Anda di halaman 1dari 14

STUDI KRITIS TERHADAP ALIRAN-ALIRAN TASAWUF

PROBLEMATIKA DALAM ALIRAN TASAWUF AKHLAKI, PROBLEMATIKA


DALAM TASAWUF IRFANI, PROBLEMATIKA DALAM TASAWUF FALSAFI
Makalah ini disusun untuk Memenuhi tugas presentasi mata kuliah akhlak tasawuf

Dosen Pengampu: Drs. H. Ani Hafni Zahra FL M.Pd.I

Data penyusun:
Hafizh Andriyana 2203004120
Muhammad Gani Ertrijani 220300

Fakultas Tarbiyah
Program Studi Pendidikan Agama Islam
Institut Agama Islam Darussalam
JL. Kyai Haji Ahmad Fadlil, Cijeungjing, Dewasari, Kec. Ciamis,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat 4627
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat,
taufik dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah “Studi Kritis terhadap
Aliran-aliran Tasawuf”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Hj.
Ani Hafni Zahra FL M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Akhlak tasawuf
serta tidak lupa kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan studi kritis tentang Aliran-
aliran tasawuf. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya. Penulis menyadari makalah ini jauh dari
kata sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat
penulis butuhkan untuk perbaikan kedepannya.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih banyak.

Ciamis, 01/Juni/2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tasawuf yang di kalangan Barat dikenal dengan mistisme Islam merupakan salah
satu aspek (esoteric) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran
adanya komunkasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Esensi
tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW. Tasawuf
merupakan hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti
fiqh dan ilmu tauhid. Sehingga ilmu tasawuf tidak terlepas dari berbagai kritikan dari
berbagai golongan yang menentangnya.
Para penentang ini, menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal
dari Rasulullah SAW. dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka
menganggap bahwa ajaran tasawuf ini merupakan ajaran sesat dan menyesatkaN.
Disini kami akan mencoba membahas tentang studi kritis terhadap ilmu tasawuf

1.2 Rumusan Masalah

Problematika ajaran tasawuf akhlaki, falsafi dan irfani, kami sepakati membuat
beberapa pertanyaan yang dapat menjadi jawaban dari problematika ajaran-ajaran
tasawuf, pertanyaan tersebut yaitu:
1. Apa saja prinsip-prinsip dasar ajaran tasawuf yang menyimpang dari
petunjuk al-Qur’an?
2. Bagaimana kritik terhadap aliran-aliran dalam ajaran tasawuf?
3. Apa saja contoh penyimpangan dan kesesatan ajaran tasawuf?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui prinsip-prinsip dasar ajaran tasawuf yang menyimpang dari


petunjuk al-Qur’an.
2. Mengetahui kritik terhadap aliran-aliran dalam ajaran tasawuf.
3. Mengetahui contoh penyimpangan dan kesesatan ajaran tasawuf.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang dari Petunjuk Al-

Qur’an

Para ahli tasawuf memiliki prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami
dan menjalankan agama ini. Metode tasawuf yang dikenal masyarakat luas, yang
banyak orang mengira bahwa metode ini merupakan yang paling efektif untuk
mencapai hidayah dan keselamatan. Mereka membangun keyakinan sendiri dengan
istilah dan simbol-simbol, dapat kita simpulkan sebagai berikut.
2.1.1 Mereka membatasi ibadah hanya pada aspek mahabbah (kecintaan) saja
dan mengesampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek khauf (rasa
takut) dan raja’ (harapan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“kebanyakan orang yang menyimpang (dari jalan Allah SWT.), orang-
orang yang mengikuti ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah
yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari al-Qur’an,
terjerumus dalam kesesatan, seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani
yang mengaku-ngaku mencintai Allah SWT, tetapi bersamaan dengan itu,
mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk ber-mujahaddah
(bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan
penyimpangan lainnya.

2.1.2 Umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak


berpedoman pada al-Qur’an, tetapi yang mereka jadikan pedoman adalah
bisikan jiwa, perasaan, dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan mereka,
berupa thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang
mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mengambil pedoman dari cerita-
cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadis-hadis
palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.

