut apabila dipersatukan akan membentuk lingkaran konsentris
yang merupakan suatu kesatuan dan berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya. Agama
sebagai komponen pertama berada pada posisi lingkaran yang terdalam karena ia merupakan inti
dalam lingkaran itu. Kemudian selanjutnya disusul oleh hukum yang menempati lingkaran
beriktnya. Dalam hal ini pengaruh agama sangat besar terhadap hukum dan sekaligus pula agama
merupakan sumber uatama dari hukum, disamping rasio sebagai sumber komplementer. Ditinjau
dari kerangka dasar agama Islam yang terdiri dari akidah, syariah dan ahlak. Akidah sebagai titik
sentral, syariah dan ahlak harus tercermin dalam struktur dan substansi hukum, sehingga konsep
hukum dalam lingkaran itu berisi bukan hanya semata-mata hukum dalam arti normatif saja, tetapi
juga hukum dan kesusilaan. Negara sebagai komponen ketiga berada dalam lingkaran terakhir.
Posisi tersebut memperlihatkan bahwa dalam lingkaran konsentris ini, negara mencakup kedua
komponen yang terdahulu, yakni agama dan hukum. Karena agama merupakan inti dari lingkaran
konsentris ini, maka pengaruh dan peranan agama sangat besar terhadap hukum dan
negara.Terlihat pula betapa eratnya hubungan antara agama, hukum, dan negara karena
komponen-komponen tersebut berada dalam satu kesatuan yang tidak mungkin dipisahkan. Harus
dipahami kalau posisi negara diletakkan pada lingkaran yang terakhir maka hal itu tidak berarti
bahwa negara mengungkung atau mengurung hukum agama. 20 Dari sini dapat dikatakan bahwa
negara hanya dapat mengoperasikan prinsip-prinsip hukum terapan umum yang ditetapkan secara
resmi, prinsip-prinsip syariah dapat berpengaruh secara politis dan sosiologis, tetapi tidak secara
otomatis diterapkan sebagai hukum positif tanpa adanya intervensi negara.

Dengan tidak adanya dikotomi agama dan negara maupun agama dan hukum, teori
maslahah memegang peranan penting. Sejak diundangkannya, syariah tidak dibangun atas basis
yang lain kecuali untuk kemaslahatan manusia.
Berangkat dari pemikiran di atas, sebagian umat Islam berpandangan bahwa
formalisasi hukum Islam melalui hukum positif atau peraturan perundang-undangan merupakan
suatu keniscayaan. Bagi mereka hukum di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa kategori;

19
Abdullah Ahmed an-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syariah, terj. Sri
Murniati, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), hlm. 36-37.
20
Muhammad Thahir Azhari, Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 43.
pertama, hukum yang menjadikan adat sebegai basis, sehingga norma-norma masyarakat dan adat
istiadat yang diterima secara turun-temurun yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama dan
melekat dalam kesadaran masyarakat dijadikan hukum positif. Kedua, hukum yang diambil dari
hukum agama, yaitu ajaran agama yang dibawa nabi. Ketiga, hukum sebagai aturan dalam
kehidupan bersama yang berasal dari legislator resmi yang disertai dengan sanksi tertentu dalam
hal terjadinya pelanggaran dan dilaksanakan oleh Negara. 21
Ketiga aturan hukum di atas terdapat dalam budaya hukum Republik Indonesia yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan demikian hukum Indonesia yang lahir
setelah tanggal tersebut memiliki empat bentuk dasar, yaitu hukum produk legislasi kolonial,
hukum adat, hukum Islam, produk nasional. Begitu teratur dan runtutnya formalisasi hukum yang
ada di Indonesia, sehingga konstitusionalisasi hukum atau syariat Islam merupakan keniscayaan
juga, walaupun batasan formalisasinya belum jelas. Dengan diformalkan hukum Islam, akhirnya
negara berkewajiban memelihara dan menegakkannya, bukan hanya masyarakat sebagai
komunitas yang harus dilindungi kewajiban dan hak-haknya.
Konstitusionalisasi hukum Islam bisa dihubungkan ke masa nabi, sahabat, para
khalifah sesudahnya, sampai pada pelaksanaan syariat Islam yang ada di negara-negara Islam
modern sekarang ini, misalnya Negara Saudi Arabia, Sudan, Pakistan, Malaysia, Mesir, dan lain-lain.
Di Indonesia sendiri sejak masa kerajaan-kerajaan dan penjajahan sudah berlaku syariat Islam
secara resmi, walaupun belum secara utuh. Munculnya peraturan perundang-undangan sejak
berdirinya negara sampai sekarang banyak sekali yang berkaitan dengan syariat Islam yang dapat
dikatakan juga sebagai hasil ijtihad ulama Indonesia.
Formalisasi peraturan perundang-undangan yang berasal dari ajaran Islam dapat
melalui UUD sebagai norma dasar yang mengilhami peraturan-peraturan yang ada di bawahnya,
yaitu ketatapan MPR, UU, Perpu, PP, Kepres, dan Perda. Berikut ini ada beberapa produk
perundang-undangan yang berujung pada penegakan syariah. Dalam bentuk UU No. 1/1974 yang
mengatur sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama; UU No. 7/ 1989 yang diperbarui dengan
UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No, 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
UU No. 23/ 1999 tentang Bank Indonesia yang memberi mandat pembentukan Bank atau Bank
Syariah Pemerintah; dan UU No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat 22. Sementara itu, Peraturan
Pemerintah yang terbit adalah PP N0. 70 dan 72/1992 yang menjelaskan Bank bagi hasil dan UU
No. 7/1992. Kemudian Inpres N0.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ditambah dengan
Kepmen N0. 154/1999, sebagai pelaksanaan Inpres tersebut. Dalam pengelolaan zakat diterbitkan
Kepmen No. 581/1999 dan khusus untuk Kota Bandung dikeluarkan Perda No. 30/2003.
Sudah barang tentu dalam melaksanakan UU tersebut diperlukan UU lain yang
mengaturnya sebagai lembaga yang berwenang yang akan menjadi payung terhadap berlakunya
undang-undang tersebut. Misalnya adanya UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang pada pasal 10 ayat (1) diundangkan, Kekuasaan Kehakiman dilakukan
oleh Pengadilan dalam lingkungan: pertama, Peradilan Umum, kedua, Peradilan Agama, ketiga,
Peradilan Militer, keempat, Peradilan Tata Usaha Negara." Jadi secara kelembagaan syariat Islam
sudah dapat dijalankan, meskipun kategori wewenang ini adakalanya tumpang tindih karena

