Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ILMU TASAWUF

“Sintesa Tasawuf Nusantara”

Dosen Pengampuh : Abdullah

Di Susun Oleh:

Trisni Ridhayana Basir 19.1100.078

Ummul Khaeriyah 19.1100.061

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE

Tahun Ajaran 2020/2021


KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita berupa pengetahuan dan kesempatan
sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Tasawuf, selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan kita baik bagi para
pembaca ataupun bagi penulis sendiri.

Penulis ucapkan terima kasih kepada bapak Abdullah selaku dosen pengampuh mata kuliah
Ilmu Tasawuf, Dan kami juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
membantu dengan memberikan ide-ide atau saran sehingga makalah ini bisa di susun dengan
baik dan rapi.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan untuk memperbaiki penyusunan makalah kami
selanjutnya. Kemudian apabila terdapat kesalahan dalam makalah baik dari segi penyusunan
ataupun pembahasan, kami mohon maaf sebesar-besarnya.

Pimrang, 17 oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A. Latar Belakang........................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................3
BAB II...................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. Ajaran-ajaran yang mempengaruhi tasawuf Abdurauf As-Singkili...................................4
B. karakteristik ajaran Tasawuf Abdurrauf As-Singkili..........................................................5
1) Sistematika Penyajian............................................................................................................6
2) Bentuk Penyajian.......................................................................................................................8
3) Bentuk Penulisan...................................................................................................................9
C. pengaruh-pengaruh ajaran Tasawuf Abdurrauf As-Singkili...............................................9
a. Hamzah Fansuri memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran dan praktek
keagamaan kaum Muslimin Nusantara pada paruh pertama abad ke 17 M. Ia mendirikan dayah
atau pesantren di Singkil, tercatat bahwa dayah pertama di Aceh adalah dayah yang dibangun
Hamzah Fansuri. Karya-karya Hamzah Fansuri antara lain:........................................................11
b. Nuruddin Ar-raniri, setelah mendapat posisi yang kuat di Aceh, kemudian melancarkan
pembaharuan islam dengan radikal. Ia menentang paham wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah
fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani. Menurutnya paham yang dibawa Hamzah Fansuri adalah
sesat dan menyimpang dari ajaran islam. Ar-Raniry membunuh orang yang menolak melepaskan
keyakinannya yang sesat akan dan banyak buku/kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar. Ar-Raniri
memperkenalkan corak keilmuan dan wacana keagamaan yang baru. Karya-karya nya cukup
banyak lebih dari 40 kitab antara lain:.........................................................................................11
BAB III................................................................................................................................................12
PENUTUP...........................................................................................................................................12
A. KESIMPULAN......................................................................................................................12
B. SARAN...................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................13

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dipisahkan dari tasawuf. Bahkan, Islam
pertama yang dikenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan dengan
pendekatan sufistik. Islam dalam corak demikian itulah yang paling mampu memikat lapisan
bawah, menengah dan bahkan bangsawan. Para penyebar Islam di Indonesia itu, umumnya
para da’i yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tasawuf. Selain itu, di antara mereka
juga banyak yang menjadi pengamal dan penyebar tarekat di Indonesia. Bahkan, sampai
sekarang ini masih banyak kita temukan pusat-pusat atau institusi-institusi penyebaran Islam
yang menggunakan simbol-simbol tasawuf atau tarekat. Kita mengenal tradisi marhabanan,
sekaten, ratiban, dan sebagainya yang tipikal tasawuf. Tasawuf bukan sekedar membaca doa-
doa atau laku tirakat bagi pengikutnya, namun lebih mendasar lagi, tasawuf mampu memberi
warna khas bagi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Di mana, hingga dewasa ini masih
dapat kita rasakan.

Dengan dasar-dasar itu, berbicara tasawuf di Indonesia menjadi sangat menarik,


Apalagi jika dikaitkan dengan setting perkembangan dan penyebaran agama Islam di
Nusantara secara keseluruhan. Melalui makalah ini, penulis akan mencoba menguraikan
sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Ajaran-ajaran yang mempengaruhi tasawuf Abdurauf As-Singkili?
2. Apa saja karakteristik ajaran Tasawuf Abdurrauf As-Singkili?
3. Apa saja pengaruh-pengaruh ajaran Tasawuf Abdurrauf As-Singkili?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui ajaran-ajaran yang mempengaruhi Tasawuf Abdurrauf As-
Singkili.
2. Untuk mengetahui karakteristik ajaran Tasawuf Abdurrauf As-Singkili.
3. Untuk mengetahui pengaruh-pengaruh ajaran Tasawuf Abdurrauf As-Singkili.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Ajaran-ajaran yang mempengaruhi tasawuf Abdurauf As-Singkili
Abdurrauf al-Singkil (Singkil, Aceh Selatan 1024 H/1615 M ) adalah seorang ulama
besar Aceh yang terkenal. Ia seorang ulama dari Fansur yang memiliki pengaruh
besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya.
Mengenai nama lengkap Abdurrauf al-Singkili penulis menetapkan ialah Abdurrauf
Ibn ‘Ali al-Fansuri, sebagaimana yang tertera dalam kitab Tafsir Turjumun al-
Mustafid. Pendidikan pertama Syekh Abdurrauf didapatkan ditempat kelahirannya
Singkil, terutama dari ayahnya yang merupakan seorang yang alim. Beberapa tahun
kemudian, syekh Abdurrauf al-Singkili berangkat ke Banda Aceh. Selanjutnya,
Abdurrauf melanjutkan pendidikannya di Jazirah Arab pada tahun 1052 H/1642 M.
Tempat belajarnya tersebar di sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai
dari Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah serta Madinah.
Perjalananan akhir Abdurrauf al-Singkili adalah di Madinah sekaligus
menyelesaikan pelajarannya, dia belajar dengan dua orang ulama penting Ahmad Al-
Qusyasyi dan khalifahnya Ibrahim al-Kurani Melalui dua orang guru ini al-Singkili
diberi ijazah; selendang berwarna putih pertanda bahwa ia telah dilantik sebagai
Khalifah Mursyi dalam orde Thareqat Syattariyah. Dari segi intelektual ia menguasai
berbagai bidang ilmu pengetahuan, hal ini terlihat dari karya-karyanya di berbagai
bidang, fiqih, tafsir, tasawuf dan lain sebagainya. Al-Singkili meninggal dunia sekitar
1105H/1693 M dan dikuburkan di dekat Kuala atau mulut sungai Aceh. Oleh sebab
itu, ia juga dikenal sebagai Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama
di Kuala). Nama ini kemudian diabadikan pada perguruan tinggi yang didirikan di
Banda Aceh pada tahun 1961, yakni Universitas Syiah Kuala.
Ajaran Tasawuf pada banyak karya Abdul Rauf menekankan transendensi Tuhan
diatas Makhluk Ciptaan-Nya. Dimana ia menolak pandangan wujudiyyah, yang
menekanka imanensi Tuhan dalam makhluk ciptaan-Nya. Dalam karyanya yang
berjudul “Kifayat Al-Muhtajin” ia berpendapat bahwa Tuhan menciptakan alam
semesta. Makhluk ciptaan-Nya sebagai wujud yang mutlak tetap berbeda dari Tuhan.
“Diumpamakan dengan tangan dan bayangan, walau tangan sulit dipisahkan dengan
bayangan, bayangan bukan tangan yang sebenarnya” jelasnya.
Secara umum dan mudah dipahami bahwa Abdurrauf ingin mengerjakan tentang
harmoni antara syariat dan sufisme. Keduanya harus bekerja sama. Hanya melalui
kepatuhan pada syariat maka seorang yang berada di jalan sufi bisa menemukan
hakikat kehidupannya.
Sejalan dengan kepatuhan total pada syariat, Abdurrauf berpendapat bahwa dzikir
penting bagi orang yang menempuh jalan tasawuf, seperti terkandung dalam karyanya
bertajuk Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufradin, dimana dasar dari
tasawuf adalah dzikir yang berfungsi mendisiplinkan kerohanian islam. Dalam
berdzikir ada dua metode yang diajarkannya, yaitu dzikir keras dan dzikir pelan.
Dzikir keras seperti pengucapan “la ilaha illa Allah” sebagai penegasan akan keesaan
Sang Pencipta. Dzikir menurut dia bukanlah membayangkan kehadiran gambar Tuhan
melainkan melatih untuk memusatkan diri. Adapun dzikir pelan seperti berdzikir
didalam hati.
Di samping itu, Abdurrauf berpandangan bahwa tauhid menjadi pusat dari ajaran
tasawuf. Kata Tauhid bermakna pernyataan keesaan Allah, kalimat tauhid ini adalah
poros utama dalam islam. Keyakinan tentang adanya Allah Yang maha Esa, yang
tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya dalam zat, sifat atau perbuatan-perbuatan-
Nya. Keyakinan kepada Allah dalam zat, sifat maupun perbuatannya sangatlah
penting bagi kaum muslimin karena tonggak ajaran islam tertumpu pada kalimat
tauhid la ilaha illallah, kalau pondasinya kuat maka seterusnya akan kokoh pula.
Pandangan-pandangan dasar Abdurrauf tentang tasawuf ini tertera dalam kitab
Tanbih Al-Masyi. La ilaha Illa Allah menurut dia, memiliki empat tingkatan tauhid
yaitu penegasan, pengesahan ketuhanan Allah, mengesahkan sifat Allah dan
mengesahkan dzat Tuhan.
Abdurrauf sebelumnya sudah mendapatkan ajaran tentang ilmu Tasawuf tentang
tarekat Syattariyat dan tarekat Qadiriyyah. Sampai akhirnya ia diberi ijazah dalam
dua tarekat tersebut. Karena itu, ia mendapat gelar “syekh” yang artinya pemimpin
tarekat. Dalam mempelajari tarekat ini Abudrrauf juga belajar kepada dua orang guru
India yang berada di Tanah arab yaitu Syekh Badruddin dan Syekh Abdullah Lahori.
Dari sekian banyaknya guru Abudrrauf, hanya ada beberapa orang yang sangat
berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran beliau. Diantara guru-guru yang sangat
berpengaruh pada dirinya yaitu Ahmad al Qusyasyi, beliau merupakan guru
spiritualnya di Madinah, dari Qursyasyi Abudrrauf belajar tentang ilmu-ilmu bathin
(tasawuf) dan ilmu-ilmu yang terkait lainnya, beliau menuntut ilmu kepada Qusyasyi
sampai mendapat ijazah untuk menjadi khalifah daalam tarekat Syatariyyah dan
Qadiriyyah.

B. karakteristik ajaran Tasawuf Abdurrauf As-Singkili


Berdasarkan komentar para ahli dalam bidang tasawuf, yang membedakan neo-
sufisme dibandingkan dengan sufisme lama adalah sebagai berikut:
pertama, menolak terhadap praktek tasawuf yang ekstrim dan ekstatis, seperti ritual
dzikir yang diiringi tarian dan musik, atau praktek dzikir yang heboh dan tidak
terkendali. Dengan demikian neo-sufisme terkesan agak menyederhanakan berbagai
metode dan akspresi yang dilakukan sesuai dengan syari’ah.
Kedua, menolak pemujaan yang berlebihan terhadap para wali-sufi dan kuburannya
atau tempat-tempat lain yang dianggap kramat-suci. Fenomena ini didasari fanatisme
berlebihan, yang mengakibatkan runtuhnya iman dan menghancurkan basis
tauhidullah, bisa dilihat jelas terjadi di Saudia Arabia sebelum munculnya gerakan
Wahabi abad ke-18. Pola sikap ini banyak diilhami oleh Ibn Taimiyyah.
Ketiga, menolak ajaran Wahdah Al-Wujud. Pemahaman ini kontroversial dengan
pemahaman orang awam dan ulama fikih. Dalam Neo-Sufisme, konsep ini lebih
dipahami sebagai kerangka transendensi Tuhan sehingga tetap sebagai Tuhan yang
Khaliq.
Keempat, penolakan terhadap fanatisme murid kepada sang guru atau Mursyid.
Dalam tasawuf lama terdapatpandangan bahwa hanya dengan kepatuhan dan loyalitas
mutlak terhadap guru, sang murid akan mencapai kemajuan spiritual atau maqam
tertinggi, hal ini sudah menjadi kepercayaan mengakar. Dalam neo-sufisme, murid
tidak harus memenuhi perintah dan ajaran sang guru jika jelas-jelas bertentangan
dengan syari’at, bahkan murid berhak dan harus melawannya. Dengan demikian,
dalam neo-sufisme, hubungan guru dan murid berlandaskan pada komitmen sosial
dan moral akhlak yang harus memiliki kesesuaian dengan Al-qur’an dan al-Sunnah.
Kelima, dalam dimensi neo-sufisme, yang diposisikan sebagai syekh tarekat adalah
langsung Nabi SAW., bukan para Awliya atau pendiri-pendiri tarekat. Dengan
demikian neo-sufisme hendak menempakan Nabi Saw., sebagai pendiri tarekat yang
kemudian dijadikan sebagai teladan dalam kegiatan berfikir, berdzikir, dan suri
tauladan dalam hal apapun.
Keenam, menciptakan organisasi massa yang terstruktur dan tersentralisasi secara
cukup hierarkis dibawah otoritas pendiri tarekat dan para khalifah, namun masih
berorientasi komunal atau sosial. Maka neo-sufisme mempelajari Tasawuf berarti
melakukan inisiasi atau masuk kedalam organisasi massa.
Ketujuh, menitik tekankan khusus pada kajian hadist atau sunnah yang betul-betul
shahih, terutama tema terkait dengan memberi pengaruh pada rekonstruksi sosial-
moral masyarakat, daripada hanya ketetapan hukum fikih.
Kedelapan, menolak taklid dan penegasan hak individu muslim melakukan ijtihad.
Maka neo-sufisme berupaya mendorong orang muslim untuk mempunyai kapasitas
keilmuan dan kemampuan berijtihad dari pada sekedar taklid pada ulama tanpa
reserve.
Kesembilan, kesediaan berpolitik dan heroik patriotisme militerian untuk membela
islam. Jika tasawuf lama cenderung uzlah menghadapi realita sosial yang tidak baik
dalam pertumbuhan keislaman, maka beda halnya dengan neo-sufisme yang dengan
karakter aktifisnya siap menghadapi tantangan dan memberikan respons perubahan
konstruktif dan positif melawan ekspansi imperialisme barat, terutama pada abad ke-
18.
Teknik penulisan ialah suatu kerangka teknis yang digunakan dalam menampilkan
penafsirannya. Adapun teknis yang digunakan Abdurrauf al-Singkili dalam
menafsirkan al-Qur’an dalam kitab Tafsir Turjuman al- Mustafid dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1) Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian adalah rangkaian yang dipakai dalam menyajikan sebuah
tafsir. Secara umum sistematika yang digunakan dalam tafsir Turjumun al-
Mustafid ini ialah sistematika penyajian yang dilakukan secara runtut, uraiannya
mengacu pada urutan mushaf standar al-Qur’an. Pada setiap awal surat, diurai
dengan detail masalah yang berkaitan dengan surat yang dikaji; nama surat, serta
nomor surat, jumlah ayat sekaligus jumlah perhitungannya, tempat turunnya surat
(makiyyah, madaniyah). Serta fadilah yang ada dalam kandungan surat tersebut.
Setelah memberi penjelasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan surat,
Abdurrauf al-Singkili memulai kajiannya dengan masuk pada ayat demi ayat
dalam setiap surat. Ayat al-Qur’an ditulis lalu ditafsirkan dalam bahasa Melayu.
Setelah menafsirkan beberapa ayat, Abdurrauf alSingkili menungkapkan
pendapat mufassir, yang diawali dengan kata faidatun. Dalam menafsirkan ayat
demi ayat, terkadang Abdurrauf al-Singkili menggabungkan melakukan
penggabungan. Sebagai contoh QS. Saba>’: 3, 4 dan 5. Kesan dalam terjemahan
ayat dan penggunaan ungkapan, “Kata mufassir” yang terdapat dalam kitab
Turjumun al-Mustafilain. Hal ini sekaligus menunjukkan daya kreatifitas
Abdurrauf alSingkili dalam mengkonversikan ungkapan-ungkapan tersebut dalam
kitab tafsirnya.
Penggunaan kiraat menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat
analisis dan penafsiran yang dilakukan Abdurrauf al-Singkili. Ketika menjelaskan
aspek kiraat, adakalanya ia menjelaskan tafsir berdasarkan perbedaan kiraat itu
dan adakalanya tidak dijelaskan apa maksudnnya. Salah satu hal yang menarik
ketika menjelaskan perbedaan kiraat dalam Turjumun al-Mustafid adalah, ia
dapat dibedakan pada dua metode pemaparan: Pertama: tauji’ah, al-qira’ah yaitu
ilmu yang menerangkan kiraat dari sudut tafsir dan tata bahasa Arab. Kedua,
uraian perbedaan kiraat yang tidak dijelaskan tafsiran atau maknanya.
Perlu diketahui bahwa, perbedaan kiraat dalam alQur’an atau tafsir adakalanya
berpengaruh pada perbedaan makna yang dikandung dan adakalanya tidak.
Meskipun terjadi perbedaan makna pada kosakata ayat dalam suatu kiraat
berpengaruh pada perbedaan penafsiran, akan tetapi pada akhirnya bermuara pada
substansi, nilai dan pesan yang sama. Selain itu, perlu dijelaskan pula bahwa
aspek kiraat yang terdapat dalam kitab tafsir ini, hanya bergulat pada tiga riwayat:
Imam Abu ‘Amr – riwayat al-Duri; Imam Nafi‘ – riwayat Qalun dan Imam
‘Asim- riwayat Hafs. Secara eksplisit maupun implisit, Abdurrauf al-Singkili
tidak menjelaskan pemilihan tiga kiraat riwayat imam tersebut. Namun menurut
Ahmad Baha’ kemungkinan besar alasannya adalah karena tiga kiraah ini
termasuk kiraat yang masih ramai dibaca atau digunakan di negara-negara Islam.
Seperti bacaan al-Duri masih menjadi bacaan di sebagian tempat di Sudan, Chad,
Nigeria dan Yaman.
Dalam tafsirnya Abdurrauf al-Singkili juga menjelaskan persolaan fikih, baik
yang bersumber dari kitab al-Nihayah, pendapat Imam Syafii dan lainnya, seperti,
QS. al-Nisa’ (4): 16 dan 43. Terjemahan ayat dibuat dengan gaya bahasa Melayu
klasik. Ia juga terikat dengan kaedah bahasa Arab. Terjemahan banyak
menggunakan struktur ayat songsang yaitu struktur ayat yang tidak terikat dengan
kaedah subjekpredikat. Ia juga banyak menggunakan struktur ayat pasif yang
diwakili oleh imbuhan “di” dan “oleh.”
Menurut Anthony H. Johns dalam karyanya yang berjudul Quranic Exegesis in
the Malay World, pada akhir abad ke-16 M di berbagai wilayah Nusantara telah
terjadi proses pembahasalokalan (vernakularisasi) keilmuan Islam. Hal ini bisa
dilihat dalam tiga fenomena. Pertama, digunakannya aksara Arab dengan bahasa
Melayu yang disebut dengan aksara Jawi. Kedua, banyaknya kata serapan dari
bahasa Arab yang telah ditransformasikan dalam bahasa lokal. Ketiga, banyaknya
karya sastra yang terinspirasi oleh model-model karya sastra Arab (dan Persia).
Ada satu lagi yang tidak disebutkan oleh Johns, yaitu adanya penyerapan struktur
dan aturan linguistik dan gramatikal bahasa Arab.
Dengan demikian, dapat diberasumsikan bahwa Abdurrauf al-Singkili
menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab Melayu Pegon
dikarenakan jauh sebelumnya telah terjadi proses pembahasalokalan, selain itu
bahasa ini merupakan lingua franca yang dipakai di Nusantara. Bahasa Melayu
yang juga dikenal dengan bahasa Jawi tersebut berkembang dengan pesat, bahkan
menjadi bahasa resmi yang dipakai dalam pemerintahan, hubungan antar-negara,
dan perdagangan. Hal tersebut tidak hanya terdapat dalam karya-karya Abdurrauf
al-Singkili, namun bahasa Melayu juga telah digunakan oleh ulama-ulama
sebelumnya. Seperti yang dilakukan oleh ulama awal terkemuka di Nusantara,
yakni Hamzah Fansuri dalam karyanya yang berjudul Syarh{ al-‘Asyiqin dan
dalam karya Syamsuddin al-Sumatrani Mir’at al-Mu’min.
2) Bentuk Penyajian
Bentuk penyajian penafsiran yang dilakukan oleh Abdurrauf al-Singkili adalah
bentuk penyajian global, suatu bentuk penyajian yang singkat dan global. Dalam
berbagai karya tafsir, jarang ditemukan karya yang memiliki metode penafsiran
dengan menggunakan teknik atau bentuk penafsiran yang tunggal. Suatu tafsir
tidak selamanya dalam menafsirkan bentuk global atau terperinci saja. Suatu
tafsir dapat disebut mempunyai penyajian global, tetapi terkadang ia juga
termasuk dalam bentuk penyajian rinci, sebab seringkali ketika ia menjelaskan
suatu ayat, ia menafsirkan ayat itu dengan sangat detail dan jelas. Tetapi
terkadang dalam menjelaskan ayat lain ia juga hanya memakai bentuk penyajian
global. Begitupun dengan Tafsir Turjumun al-Mustafid, , Abdurrauf al-Singkili
terlihat menggunakan bentuk penyajian rinci ketika menafsirkan (QS. Al-
Baqarah: 69) menjelaskan berbagai aspek, baik itu kisah israiliyat dan kiraat
(qira’at). Sedangkan ketika menjelaskan ayat yang lain hanya menjelaskan secara
singkat. Bahkan terkadang hanya menampilkan terjemahnya, seperti; QS. Al-
Baqarah: 4.
Sekali lagi, hanya saja, hampir seluruh dari penafsiran Abdurrauf al-Singkili
lebih banyak menggunakan penyajian global daripada penyajian rinci.
Kemungkinan besar sebagaimana hasil kesimpulan dari Wan Nasyruddin Wan
Abdullah bahwa rujukan tafsir dan terjemahan ayat ini diwarnai oleh tafsir al-
Jala>lain, maka karena itu tafsir inipun ditulis secara global oleh Abdurrauf al-
Singkili. Paparan secara global, secara pragmatis dapat memudahkan para
pembaca dalam memahaminya. Ditulis ringkas dikarenakan masyarakat saat itu
masih dalam tahap awal dalam mempelajari alQur’an dan juga tafsir, masih
belajar dari surau-ke surau atau istilah orang Jawa disebut dengan Nggon Ngaji,
maka pada abad selanjutnyalah ketika surau menjadi madrasah klasikal yang
terjadi di Sumatra baru dikenal akan kitab Tafsir alMana>r dan lain sebagainya.
Selain itu, jika dilihat dari latar belakang keilmuan Abdurrauf al-Singkili maka
dapat diambil kesimpulan juga bahwa kenapa tafsir ini ditulis secara ringkas dan
padat, hal ini dikarenakan Abdurrauf al-Singkili sendiri bukanlah ahli dalam
bidang tafsir, akan tetapi keilmuannya lebih cenderung dalam bidang tasawuf.
Terlepas dari itu semua tafsir inipun sangat menemukan eksistensinya di tengah
kekacauan dan kekeliruan yang terjadi di kalangan masyarakat saat itu
disebabkan oleh tafsiran-tafsiran batin yang dilakukan oleh golongan Wahdatul
Wujud. Demikian juga sikap agresif Nuruddin al-Raniry yang membawa
pertumpahan darah. Disinilah Abdurrauf al-Singkili telah berusaha memposisikan
diri sebagai tokoh yang muderat di tengah pergulatan intelektual saat itu dengan
menggunakan pendekatan yang lebih arif dan bijaksana, salah satunya
memaparkan dan menjelaskan sesuatu melalui berbagai karyanya, dalam
memahami al-Qur’an ia menulis Tafsir Turjumun al-Mustafid. . Ia tidak
cenderung kepada mazhab atau aliran pemikiran. Ini menunjukkan keakademikan
Abdurrauf al-Singkili. Sekalipun ia terkenal sebagai pelopor tarekat Syatariyyah,
namun Turjumun al-Mustafid tidak dijadikan sebagai tempat ia mengemukakan
keahliannya itu. Justeru kitab ini dapat menarik perhatian semua lapisan
masyarakat yang mempelajari dan membacanya.
3) Bentuk Penulisan
Dalam bentuk penulisan tafsir yang dilakukan oleh Abdurrauf al-Singkili dalam
karyanya Turjumun al-Mustafid aturan di atas tidak terlihat walaupun dibeberapa
tempat Abdurrauf al-Singkili menyebutkan sumber rujukan, tetapi ia tidak
menempatkannya dalam bentuk catatan kaki dan lain sebagainya. Seperti halnya
tata cara penulisan ilmiah. Hal ini disebabkan:
Pertama, pada waktu tafsir ini ditulis sekitar abad 17 tata cara penulisan ilmiah
belum popular, karena memang awal kegiatan intelektual dikawasan ini masih
didominasi oleh tradisi lisan atau pengucapan (oral tradition) dalam melakukan
transmisi ilmunya kepada orang lain.
Kedua, tujuan dan motivasi Abdurrauf al-Singkili dalam menulis Turjumun al-
Mustafid adalah untuk dikonsumsi oleh masyarakat Nusantara kala itu yang
awam terhadap pemahaman al-Qur’an, bukan untuk kebutuhan akademis dank
arena itu pula, Abdurrauf al-Singkili menulis tafsirnya menggunakan bahasa
Melayu.

C. pengaruh-pengaruh ajaran Tasawuf Abdurrauf As-Singkili


Abdurrauf As-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di
Fansur, dibesarkan di Singkil, wilayah pantai Barat Laut Aceh. Di perkirakan lahir
tahun 1615 M. Ayahnya Syekh Ali Fansuri beliau menghabiskan waktunya selama
19 tahun untuk menuntut berbagai cabang ilmu islam di Haramain.
Setelah selesai belajar berbagai macam ilmu agam ia kembali ke Aceh dan
membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddim
Abdul Rauf ini diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil.
Dalam kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh
Ar-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan
memadukan secara simponi tasawuf dan syariah.
Kegagalan Ar-Raniri menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh abdul rauf,
tetapi tidak dengan jalan Radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal
yang bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham
lain. Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksan
mengingatkan kaum muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya
menuduh orang lain sesat atau kafir.
Tarekat yang dijalankan Abdurrauf adalah tarekat syatariyah karena mengikuti dan
telah mendapat ijazah dari gurunya Ahmad Al-Qusyasyi, sehingga nama beliau
tercantum pada silsilah Syatariyyah di Aceh. Bahkan nama Qusyasyi begitu dikenal
dan melekat di daerah sumatera dan Jawa, bahkan tarekat syatariyah ini dalam
naskah-naskah tertentu disebut tarekat Qusyasyiyyah.
Abdurrauf ini aktif menulis karya-karya keagamaan yang membahas masalah fikih,
ilmu kalam, tasawuf dan tafsir. Karya-karyanya antara lain:
1. mir’atu ath-Thullab fi Tashil Ma’rifatil ahkam wasy-syar’iyah.
2. Umdatul muhtajin ila suluki Maslah Al-Mufridin.
3. Kifayat al-Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Tahbir.
4. Li’l Malik al-Wahhab.
5. Turjumun al-Muwahhidin al-qaili bi Wahdah al-wujud.
Ulama abdurrauf ini seorang yang giat mengembangkan pemikiran dan
penyebaran islam dan banyak mencetak murid-murid yang juga memainkan
peranan penting dalam penyebaran islam diberbagai daerah, sehingga
menyebabkan jangkauan pengaruh Aceh sangat luas. Di dalam kiprahnya
mengajarkan dan mengembangkan agam islam terus dilakukan, di dayahnya
bernama Rangkang teunku Syiah Kuala di Pantai Kuala, yang merupakan salah
satu dayah/rangkang yang banyak menghasilkan ulama-ulama yang berkualitas
sebagai penerusnya.
Antara lain muridnya yang terkenal adalah Syekh Burhanuddin dari
Minangkabau yang turut berkiprah menyebarkan agama islam di Minangkabau.
Syekh Abdurrauf meninggal dan dimakamkan di Kuala raya Desa Deah Raya,
Kecamatan syiah kuala, Kota banda Aceh.
Ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh, makam ini rusak ringan dan
kedua nisannya dalam keadaan patah lelah. Kemudian oleh pihak Yayasan
Yamsika telah melakukan perbaikan dengan cara mengecor nisan tersebut lalu
dipasangkan pada jirat makam. Hal itu dilakukan secara sepihak tanpa ada
koordinasi sebelumnya dengan Balai Pelestarian peninggalan Purbkala Banda
Aceh dan instansi terkait lainnya. Sehingga tindakan ini telah menyalahi prinsip
teknis pemugaran, dan perlindungan cagar budaya sebagaimana telah diatur dalam
undang-undang nomor 11 tahun 2011 tentang cagar budaya.
Bebrapa tokoh ulama telah memainkan peranan penting dalam penyebaran islam
masa awal di Aceh dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia islam.
Mereka telah berjuang dan berkiprah dalam usaha memperkenalkan nilai-nilai
pendidikan islam dan benar-benar mengajak masyarakat untuk melakukan syariat
islam dengan menyampaikan ajaran-ajaran ortodoksi (ajaran yang berpegang
hanya kepada Al-Qur’an dan As-sunnah).
Dengan melalui karya-karya kitab yang disusunnya, dan dalam bahasa sastra
yang indah sehingga pengamalan nilai-nilai ajarannya dengan mudah dipahami
oleh masyarakat pada saat itu.
Bukti kejayaan dan kebesaran ulama-ulama besar tersebut kini dapat disaksikan
sebagai sejarah dengan masih adanya pusara/makam-makam dibanda Aceh dan di
kota Subulussalam. Tinggalan-tinggalan sejarah tersebut harus tetap dilindungi,
dijaga dan dirawat agar tetap dilestarikan kepada generasi mendatang, sebagai
cagar budaya.
a. Hamzah Fansuri memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran
dan praktek keagamaan kaum Muslimin Nusantara pada paruh pertama abad
ke 17 M. Ia mendirikan dayah atau pesantren di Singkil, tercatat bahwa dayah
pertama di Aceh adalah dayah yang dibangun Hamzah Fansuri. Karya-karya
Hamzah Fansuri antara lain:
- Syarab al-Asyiqin
- Asrar Al-Arifin
- Al Muntahi
b. Nuruddin Ar-raniri, setelah mendapat posisi yang kuat di Aceh, kemudian
melancarkan pembaharuan islam dengan radikal. Ia menentang paham
wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani.
Menurutnya paham yang dibawa Hamzah Fansuri adalah sesat dan
menyimpang dari ajaran islam. Ar-Raniry membunuh orang yang menolak
melepaskan keyakinannya yang sesat akan dan banyak buku/kitab-kitab
Hamzah Fansuri dibakar. Ar-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan
wacana keagamaan yang baru. Karya-karya nya cukup banyak lebih dari 40
kitab antara lain:
- Sirat Al-Mustaqim (jalan lurus), kerupakan kitab fikih yang pertama dan
lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
- Daral Al-faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
- Lata’ih al-Asrar
- Hall al-Dzill ma’a sahabihi.
- Umdat al-i’tiqad.
- Hujaj al-Sidiq.
- Jauhar al-ulum
- Ma’al Hayat dan lain-lainnya.
Peranan Ar-raniri cukup besar dalam pembentukan tradisi keilmuan dan
pendidikan islam yang bercorak ortodoksi di Nusantara.
c. Pada masa pemerintahan ratu Safiatuddin beliau melanjutkan usaha
pembaharuan yang pernah dirintis oleh Ar-Raniry. Target utama
pembaharuannya diprioritaskan pada rekonsiliasi, dengan memadukan secara
simponi tasawuf dan syariah, tetapi tidak dengan jalan radikal. Beliau sangat
bijaksana dalam menyikapi dua hal yang bertentangan dan tidak bersikap
kejam terhadap mereka yang menganut paham lain.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa dipisahkan dari tasawuf. Bahkan, Islam
pertama yang dikenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan
dengan pendekatan sufistik. Islam dalam corak demikian itulah yang paling mampu
memikat lapisan bawah, menengah dan bahkan bangsawan. Para penyebar Islam di
Indonesia itu, umumnya para da’i yang memiliki pengetahuan dan pengalaman
tasawuf.
Abdurrauf al-Singkil (Singkil, Aceh Selatan 1024 H/1615 M ) adalah seorang ulama
besar Aceh yang terkenal. Ia seorang ulama dari Fansur yang memiliki pengaruh besar
dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Ulama
abdurrauf ini seorang yang giat mengembangkan pemikiran dan penyebaran islam dan
banyak mencetak murid-murid yang juga memainkan peranan penting dalam
penyebaran islam diberbagai daerah, sehingga menyebabkan jangkauan pengaruh
Aceh sangat luas. Di dalam kiprahnya mengajarkan dan mengembangkan agam islam
terus dilakukan, di dayahnya bernama Rangkang teunku Syiah Kuala di Pantai Kuala,
yang merupakan salah satu dayah/rangkang yang banyak menghasilkan ulama-ulama
yang berkualitas sebagai penerusnya.

B. SARAN
Demikian makalah ini kami buat dengan sedemikian rupa. Mungkin masih banyaknya
kesalahan yang ada mulai dari penyusunan kata, bahasa, sistematis maupun
penyuntingan kalimat, karena keterbatasan kami. Oleh sebab itu kami sangat
mengharapkan saran atau masukan maupun kritik yang bersifat membangun karena
dengan adanya masukan itu penulis dapat memperbaiki makalah yang kami buat.
Serta saran sangat dibutuhkan guna perbaikan makalah selanjutnya dan semoga
makalah ini bermanfaat bagi semuanya termasuk pembaca dan terkhusus untuk
penulis. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

https://steemit.com/indonesia/@abiismail/pengaruh-hamzah-fansuri-nuruddin-ar-raniry-dan-
abdul-rauf-al-singkili-dalam-studi-islam-di-indonesia

https://www.kompasiana.com/jemilfirdaus/55289f8f6ea834994c8b45ab/karakteristik-
neosufisme-sejarah-baru-tasawuf
https://republika.co.id/berita/m3rese/hujjatul-islam-syekh-abdul-rauf-alsingkili-harmonisasi-
syariat-dan-tasawuf

Anda mungkin juga menyukai