Anda di halaman 1dari 14

PEMBAGIAN TASAWUF

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

SEJARAH TASAWUF DAN TAREKAT

Disusun Oleh Kelompok 2:

Zulfa Fayruza (22220020)

Ririn Ariska Nurlita (22220010)

Morista Amaliah Putri (22220018)

Dosen Pengampu:

Ayatullah, M.Ud. MA.

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ISLAM NUSANTARA

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Sang khalik pemilik alam yang telah memberikan
kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan makalah ini, sehingga penulis dengan segala
keterbatasannya dapat mengumpulkan tugasnya dengan tepat waktu.

Sholawat beserta salam tidak akan lupa tercurahkan untuk baginda alam yang telah
dipilih untuk menyampaikan risalahnya kepada seluruh umat semesta alam, yang menjadi suri
tauladan dan panutan umat yakni Nabi Muhammad SAW.

Ucapan terimakasih penulis berikan terutama kepada Bapak Ayatullah, M.Ud. MA.
selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Tasawuf dan Tarekat yang telah memberikan
bimbingan dan arahannya dalam mengerjakan makalah ini.

Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat membantu pembaca dalam
menambah wawasan tentang Pembagian Tasawuf. Penulis sangat menyadari banyaknya
kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini maka dari itu penulis sangat berharap kritik dan
juga sarannya dari para pembaca.

Bogor, 23 Maret 2023

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................... 4
C. TUJUAN PENULISAN ............................................................................................ 4
BAB II ....................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 5
A. Tasawuf Akhlak ........................................................................................................ 5
B. Tasawuf Amali ........................................................................................................... 6
C. Tasawuf Falsafi.......................................................................................................... 7
D. Perkembangan Tasawuf ........................................................................................... 8
BAB III.................................................................................................................................... 13
PENUTUP............................................................................................................................... 13
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 14

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam sebuah satu Hadis yang menerangkan
tentang Islam, Iman, dan Ihsan.Tasawuf merupakan perwujudan dari salah satu ketiga pilar
syari’at tersebut, yakni Ihsan. Tasawuf adalah ilmu yang mulia karena berkaitan dengan
ma’rifah kepada Allah Ta’ala dan mahabbah kepada-Nya. Dan tasawuf adalah ilmu yang
paling utama dan mutlak. Maka dari itu ilmu tasawuf tidak lepas dari pengaruh Al-Qur’an
dan Hadis. Inti untuk mencapai tasawuf adalah beriman kepada Allah, meyerahkan diri
kepada-Nya, mengamalkan amalan yang sholeh dan menjauhi serta meninggalkan semua
larangan-larangan Allah.

Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap
praktek ajaran Islam yang cenderung formalis dan legalis serta banyaknya penyimpangan-
penyimpangan atas nama hukum agama. Selain itu tasawuf juga sebagai gerakan moral
(kritik) terhadap ketimpangan sosial, moral, dan ekonomi yang ada di dalam umat Islam.
Solusi tasawuf terhadap Formalitas spiritualisasi ritual, merupakan pembenahan dan
elaborasi tindakan fisik kedalam tindakan bathin.

Tasawuf sebagai gerakan moral tentunya mengandung nilai-nilai yang terkandung di


dalamnya yang disebut sebagai nilai-nilai sufistik. Nilai-nilai sufistik disini adalah segala
sesuatu yang mengandung makna nuansa ajaran tasawuf. Menurut teorinya, ajaran tasawuf
tidak saja berkenaan dengan tasawuf falsafi, namun juga tasawuf sunni (akhlaki/amali).
Tasawuf falsafi adalah ajaran yang berbicara mengenai konsep tasawuf seperti; iitihat,
hulul, wahdah,al-wujud, israq atau lainnya, lebih banyak bicara teori karena itu disebut pula
tasawuf nazari. Sementara sunni adalah ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada
pembentukan akhlak atau amal.

B. RUMUSAN MASALAH
Apa saja pembagian Tasawuf dan faktor-faktor yang membelakanginya ?

C. TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui pembagian Tasawuf dan faktor-faktor yang membelakanginya.

4
BAB II

PEMBAHASAN
Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian.Yaitu;
Tasawuf Falsafi, Tasawuf Akhlaki, dan Tasawuf Amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya
sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang
tercela dan menghias diri dari perbuatan yang terpuji. Dengan demikian, dalam proses
pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga tasawuf
ini berbeda-beda dalam hal pendekatan yang digunakan. Namun perlu dipahami bahwa
pembagian tasawuf ini hanya dalam bentuk kajian akademik, karna dari ketiga bentuk tasawuf
ini tidak dapat dipisahkan sebab praktik dari ketiga tasawuf ini saling berkaitan.

A. Tasawuf Akhlak
Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak manusia,
mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan manusia yang dapat berma’rifat kepada
Allah Swt, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan.Tasawuf akhlaki, biasa
disebut juga dengan istilah tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagari dirinya
dengan al-Qur’an dan al-Hadis. Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik (akhlak
mulia) dan ada potensi untuk menjadi buruk (akhlak tercela). Potensi untuk menjadi baik
adalah al-‘aql (akal) dan al-qalb (hati). Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-
nafs (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.1

Tujuan terpenting dari tasawuf adalah mendapatkan jalinan koneksi dengan Tuhan,
sehingga merasa dan sadar berada di ‘hadirat’ Tuhan. Keberadaan di ‘hadirat’ Tuhan itu
dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Satu-satunya jalan yang dapat
menghantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian jiwa, untuk mencapai
tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa memerlukan pendidikan dan latihan mental yang
panjang.2

Dalam tasawuf akhlaki terdapat tahapan-tahapan yang harus dilalui yaitu sebagai
berikut:

1
Nurdin, E. S. (2020). Pengantar Ilmu Tasawuf. Bandung: Aslan Grafika Solution.
2
Team Penyusun Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Islam IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
95- 96.

5
a. Takhalli merupakah langkah pertama yang harus ditempuh dengan usaha
mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelazatan hidup duniawi,
dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha
melenyapkan dorongan hawa nafsu.3
b. Tahalli merupakan langkah kedua dengan menghiasi diri dengan jalan membiasakan
diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik,berjalan sesuai dengan ketentuan
agama baik yang bersifat lahir maupun bathin.4
c. Tajalli merupakan terungkapnya nur ghaib bagi hati.5

B. Tasawuf Amali
Tasawuf ‘amali sendiri, dapat dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan
kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di
dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dzikir
atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridha Allah Swt. Tasawuf ‘amali
merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifat-sifat yang
tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri
hanya kepada Allah Swt. Kemudian tasawuf amali ini lebih menekankan kepada amalan-
amalan rohaniah dibandingkan teori.Maksudnya, tasawuf amali ini tidak hanya sekedar
mengetahui tentang teori melainkan langsung dipraktikkan dalam ibadahnya. Seperti
memperbanyak, wirid serta amaliah-amaliah lainnya.6

Adapun terkait jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah, ada beberapa terma
yang perlu diketahui, yaitu;

a. Maqâmât
Untuk mencapai tujuan tasawuf seorang mubtadi harus menempuh jalan yang
panjang dan berat, melakukaan bermacam usaha dan amal baik yang bersifat zahir
maupun batin, dengan tahapan-tahapan tertentu yang disebut dengan istilah maqâm,
dan semua itu dilalui dengan mujahadah, dan selalu sibuk dengan berbagai

3
Team Penyusun Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Islam IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
99.
4
Team Penyusun Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Islam IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
101.
5
Team Penyusun Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Islam IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
110.
6
Saputra, M., Nur, A. Z., Siregar, S., & dkk. (2022). Teori Studi Keislaman. Aceh: Yayasan Penerbit
Muhammad Zaini.

6
riyâdhah.7Adapun tahap-tahap yang akan dilalui, sebagian sufi berbeda pendapat
diantaranya, ialah; al-taubah, al-zuhud, alwara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan
al-ridhâ.8
b. Al-Ahwâl
Al-Ahwâl adalah situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang sebagai kurnia Allah,
bukan dari hasil usahanya. Datangnya kondisi mental tersebut tidak menentu,
terkadang datang dan pergi berlangsung sangat cepat, sebagaimana dengan maqâm
dalam jumlah dan formasi yang berbeda. Macam al-ahwâl ini juga terdapat
perbedaan di kalangan Sufi, tetapi yang terpenting dan populer adalah; al-
murâqabah, al-khauf, ar-rajâ’, al-syauq, al-uns, al-thama’ninah, al-musyâhadah,
dan al-yaqîn.9

C. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya mengenal Tuhan (ma’rifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tingkat yang lebih tinggi, bukan hanya
mengenal Tuhan saja melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul wujud (kesatuan
wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni sebagai tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat. Metode pendekatan tasawuf falsafi lebih menonjol kepada
segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio
dengan pendekatan-pendekatan filosofis.10

Konsepsi ahli tasawuf tentang Tuhan merupakan perkembangan lanjut dari pemikiran
mutakallimin dan filosuf. Apabila pemikiran dan perenungan mutakallimin kelompok
rasionalis menyebabkan posisi Tuhan sebagai sesuatu kenisykilan yang logis tanpa isi yang
positif, maka kelompok tradisional menjadikan Tuhan sebagai penguasa “absolut” yang
dapat berbuat sekehendaknya. Di sisi lain, para filosuf ingin menjembatani akidah Islam
dengan filsafat, sehingga terpaksa harus “mempereteli” sebagian dari sifat-sifat Tuhan yang
menjadikan Tuhan seakan-akan tidak punya aktifitas lagi. Untuk menjawab hal ini, maka
kaum Sufi tampil dengan konsepsinya yang khas.

Ada beberapa aliran-aliran yang berkembang dalam Tasawuf Falsafi, yaitu;

7
Abul Qâsim Abdul Karîm Hawazin al-Qusyairi al-Naisabûri, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tashwwuf,
terj. Umar Faruq, Risalah Qisyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), cet. 1, 57-
58.
8
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, 62.
9
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, 63.
10
Nurdin, E. S. (2020). Pengantar Ilmu Tasawuf. Bandung: Aslan Grafika Solution.

7
a. Al-Fana’ dan Baqâ’
Fana secara harfiah berarti hilang, hancur, meninggal, dan baqa berarti terus hidup,
selamanya. Dalam kaitan ini digunakan dengan preposisi al-fana ‘an al-nafs maksudnya
kosong dari segala sesuatu, melupakan atau tidak menyadari sesuatu, dan baqa bi al-
nafs, sebaliknya berarti diisi dengan sesuatu, hidup bersama sesuatu, konsep ini
ditimbulkan oleh Abu Yazid al-Bustami.11
b. Al-Ittihâd adalah kesatuan wujud, maksudnya dirinya merasa bersatu dengan Tuhan
yang dicintai dan mencintai menjadi satu.
c. Al-Hulûl ialah faham bahwa mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana, faham ini
pertama kali dimunculkan oleh Husein Ibnu Mansur al-Hallaj.
d. Wahdatul Wujûd adalah faham bahwa wujud segala yang ada ini tergantung dengan
wujud Tuhan, karenanya yang mempunyai wujud hakiki hanyalah Tuhan sedangkan
yang lain tidak punya wujud, hanya satu wujud yaitu wujud Allah.
e. Al-Isyrâq yakni faham bahwa sumber segala sesuatu Yang Ada adalah cahaya yang
mutlak atau Nûr al-Qâhir. Faham ini juga menyatakan bahwa alam ini diciptakan
melalui penyinaran atau illuminasi.12

D. Perkembangan Tasawuf
Tasawuf Islam dalam perkembangannya dapat diklasifikasikan berdasarkan
periodesasi berikut;

1. Abad Pertama dan Kedua Hijriah

Pada abad pertama dan kedua hijriyah, periodesasi tasawuf dikategorikan sebagai
fase asketisme (zuhud). Sikap asketisme (zuhud) ini banyak dipandang sebagai
pengantar kemunculan tasawuf. Asketisme (zuhud) dimaknai berpaling dari dunia dan
menghadapkan diri untuk beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi
kesenangannya dengan bersemedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan, dan
memperbanyak dzikir. 13 Askestisme (zuhud) dalam keyakinan para pelaku sufi ini
adalah merupakan sebab untuk sampai kepada Allah, karena hati tidak akan sampai

11
Muhammad Abdul Haq Anshâri, Sufism and Shari’ah: A Study of Shaikh Ahmad Sirhindi’s effort to Reform
Sufism, terj. Ahmad Nashir Budiman, Antara Sufismedan Syari’ah (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), cet. 1, 42-43.
12
Team Penyusun Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Islam IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
158- 168.
13
Abd al-Hakim Hasan, Al-Tasawwuf fi Syi’r al-‘Arabi,( Mesir : Al-Anjalu al-Misriyyah, 1954), hlm. 42.

8
kepada-Nya apabila masih bergantung pada sesuatu selain yang dicintai Allah. 14
Tasawuf pada fase ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk
amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum,
menyedikitkan tidur dan lain sebagainya.

Acuan yang dijadikan sebagai dasar dari praktek kezuhudan mereka adalah teladan
yang diberikan oleh Rasulullah dalam kesederhanaan kehidupan. Ucapan, perilaku dan
tindakan Nabi SAW.. mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik dari
segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan pakaian
yang bagus dapat dipenuhi. Bentuk kezuhudan yang cukup menonjol yang dilakukan
oleh sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah. Mereka
tinggal di emperan masjid Nabawi di Madinah. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka
dan bergaul bersama mereka. Pekerjaan mereka hanya jihad dan tekun beribadah di
masjid, seperti belajar, memahami dan membaca al-Qur`an, berdzikir, berdoa dan lain
sebagainya Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak
mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak
beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan
mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis.

Diantara tokoh sufi yang masyhur dalam periode ini adalah selain figur Rasulullah
sendiri dan sahabat-sahabat terdekat beliau seperti khulafaurrasyidin, terdapat sahabat-
sahabta lain yang dianggap sebagai kelompok prototype dari kelompok sufi.
Diantaranya adalah Abu Dzar al-Ghifari yang sering disebut sebagai seorang sosial
sejati dan sekaligus sebagai prototip fakir sejati, si miskin yang tidak memiliki apapun
tapi sepenuhnya dimiliki Tuhan, menikmati hartanya yang abadi, Salman al-Farisi,
seorang tukang cukur yang dibawa ke keluarga Nabi dan menjadi contoh adopsi rohani
dan pembaiatan mistik yang kerohaniannya kemudian dianggap sebagai unsur
menentukan dalam sejarah tasawuf Parsi dan dalam pemikiran Syiah,15 Abu Hurairah,
salah seorang perawi hadits yang sangat terkenal adalah ketua kelompok ini. 16
Disamping itu tokoh-tokoh lain yang dianggap sebagai pioner sufi periode ini adalah
Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-

14
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Cetakan ke-12, (Jakarta : IKAPI, 2010), hlm. 250-251.
15
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djokjo Damono, (Jakarta,Pustaka Firdaus,
1986), hal. 28.
16
Kâmil Mushthafâ Syiby, al- Shillah Bain al-Tashawuf Wa al- Tasyayu’,(Bairut: Dar al Andalus, 1982), hal.
262.

9
Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn
Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut, Hasah Al-Bashri.

2. Abad Ketiga Hijriah

Kelompok sufi pada periode ini mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Disamping itu mereka sudah menaruh
konsern pada perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi. Hal itu ditandai
dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang ber
kembang saat itu sehingga di angan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu
moral keagamaan. Kajian mereka berkaitan erat dengan akhlak, sehingga
menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang bisa dipraktekan oleh semua
orang. Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak
yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang
mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak yang terpuji.

Periode ini juga ditandai dengan upaya segolongan ahli tasawuf yang mencoba
menyelidiki inti ajaran tasawuf yang berkembang masa itu, mereka membaginya
menjadi tiga macam, yaitu: Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang
berisi suatu metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang
mengkonsentrasikan-kejiwaan manusia kepada Khaliqnya, sehingga ketegangan
kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik. Tasawuf yang
berintikan ilmu akhlak yaitu didalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang tata
cara berbuat baik serta cara menghindari keburukan; yang dilengkapi dengan
riwayat dari kasus yang pernah di alami oleh para sahabat Nabi. Tasawuf yang
berintikan metafisika; yaitu didalamnya terkandung ajaran yang melukiskan hakikat
Ilahi, yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta
melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang akan
tajalli kepada-Nya.

3. Abad Keempat Hijriah

Pada periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu tasawuf yang lebih pesat
dan lebih terformulasikan secara filosofis. Perkembangan tersebut dilatarbelakngi
adanya usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran
tasawufnya masing-masing di wilayah dimana mererka berdomisili. Sehingga
diantara ciri yang menonjol pada periode ini adalah semakin kuatnya unsur filsafat

10
yang mempengaruhi corak tasawuf. Pengaruh tersebut dilatarbelakangi banyaknya
buku filsafat yang tersebar dikalangan umat Islam hasil dari terjemahan orang-
orang muslim sejak permulaan Daulah Abbasiyah. Sehingga kemudian dalam
perkembangan selanjutnya pemikiran tasawuf mereka diistilahkan dengan tasawuf
falsafi. Di antara tokoh sufi model falasfi ini adalah Abu yazid al Busthami dengan
konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj yang lebih
dikenal dengan al-Hallaj.

Pada periode ini, pusat kajian tasawuf tidak hanya terkonsentrasi di Baghdad,
tetapi kemudian berkembang pesat kota- kota besar lainnya. Beberapa ulama
tasawuf yang terkenal kealimannya yang mengajarkan tasawuf diluar Baghdad
antara lain: Musa Al-Anshary; mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan, Abu Hamid
bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkannya disalah satu kota di Mesir, Abu Zaid
Al-Adamy; mengajarkannya di Semenanjung Arabiyah, Abu Ali Muhammad bin
Abdil Wahhab As-Saqafy; mengajarkannya di Naisabur dan kota Syaraz.

4. Abad Kelima Hijriah


Periode ini seringkali dianggap sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat
bangunan konsep tasawuf dengan menggunakan sumber ajaran Islam yang pokok
yaitu al-Qur`an dan al-Hadits. Penguatan kajian dan praktek tasawuf ini kemudian
terformulasikan dan oleh para pengkaji tasawuf model ini disebut dengan tasawuf
sunny yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.
Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf
sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi ( sunnah ) Nabi dan
sahabatnya.
Diantara tokoh sufi yang paling terkenal pada periode ini adalah Abu Hamid al-
Ghazali atau yang lebih dikenal dengan al-Ghozali. sepenuhnya hanya menerima
tasawuf berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah serta bertujuan asketisme,
kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang
tasawuf berdasarkan tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, ia
melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah.
Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang
seiring dengan aliran ahlu sunnah waljama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf
Al-Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, terutama mengenai soal karakter manusia.
Al-Ghazali dikenal sebagai pemuka madzhab kasyf dalam makrifat. Diantara kitab

11
karangannya yang fenomenal yang banyak memabahas tentang konsep tasawuf
adalah kitab ihya’ ‘ulumuddin.
5. Abad Keenam Hijriah

Pada periode ini, pengaruh tasawuf Sunni sebagaimana yang dikembangkan


oleh Al Ghazali semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Kondisi ini
kemudian memberi peluang bagi munculnya upaya-upaya untuk mengembangkan
tarikat-tarikat untuk mendidik ketasawufan tersebut. Diantara tarekat tersebut
adalah Sayyid Ahmad Ar-Rifa‟i dan Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani.

