Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS HISTORIS PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL

MASA KEEMASAN ISLAM


Oleh : Ramdani Amri
(Mahasiswa Pascasarjana IAIN Padangsidimpuan)

Abstract :
Mengindentifikasi sejarah pendidikan nonformal dan informal masa
keemasan Islam tentu sangat sulit dilakukan, sebab yang menjadi kajian
(analisis) adalah bagaimana pelaku sejarah mengajar pada sekolah
kehidupan yang luas tanpa dibatasi dinding kelas. Rasulullah dan para
sahabat memanfaatkan berbagai kesempatan yang mengandung nilai-nilai
pendidikan dan rasulullah menyampaikan ajarannya dimana saja seperti di
rumah, di masjid, di jalan, dan di tempat-tempat lainnya hal ini kemudian
yang menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya dalam menggali dan
mengajarkan ilmu pengetahuan dan ajaran agama dimana saja dan kapan
saja.

Kata Kunci : Pendidikan Nonformal dan Informal

A. Pendahuluan

Pendidikan dapat terjadi dimana saja. Dapat terjadi di rumah, di kantor,


di pasar, di sekolah. Tempat pendidikan tersebut oleh para ahli dibagi menjadi
di rumah, di masyarakat, di sekolah. Di rumah dan sekolah sudah jelas.
Pendidikan di masyarakat, yaitu lingkungan selain di rumah dan sekolah; ini
yang kurang jelas. Yang disebut masyarakat itu yang mana? Yang sudah agak
jelas tentang masyarakat itu ialah pusat-pusat pelayanan seperti, kepolisian,
penjara, rumah sakit, rumah ibadah, pengadilan, partai politik, organisasi
kemasyarakatan (seperti organisasi berbasis agama, lembaga swadaya
masyarakat), lembaga pendidika non formal (kursus-kursus), segala hal,
barang, alam yang memengaruhi perkembangan seseorang.1

1
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 235.
Pendidikan sebagaimana disampaikan dalam hasil seminar pendidikan
Islam se-Indonesia tahun 1960 merumuskan pengertian Pendidikan Islam :
“Sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut
ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh,
dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam”.2
Apabila dikaitkan dengan sejarah perkembangan pendidikan yang
dialami manusia, maka pendidikan informal lebih terdahulu dilaksanakan
manusia daripada pendidikan formal sebagaimana yang dijumpai di sekolah-
sekolah. Tetapi ditinjau dari perkembangan ilmu pengetahuan pendidikan
maka pendidikan formal disekolahlah yang pertama kali mendapat perhatian
dari para ahli pendidikan, dan hanya baru pada abad kedua puluh timbul lagi
perhatian para pendidik terhadap pentingnya pengaruh pendidikan yang
bersifat informal, di dalam masyarakat diluar sekolah.3
Dalam kaitan itu juga sejarah pendidikan Islam pada hakekatnya tidak
terlepas dari sejarah Islam. Sejarah, dalam bahasa Arab disebut tarikh yang
berarti keterangan yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah
lampau atau pada masa yang masih ada.4 Sejarah mengungkapkan peristiwa-
peristiwa masa silam, baik peristiwa sosial, politik, ekonomi, maupun agama
dan budaya dari suatu bangsa, negara atau dunia.
Dalam kajian sejarah pendidikan Islam. Masa kejayaan/keemasan
Islam selalu dikaitkan dengan masa kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani
Abbasiyah. Masa kejayaan pendidikan Islam ditandai dengan berkembang
pesatnya kebudayaan Islam secara mandiri. Dengan berkembang luasnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam berbentuk madrasah-madrasah dan
universitas yang merupakan pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam.5
Pembahasan selanjutnya tentu muncul pertanyaan kapan sebetulnya
masa keemasan Islam itu terjadi. Jawaban atas pertanyaan ini menjadi dasar
seterusnya bagi bahasan-bahasan dalam makalah ini. Masa kejayaan Islam
dapat terukur dengan ditandai dengan …kebhineka tunggal ika an, dalam
berbagai aspek peradaban, yang dihiasi oleh keberagaman dalam bidang
kehidupan keagamaan, pemikiran kefilsfatan, keberadaan dalam warna corak
2
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 15.
3
Ali Saifullah, Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm. 20.
4
Munawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm. 15.
5
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2005), hlm. 26-27.
kesenian dengan tingkat perekonomian serta ilmu pengetahuan seserta
teknologi yang beragam yang kesemuaannya itu mendukung dan dijiwai
untuk mewujudkan kesejahteraan hidup manusia lahir batin, duniawi dan
ukhrawi.6 Abu Su‟ud menyatakan bahwa kekhalifahan Bani Abbas selalu
dikaitkan dengan zaman keemasan Islam yang dalam hal ini dapat dikaitkan
dengan masa keemasan pendidikan Islam. Khalifah yang paling populer
dalam mengantarkan kejayaan peradaban Islam masa ini adalah Sultan Harun
Al-Rasyid, yang keberhasilannya dalam mengembangkan berbagai kesenian,
terutama kesusastraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.7
Pernyataan di atas sudah jelas bahwa masa kejayaan Islam atau biasa
dalam literature-literatur sejarah disampaikan bahwa masa keemasan Islam
berada pada masa kekuasaan Bani Abbasyyah dengan tokoh sentralnya Sultan
Harun Al-Rasyid, berbagai kegemilangan peradaban diraih oleh baginda
tersebut akan tetapi perlu digaris bawahi apa sebetulnya yang menjadi
pendorong dalam peningkatan peradaban Islam saat itu.
Bagaimana mungkin perkembangan peradaban Islam pada masa
keemasan Islam tanpa didukung dengan kepedulian masyarakat dan keluarga
seputar pendidikan, dan siapa saja mereka yang berperan aktif dalam
menyongsong kemajuan, tentu peran serta pendidikan tidak luput menyertai
perkembangan peradaban begitu juga dengan peran pendidikan secara
nonformal dan informal pada masa keemasan Islam ? Hal ini menjadi tanda
tanya besar yang akan dicoba dijawab dalam isi makalah ini.
Dengan demikian makalah ini akan menjawab bagaimana pendidikan
nonformal dan informal pada masa keemasan Islam menjadi fokus bahasan
makalah singkat ini.

1. Pendidikan Informal dalam Pandangan Islam


Berbagai alasan disampaikan mengapa pendidikan informal adalah
paling penting. Alasan pertama, pendidikan di tempat pendidikan lainnya
(masyarakat, rumah ibadah, sekolah), frekuensinya rendah. Alasan kedua, dan
ini paling penting, inti pendidikan agama (Islam) ialah penanaman iman.
Penanaman iman itu hanya mungkin dilaksanakan secara maksimal dalam
kehidupan sehari-hari dan itu hanya mungkin dilakukan di rumah. 8 Hak

6
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang: UIN Maliki Press, 2008),
hlm. 149-150.
7
Abu Su‟ud, Islamologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 78.
8
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 134.
tertinggi yang terletak di pundak orangtua terhadap anak mereka adalah
ketakwaan. Sewaktu seorang anak mencapai usia tujuh tahun, ia wajib
mempelajari pelaksanaan salat secara benar. Orangtua wajib memberikan
motivasi kepadanya, dengan memberikan hadiah atau penghargaan. Demikian
halnya dengan ibadah puasa.9
Dalam pandangan Islam pendidikan dalam keluarga lebih dominan.
Orangtua adalah pendidik utama dan pertama. Utama karena pengaruh mereka
amat mendasar dalam perkembangan kepribadian anaknya; pertama karena
orangtua adalah orang pertama dan paling banyak melakukan kontak dengan
anaknya.10
Kunci pendidikan informal dalam rumah tangga sebenarnya terletak
pada pendidikan ruhani dalam arti pendidikan qalbu, lebih tegas lagi
pendidikan agama anak. Mengapa kunci? Karena pendidikan agamalah yang
berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang.11
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama,
karena dalam keluarga disinilah anak pertama-tama mendapatkan bimbingan
dan didikan, keluarga juga dikatakan lingkungan yang utama, karena sebagian
besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang
paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga.
Hasbullah menyampaikan bahwa “tugas utama dari keluarga bagi
pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan
pandangan hidup keagamaan. Sifat dan tabiat anak sebagian besar diambil dari
kedua orangtuanya dan dari anggota keluarga yang lain.12
Sejalan dengan hal di atas tanggungjawab orangtua dalam pendidikan
anak dalam lingkungan keluarga, apa yang disampaikan oleh Ibnu Sina cukup
terkenal dalam bidang pendidikan anak dikemukakan sebagai berikut:
“Pertama-tama anak sebaiknya belajar al-Quran, tentu saja ketika anak tersebut
telah siap secara fisik dan mental untuk belajar. Pada waktu yang sama, anak
sebaiknya belajar huruf abjad, diajarkan dasar-dasar pendidikan agama dan
belajar syair dengan dimulai dengan syair-syair pendek agar mudah dihafal.
Kemudian diajarkan pula syair-syair pilihan yang berisi tentang keutamaan
budi pekerti, penghargaan tentang ilmu, celaan terhadap kebodohan, dorongan

9
Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, (Jakarta: Lentera, 2002), hlm. xxv.
10
Ahmad Tafsir, ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2000), hlm. 158 .
11
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 243.
12
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 39.
berbuat baik kepada kedua orangtua, melakukan perbuatan baik, melayani
tamu dengan baik dan lain sebagainya.”13
Pendidikan itu sendiri sudah harus dilakukan sedini mungkin di rumah
maupun di luar rumah, formal di institusi pendidikan, dan non formal di
masyarakat. Hal ini dijelaskan dengan hadis nabi; didiklah anak-anakmu,
sebab mereka dilahirkan untuk hidup dalam suatu zaman yang berbeda
dengan zamanmu (Bukhari dan Muslim).14
Lebih tegas dikemukakan Abdullah Nasih Ulwan bahwa “jika terus
dikaji ayat-ayat al-Quran dan Hadis Rasulullah SAW, didalam memerintahkan
kepada para pendidik untuk memikul tanggungjawab dan memberikan
peringatan jika meremehkan kewajiban-kewajiban mereka, tentu kita akan
mengetahui lebih banyak dari apa yang disebutkan disini (dalam buku). Semua
itu dimaksudkan agar setiap pendidik mengetahui betapa besar amanat dan
tanggung jawabnya. Diantara ayat-ayat al-Quran itu adalah “dan
diperintahkan kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu
dalam mengerjakannya” (Thaha: 132), hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...(at-Tahrim: 6), maka
demi tuhanmu, kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang
telah mereka kerjakan dahulu. (al-Hijr: 92-93).15
Dalam Islam memiliki pandangan bahwa kewajiban menuntut ilmu itu
dari buaian sampai liang lahat. Konsep yang disampaikan oleh Rasul sebagai
pembawa risalah agama Islam. Berkaca kepada hukum Islam tentang
kefardhuan menuntut ilmu pengetahuan. Hal ini tidak jauh dari pandangan al-
Quran pertama sekali disampaikan.
Dalil yang berkaitan dengan pendidikan informal dalam bahasan ini
yang dimulai dengan:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan. (at-Tahrim: 6).

13
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Pokok-pokok Pikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan, (...:Isa al-Babi al-
Halabi wa syirkah, 1994), hlm. 13.
14
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Bakti Yasa, 1998),
hlm. 196.
15
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995), hlm.
xxxiii-xxxiv.
2. Pendidikan Nonformal dalam Pandangan Islam
Pendidikan nonformal lazim disebut dengan pendidikan masyarakat
ditengah masyarakat dengan banyak corak ragamnya. Sementara pendididkan
informal dapat dipahami dengan pendidikan berbasis keluarga atau pendidikan
di dalam rumah tangga. Pemaknaan demikian menjadi harapan bagi penulis
agar mudah dipahami oleh segenap pembaca dan peserta seminar berkaitan
dengan pendidikan nonformal dan informal pada masa kejayaan Islam.
Bagaimana kaitan pemahaman kita dengan topik yang dibahas, maka
pembahasan singkat disini penulis bermaksud menjelaskan seputar pendidikan
nonformal dan informal yang telah terlaksana pada masa kejayaan Islam, dan
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konten analisis terhadap nilai-
nilai sejarah dalam pendidikan Islam seputar pendidikan nonformal dan
informal yang dibatasi pada masa keemasan Islam.
Uberto Sihombing menyebutkan pendidikan nonformal dapat
diamaknai sebagai usaha sadar yang diarahkan untuk meyiapkan,
meningkatkan dan mengembangkan sumberdaya manusia, agar memiliki
pengetahuan, keterampilan, sikap dan daya saing dalam merebut peluang yang
tumbuh dan berkembang, dengan mengoptimalkan penggunaan sumber-sumber
yang ada dilingkungannya.16
Masyarakat turut serta memikul tanggung jawab pendidikan. Secara
sederhana masyarakat dapat diartikan sebagai kumpulan individu dan
kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan agama. Setiap
masyarakat memiliki cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan
tertentu. masyarakat besar pengaruhnya dalam memberi arah terhadap
pendidikan anak, terutama para pemimpin masyarakat atau penguasa yang ada
didalamnya. Pemimpin masyarakat muslim tentu saja menhendaki agar setiap
anak dididik menjadi anggota yang taat dan patuh menjalankan agamanya, baik
dalam lingkungan keluarganya, anggota sepermainannya, kelompok kelasnya
dan sekolahnya.17 Maka dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan pengertian pendidikan non
formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.18
16
Umberto Sihombing, Pendidikan Luar Sekolah Manajemen Strategi, (Jakarta: PD. Mahkota, 2000), hlm.
12.
17
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 44-45.
18
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang SISDIKNAS,
(Jakarta: Depag. RI, 2003), hlm. 35.
Sesuai dengan apa yang disampaikan di atas Masjid dengan segenap
fungsinya dapat dijadikan salah satu wadah dalam penerapan pendidikan non
formal dengan pernyataan “Masjid selain berfungsi memenuhi keperluan
ibadah Islam, fungsi dan perannya ditentukan oleh lingkungan, tempat dan
jamaah dimana masjid didirikan. Secara prinsip, mesjid adalah tempat
membina ummat, yang meliputi penyambung ukhuwah, wadah membicarakan
masalah ummat, serta pembinaan dan pengembangan masyarakat”.19
Berkaitan dengan apa yang disampaikan di atas maka Hasbullah
menyatakan bahwa ciri dari pendidikan non formal sebagai berikut:20
a. Pendidikan diselenggarakan dengan sengaja di luar sekolah
b. Peserta umumnya adalah mereka yang tidak bersekolah lagi atau
drop out
c. Pendidikan tidak mengenal jenjang, dan program pendidikan untuk
jangka waktu pendek
d. Peserta tidak perlu homogen
e. Ada waktu belajar dan metode formal, serta evaluasi yang
sistematis
f. Isi pendidikan bersifat praktis dan khusus
g. Keterampilan kerja sangat ditekankan sebagai jawaban terhadap
kebutuhan terhadap meningkatkan taraf hidup
Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.(ali Imran: 104).
Ayat di atas bermaksud menunjukkan makna hendaknya terdapat suatu
golongan yang memilih tugas menegakkan dakwah, memerintahkan kebaikan
dan mencegah kemungkaran. Pada setiap orang berharap dapat kehendak dan
aktivitas di dalam melaksanakan tugas dakwah tersebut, dan mendekatkan
caranya dengan penuh ketaatan, sehingga jika mereka melihat kesalahan segera
mereka kembali ke jalan yang benar. Orang-orang Islam terdahulu telah
melaksanakan ketaatan yang dimaksud, dan karenanya mereka berani
menyampaikan khutbah di mimbar-mimbar, jika engkau melihat orang yang
berprilaku menyimpang, maka segeralah meluruskannya.21

19
Aisyah Nur Handryant, Masjid sebagai Pusat Pengembangan Masyarakat, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), hlm. 66.
20
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 56.
21
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 172-173.
Apa yang disampaikan di atas dapat diambil iktibar betapa pentingnya
sikap pribadi seseorang yang hendak mengajak kepada perubahan sikap, dari
yang kurang baik semakin baik, dari yang mungkar kepada yang baik.
Karenanya selain menuntut ilmu apa saja, dan dimana saja merupakan
kewajiban menjadi masyarakat yang dapat memberikan contoh yang baik
merupakan kewajiban.22
Berbagai penjelasan di atas menjadi menarik ketika disampaikan bahwa
dalam pandangan Islam pendidikan non formal dalam pikiran dan anggapan
adalah segala sesuatu aktivitas yang dilakukan oleh setiap muslim laki-laki dan
perempuan dalam upaya memperbaiki sikap/perilakunya dapat dikatakan hal
tersebut sebagai pendidikan non formal dalam pandangan Islam.

3. Analisis Historis Pendidikan Nonformal dan Informal masa Keemasan


Islam
Di atas telah dibahas panjang lebar berkaitan dengan pendidikan non
formal dan informal dalam pandangan Islam. Sejarah mencatat bahwa
pendidikan Islam dalam perjalanannya telah melewati berbagai rintangan yang
tidak semulus dan senyaman proses pendidikan Islam yang kita pahami
sekarang, maka dalam perjalanan pendidikan Islam dari masa keemasan
menjadi kajian yang sangat memikat hati, jika ditelusuri sejarah bagaimana
asal mula pendidikan Islam itu.
Selanjutnya awal pendidikan Islam dalam sejarah, dimulai dengan
penyampaian ajaran Islam itu sendiri. Hal ini tidak dapat dipisahkan antara satu
sama lain, yang akhirnya para ahli sering berpendapat, masa pendidikan Islam
awal dimulai dari kota Mekkah sebelum Rasulullah berpindah (hijrah) ke
Yastrib (madinah) yang selanjutnya menjadi pase kedua dari pendidikan Islam.
Periode klasik ini merupakan masa gemilang (the golden age) bagi umat Islam.
Pada masa tersebut umat Islam berhasil dalam berbagai aspek kehidupan.
Agama Islam memberikan motivasi yang sangat jelas agar pemeluknya
berkarya untuk mencapai kemajuan dan kejayaan. Kemajuan dan kejayaan

22
Agar ucapan dan ungkapan kita sebagai anggota masyarakat (pendidik di Non Formal dan Informal)
maka kita harus memiliki karakter seorang pendidik sebagai berikut: 1. Mangharap ridha Allah, 2. Jujur dan
amanah, 3. Komitmen dalam ucapan dan tindakan, 4. Adil dan egaliter, 5. Berakhlak karimah, 6. Rendah hati, 7.
Berani, 8. Menciptakan nuansa keakraban, 9. Sabar dan mengekang hawa nafsu, 10. Baik dalam tutur kata, 11.
Tidak egois. Penjelasan lengkap tentang sikap masyarakat/pendidik yang ingin menyampaikan kebaikan (amar
ma‟ruf, nahi munkar) dapat Berakhlak karimah, 6. Rendah hati, 7. Berani, 8. Menciptakan nuansa keakraban, 9.
Sabar dan mengekang hawa nafsu, 10. Baik dalam tutur kata, 11. Tidak egois. Penjelasan lengkap tentang sikap
masyarakat/pendidik yang ingin menyampaikan kebaikan (amar ma‟ruf, nahi munkar) dapat di baca dalam buku
karangan: Fuad bin Abdul Aziz al-Syalhub, Quantum Teaching 38 Langkah Belajar MengajarEQ Cara Nabi
SAW, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), hlm. 2-36.
tersebut tidak mungkin bisa tercapai tanpa ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu
pengetahuan tidak mungkin bisa diperoleh tanpa proses pendidikan.
Dalam kaitan (the golden age) dalam sejarah pendidikan Islam masa
Daulah Abbasiyah sangat menonjol dalam bidang pendidikan yaitu pada masa
kekhalifahan Al Makmun. Khalifah Al Makmun adalah seorang yang sangat
mencintai ilmu pengetahuan diatas segalanya dan dia juga selalu memikirkan
agama Islam dengan ilmu pengetahuan tersebut. Dia berusaha
mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku dari
Yunani serta mengembangkan ilmu-ilmu dengan mendapatkan temuan baru.
Filsafat Yunani yang bersifat rasional menjadikan Khalifah Al Makmun
terpengaruh dan mengambil teologi Mu‟tazilah menjadi teologi Negara.23
Dalam masa itu, Islam menjadi Negara yang tidak tertandingi dalam bidang
pendidikan serta banyak memberikan sumbangan ilmu pengertahuan terhadap
dunia secara keseluruhan.
Sebagai penjelasan awal tentang pendidikan Islam penyampaian
tentang ciri pendidikan yang ada. pendidikan di negeri Arab yang beragama
Islam anatara lain dikemukakan pertama; bahwa agama membawa unsur-unsur
bagi kepentingan pendidikan dan Al-Quran dijadikan sumber pengetahuan
yang paling utama. Kedua; pendidikan agama Islam mula-mula diberikan di
masjid-masjid, setelah abad ke 4 diberikan di madrasah-madrasah dengan dana
yang diberikan bantuan oleh pemerintahan dan penduduk biasa. Sementara
pada abad yang ke 5 lembaga pendidikan itu bertambah dengan didirikannya
sekolah-sekolah partikelir, yang dinamakan kuttab. Ketiga; pendidikan orang
dewasa didahului dengan pendidikan elementer yang diberikan pada masa
kanak-kanak. Keempat; sementara tujuan pendidikan meliputi; penanaman
akidah kepada Tuhan dan Rasul-rasul terutama Nabi Muhammad SAW dan
menanamkan akhlak dalam membentuk manusia menjadi pribadi dan anggota
masyarakat ayang berbudi luhur serta sanggup menegakkan kebenaran sesuai
dengan ajaran Islam.24
Berkaitan dengan penjelasan di atas betapa sempurna pendidikan yang
diterapkan pada kejayaan Islam. Pendidikan yang digalakkan tidak hanya
berorientasi keduniawian, akan tetapi sangat berbeda dengan pendidikan eropa
yang dikenal sekarang. Pendidikan Islam secara utuh menanamkan nilai akidah
dan budi pekerti yang luhur yang berlandaskan Al-Quran lebih diutamakan

23
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Pranada Group, 2007), hlm. 172.
24
I. Jumhur, Buku Sejarah Pendidikan, (Bandung: Ilmu, 1974), hlm. 21.
dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Perlu diketahui bersama, sisi lain
dalam pola pendidikan yang dirumuskan oleh Amerika dan Eropa yaitu
minimnya muatan nilai ruhiyah, dan lebih mengedepankan logika materialisme
serta memisahkan antara agama dengan kehidupan yang dalam hal ini sering
disebut paham sekulerisme.
Pendidikan nonformal di masjid-masjid bagi anak-anak pelajaran
permulaan yang diberikan adalah pendidikan membaca dan menulis yang
merupakan syarat penting dalam mempelajari Al-Quran biasanya yang menjadi
gurunya adalah pegawai-pegawai mesjid, pada masa keemasan Islam mesjid
juga berfungsi selain tempat ibadah, mesjid juga digunakan sebagai tempat
mengajarkan berbagai macam pelajaran agama. Ada yang membacakan doa-
doa atau menerangkan isi undang-undang, dan ada pula yang mentafsirkan
hasil karya pujangga yang masyhur atau membacakan hasil puisi sendiri.25
Pendidikan Islam pada masa kedaulatan Bani Abbasiyah yang
merupakan salah satu dinasti yang menghantarkan pendidikan Islam maju
pesat, maka disebabkan kepedulian mereka terhadap dunia pendidikan maka
cukup banyak berjamur jenis dan bentuk pendidikan, yang kemudian inilah
selanjutnya menjadi cikal bakal pendidikan formal berbentuk madrasah.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain:
a. Suffah
b. Maktab/kuttab
c. Halaqoh
d. Majlis
e. Masjid
f. Khan
g. Ribath
h. Rumah ulama
i. Toko-toko buku dan perpustakaan
j. Rumah sakit
k. Badiah26

Pada masa dinasti Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang


dengan sangat pesat sehingga anak-anak dan orang dewasa berlomba-lomba
menuntut ilmu serta melawat ke pusat-pusat pendidikan. Mereka rela
meninggalkan kampung halaman demi menambah cakrawala pengetahuan.
25
I. Jumhur, Buku Sejarah Pendidikan,...hlm. 22.
26
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2012), hlm. 31-43.
Salah satu indikator berkembangnya pendidikan dan pengajaran pada waktu itu
adalah berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Dalam catatan sejarah, sebelum munculnya lembaga pendidikan formal,
masjid dijadikan sebagai pusat pendidikan selain tempat beribadah. Masjid-
masjid yang didirikan oleh para penguasa pada umumnya dilengkapi dengan
berbagai macam sarana dan fasilitas pendidikan, antara lain tempat pendidikan
anak-anak, tempat pengajian yang terdiri dari kelompok-kelompok (khalaqah),
tempat diskusi dan munazharah, serta ruang perpustakaan yang berisi buku-
buku dari beraneka ilmu pengetahuan.
Selain masjid, telah berkembang pula lembaga-lembaga pendidikan
Islam lainnya baik yang bersifat formal maupun non-formal. Pada masa itu,
keberadaan lembaga-lembaga tersebut menunjukkan perkembangan yang
cukup pesat. Menurut Zuhairini dkk diantara lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang ada pada masa dinasti Abbasiyah adalah:27
a. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar Sewaktu agama Islam hadir,
sebagian sahabat ternyata memiliki kecakapan dalam menulis dan
membaca. Budaya “tulis baca” ternyata mendapat tempat dan dorongan
yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat
Islam. Hal ini memegang peranan penting dalam ranah sosial dan
politik. Hal ini dikarenakan, sejak dahulu kala, pengajaran Al Quran
telah memerlukan kompetensi tulis baca. Atas dasar inilah, kuttab
sebagai tempat belajar, terutama bagi anak-anak berkembang dengan
pesat.
b. Pendidikan Rendah di Istana; Pendidikan rendah di istana muncul
berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan harus mampu menyiapkan
anak didik dalam melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa.
Berdasarkan pemikiran tersebut, khalifah, keluarganya, serta para
pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan pendidikan rendah ini
agar anak-anak mereka sejak kecil sudah diperkenalkan dengan
lingkungan dan tugas-tugas yang bakal diembannya di kemudian hari.

c. Toko Kitab; Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam


yang semakin pesat diikuti dengan penulisan kitab-kitab dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan. Maka berdirilah toko-toko kitab. Pada

27
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 1986), hlm. 88-
95.
mulanya toko-toko tersebut berfungsi sebagai tempat jual beli kitab-
kitab yang ditulis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa itu. Orang-orang membelinya dari para
penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa saja yang berminat
mempelajarinya.
d. Rumah Ulama; Rumah-rumah ulama juga memainkan peranan penting
dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan umum.
Pelaksanaan kegiatan belajar di rumah pernah terjadi pada awal
permulaan Islam, Rasulullah Saw misalnya pernah menggunakan
rumah al-Arqam (Dar al-Arqam) bin Abi al-Arqam sebagai tempat
belajar dan mengajar tentang dasar-dasar agama yang baru serta
membacakan ayat-ayat Alquran yang di turunkan. Di antara rumah-
rumah para ulama pada masa Abbasiyah yang digunakan sebagai
lembaga pendidikan, rumah yang sering digunakan untuk kegiatan
ilmiah adalah rumah al-Rais Ibn Sina; sebagian ada yang membaca
kitab al-Syifa’ dan sebagian lain membaca kitab al-Qanun.
e. Majelis atau Saloon Kesusasteraan; Majelis atau saloon kesusasteraan
adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk
membahas berbagai ilmu pengetahuan. Khususnya pada masa khalifah
Harun ar-Rasyid, majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar
biasa, karena sang khalifah adalah ahli ilmu pengetahuan yang cerdas
serta aktif di dalamnya. Pada masa inilah sering diadakan perlombaan
para penyair, perdebatan antara fukaha dan sayembara pakar kesenian
dan pujangga.
f. Badiah; Badiah adalah dusun-dusun tempat tinggal orang-orang Arab
yang tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab,
bahkan sangat memperhatikan kefasihan berbahasa dengan memelihara
kaidah-kaidah bahasanya. Badiah merupakan sumber bahasa Arab asli
dan murni. Oleh karena itu, para khalifah biasanya mengirimkan anak-
anaknya ke sana guna mempelajari sastra Arab langsung dari
sumbernya yang asli. Banyak ulama serta ahli ilmu pengetahuan
lainnnya yang pergi ke badiah dengan tujuan mempelajari bahasa dan
kesusasteraan Arab. Badiah menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama
bahasa dan sastra Arab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan
Islam.
g. Rumah Sakit; Demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, para khalifah dan
pembesar-pembesar negara pada masa ini banyak mendirikan rumah sakit.
Selain tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, rumah sakit juga
berfungsi sebagai tempat mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan
dengan perawatan dan pengobatan serta tempat mengadakan berbagai
penelitian dan percobaan (praktikum) dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan, sehingga berkembanglah ilmu kedokteran dan ilmu obat-
obatan atau farmasi. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia Islam
juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
h. Perpustakaan dan Observatorium; Dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan pada masa Abbasiyah, didirikanlah perpustakaan dan
observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah lainnya. Di
lembaga ini, para penuntut ilmu diberikan kesempatan untuk belajar dan
mengembangkan ilmu pengetahuannya. Tempat-tempat ini juga
digunakan sebagai tempat belajar-mengajar dalam arti yang luas, yaitu
belajar bukan dalam arti menerima ilmu dari guru sebagaimana yang
umumnya dipahami. Melainkan kegiatan belajar yang bertumpu pada
aktivitas siswa (student centris), seperti belajar dengan cara
memecahkan masalah, eksperimen, belajar sambil bekerja (learning by
doing), dan inquiry (penemuan). Kegiatan belajar yang demikian ini
dilakukan bukan hanya di kelas, melainkan juga di lembaga-lembaga
pusat kajian ilmiah.
i. Madrasah; Madrasah muncul pada masa dinasti Abbasiyah sebagai
kelanjutan dari pengajaran dan pendidikan yang telah berlangsung di
masjid-masjid dan tempat lainnya. Kehadirannya menunjukkan bahwa
selain minat masyarakat yang semakin meningkat untuk mempelajari
ilmu pengetahuan juga semakin berkembangnya berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan. Tak heran jika ketika itu diperlukan
guru yang lebih banyak, sarana dan prasarana yang lebih lengkap, serta
pengaturan administrasi yang lebih teratur. Untuk menyelesaikan semua
keperluan ini dibutuhkan suatu lembaga yang bersifat formal, yaitu
madrasah.

Penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dikemukakan di atas yang


merupakan jenis pendidikan yang pada mulanya merupakan jenis pendidikan
Islam yang berbentuk nonformal yang pada dasarnya sebagian diantaranya
telah ada dan berkembang pada masa Nabi SAW, bahkan sebagian lainnya dari
bentuk dan jenis pendidikan tersebut telah lama ada tetapi tidak berkembang
dikalangan arab jahiliyah. Seperti kuttab/maktab.
Pendidikan ditingkat universitas dalam prakteknya, sebagaimana
Muhammad „Athiyah Al Abrasyi mengemukakan pendidikan Islam
dilaksanakan dengan cara bahwa pada zaman keemasan Islam asisten dosen
telah berlaku dan diperaktekkan dimana siswa yang paling pintar dipilih oleh
ustadz (dosen senior) memilih salah seorang mahasiswa diantara mahasiswa
tingkat akhir untuk mengungkapkan kembali pokok-pokok pikiran perkuliahan
kepada teman-temannya yang belum pernah mendengarkan perkuliahan yang
disampaikan.28
Penjelasan sejarah sebagaimana dikemukakan di atas menggambarkan
bagi generasi sekarang bahwa tingkat pemahaman dari siswa harus terukur
dengan dapat mengemukakan kembali pikiran yang pernah disampaikan,
bahkan tidak hanya sebatas menguasai bahkan dapat mengemukakan kembali
pokok pikiran yang pernah dikemukakan.
Pendidikan yang ada pada masa ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
formal dan non formal. Dalam pendidikan formal, pelaksanaannya formal pula.
Sebelum pembelajaran, sebagaimana dijelaskan Stanton, seorang guru terlebih
dahulu menyusun ta'liqah. Ta'liqah ini memuat silabus dan uraiannya yang
disusun berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil
bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Ta'liqah
mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk
jangka waktu empat tahun. Mahasiswa menyalin ta'liqah itu dalam proses
dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Namun, sebagian yang
lain, menambahkan pada salinan ta'liqah ini dengan pendapatnya sendiri-
sendiri sehingga ta'liqahnya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah
yang disampaikan gurunya.29
Metode pengajaran yang ditempuh bermacam-macam, mulai ceramah,
sorogan, dikte, menghafal seperti yang terjadi di masjid-masjid dan kuttab,
hingga diskusi, debat ilmiah, dan eksperimen sebagaimana di sanggar seni,
perpustakaan dan di rumah-rumah para ilmuan. Dan inilah bentuk pendidikan
non formalnya.30

28
Muhammad „Athiyah Al-Abrasyi, Pokok-pokok Pikiran Ibnu Sina tentang Pendidikan, (..., Isa al-Babi
al-Halabi wa syirkah, 1994), hlm. v-vi.
29
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 54.
30
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,...
Kelulusan mahasiswa ditentukan oleh kemampuannya dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasah. Setelah dinyatakan
lulus, mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah, yang
terkadang diwujudkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Ijazah ini lebih
diberikan oleh guru daripada sekolah. Pemberian ijazah ini sekaligus
merupakan pemberian izin (pada yang bersangkutan) untuk meriwayatkan atau
menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain.31
Selanjutnya, Hasan „Abd al-„Al sebagaimana dikutip oleh Suwito,
menyebutkan bahwa ada tujuh lembaga pendidikan yang telah berdiri pada
masa Abbasiyah terutama pada abad keempat hijrah. Ketujuh lembaga
pendidikan tersebut adalah: (1) lembaga pendidikan dasar (kuttab); (2)
lembaga pendidikan masjid; (3) kedai pedagang kitab (al-Hawanit al-
Warraqin); (4) tempat tinggal para sarjana (manazil al-‘ulama); (5) sanggar
seni dan sastra (al-shalunat al-adabiyah); (6) perpustakaan (dar al-kutub wa
dar al-‘ilmi); dan (7) lembaga pendidikan sekolah (al-madrasah).32
Institusi pendidikan Islam klasik menurut Charles Michael Stanton,
berdasarkan kriteria hubungan institusi pendidikan dengan negara yang
berbentuk teokrasi, ada dua macam, yaitu institusi pendidikan Islam formal dan
institusi pendidikan Islam informal. Institusi pendidikan formal adalah
lembaga pendidikan yang didirikan oleh negara untuk mempersiapkan
pemuda-pemuda Islam agar menguasai pengetahuan agama dan berperan
dalam agama dan menjadi pegawai pemerintahan. Institusi pendidikan formal
ini biayanya disubsidi oleh negara dan dibantu oleh orang-orang kaya melalui
harta wakaf. Pengelolaan administrasi berada di tangan pemerintah. Institusi
atau lembaga pendidikan informal tidak dikelola oleh negara, dan lembaga ini
menawarkan mata pelajaran umum, termasuk filsafat.33
Lembaga pendidikan informal dan alamiah, walaupun sejalan dengan
kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, tidak menerima bantuan langsung dari
negara, juga tidak memperoleh pengakuan hukum apapun dalam struktur
kemasyarakatan. Lembaga-lembaga pendidikan informal didukung oleh
sukarelawan yang mengabdikan diri pada usaha-usaha kelompok. Keberadaan
para sukarelawan tersebut tidak diatur oleh negara; tetapi pribadi atau
sekelompok orang yang terlibat di dalam lembaga itu bertanggung jawab
kepada masyarakat dengan cara yang sama seperti halnya warga negara
31
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Ilmu, 1990), hlm. 34.
32
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,... hlm. 14.
33
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam,... hlm. 19.
lainnya. Keberadaan lembaga pendidikan informal tergantung pada
kepribadian para ilmuwan dan kemampuannya untuk menarik murid dan
pendukung.
Salah satu lembaga pendidikan informal pada masa itu adalah
perpustakaan. Perpustakaan-perpustakaan umum dibuka untuk umum, berdiri
di masjid-masjid, masjid-akademi, dan madrasah-madrasah. Khalifah, wazir,
dan penguasa lokal sering sekali membangun perpustakaan umum untuk
mempromosikan kegiatan tulis-baca dan memajukan tingkat pendidikan dalam
wilayah kekuasaan mereka. Lembaga-lembaga seperti itu tidak hanya
berkembang di Bagdad dan Kairo, tetapi juga di ibukota-ibukota propinsi dan
sepanjang wilayah Afrika Utara, khususnya di pusat-pusat utama kebudayaan
Islam di Andalusia.34
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa selain negara membangun
fasilitias pendidikan formal, pada sisi lain para pemimpin (khalifah, wazir)
membangun fasilitas pendidikan informal secara mandiri. Hal ini bertujuan
untuk mempromosikan program pemerintah pada masa itu.
Namun, sekuat apapun kejayaan dan kemajuan itu dipertahankan, suatu
saat juga tidak akan terlepas dari kemunduran. Demikian juga dalam
pendidikan Islam, ada mengalami kemajuan dan kemunduran. Islam yang
pernah menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki banyak para ahli ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang, akhirnya terpuruk juga dikarenakan
berbagai hal yang terjadi di dalam tubuh Islam itu sendiri.

DAFTAR BUKU

34
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,... hlm. 16.
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam Jilid 1, Jakarta: Pustaka
Amani, 1995
Abu Su‟ud, Islamologi, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2009
Ahmad Tafsir, ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000
Aisyah Nur Handryant, Masjid sebagai Pusat Pengembangan Masyarakat,
Malang: UIN Maliki Press, 2010
Ali Saifullah, Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Surabaya: Usaha
Nasional, 1981
Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-
undang SISDIKNAS, Jakarta: Depag. RI, 2003
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos, 1994
Dadang Hawari, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Mental, Jakarta:
Bakti Yasa, 1998
Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Malang: UIN
Maliki Press, 2008
Fuad bin Abdul Aziz al-Syalhub, Quantum Teaching 38 Langkah Belajar
Mengajar EQ Cara Nabi SAW, Jakarta: Zikrul Hakim, 2005
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008
Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, Jakarta: Lentera, 2002
I. Jumhur, Buku Sejarah Pendidikan, Bandung: Ilmu, 1974
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bina Ilmu, 1990
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 2005
Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Pokok-pokok Pikiran Ibnu Sina Tentang
Pendidikan, ...:Isa al-Babi al-Halabi wa syirkah, 1994

Munawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw, Jakarta: Bulan


Bintang, 1969
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Pranada Group, 2007
Umberto Sihombing, Pendidikan Luar Sekolah Manajemen dan Strategi, Jakarta:
PD. Mahkota, 2000
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama
Islam, 1986

Anda mungkin juga menyukai