2.1.3 Termasuk doktrin ajaran tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan
menetapi zikir dan wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru
thariqat mereka.

2.1.4 Adapun zikir yang tercantum dalam al-Qur’an mereka namakan dengan
“zikirnya orang-orang umum”, kalimat (La Ilaha Illallah), adapun
“zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya
orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata “Huwa/Dia.”[1]

Kritik Terhadap Praktik Tasawuf Secara Umum

Selain kritik mengenai sumbernya, pengamalan keseharian penganut faham tasawuf


juga tidak lepas dari kritikan, di antara yang menjadi permasalahan adalah sebagai
berikut:
1. Kasyf (pencerahan genostik) menggantikan pengetahuan. Di bawah tasawuf,
dunia muslim meninggalkan komitmennya untuk mencari pengetahuan ilmiah yang
rasional, dengan upaya mendapatkan visi pengalaman mistis, kaum muslim
mengabaikan pertimbangan dan pembuktian secara kritis dari berbagai alternatif
terhadap pernyataan, amalan dan otoritarian dari syekh (pemimpin) sufi.
2. Karamah (mukjizat kecil), yang diajarkan tasawuf hanya mungkin dalam
keadaan pernyatuan atau komuni dengan Tuhan. Karamah yang dibenarkan tasawuf
sebagai anugerah yang dilimpahkan Tuhan kepada orang yang sangat saleh, merusak
perhatian muslim terhadap hubungan sebab-akibat alamiah dan mengajarkannya
untuk mencapai hasil melalui metode spiritualistik.
3. Taabbud, kerelaan untuk meninggalkan aktivitas sosial dan ekonomi untuk
melakukan ibadah spiritualistik sepenuhnya, dan komitmen untuk mencurahkan
segenap energi untuk berdzikir menjadi tujuan utama. Padahal, selain memerintakan
pelaksanaan lima rukun Islam, Islam juga memerintahkan pelaksanaan khilafah dan
amanat Tuhan.
4. Tawakal, kepasrahan total pada faktor spiritual untuk menghasilkan hasil-hasil
empiris, menggantikan keyakinan muslim terhadap kemujaraban yang pasti dari
hokum Tuhan dalam alam dan dari keharusan mutlak campur tangan manusia
kedalam rangkaian (nexus) sebab-akibat alam, jika tujuan yang diproyeksikannya
akan direalisasikan.
5. Taat, kepatuhan mutlak dan total kepada syekh dari salah satu tarekat sufi
menggantikan tauhid, pengakuan bahwa tak ada Tuhan, kecuali Allah. Pencapaian
pengalaman mistis meniadakan syariat atau pelaksanaan kewajiban sehari-hari dan
kewajiban seumur hidup. Ini, bersama metafisika panteistik tasawuf, mengaburkan
semua gagasan etika Islam.
Gejala-gejala ini merusak kesehatan masyarakat muslim selama paruh masa seribu
tahun, sejak jatuhnya Baghdad ke tangan kaum Tartar pada 655 H/1257 M, sampai
munculnya Wahhabiyah, gerakan pembaharuan antisufi pertama, pada 1159/1747. Di
bawah pesona sufi, orang Muslim menjadi apolitis, asocial, amiliter, anetika, dan
tidak produktif. Mereka tidak peduli umat (persaudaraan dunia di bawah hukum
moral), menjadi individualis, dan menjadi egois yang tujuan utamanya adalah
keselamatan diri, terserap dalam keagungan Tuhan. Dia tak bergeming dengan
kesengsaraan, kemiskinan, dan keberataan masyarakat sendiri, serta nasib umat dalam
sejarah.