Pada periode ini juga ditandai dengan munculnya sekelompok tokoh tasawuf
yang berusaha memadukan tasawuf dengan filsafat. Di antara mereka adalah
Syukhrawardi Al- Maqtul,, Syekh Akbar Muhyidin Ibnu Arabi dan lain-lain dengan
konsepnya wihdatul wujud. Mereka banyak menimba berbagai sumber dan
pendapat asing, seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme. Mereka pun
banyak mempunyai teori mendalam mengenai jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan
sangat bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf maupun filsafat, dan berdampak besar
bagi para sufi mutakhir. Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai
membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang , yakni tasawuf
akhlaqi. Tasawuf yang memadukan antara rasa ( dzauq ) dan rasio ( akal ), tasawuf
bercampur dengan filsafat terutama filsafat Yunani. Pengalaman – pengalaman
yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan hamba kemudian diteorisasikan
dalam bentuk pemikiran seperti konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang
sebenarnya adalah Allah sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang
dan sekedar sangkaan dan khayali.

Tokoh-tokoh yang terkenal dalam tasawuf falsafi ini antara lain, yaitu Ibn
Masarrah , Syukhrawardi dan Ibn Arabi . Jiila tasawuf sunni memperoleh bentuk
final pada pengajaran Al-Ghazali, maka tasawuf falsafi mencapai puncak
kesempurnaannya pada pengajaran Ibn Arabi.

12
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa tasawuf merupakan bagian dari
syari’at Islam yang memfokuskan ajarannya pada penyucian jiwa guna mencapai
kedekatan, kecintaan, atau kesatuan dengan Allah swt. Tasawuf atau yang dikenal juga
sebagai sufisme merupakan suatu ajaran tentang bagaimana menyucikan jiwa,
menjernihkan akhlak, serta membangun dhahir dan batin untuk dapat memperoleh
kebahagiaan abadi. Tasawuf terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: Tasawuf akhlaqi, tasawuf
yang mengikatkan diri dengan Al-Qur’an dan al-Hadis. Tasawuf ‘amali, yaitu yang lebih
menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada
Allah. Dan tasawuf falsafi, sebagai tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat
dengan pendekatan rasio.

Tasawuf juga diklasifikasikan berdasarkan periodenya hingga periode ke-enam abad


hijriah ini. Abad pertama-kedua diketegorikan sebagai fase asketisme (zuhud). Abad ketiga
hijriah ditandai upaya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran
tasawuf dan membaginya menjadi tiga. Abad keempat hijriah ditandai dengan
perkembangan ilmu tasawuf yang lebih pesat dan lebih terformulasikan secara filosofis.
Abad kelima hijriah seringkali dianggap sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat
bangunan konsep tasawuf dengan menggunakan sumber ajaran Islam yang pokok yaitu al-
Qur`an dan al-Hadits. Dan abad keenam hijriah ini berpengaruh tasawuf Sunni
sebagaimana yang dikembangkan oleh Al Ghazali semakin meluas ke seluruh pelosok
dunia Islam.

13
DAFTAR PUSTAKA

Nurdin, E. S. (2020). Pengantar Ilmu Tasawuf. Bandung: Aslan Grafika Solution.

Team Penyusun Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Islam IAIN Sumatera Utara, Pengantar
Ilmu Tasawuf.

Saputra, M., Nur, A. Z., Siregar, S., & dkk. (2022). Teori Studi Keislaman. Aceh: Yayasan
Penerbit Muhammad Zaini.

Abul Qâsim Abdul Karîm Hawazin al-Qusyairi al-Naisabûri, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi


‘Ilmi al-Tashwwuf, terj. Umar Faruq, Risalah Qisyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf
(Jakarta: Pustaka Amani, 1998).

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, 63.

Muhammad Abdul Haq Anshâri, Sufism and Shari’ah: A Study of Shaikh Ahmad Sirhindi’s
effort to Reform Sufism, terj. Ahmad Nashir Budiman, Antara Sufismedan Syari’ah (Jakarta:
Rajawali Pers, 1990).

Abd al-Hakim Hasan, Al-Tasawwuf fi Syi’r al-‘Arabi,( Mesir : Al-Anjalu al-Misriyyah,


1954).

Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Cetakan ke-12, (Jakarta : IKAPI, 2010).

Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam Islam, Terj. Sapardi Djokjo Damono,
(Jakarta,Pustaka Firdaus, 1986).

Kâmil Mushthafâ Syiby, al- Shillah Bain al-Tashawuf Wa al- Tasyayu’,(Bairut: Dar al-
Andalus, 1982).

14

Anda mungkin juga menyukai