21
Rifyal Ka'bah, Penegakan Syariat Islam, (Surabaya: Khairul Bayan,2004), hlm. 75.
22
M. Yahya Harahap,"Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam; Memposisikan Abstraksi Hukum Islam",
dalam Cik Hasan Bisri, (ed), Kompilasi Hukum Islam dan Pengadilan Aama dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 37-38.
masyarakat Islam yang tidak atau belum menyadari akan keberlakuan syariat dalam bidang-bidang
tertentu.
Ketika hukum Islam akan dijadikan hukum positif, cara yang ditempuh adalah melalui
jalur parlementer, dimana di situ terdapat banyak orang maupun partai yang berbeda-beda latar
belakang sosial dan agamanya. Namun, penegakan hukum Islam melalui jalur parlementer adalah
jalan yang terbaik untuk saat ini. Masih terdapat banyak masalah hukum yang perlu diadopsi dalam
perundangan kita. Persoalan yang masih disimpan adalah berkaitan dengan hukum pidana Islam
yang sudah barang tentu membuthkan keputusan politik yang lebih besar berkaitan dengan
ketatanegaraan secara menyeluruh. Sejatinya formalisasi atau legislasi hukum Islam, sudah
sedimikian rupa dijalankan, sehingga pengaturan masyarakat Islam ke depan memiliki kepastian
hukum yang memadai. Hukum pidana Indonesia membutuhkan rekayasa baru dan kekuatan politik
yang lebih intensif karena banyak orang yang menentangnya. Apabila pada masa awal
kemerdekaan yang menentang hanya "orang dari Timur" sekarang lebih dari itu, tetapi juga orang
Islam, non-muslim, bahkan mungkin Negara-negara tertentu yang tidak senang kepada ajaran
Islam23.

C. Maslahah Mursalah sebagai Dalil Hukum


Secara etimologi maslahah mursalah berasal dari kata maslahah dan mursalah.
Maslahah artinya baik, sedangkan mursalah berarti terlepas. Sementara secara terminologi
maslahah mursalah adalah sifat-sifat yang sesuai dengan tujuan agama, namun tidak terdapat
suatu dalil husus dari agama yang mendukung kebenarannya atau juga menolakknya, dan dengan
diterapkan suatu hukum terhadapnya akan terwujud suatu kemaslahatan dan terhindar kerusakan
dari manusia.24
Maka dapat dikatakan bahwa maslahah mursalah merupakan maslahat yang sejalan
dengan ketetapan agama dan terdapat suatu dalil tertentu yang membenarkan atau menolaknya,
contoh tindakan Abu Bakar Shiddiq yang telah mengkodifikasikan al-Quran, 25 dan sikapnya yang
memilih Umar bin Khattab sebagai khalifah penggantinya. Itu semua adalah keputusan yang sesuai
dengan maksud dan tujuan syariah, pendapat beliau bukan didasarkan kepada al-Quran dan hadis,
karena sesungguhnya tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut tetapi didasarkan pada teori
maslahah mursalah.
Berangkat dari pengertian maslahat mursalah tersebut, dapat diambil kesimpulan; 1),
maslahah mursalah merupakan sesuatu yang baik dalam pandangan akal dengan alasan bisa
mendatangkan suatu kebaikan atau mencegah keburukan pada diri manusia. 2), sesuatu yang baik
dalam pandangan akal juga sesuai dengan ajaran agama dalam merumuskan hukum. Ketiga,
sesuatu yang baik dalam pandangan akal dan sesuai dengan ajaran agama tersebut tidak ada
petunjuk agama yang mengakuinya. Jadi, maslahah mursalah dapat dibenarkan untuk digunakan
jika maslahah mursalah itu tidak bertentangan dengan prinsip umum untuk kepentingan publik
dan diaggap mendesak oleh masyarakat.
23
Masykuri Abdillah, dkk. Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas,
(Jakarta: Renaisan, 2005), hlm. 249-250.
24
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1987), hlm. 757.
25
Pengkodifikasian al-Quran pada masa Abu Bakar al-Shiddiq merupakan usul dari Umar Ibn al-Khattab. Pada
awalnya Abu Bakar menolak usul tersebut karena menganggap hal itu tidak pernah dilakukan nabi. Tetapi
karena Umar terus mendesak dengan menyampaikan argumentasi bahwa ini adalah untuk kemaslahatan,
maka kemudian Abu Bakar al-Shiddiq menerima usul tersebut.
Berdasarkan beberapa penelusuran, yang pertama kali merumuskan dan sekaligus
mempopulerkan teori maslahah mursalah adalah ulama ushul fiqh dari kalangan Syafi’i,
diantaranya adalah al-Imam al-Ghazali. Maslahah mursalah juga sering disebut dengan istislah.
Sementara dalam pandangan Muhammad Sa’ad al-Syanawi, ulama ushul fiqh yang mempunyai
pandangan sekaligus mengenalkan istilah ini adalah al-Juwaini. Sebagian ushuliyyun menyebutkan
maslahah mursalah dengan istidlal mursal. Walaupun demikian, al-Ghazali tidak setuju
menyamakan maslahah mursalah kepada istidlal mursal, karena istidlal mursal itu tidak bisa
dijadikan pedoman dalam berijtihad. Dalam konteks ini al-Ghazali setuju menggunakan istilah al-
istidlal al-sahih.
Dalam pandangan Hasbi Asshiddiqi, maslahah mursalah dapat dipakai dalil hukum
apabila maslahah mursalah tersebut merupakan maslahah haqiqiyah, maslahah yang diakui
sebagai maslahah oleh ahlu al-halli wa al- aqdi bahwa hukum yang dihasilkan itu betul-betul dapat
memberikan kemanfaatan bagi manusia dan benar-benar menolak bahaya atau kemudharatan
bagi manusia. Sehingga, maslahat itu harus bersifat umum serta dibenarkan oleh agama.
Selanjutnya Hasbi Asshiddiqi berpendapat penggunaan maslahah sebagai sebuah sumber hukum
pada hakikatnya tidak dipermasalahkan oleh para ulama, bahkan keempat imam mazhab juga
menggunakannya. Hanya ada dua golongan yang menjadikannya sebagai dalil yang berdiri sendiri
dengan istilah maslahah mursalah dan istislah. Dua gologan tersebut yaitu Malikiyah dan
Hanabilah.26
Sementara Zaky al-Din Sa’ban menegaskan terdapat empat hal yang harus dipenuhi
jika menggunakan teori maslahah mursalah untuk menetapkan hukum. Pertama, maslahah
mursalah berupa maslahah yang hakiki dan bersifat universal, artinya dapat diterima akal dan
benar-benar membawa kemanfaatan bagi manusia. Kedua, benar-benar sesuai dengan tujuan
hukum agama dalam menentukan hukum, berupa mendatangkan kemaslahatan untuk manusia.
Ketiga, benar-benar sesuai dengan maksud dan tujuan hukum agama dalam menetapkan hukum
dan tidak bertentangan dengan dalil agama yang telah ada, baik dalam bentuk rasionalitas al-
Quran dan hadis. Keempat, maslahah mursalah itu digunakan dalam keadaan kesempitan hidup,
dalam artian harus diamalkan untuk menghindarkan manusia dari kesulitan. 27
Dari persyaratan di atas dapat disampaikan bahwa maslahah mursalah boleh
digunakan hanya dalam wilayah yang mengatur keperluan manusia berupa hubungan antar
manusia yang meliputi seluruh aspek, yang bersifat umum maupun husus karena dalam aspek ini
sangat jarang dijumpai nash. Contoh dalam bidang hukum administrasi negara, hukum
internasional, maupun hukum pidana. Sementara dalam aspek ibadah, semuanya tidak termasuk
wilayah ijtihad, karena itu tidak diperbolehkan menggunakan maslahat mursalat sebagai dalil
karena masalah ibadah merupakan masalah manusia dengan Tuhannya. Dalam bidang ibadah,
diharuskan memenuhi nash tanpa menambah dan mengurangi, karena tidak diperbolehkan
mengerjakan suatu ibadah dengan alasan maslahah dan ibadah itu dikerjakan untuk mendekatkan
diri kepada Allah untuk mencapai keridhan-Nya.

D. Pandangan Ahli Hukum Islam terhadap Maslahah Mursalah


Dalam mensikapi maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum,
pendapat para ahli hukum Islam terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat
26
Hasbi ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,2001), hlm. 340-341.
27
Zakky al-Din Sya’ban, Ushul Fiqh al-Islamy, (Mesir: Matba’ah Dar al-Ta’lif, tt). Hlm. 173.
bahwa menggunakan maslahah mursalah sebagai landasan dalam berijtihad adalah dibenarkan
serta dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan ijtihad. Sementara kelompok yang lain
berpendapat bahwa menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum dalam berijtihad tidak
dibenarkan. Munculnya perbedaan pandangan ini dikarenakan tidak terdapat dalil husus yang
mengatakan diterimanya maslahah mursalah oleh syara’ baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penerimaan terhadap maslahah mursalah itu bukan hanya karena ia merupakan
maslahah tetapi juga karena syara’ yang mendukungnya.

1. Golongan yang Mempergunakan Maslahah Mursalah

Abdul Karim Zaidan mengatakan, Imam Malik dan pengikutnya demikian juga Imam
Ahmad memakai maslahah mursalah sebagai dasar hukum dalam menetapkan hukum. 28 Abu
Zahrah mengatakan bahwa Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok penggagas maslahah
mursalah sebagai dalil hukum.29 Sementara pendapat agak berbeda disampaikan oleh al- Ghazali
yaitu setuju dengan pemakaian maslahah mursalah sebagai dalil hukum dengan syarat maslahah
nya harus dharuriyat qath’iyat dan kulliyat. Sementara Wahbah al- Zuhaili mengatakan ulama yang
sependapat maslahah mursalah sebagai dalil hukum adalah ulama Malikiyah dan Hanabilah,
semetara mazhab Hanafiyah dapat menerima maslahah mursalah sebagai dalil hukum melalui
metode istihsan.

Berkaitan adanya beberapa pandangan di atas, Zakki al-Din Sya’ban mengatakan


bahwa mayoritas ulama sebenarnya menerima maslahah mursalah untuk dijadikan dalil hukum,
termasuk imam mazhab empat dan sebagian para ahli hukum yang mengikuti mazhab mereka.
Sehingga bukan hanya Imam Malik dan pengikutnya. Ia memberikan alasan bahwa walaupun para
imam tidak secara jelas menyatakan maslahah mursalah dijadikan dalil hukum dan hujah syariah
dalam berbagai kitab mereka, tetapi banyak dijumpai hasil ijtihad mereka yang tersebut dalam
berbagai kitab fiqh mereka yang berdasarkan maslahah mursalah. Kecuali yang sudah secara tegas
menolak seperti kelompok Zhahiriyah, dan sebagaian pengikut al- Syafi’i, seperti al-Amidi, dan
sebagian pengikut Imam Malik, seperti Ibn al-Najib. Pendapat yang disampakan Zaky al-Din
Sya’ban ini sejalan dengan pandangan al-Qarafi sebagaimana yang dikemukakan dalam tanqih al-
Fusul.

Ulama ushul fiqh yang sering menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum,
antara lain al-Syatibi dan al-Thufi. Pendapat al-Syatibi terhadap maslahah mursalah
disampaikannya dalam kitab al-Muwafaqat dan al-I’tisham. Dalam kitabnya, al-Muwafaqat, al-
Syatibi mengatakan bahwa setiap prinsip hukum Islam yang berkaitan dengan maslahah dan tidak
dibuktikan oleh suatu nash husus, tetapi ia sesuai dengan ketentuan syariah dan maknanya diambil
dari dalil-dalil syariah, maka maslahah itu benar dan dapat dijadikan dalil hukum dan hujjah
syariah.30

Ulama mazhab Hambali yang pendapatnya dianggap paling berani dan kontroversial
tentang maslahah mursalah adalah Al-Thufi. Pendapatnya tersebut dikemukakan dalam kitab al-
Arba’in al-Nawawi ketika ia mensyarahkan hadis ketiga puluh dua yang berbunyi la dharara wa la

28
Ramli, Muqaranah Mazahib fi al-Ushul, (Jakarta: Gaya Media Praam, 1999), hlm. 168.
29
Muhammad Abu Zahroh, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Darul-Arabi, tt), hlm. 280-281.
30
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,tt), juz.1, hlm. 16.
dhirar. Ia juga mengatakan bahwa maslahah mursalah dan maslahah mulghah dapat dijadikan dalil
dalam menetapkan hukum pada suatu masalah. Bahkan, maslahah kadangkala harus diutamakan
dari berbagai dalil hukum yang lain termasuk kategori nash maupun ijma’ . Pendangan al-Thufi ini
dinilai telah keluar dari kesepakatan ulama dan pendapatnya tersebut dinilai berbahaya bagi
pekembangan hukum Isam serta mengganggu keberadaan hukum Islam yang dibangun
berdasarkan nash dan ijma’.

Lebih lanjut tentang maslahah mursalah al-Thufi membangun argumentasinya dengan


empat asas. Pertama, maslahah adalah sebuah dalil hukum yang independen. Kedua, maslahah
mursalah adalah dalil hukum yang paling kuat. Ketiga, apabila terjadi pertentangan antara
maslahah dan nash atau ijma’, maka maslahah harus didahulukan melalui tahsis. Keempat,
penggunaan maslahah mursalah berlaku hanya dalam bidang muamalah dan adat, dan tidak
berlaku dalam bidang ibadah, begitu juga jinayah dan muqadarah yang ukuran dan ketentuannya
sudah ditentukan oleh syara’.

Beberapa argumentasi para ahli hukum Islam menggunakan maslahah mursalah


sebagai dalil hukum dan hujjah syariah adalah sebagai berikut:31

1) Al-Quran surat an-Nisa’ [1]: 59, yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu, itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat tersebut berisi tentang ajaran untuk kembali kepada al-Quran apabila terjadi
perselisihan terhadap suatu masalah dan juga kepada hadis dengan cara istidlal, hal ini
dikarenakan mungkin perselisihan tersebut disebabkan adanya problematika baru yang tidak
ditemukan dalam al-Quran maupun hadis. Dalam rangka mencari solusi untuk problematika ini,
disamping dapat dilakukan dengan menggunakan teori qiyas, dapat juga dengan menggunakan
teori lain, misalnya teori istislah atau maslahah mursalah.
2) Kisah Muadz bin Jabbal yang disampaikan dalam hadis nabi adalah sebagai berikut.Artinya:
”Bagaimanakah engkau (wahai Muad) menetapkan hukum terhadap suatu kasus hukum yang
disampaikan kepadamu? Muad menjawab, “Saya akan menetapkan atau memutuskan dengan
berdasarkan al-Quran. ”Kalau kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah (al-Quran)?
Jawab Muad, ”Ketetapan dan keputusan akan saya dasarkan pada hadis. ”Kemudian nabi
melanjutkan pertanyaannya, apabila engkau tidak mendapatkannya hadis? Muad menjawab,
”Saya akan berijtihad dan saya tidak akan menyimpang dari padanya.” Lantas nabi menepuk
dada Muadz seraya mengatakan. ”Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk
utusan Rasul-Nya atas sesuatu yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. 32
Dalam hadis di atas Rasulullah membenarkan dan memberi restu kepada Muad bin
Jabal untuk melakukan ijtihad apabila masalah yang akan diputuskan hukumnya tidak terdapat
dalam al-Quran dan al-Sunnah. Dalam ijtihad banyak metode yang dapat dipergunakan, bisa
dengan metode qiyas karena ada illat yang mempertemukannya. Apabila dengan metode qiyas
tidak dapat dilaksanakan, maka dapat dipergunakan metode lain seperti istislah atau maslahah

31
Ahmad Munif Suratma Putra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Maslahah Mursalah dan Relevansinya
dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 87.
32
Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952), hlm. 272.
mursalah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, restu
Rasulullah kepada Muad untuk melakukan ijtihad dengan menggunakan metode istislah atau
maslahah mursalah dapat dicontoh atau dijadikan dalil hukum dalam menetapkan suatu
hukum.

3. Pendapat Shahabat

Periode shahabat nabi masalah baru terus bermunculan. Dimana masalah ini belum
ada pada masa nabi. Dalam menyelesaikan masalah ini, para sahabat membuat konsensus,
yaitu menggunakan ijtihad dengan menggunakan maslahah mursalah sebagai metodenya.
Contoh ijtihad sahabat yang menggunakan maslahah mursalah antara lain pengangkatan
melalui proses penunjukan Umar bin Khattab oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai pengganti
setelahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq tidak menyalurkan zakat kepada muaallaf, tidak
melaksanakan hukum potong tangan seorang pencuri yang kelaparan, dan sebagainya.

4. Melaksanakan Konsep Maqashid al-Syariah

Kemaslahatan manusia merupakan tujuan diterapkannya hukum Islam. Kemaslahatan


terus berubah sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Sehingga banyak masalah
baru yang belum ada ketentuannya dalam al-Quran dan hadis. Metode qiyas dianngap kurang
relevan dalam memecahkan masalah baru tersebut, sehingga metode maslahah mursalah
yang kemudian digunakan.

Pemahaman akan maqashid al-syariah merupakan sesuatu yang penting dan utama
dalam melaksanakan ijtihad. Orang yang hanya memahami zhahir ayat dan terikat dengan
nash yang juziyyah akan mengakibatkan kekeliruan dalam ijtihadnya. Oleh karena itu,
maqashid al-syariah menjadi faktor pertama dalam keberhasilan berijtihad, hal ini
dikarenakan kepada landasan hukum itulah setiap persoalan dalam kehidupan manusia
dikembalikan. Baik masalah yang belum ada nash yang menjelaskan, maupun dalam kaitannya
menetapkan hukum karena adanya perubahan waktu dan tempat.

Maqashid al-syariah dan maslahah mursalah saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.
Muhammad Muslehuddin berpendapat bahwa maslahah mursalah terkait dengan konsep
syariat itu diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat dan bertujuan mendatangkan
kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan. 33 Dengan adanya pertimbangan maqashid
al-syariah yang jelas, pemakaian teori istislah dapat digunakann dengan pemahaman
maqashid al-syariah itu sendiri.

2. Kelompok yang Tidak Menggunakan Maslahah Mursalah

Kelompok lain yang tidak menggunakan maslahah mursalah sebgai dalil hukum dalam
melaksanakan ijtihad adalah ulama dari madzhab Hanafi, sebagian madzhab Syafii dan madzhab
33
Muhammad Muslihuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist a Comparative Study of Islamic
Legal System, alih bahasa Wahyu Asmiin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 127-128.
Zhahiri. Madzhab Zhahiri merupakan yang paling menentang atas kehujjahan maslahah mursalah
sebagai dalil hukum.34Mazhab Imamiyah menolak qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah dengan
jalan aulawiyah (mengutamakan). Ini karena mereka menjadikan tafsir dan ijtihad para imam
mereka pada posisi nash syari’ah. Mereka menganggap para imam tersebut ma’shum, akibatnya
segala keputusannya dinilai sebagai sesuatu yang benar.

Argumen yang disampaikan oleh kelompok yang tidak mempergunakan maslahah


mursalah sebagai dalil hukum dalam merumuskan suatu hukum adalah sebagai berikut:

1) Dalil-dalil kategori diragukan


Ketika maslahah mursalah dijadikan dalil hukum berarti menetapkan hukum
berdasarkan terhadap sesuatu yang masih diragukan, hal ini karena maslahah mursalah itu ada
yang dibenarkan, tidak dibenarkan bahkan ada juga yang ditolak oleh syara’. Dengan demikian
menetapkan hukum dengan berdasarkan maslahah mursalah berarti telah menetapkan hukum
terhadap dua kemungkinan dengan tanpa adanya dalil yang mendukung.
Pandangan di atas tidak dapat diterima oleh kelompok yang menggunakan maslahah
mursalah sebagai dalil hukum. Mereka mengatakan tidak benar apabila dikatakan bahwa
memandang maslahah mursalah sebagai hujjah syariah berarti telah mendasarkan hukum
Islam pada suatu yang tidak pasti atau keraguan. Alasannya, maslahah mursalah itu ditetapkan
berdasarkan banyak dalil sehingga membuahkan dugaan kuat atau zhan, mengerjakan sesuatu
berlandaskan zhan adalah diperbolehkan, karena fiqh semuanya membicarakan tentang zhan
ini. Disamping itu juga tidak benar apabila menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil berarti
memilih dua kemungkinan tanpa didukung oleh dalil, sebab jika diadakan perbandingan antara
maslahah yang dibenarka oleh agama atau syara’ dengan maslahah yang ditolak oleh syara’
maka yang paling banyak adalah maslahah yang dibenarkan oleh syara’. Sehingga dengan
demikian, apabila ada maslahah tidak berdasarkan suatu dalil, maka yang benar tentu
maslahah itu harus diidentikkan dengan yang banyak, bukan yang sedikit.

2) Hukum Islam Dianggap Hukum yang lengkap dan Sempurna


Dengan anggapan ini berarti sudah tidak perlu lagi menjadikan maslahah mursalah
sebagai dalil hukum. Karena apabila masih menggunakan maslahah mursalah itu berarti
mengaggap masih terdapat kekurangan dalam hokum Islam. Penggunaan konsep maslahah
mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum akan berdampak bagi terjadinya perbedaan
hukum Islam disebabkan perbedaan situasi dan kondisi. Artinya ini berati menafikan
universalitas, keluasan dan kuluwesan hukum Islam.
Pandangan golongan tersebut dibantah oleh kelompok yang menggunakan metode
maslahah mursalah sebgai dalil hukum. Mereka berpendapat bahwa hukum Islam memang
sudah lengkap dan sempurna, tetapi itu hanya pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip
hukumnya. Jadi bukan berarti semua sudah ada ketentuan hukumnya. Hal ini terbukti banyak
terdapat masalah-masalah baru yang hukumnya tidak terdapat dalam al-Quran dan hadis,
tetapi hasil dari proses ijtihad dengan memakai metode maslahah mursalah yang sesuai
dengan maqashid al-syariah. Dengan demikian hukum Islam tidak akan ketinggalan zaman
karena mampu menjawab segala persoalan yang muncul.
3) Merusak kemurnia hukum Islam
34
Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Ishtislah wa al-Mashalih al-Mursalah fi al-Syari’ah al-Islamiyah wa ushul al-
Fiqh, terj. Ade Dedi Rahatana, (Jakarta: Riora Cipta,2000), hlm. 94.
Menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum sama artinya dengan telah
merusak kemurnian Islam dengan menuruti nafsu melalui dalih maslahah. Sehingga melalui
cara ini terdapat hukum Islam yang berangkat dari subyektifitas seorang mujtahid semata.
Karena zaman terus berubah dan semakin maju, konsekuensinya akan ada banyak hal baru
oleh hawa nafsu dianggap maslahah. Padahal secara ukuran agama tindakan menuruti nafsu
akan berdampak kepada kerusakan. Tentu yang demikian ini tidak dibenarkan.
Golongan yang menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum membantah
pandangan di atas. Mereka menganggap bahwa pandangan tersebut di atas adalah berlebihan
dan bertentangan dengan karakter hukum Islam yang sangat perhatian terhadap kemaslahatan
35
. Justru sebaliknya dengan mempergunakan maslahah mursalah menunjukkan keluasan
hukum Islam. Bahkan dalam sejarahnya, hampir seluruh ijtihad yang dilakukan oleh para
sahabat banyak yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan maslahah mursalah.36 Sehingga
dapat dikatakan bahwa maslahah merupakan alternatif terbaik dari metode ijtihad. 37
Jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya dalam menetapkan hukum semua imam mazhab
pada dasarnya menggunakan maslahah mursalah. Kalau ada perbedaan itu Hanya terletak
pada tataran metode ijtihad yang dipakai dan frekwensi dalam menggunakannya. Sehingga
dapat dikatakan pada prinsipnya semua sama, yaitu mencapai kemaslahatan manusia dunia
dan akhirat. Sangat disayangkan apabila masih ada mujtahid yang tidak menggunakan
maslahah mursalah, karena maslahah mursalah merupakan metode terbaik dalam menggali
hukum Islam. Walaupun demikian penggunaan maslahah mestilah dilakukan dengan hati-hati
dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati oleh imam mazhab.
Dalam rangka pembaharuan hukum Islam, maslahah mursalah perlu digalakkan.
Dengan mempergunakan maslahah mursalah akan banyak problematika baru yang dapat
diselasaikan, akibatnya akan muncul hukum baru. Dari banyaknya hukum baru yang
merupakan respon dari perkembangan zaman yang terus berubah, hukum Islam akan terus
eksis. Seperti disampaikan Zakaria Bari, 38 untuk merespon adanya problem-problem terkini
yang terus bermuculan serta tidak dijumpai keterangan yang jelas dari nash, jalan yang harus di
tempuh dalam rangka menjawab permasalahan baru tersebut adalah membuat solusi
alternatif, diantaranya dengan menggunakan metode maslahah mursalah. Berpegang pada
maslahah mursalah merupakan sesuatu yang tepat, karena hal ini sejalan dengan tujuan
umum syariah dan keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia di
setiap zaman dan tempat.
Walaupun maslahah mursalah dapat digunakan sebagai dalil hukum, tetapi perlu
kehati-hatian dalam penggunaannya. Kriteria yang disepakati hendaknya dipegang teguh
dalam aplikasinya. Persyaratan menggunakan maslahah mursalah dalam menetapkan hukum
sebagaimana yang disampaikan al-Ghazali, adalah sebagai berikut: pertama, maslahah itu
sejalan dengan tindakan syara’. Kedua, tidak bertentangan dengan al-Quran, hadis, dan ijma’.
Ketiga, berstatus qath’i atau zhanni yang mendekati qath’i. Keempat, menempel level dharury
atau hujjah yang setingkat dengan dharury. Kelima, dalam kasus tertentu diperlukan
persyaratan qath’iyyat, dharuriyat dan kulliyat. Disamping itu, perlu diperhatikan apa yang
35
Peunoh Dally, “Menelusuri Pemikiran Maslahat dalam Hukum Islam”, dalam Munawwir Syadzali, dkk,
Polemik Reaktuallisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 151-153.
36
Abdul Halim, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 280.
37
Asaffri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syariah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.
167-168.
38
Zakaria al-Bari, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Ittihad, 1975), hlm. 133.
disampaikan oleh para ulama tentang berlebih-lebihan dalam memandang maslahah, bahkan
terkadang bersifat mendahulukan maslahah dari pada nash yang jelas. Hal ini perlu dijauhi,
karena suatu maslahah yang tidak sesuai dan bertentangan dengan nash bukan merupakan
maslahah tetapi sekedar klaim dari penyeru maslahah saja. Demikian juga peringatan supaya
jangan mengklaim sesuatu dengan menyebutkan kemaslahatan secara tergesa-gesa, sehingga
berani meninggalkan nash begitu saja, padahal setelah diteliti ternyata apa yang diangap
maslahah itu hanya merupakan maslahah semu belaka, bukan maslahah yang hakiki yang bisa
membawa kemanfaatan kepada manusia.

E. Maslahah Mulghah dalam Pandangan Mazhab Rasional


Maslahah mulghoh merupakan maslahah yang bertentangan dengan ketetapan
hukum Islam dan bertentangan dengan al-Quran, hadis dan ijma’. Contoh kasus Abdul Raman
Ibnu Hakim, seorang penguasa di Andalusia yang telah berhubungan badan dengan istrinya di
siang hari pada saat Ramadhan. Setelah sadar terhadap kesalahan yang telah diperbuat, ia
mengumpulkan para ulama untuk meminta fatwa tentang kafarat apa akibat perbuatannya
tersebut. Ulama bernama al-Qodhi Yahya bin Yahya al-Laits menetapkan bahwa kafarat yang
cocok untuk Abdul Rahman Ibnul Hakim berupa mengerjakan puasa selama dua bulan
berturut-turut. Qodhi Yahya bin Yahya al-Laits memutuskan hukum tersebut berdasarkan
kemaslahahatn, ia tidak memilih mendahulukan memerdekakan budak sebagaimana yang
telah ditetapkan nash. Menurutnya pilihan memerdekakan budak sahaya sebagai kafarat tidak
dapat bermakna menghormati bulan Ramadhan, ini dikarenakan bagi seorang raja tentu sangat
mudah untuk membebaskan seorang budak karena kemampuan ekonominya. Oleh sebab itu,
kaffarat berupa puasa selama dua bulan setara berturut-turut adalah kafarat yang dianggap
pilihan yang terbaik dan mampu mencapai kemaslahatan sebagaimana tujuan utama hukum
Islam.
Maslahah mulghah yang disampaikan dalam kasus tersebut oleh banyak fuqaha
diketegorikan maslahah yang dibatalkan oleh syara’, karena tidak sesuai dengan hirarki
kafarat yang terdapat dalam di nash. Mustafa Said Al-Khind mengatakan bahwa Imam Malik
dalam hal ini berpendapat boleh memilih diantara tiga macam kafarat yang disebutkan oleh
nash, tidak diharuskan sesuai urutan.39 Keputusan menjatuhkan kafarat yang telah dilakukan
oleh Yahya bin Yahya al-Laits adalah suatu keputusan yang berdasarkan kemaslahatan dan itu
dinilai lebih tepat dan adil. Sikap menolak maslahah mulghah sebagaimana dilakukan jumhur
ulama dari nash memang beralasan, akan tetapi kalau dilihat dari dari segi tujuan agama,
fatwa tersebut layak untuk dipertimbangkan, yaitu apakah menetapkan hukum yang
berhubungan dengan hal tersebut harus secara berurutan atau boleh memilih.
Najmuddin al-Tufi mendahulukan maslahah dari nash yang bersifat qath’i jika antara
keduanya tidak sama atau bertentangan. Lebih lanjut ia menyampaikan pandangan dan
hujjahnya ketika mengutip hadis arba’in karya Imam Nawawi dalam hadis yang artinya: “Tidak
boleh kemadharatan dan dimudharatkan”. Diantara pendapatnya yang cukup populer adalah
yang terkait dengan maslahah sebagai dalil hukum. Ia berpendapat walaupun mayoritas ulama
tidak memperbolehkan maslahah mulghah sebagai dalil hukum, tetapi menurutnya maslahah
mulghah dapat dijadikan dalil hukum. Bahkan maslahah mulghah itu dapat didahulukan dari
dalil-dalil lain apabila maslahah menghendakinya. Ia hanya mempersyaratkan satu hal dalam
39
Musthafa Said al-Khind, Ashr al-Ihtilaf fi al-Qawaid al-Ushul fi Ikhtilal al-Fadaha, (Kairo-Mesir: Muassasah al-
Risalah, 1986), hlm. 551-552.
menggunakan maslahah, hukum yang akan ditetapkan berlandaskan maslahah merupakan
hukum tentang muamalah, bukan tentang ibadah, muqaddarat dan sejenisnya. Al-Tufi tidak
mensyaratkan harus berada dalam tingkatan dharuriyat, juga tidak berada pada tingkatan
hajjiyah dan amanah.
Dalam pandangan al-Thufi, maslahah mempunyai empat prinsip, yaitu; pertama, akal
dapat menemukan dan membedakan antara maslahah dengan mafsadah. Dalam artian bahwa
akal tanpa bantuan nash dapat menentukan baik dan buruk yang diperlukan manusia, akan
tetapi hal ini hanya dalam bidang muamalah dan adat saja, tidak dalam bidang ibadah. Kedua,
maslahah merupakan dalil yang independen dalam menetapkan hukum, ia tidak tergantung
pada petunjuk nash, tetapi cukup pada hukum adat saja. Ketiga, cakupan operasional
maslahah hanya dalam bidang muamalah dan adat, tidak dalam bidang muqadadat. Keempat,
maslahah adalah dalil hukum yang paling kuat. Prinsip ini adalah dasar yang dianggap paling
penting dalam teori maslahah al-Tufi.40
Pendapat al-Thufi tersebut dikecam oleh jumhur fuqaha. Mereka menganggap apa
yang disampaikan oleh al-Thufi terlalu maju, dalam menentukan maslahah terlalu berani dan
tidak memperhatikan aturan-aturan yang telah ada. Ini akan berdampak buruk dan akan
membahayakan eksistensi hukum Islam. Akan banyak ijtihad yang dilakukan ulama berlindung
dengan maslahah yang ujung-ujungnya akan berdampak terjadi kekacauan hukum. Pada sisi
yang lain pandangan kontroversial Thufi terus menerus digulirkan oleh sebagian ulama untuk
menyelesaikan problem-problem kontemporer, ini disebabkan banyaknya problem
kontemporer yang dihadapi manusia kejelasan hukumnya belum ditunjuk oleh nash. Sejalan
dengan pembaharuan Hukum Islam yang sedang digalakkan, peranan teori maslahah sangat
menentukan, sehingga hukum Islam diharapkan selalu up to date.
Pemikran al-Thufi muncul dan berkembang seiring dengan berkembangnya pemikiran
dari madrasah al-ra’yu yang berpusat di Kufah (Iraq). Asal - usul gerakan al-ra’yu ini ditegaskan
oleh al-Nabhan bahwa Abdullah Ibn Mas’ud adalah pengagum sistem berpikirnya Umar Ibn
Khattab dan pengikutnya, ketika ia pindah ke Iraq ia membawa manhaj Umar ini dan dari
sinilah berkembangnya gerakan al-ra’yu.41 Pemikiran dari madrasah al-ra’yu ini dikembangkan
oleh fuqaha al-sittah, yaitu Alqamah Ibn Qais, al-Aswad Ibn Yazid al-Nakha’i, Masruq Ibn al-
Ajda’, Ubaidah Ibn Amr, Syuraih Ibn Harits, dan Al-Harits al-A’wan. Selain itu tokoh mazhab
yang dianggap sangat mengutamakan ra’yu adalah Abu Hanifah, dan beliau sangat ditentang
oleh tokoh-tokoh madrasaah ahli hadis. Mereka menganggap Abu Hanifah terlalu banyak
menggunakan al-ra’yu dalam menetapkan suatu hukum. Hal ini dilakukan karena terlalu
banyak mengikuti hawa nafsu. Oleh sebab itu banyak para fuqaha yang mencelanya,
diantaranya adalah Imam Bukhari dan Muslim.
Gerakan al-ra’yu yang berpusat di Kufah kemudian berkembang ke Aljazair, Tunisia ,
Oman dan beberapa negara Islam yang lain, membangun tesis pokok mereka atas asumsi
dasar; pertama, nash-nash syariah bersifat terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa baru terus
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pada peristiwa yang tidak ada nashnya, harus dilakukan
ijtihad berdasarkan al-ra’yu sebagaimana ucapan Muad bin Jabbal. Kedua, setiap hukum syara’

40
Yusdanni, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum, Kajian Konsep Hukum Islam Najm al-
Din al-Thufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 70-72.
41
Muhammad Faruq al-Nabhan, al-Madkhal al-Tasyri’al-Islami, (Beirut: Dar al-Qalam, 1981), hlm. 153. Lihat
juga Jalaluddin Rahmat, “Ijtihad sulit dilakukan, tetapi Perlu”, dalam Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan,
1992),hlm. 186.
dilakukan dengan ‘illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang ahli
hukum adalah menemukan ‘illat itu. Dengan dua konsep dasar ini diharapkan hukum Islam
dapat menyelesaikan segala problematika yang timbul saat ini. Slogan-slogan Islamisasi sistem
politik, ekonomi, budaya, keilmuan, dan sebagainya baru dapat diwujudkan dengan membuka
kembali pintu ijtihad dengan sistem yang komprehensif dan rasional.
Dalam pemikiran mazhab rasioanal bahwa suatu kemestian dalam kehidupan modern
ini untuk memperluas cakupan ijtihad dengan cara memperkenalkan dipergunakannya
metode-metode kondusif dan rasional dalam perumusan hukum- hukum baru. Apabila hukum
Islam ingin tetap eksis dan aplikatif di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, maka
pintu ijtihad harus dibuka bagi para ahli dari berbagai disiplin ilmu dalam rangka memberikan
kontribusi pemikirannya dalam perumusan hukum baru, sehingga sejalan dengan tujuan
diturunkannya syariat oleh Allah, dan mampu mengakomodasi berbagai realitas sosial dari
kehidupan dewasa ini. Ini dilakukan dengan cara kembali kepada prinsip-prinsip dasar ajaran
Islam, dengan memahami dan mempelajari hazanah intelektual dengan sikap kritis dan tidak
dogmatif.
Berkaitan dengan pandangan di atas, Hasan Turabi menyatakan bahwa qiyas
tradisional yang digariskan oleh para fuqaha terdahulu sudah tidak lagi memenuhi kebutuhan
kehidupan masyarakat modern, karena jangkauannya sangat tebatas dan sifatnya kaku. 42
Untuk keperluan yang lebih umum dan luas, maka qiyas al-fitri lah yang lebih sesuai dengan
kebutuhan merumuskan hukum saat ini, karena qiyas tersebut tidak terikat dengan syarat-
syarat yang ditetapkan dalam menentukan hukum Islam. Lebih jauh Hasan Turobi mengatakan
bahwa qiyas al-fitri yang jaga disebut dengan istilah qiyas wasi’ operasionalnya adalah dengan
cara mempelajari sejumlah ayat-ayat al-Quran dan hadis, kemudian dirumuskan beberapa
tujuan yang husus atau kemaslahatan tertentu yang dituju oleh syara’ dalam hukum,
selanjutnya tujuan-tujuan dan kemaslahatan yang husus tersebut diaplikasikan pada kondisi
baru dalam perumusan hukum-hukumnya. Qiyas demikian oleh Hasan Turabi disebut dengan
fiqh mashalih ammah atau fiqh yag didasrkan pada kemaslahatan umum.
Banyak contoh dari hasil ijtihad yang dirumuskan berdasarkan konsep maslahah
ammah hususnya yang berkaitan dengan maslahah mulghah, antara lain tidak memberikan
zakat kepada muallaf, tidak menerapkan hukum pengasingan bagi pezina, harta rampasan
perang yang belum dibagi, menumpuk atau menyimpan barang kebutuhan pokok dalam depot
logistik dengan tujuan supaya harga-harga tetap stabil, ketentuan pembagian waris dalam al-
Quran yang menyatakan 2 untuk laki-laki dan 1 untuk perempuan, dalam situasi dan kondisi
tertentu, misalnya karena kondisi perempuan miskin dan lemah dirubah menjadi sama
bagiannya dengan laki-laki atau bahkan perempuan mendapat bagian lebih banyak,
mengalihkan harta wakaf kepada yang lebih bermanfaat, dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa contoh di atas , maka patutlah maslahah mulghah dapat
dijadikan alternatif bahkan dikembangkan sebagai dalil dalam menetapkan hukum sesuai
dengan kebutuhan, kondisi dan situasi setempat dengan pelaksanaannya yang ketat dan
memang benar-benar untuk kebutuhan masyarakat. Dalam sisi yang lain para mujtahid
diharapkan tetap memprioritaskan dalil-dalil nash untuk menetapkan hukum, tetapi apabila
dalil nash tersebut tidak ditemukan dalam al-Quran dan hadis atau sudah ada tetapi tidak
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat saat ini, maka atas dasar
42
Naer Yuslem, “Gagasan Hasan Turabi tentang Tajdid Ushul al-Fiqh” Dalam Analytica Islamica, Vol. 3, No. 1
Mei 2001, (Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara,2001), hlm. 112.
maslahat dan maqashid al-syaria’ah tidak ada salahnya menggunakan teori maslahah mulghah
sebagai dalil hukum.

Kesimpulan

Teori maslahah merupakan inti maqashid al-syariah dapat dijadikan sebagai alternatif
terbaik untuk mengembangkan teori-teori ijtihad, dimana al-Quran dan hadis harus dipahami
melalui metode ijtihad dengan memberi penekanan pada dimensi maslahah. Teori maslahah
merupakan wahana bagi pembaharuan hukum. Melalui teori ini para ulama fiqh memiliki
landasan dalam memecahkan masalah hukum yang inheren di dalam sistem hukum yang
didasarkan pada al-Quran dan hadis yang nota bene mengandung dasar materiil hukum yang
terbatas mengenai urusan kehidupan dalam situasi dan kondisi lingkungan yang terus berubah.
teori maslahah memberi legitimasi bagi aturan hukum baru dan memungkinkan para ulama
fiqh untuk mengelaborasi konteks kasus-kasus yang tidak ditetapkan oleh al-Quran dan hadis.
Esensi maslahah yang hendak dicapai oleh hukum Islam adalah menegakkan dan
memelihara maslahat yang bersifat integral dan holistik. Yaitu meliputi keserasian antara
maslahat dunia – akhirat, maslahat individu dan maslahat umum, perpaduan antara
kepentingan yang bersifat khusus dan yang bersifat umum. Dengan demikian dapat ditegaskan
bahwa teori maslahah yang menjadi jiwa hukum Islam tidak dapat disamakan dengan
utilitiarianisme dan pragmatisme.
Dengan menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil hukum berdampak semakin
banyaknya masalah baru yang dapat dipecahkan dan dengan demikian akan banyak pula
hukum baru yang dihasilkan. Tetapi penggunaan maslahah mursalah harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu yang sudah ditentukan oleh para imam mazhab. Semetara
itu pemakaian maslahah mulghah sebagai dalil hukum menimbulkan perdebatan, tetapi dalam
beberapa kasus dan kondisi tertentu pemakaian maslahah mulghah layak dipertimbangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz ibn Abd al-Rahman ibn Ali ibn Rabiah, ‘Ilm maqashid al-syar’i, (Riyad:
Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, 2002).
Abdul Halim, Reformasi Hukum Islam.. di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
Abdullah Ahmed an-Na’im, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan
Syariah, terj.Sri Murniati, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007).
Abu Daud, Sunan Abu Daud, ( Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952).
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul, (Mesir: Dar al-Fikr, tt),
juz 1.
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Tahqiq wa Ta’liq,
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, (Beirut: Muassasat al-Risalah, 1997), juz 1.
Ahmad al-Raisuni, al-Ijtihad bain al-Nash, wa al-Maslahah wa al-Waqi’, dalam Ahmad al-
Raisuni dan Muhammad JamalBarut, al-Ijtihad:al-Nash wa al-Waqi’ wa al-
Maslahah. (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
Ahmad al-Raisuni, al-Ijtihad bain al-Nash, wa al-Maslahah wa al-Waqi’, dalam Ahmad al-
Raisuni dan Muhammad JamalBarut, al-Ijtihad:al-Nash wa al-Waqi’ wa al-
Maslahah. (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
Ahmad Munif Suratma Putra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali, Maslahah Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2002).
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,tt), juz.1.
Asaffri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996).
Hamadi al-Ubaidi, Ibn Rusyd wa Ulum al-Syariah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Araby, 1991).
Hasbi ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,2001).
Husain Hamid Hisan, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Nahdhah
al-Arobiyah, 1971).
Ismail Ibn Hammad al-Jauhari, al-Sihah Taj al-Lughah wa Sihah al-Arabiyah, (Beirut: Dar
al-Ilm li al-Malayin, 1956), Juz 1.
‘Izzuddin Ibn Abd Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-An’am, (Kairo: Maktabah al-
Kulliyat al-Azhariyah, 1994), juz1.
Jalaluddin Rahmat, “Ijtihad sulit dilakukan, tetapi Perlu”, dalam Ijtihad Dalam Sorotan,
(Bandung: Mizan, 1992).
Muhammad Musa Tuwana, al-Ijtihad wa Mada Hajaatina ilaihi fi Haz al-‘Ashr, (Kairo: Dar
al-Kutub al-Hadisah, 1971).
M. Yahya Harahap,"Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam; Memposisikan Abstraksi
Hukum Islam", dalam Cik Hasan Bisri, (ed), Kompilasi Hukum Islam dan
Pengadilan Aama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999).
Masykuri Abdillah, dkk. Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Sebuah Pergulatan yang
Tak Pernah Tuntas, (Jakarta: Renaisan, 2005).
Muhammad Hashim .. Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective, (Kuala Lumpur-
Malaysia: Ilmiah Publisher, 2002).
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Arabi, tt).
Muhammad Athok Mudzhar, Fatwas of the Council of Indonesian ‘Ulama: A Study of
Islamic Legal Thought in Indonesian 1975-1988, (Jakarta: INIIS, 1993).
Muhammad Faruq al-Nabhan, al-Madkhal al-Tasyri’al-Islami, (Beirut: Dar al-Qalam, 1981)
Muhammad Muslihuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalist, (New Delhi-India:
Markazzi Maktaba Islamy, 1985).
Muhammad Muslihuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist a Comparative
Studi of Islamic Legal System, alih bahasa Wahyu Asmiin, (Yogyakarta:Tiara
Wacana, 1991).
Muhammad Said Ramadhan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-syariah al-Islamiyah,
(Beirut: Dar al-Muttahidah dan al-Muassasah al-Risalah,2000).
Muhammad Thahir Azhari, Negara Hukum: Studi tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992).
Musthafa Ahmad al-Zarqa, al-Ishtislah wa al-Mashalih al-Mursalah fi al-Syari’ah al-
Islamiyah wa ushul al- Fiqh, terj. Ade Dedi Rahatana, (Jakarta: Riora
Cipta,2000).
Musthafa Said al-Khind, Ashr al-Ihtilaf fil Qawaid al-Ushul fi Ikhtilal al-Fadaha, (Kairo:
Muassasah al-Risalah, 1986).
Naer Yuslem, “Gagasan Hasan Turabi tentang Tajdid Ushul al-Fiqh” Dalam Analytica
Islamica, Vol. 3, No. 1 Mei 2001, (Program Pascasarjana IAIN Sumatera
Utara,2001).
Najm al-Din al-Thufi, Syarh al-Arbain al-Nawawiyah, dalam Musthafa Zaid, al-Maslahah fi
al-Tasyri’ al-Islamy wa Najm al-Din al-Thufi,( t.tp: Dar al-Fikr al-Araby, 1964).
Peunoh Dally, “Menelusuri Pemikiran Maslahat dalam Hukum Islam”, dalam Munawwir
Syazali, dkk, Polemik Reaktuallisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988).
Ramli, Muqaranah Mazahib fi al-Ushul, (Jakarta,:Gaya Media Praam, 1999).
Retno Lukitto, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi Tentang Konflik & Resolusi dalam
Sistem Hukum di Indonesia, terj. Inyiak Ridwan Munzir, (Jakarta: Pustaka
Alvaber, 2008).
Rifyal Ka'bah, Penegakan Syariat Islam, (Surabaya: Khairul Bayan,2004).
Thahir ibn Asyur, Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, (Tunis: Dar Suhnun, Kairo: Dar al-
Salam, 2006).
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut: Darul Fikr al-Muashir, 1986).
Yusdanni, Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum, Kajian Konsep Hukum
Islam Naj al-Din al-Thufi, (Yogyakarta: UII Press, 2000).
Yusuf Qardhawi, Min Aiji Shahwatin Tujaddidu al-Din wa Tanhadhu bi al-Dunya,
Terjemahan dengan judul Fiqih Tajdid dan Shahwah Islamiyah, (Jakarta:
Islaamuna Press, 1997).
Zakaria al-Bari, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-Ittihad, 1975).
Zakky al-Din Syakban, Ushul Fiqh al-Islamy, (Mesir: Matba’ah Dar al-Ta’lif, tt).

Anda mungkin juga menyukai