Rekonstruksi terhadap Tasawuf

Menurut Sayyid Nur bin Sayyid Ali, kritik terhadap tasawuf berlatar belakang insiden
jejak yang terjadi pada permulaan abad ke-4 H, ketika aliran-aliran kebatinan, Syi’ah,
Qaramithah, dan kafir zindik memanfaatkan tarekat-tarekat sufisme. Mereka
menyebabkan Islam berada pada kondisi yang berbahaya, tetapi sesungguhnya tak
ada kelemahan bagi orang sufi. Kejadian itu Ialah Ibnu Saba’, orang berdarah Yahudi
memanfaatkan cinta Ahl Al-Bait sebagai tipu daya. Dia menyebarkan benih fitnah
dan perang sipil yang menyebabkan wafatnya Khalifah Utsman bin Affan r.a. dan
gugurnya sekitar 10.000 orang sahabat dan tabi’in sebagai syahid. Apakah peristiwa
tersebut ada kelalaian Ahl Al-Bait dan kecintaan terhadap Ali r.a.? jawabannya tentu
tidak. Demikian pula, paham tasawuf tidak boleh dicemari dengannya. Tasawuf tak
ada kaitannya dengan fitnah tersebut.
Pada tingkat ekstase (fana) dan manunggal dengan Tuhan
(alittihad) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan
spiritualnya tanpa mengubah dunia. Masyarakat menuding bahwa menyelamatkan
diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain adalah egoisme, kesucian jiwa tanpa
kesucian dunia adalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin menderita karena nilai-
nilai negatif yang dikembangkan tasawuf,
seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan).
Atas pertimbangan di atas, salah seorang cendikia muslim (Hasan Hanafi 2000:
44) mencoba merekonstruksi tasawuf. Beliau mengatakan bahwa tasawuf adalah
bagian integral dari kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu
rasional (‘aql) yang bersifat tradisional (naql). Hanafi berusaha merekonstruksi nilai
mistik jenjang-jenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk
membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang
dihadapi. Bagi Hanafi (2000: 42), tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan
yang diterapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam
menghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina dunia
kemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia (nyata). Tasawuf
merupakan suatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-
psikologis dan tahap metafisik (Hanafi, 1998: 40). Hanafi kemudian melakukan
rekonstruksi tasawuf dalam ketiga hal tersebut.
Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu
etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu. Jika masyarakat hilang,
paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap moral mencakup: a)
Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakan awal timbulnya tasawuf
disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidak kurang parahnya dibandingkan
jiwa. Jika semua masalah masa lampau dihubungkan dengan jiwa, maka semua
masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Dari rohani ke jasmani. Tasawuf lama
membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani yang
material. Segala hal memiliki makna ganda, karena realitas memiliki wajah
ganda. Jika kekuasaan sosial politik merampas lahiriah, maka tasawuf
mempertahankan batiniah. Dalam era pembangunan, yangdipertahankan adalah dunia
lahir. Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunia lahir dapat diubah, karena
tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; c).Dari etika individu ke etika sosial. Salah
satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknya individu. Maka reaksi alaminya
adalah meningkatkan pergolakan moral bagi individu; d). Dari meditasi-menyendiri
ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara memperoleh kekhusyu'an untuk
mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun berpendapat secara individual
dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia sekarang tindakan terbuka sangat
diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dari organisasi sufi ke gerakan sosio-
politik.
Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis.Tahap ini mengandung artibahwa tasawuf
maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu perilaku ke psikologi
murni nafsu manusia.Tasawuf tidak lagi berhubungan dengantindakan lahir perilaku
melainkan tindakan batin kesalehan.Fokusnya bukan lagipada anggota-anggota tubuh,
melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati.Kini,tasawuf merupakan ilmu tentang
rahasia-rahasia hati.Ilmu ini terdiri dari duabagian; langkah-langkah moral (maqamat)
dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal).Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua
hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktifdan dari kondisi psikologis ke perjuangan
sosial.
Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika sufi
melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai padatahap
terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi
telahmelewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga
inibenar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang harus dicapai
danhadiah yang harus diterima.
2.2.1 Kritik terhadap Sumber Tasawuf

Para penentang tasawuf menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal
dari Rasululloh dan bukan pula ilmu warisan dari para sahabat. Mereka menganggap
bahwa ajaran tasawuf merupakan ajaran sesat dan menyesatkan yang diambil dan
diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.
Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf merupakan konspirasi
yang tersusun rapi untuk menghancurkan islam. Di antara tujuan terpenting dari
konspirasi tersebut adalah: 1) menjauhkan kaum muslimin dari Islam yang hakiki
dan ajaran yang suci murni dengan kodok Islam. 2) memasarkan akidah-akidah
Yahudi, Kristen, sekte-sekte di India, dan sekte-sekte di Persia seperti agama Budha,
agama Hindu.[4]
Ibrahim bin Hilal mencoba memetahkan pengaruh unsur lain, terutama filsafat
Yunani, terhadap tasawuf aliran falsafi. Ia menegaskan bahwa sumber Tasawuf dan
kata tasawuf, baik mazhab terdahulu maupun belakangan, berasal dari luar dan bukan
dari Islam.[5]
2.2.2 Kritik Terhadap Tarekat

Di antara bentuk penyimpangan yang dialamatkan kepada tasawuf adalah


menonjolkan kehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi sehingga
mengabaikan kehidupan duniawi sehingga mengabaikan syari’at dan perdukunan.
Akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut, timbullah kritik-kritik pedas
terhadapnya. Kalangan pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad
Abduh, dan Rasyid rida memandang tarekat sebagai salah satu faktor penyebab
kemunduran umat islam.[6]
Syekh Nawawi Banten menyampaikan kritikannya sebagai berikut: “adapun
orang-orang yang mengambil tarekat, jikalau perkataan dan perbuatan mereka itu
mufakat pada syara’ Nabi Muhammad sebagaimana ahli-ahli tarekat yang benar,
maka maqbul, dan jika tidak begitu, maka tentulah seperti yang telah banyak terjadi
di dalam anak-anak Syekh Ismail Minangkabau.
Di sepanjang sejarah islam memang terdapat kritik tajam terhadap guru-guru dan
organisasi-organisasi sufi. Salah satu contoh yang termasyhur adalah mistikus abad
pertengahan, Al-Hallaj yang di hukum mati karena menyatakan persatuan mistisnya
dengan Tuhan dengan cara yang ekstrem. Para penafsir islam literalis dan legalis
menentang praktik-praktik dan keyakinan-keyakinan non-islam. Pada abad ke-18,
oposisi terkuat terhadap tarekat datang dari gerakan Wahhabiyyah yang sedang
berkembang. Pada era modern, para pembaru modern mengkritik keras tarekat karena
mendorong dan memperkuat tahayyul rakyat, dan kaum modernis Islam berupaya
mengurangi pengaruh syekh-syek sufi dalam masyarakat mereka.[7]
2.2.3 Kritik Terhadap Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi diwakili para sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat. Para
sufi juga filosof ini mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin
keras akibat penyataan-pernyataan mereka yang panteistis. Diantara fuqoha yang
paling keras kecamannya terhadap golongan sufi yang juga filosof ialah Ibn
Taimiyah.
Dari mulut sebagian sufi lahir beberapa syathahat, yaitu ungkapan dan isyarat-
isyarat yang mereka sampaikan saat berada dalam keadaan mabuk ketuhanan dan
lenyapnya kesadaran, yang makna-maknanya tidak jelas bagi orang yang belum
mencapai kondisi Rohani (ahwal) seperti mereka. Ungkapan-ungkapan itu barangkali
keluar dari batas-batas etika syara’, tidak pantas di hadapan tuhan yang maha suci
atau dari ungkapan-ungkapan itu, mrembes paham ateisme. Sikap kita terhadap
syatohat-syatohat mereka itu tidak berbeda dengan ulama’ salaf yang soleh, dalam
kaitan ini ibnu qoyim berkata, “ketahuilah bahwa dalam bahasa kaum sufi itu ada
banyak metafora yang tidak di miliki oleh bahasa kaum yang lainya. Ada
pengungkapan hal umum, tetapi yang di maksud adalah hal yang khusus. Atau
pengungkapan satu kata, namun yang dimaksud adalah indikasinya, bukan makna
sebenarnya. Karna itu mereka berkata, “kami adalah para pemilik syarat, bukan
pemilik ungkapan. Isyarat adalah bagi kami, sedangkan pengungkapan bagi selain
kami. Mereka. “mereka (para sufi) terkadang mengungkapkan satu frase yang di
ungkapkan ulang oleh orang ateisme. Dengan frase itu, para sufi menghendaki suatu
makna bukan suatu kerusakan. Oleh karena itu, frase itu menjadi sebab timbulnya
fitnah diantara dua kelompok. Satu kelompok bersandar kepada wilfrase, lalu menilai
orang yang mengungkapan frase itu ahli bit’ah dan menyesatkan. Sementara
kelompok yang stu lagi memandang maksud-maksud dan tujuan dari orang-orang
sufi, lalu membenarkan ungkapan dan isarat-isarat mereka itu. Maka orang yang
mencari kebenaran akan menerimanya dari orang ahli kebenaran, dan menolak dari
yang bukan ahli kebenaran.[8]

2.2 Contoh Penyimpangan Dan Kesesatan Ajaran Tasawuf

Berikut akan ditukilkan beberapa ucapan dan keyakinan yang dianggap sesat dan
kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh ahli tasawuf:
2.3.1 Ibnu Al-Faridh

Yang meninggal pada tahun 632 H, tokoh besar sufi penganut paham Wihdatul
Wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan –
yang lebih kotor lagi – dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya, seperti sifat-sifat
wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di
hadapan Nabi Adam a.s. dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam a.s.).
2.3.2 Ibnu Arabi

Dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran.
Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW. yang memberikan kitab ini.
2.3.3 At-Tilmisani

Seorang tokoh besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan
mereka Fushushul Hikam bertentangan denagn al-Qur’an, ia bahkan menjawab,
“seluruh isi al-Qur’an adalah kesyirikan, dan sesungguhnya tauhid hanya ada pada
ucapan kami.”
2.3.4 Abu Yazid Al-Bustami

Yang pernah berkata, “aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah,
mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya” (dinukil oleh Abu Nu’aim Al-Ashbahani
dalam kitabnya Hilyatul Auliya’ 10/37.
2.3.5 Abu Hamid Al-Ghazali

Seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli tasawuf yang paling besar dan tenar, di
dalam kitabnya Ihya’ Ulum Ad-Din, beliau berkata, “pandangan terhadap tauhid jenis
pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni. Dalam pandangan ini, anda pasti akan
dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai
dan dicintai adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam
semesta ini, melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla).”
2.3.6 Asy-Sya’rani

Seorang tokoh besar tasawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath-
Thabaqat Al-Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli tasawuf dan kisah-kisah
(kotor) yang dianggap oleh ahli tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah
seorang wali yang bernama Ibrahim Al-‘Uryan, orang ini apabila naik mimbar dan
berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat.[9]
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas bahwa tasawuf merupakan kebudayaan Islam, namun dengan
perubahan zaman tasawuf banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Ini
merupakan aspek gejala sosial yang berbahaya bagi para muslim didunia.
Prinsip-prinsip dasar ajaran tasawuf yang menyimpan dari petunjuk al-qur’an

a. Membatasi ibadah hanya pada aspek mahabbah saja.


b. Menjadikan bisikan jiwa, perasaan dan ajaran terdahulu sebagai pedoman.
c. Berpegang teguh pada zikir dan wirid yang ditentukan oleh guru thariqatnya
mereka.
d. Menamai dzikir yang pada umumnya dengan istilah-istilah khusus.

Beberapa kritik terhadap aliran-aliran tasawuf

Ada berbagai macam kritik terhadap aliran-aliran tasawuf, salah satunya


yaitu; Kritik Terhadap Sumber Tasawuf ialah berisi para penentang tasawuf
menganggap bahwa tasawuf bukan ajaran yang berasal dari Rosululloh.

Contoh Penyimpangan Dan Kesesatan Ajaran Tasawuf

a. Ibnu Al-Faridh; meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, karena
ia telah menyamakan sifat-sifat tuhan dengan sifat-sifat manusia.
b. Abu Yazid Al-Bustami; Yang pernah berkata, “aku heran terhadap orang yang
telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya”, Dan masih
ada yang lainnya.

3.2 Saran

Demikianlah yang dapat saya tulis, semoga dengan adanya makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua dan kita bisa memahami tulisan dimakalah ini. Kritik dan
saran pembaca sangat kami harapkan agar makalah yag kami buat bisa baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

1 Asmaran. 2013. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

4 Rosihon, Anwar. dkk, 2011. Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia.

5 Solihin, Muhammad. 2009. Ilmu Tasawuf. Bandun: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai