Anda di halaman 1dari 13

Pengaruh Pendidikan

Terhadap Pembentukan Jiwa Keagamaan

Tugas Mata Kuliah Ilmu Jiwa Agama


Dosen Pengampu : Harlina, M.Pd

Di Susun Oleh :
Ahmad Gajali
Ahmad Rasidi (NIM: 221116546)
Hervan Febrian (NIM: 219116297)
Muhammad Noor Syadzali  
Siti Mariyam

Kelas : C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM Al JAMI
BANJARMASIN
2022

DAFTAR ISI

Halaman
COVER  ........................................................................................................            i
DAFTAR ISI ..................................................................................................           ii

BAB I    PENDAHULUAN ............................................................................          1
A.           Latar Belakang .................................................................................           1
B. Rumusan Masalah.............................................................................           2
C.           Tujuan Pembahasan ..........................................................................           2

BAB II   PEMBAHASAN.............................................................................           3


A.           Pendidikan Agama dalam Pendidikan Islam.......................................           3
B.  Pendidikan Keluarga...............................................................................           4
C.           Pendidikan Kelembagaan..................................................................           6
D.           Pendidikan di Masyarakat.................................................................           8
E. Agama dan Masalah Sosial.....................................................................         10

BAB III PENUTUP ......................................................................................         12


A.Kesimpulan............................................................................................         12

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Manusia dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga beberapa faktor akan turut
mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun buruknya seseorang akan tercipta dari
beberapa faktor pendidikan yang di dapatinya. WH. Clarck mengemukakan bahwa bayi yang
baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai
kemampuan yang bersifat bawaan. Disini mengandung pengertian bahwa sifat bawaan
seseorang tersebut memerlukan sarana untuk mengembangkannya. Pendidikan merupakan
sarana yang tepat dalam mencapai hal tersebut. Terlebih sebagai umat islam maka pendidikan
islam tentu menjadi sebuah jalan yang harus ditempuh oleh semua umat.
Ali Ashraf mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam seharusnya bertujuan
menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan
spiritual, intelek, rasional diri, perasaan dan  kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan
seharusnya membukakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspek spiritual,
intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara
kolektif dan memotivasi semua aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan
terakhir pendidikan Muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada
tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.
Meskpun para ahli masih belum memiliki kesepakatan tentang asal usul jiwa keagamaan pada
manusia, namun pada umumnya mereka mengakui peran pendidikan dalam menanamkan
rasa dan sikap keberagaman pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai, memiliki
peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada seseorang anak. Kemudian
melalui pendidikan pulalah dilakukan pembentukan keagamaan tersebut. Dalam pembahasan
inilah akan dijelaskan macam-macam pendidikan yang mempengaruhi terhadap
perkembangan jiwa keagamaan, yang diantaranya ialah; pendidikan keluarga, pendidikan
kelembagaan dan pendidikan dimasyarakat. Karena mengingat pentingnya pendidiakkan
dalam membentuk jiwa keagamaan.
B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah yang akam memjadi
pembahasan dalam makalah in, diantaranya sebagai berikut:
1.      apa pengertian pendidikan agama dalam pendidikan islam?
2.      apa pengaruh pendidikan keluarga terhadap jiwa keagamaan?
3.      apa pengaruh pendidikan kelembagaan terhadap jiwa keagamaan?
4.      apa pengaruh pendidikan dimasayarakat terhadap jiwa keagamaan?
5.      apa pengaruh pendidikan agama dan masalah sosial?

C.     Tujuan Pembahasan

Dari beberapa rumusan masalah diatas dapat diperoleh beberapa tujuan yang akan dicapai,
diantaranya sebagai berikut:
1.      ingin mengetahui pendidikan agama dalam pendidikan islam.
2.      ingin mengetahui pengaruh pendidikan kluarga terhadap jiwa keagamaan.
3.      ingin mengetahui pengaruh pendidikan kelembagaan terhadap jiwa keagamaan.
4.      ingin mengetahui pengaruh pendidikan dimasayarakat terhadap jiwa keagamaan.
5.      ingin mengetahui pengaruh pendidikan agama dan masalah sosial
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pendidikan Agama dalam Pendidikan Islam

Menurut Jalaluddin, Jiwa agama biasa juga disebut dengan psikologi agama. Sedangkan
secara umum psikologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang
normal, dewasa dan beradab.
Sedangkan menurut Robert H. Thouless, psikologi sekarang dipergunakan secara umum
untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. Selanjutnya, agama juga
menyangkut masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai
bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Akan tetapi Harun Nasutiaon
mengemukankan pendapat tentanf pengertian agama, yaitu undang-undang atau hukum.
Dengan demikian psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Adalah mempelajari
kesadaran agama pada seseorang yang pengaruhnya terlihat dalam kelakuan dan tindak
agama orang itu dalam hidupnya.
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara “pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan
perkembangan budi pekerti” (kekuatan batin), pikiran (intelek) dan jasmani anak-anak.
Maksudnya ialah supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan
penghidupan anak-anak, selaras dengan alamnya dan masyarakatnya.
Perkembangan kejiwaan seseorang adalah sebuah bentuk kewajaran dan pasti terjadi dalam
diri seseorang. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu keniscayaan dalam mengarahkan
proses perkembangan kejiwaan. Terlebih lagi dalam lembaga pendidikan islam, tentu akan
mempengaruhi bagi pembentukan jiwa keagamaan. Jiwa keagamaan ini perlu ditanamkan
pada anak sejak usia dini.
Menurut Quraish Shihab, tujuan pendidikan al Qur`an (Islam) adalah membina manusia
secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba dan
khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Atau
dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh al Qur`an, untuk bertaqwa kepada-
Nya.Dengan demikian pendidikan harus mampu membina, mengarahkan dan melatih potensi
jasmani, jiwa, akal dan fisik manusia seoptimal mungkin agar dapat melaksanakan fungsinya
sebagai khalifah di muka bumi.
Pendidikan agama memang mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia, oleh
karena itu pendidikan agama islam adalah sebuah upaya nyata yang akan mengantarkan umat
islam kepada perkembangan rasa agama. Umat islam akan lebih memahami dan
terinternalisasi esensi rasa agama itu sendiri. Pertama yaitu rasa bertuhan; rasa bertuhan ini
meliputi merasa ada sesuatu yang maha besar yang berkuasa atas dirinya dan alam semesta,
ada rasa ikatan dengan sesuatu tersebut, rasa dekat, rasa rindu, rasa kagum dan lain-lain.
Kedua yaitu rasa taat; rasa taat ini meliputi ada rasa ingin mengarahkan diri pada kehendak-
Nya dan ada rasa ingin mengikuti aturan-aturan-Nya.
Pendidikan agama adalah bentuk pendidikan nilai, karena itu maksimal dan tidaknya
pendidikan agama tergantung dari faktor yang dapat memotivasi untuk memahami nilai
agama. Semakin suasana pendidikan agama membuat betah maka perkembangan jiwa
keagamaan akan dapat tumbuh dengan optimal. Jiwa keagamaan ini akan tumbuh bersama
dengan suasana lingkungan sekitarnya. Apabila jiwa keagamaan telah tumbuh maka akan
terbentuk sikap keagamaan yang termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya.

B.     Pendidikan Keluarga

Anak-anak sejak masa sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Makanya tak
mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak
sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat
akan tidur kembali, anak-anak menerirna pengaruh dan pendidikan dari lingkunan keluarga.
Menurut W.H. Clark Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tidak berdaya, namun ia
dibekali oleh berhagai kemampuan yang bersifat bawaan. Di sini terlihat adanya dua aspek
yang kontradiktif . Di satu pihak bayi berada dalam kondisi tanpa daya sedangkan di pihak
lain bayi memiliki kemampuan untuk berkembang (eksploratif). Tetapi menurut Walter
Houston Clark, perkembangan bayi tak mungkin dapat berkembang secara normal tanpa
adanya investasi dari luar, walaupun secara alami ia memiliki potensi bawaan.
Dua ahli psikologi anak Prancis bernama Itard dan Sanguin pernah meneliti anak-anak
asuhan serigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh sekelompok
serigala di sebuah gua. Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudah berusia kanak-kanak.
Namun, kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh
manusia pada usia kanak-kanak.
Tak seorang pun di antara keduanya yang mampu mengucapkan kata-kata, kecuali suara
auman layaknya seekor serigala. Keduanya juga berjalan merangkak dan makan dengan cara
menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing mcnyerupai
taring serigala. Setelah dikembalikan ke lingkungan masyarakat manusia, ternyata kedua
anak-anak hasil asuhan serigala terscbut tak dapat menyesuaikan diri, akhirnya mati.
Contoh di atas menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk
pemeliharaan ataupun            pembentukan kebiasaan terhadap masa depan perkembangan
seorang anak. meeskipun Manu seorang bayi manusia yang dibekali potensi kemanusiaan,
namun di lingkungan pemeliharaan serigala potensi tersebut tidak berkembang. Bahkan, me-
nurut W.H. Clark, para psikolog umumnya berpendapat, bayi yang baru lahir keadaannya
lebih mendekati binatang ketimbang manusia.
Kondisi seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan,
pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya
dapat berjalan secara baik dan benar. Manusia memang bukan makhluk instinktif secara utuh,
sehingga ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuhnya. Makanya,
menurut W.H. Clark, bayi memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu pengawasan serta
pemeliharaan yang terus-menerus sebagai latihan dasar dalam pembentukan kebiasaan dan
sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinan untuk berkembang secara wajar dalam
kehidupan di masa datang.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan
pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati.
Mereka pendidik bagi anak-anaknya. Karena secara kodrat ibu dan bapak diberikan anugerah
oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang para
orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral keduanya merasa terbeban
tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi serta membimbing keturunan
mereka.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan  
perkembangan agama menurut W. H. Clark, berjalan dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga
sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut keiwaan manusia
demikian rumit dan kompleksnya. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih
sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlihat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-
unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. (W.H. Clark, 1964: 4). Dalam
kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan
pada anak. Maka, tak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada kedua
orang tua.
Menurut Rasul Allah Saw., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk
arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah
memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak
sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.

C.     Pendidikan Kelembagaan

Di masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya
dididik di lingkungan keluarga dan masyarakat lingkungan. Pendidikan secara kelembagaan
memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Dan karena
kehidupan masyarakat bersifat homogen, maka kemampuan profesional di luar tradisi yang
diwariskan secara turun-temurun tidak mungkin berkembang. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan khusus menyatu dengan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Di masyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu tak mungkin
dipertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya,
seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, maka dibentuk lembaga
khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian,
secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah merupakan lembaga
pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).
Sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena
keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke
sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para
orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Mungkin saja para orang tua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan
memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain lebih
mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya, para
orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anak-anak
mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan sekolah tersebut dapat mem-
beri pengaruh dalam membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh
pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan
para anak. Beradasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latar belakang
pendidikan agama di likungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan
pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut
berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah menunjukkan
kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan yang dihasilkan oleh
pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren,
seminari maupun vihara. Pendidikan keagamaan (religious pedagogyc) sangat mempengaruhi
tingkah laku ke agamaan.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi
pembentukan jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut
sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-
nilai agama. Sebab, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh
karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan
yang selaras dengan tuntunan agama.
Menurut M. Buchori Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Dan
pembentukan kebiasaan ini menurut Wetherington melalui dua cara. Pertama, dengan cara
pengulangan dan kedua, dengan disengaja dan direncanakan. Jika melalui pendidikan
keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang
pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan lebih
efektif. Dengan demikian, pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada anak di kelembagaan
pendidikan, barangkali banyak tergantung dari bagaimana perencanaan pendidikan agama
yang diberikan di sekolah (lembaga pendidikan).
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain
sebagai pelanjut pendidikan agama di linngkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan
pada diri anak yang tidak menerima pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini
guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama
yang diberikannya.
Menurut Mc Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima
berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya
perhatian, kedua; adanya pemahaman, dan ketiga adanya penerimaan. Dengan demikian,
pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak sangat
tergantung dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu.
Pertama, pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta
didik. Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik
tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika
pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Ketiga,
penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan ini sangat
tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak
didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap
pendidik itu sendiri, antara lain memiliki keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-
sifat yang sejalan dengan ajaran agama seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini akan
sangat menentukan dalam mengubah sikap para anak didik.

D.    Pendidikan di Masyarakat
Masyarakat merapakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya
sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik
adalah keluarga, kelembagaan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara
ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak,
termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Seperti diketahui bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi sosok
yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek mencakup fisik, psikis, moral,
dan spiritual. Makanya, menurut Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh
yang serasi. Menurutnya ada lima aspek dalarn mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
1)      fakta-fakta asuhan
2)      alat-alatnya
3)      regularitas
4)      perlindungan, dan
5)      unsur waktu
Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar
yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia mengutip hasil
penelitian Newman tentang adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan
menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat disangkal. Dengan demikian menurutnya,
kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang
penting dalam pertumbuhan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih kaya pada suatu
sekolah perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi.
Selanjutnya, karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan
terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam
pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia
dewasa, namun pertumbuhan psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan
bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama waktu
ternentu. Sebaliknya, asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup. Dalam kaitan ini
pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai
bagian dari aspek kepribadiaan terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang
memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja.
Menurut Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan
pula pada oranng lain.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai
kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika
seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Dengan
demikian, fungsi dan peran masyarakat dalarn pembentukan jiwa keagamaan akan sangat
tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu
sendiri.

E.     Agama dan Masalah Sosial

Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman


agama (religious experience), ternyata melalui proses yang gradual, tidak sekaligus. Pengaruh
luar sangat berperan dalam menumbuhkembangkannya, khususnya pendidikan. Adapun
pendidikan yang paling berpengaruh, yakni pendidikan dalam keluarga. Apabila
dilingkungan keluarga anak-anak tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit untuk
memperoleh kesadaran dan pengalaman agama yang memadai.
Pepatah mengatakan : “bila anak tidak dididik oleh orang tuanya, maka ia akan dididik oleh
siang dan malam”. Maksudnya, pengaruh ingkungannya akan mengisi dan memberi bentuk
dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan di kota-kota, terutama kota besar, anak-anak yang
kehilangan hubungan dengan orang tua cukup banyak. Mungkin dikarenakan faktor ekonomi,
hingga harus ikut mencari nafkah seharian ataupun karena yatim piatu. Anak-anak ini sering
disebut anak jalanan.
Secara umum, anak jalanan merupakan anak yatim. Baik karena berstatus sebagai yatim
sepenuhnya, yaitu mereka yang sudah kehiiangn orang tua atau yang teryatimkan. Mereka
yang teryatimkan ini adalah yang masih mempunyai orang tua, tetapi sudah lepas dari
hubungan dari rang tua mereka. Hidup tanpa pemeliharaan dan pengawasan orang tua
menjadikan anak jalanan berhadapan dengan kehidupan yang keras serta terkesan "liar".
Dalam kesehariannya, anak-anak ini umumnya tergabung dalam ' kelompok sebaya atau
dalam kegiatan yang sama. Ada kelompok pengamen, pemulung, pengemis, dan sebagainya.
Mengamati lingkungan pergaulan sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka
kasus anak jalanan selain dapat menimbulkan kerawanan sosial, juga kerawanan alam nilai-
nilai keagamaan. Selain latar belakang sosial ekonomi, mereka ini pun tak memiliki
kesempatan untuk memperoleh bimbingan keagamaan. Bahkan, di kota-kota besar, mereka
ini seakan sudah terbentuk menjadi golongan tersendiri dalam masyarakat, yakni masyarakat
rentan.
Sebagai masyarakat rentan, golongan ini seakan berada di luar lingkaran budaya dan tradisi
masyarakat umum. Boleh dikatakan mereka empunyai “budaya” sendiri yang terbentuk di
luar kaidah nilai-niiai yang berlaku. Pola kehidupan yang cenderung permisif (serba boleh),
menjadikan anak jalanan rawan sentuhan berbagai pengaruh buruk.
Bila konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap fanatisme agama,
maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya. Konflik dapat tetjadi karena
kosongnya nilai-nilai agama. Dalam kondisi kehidupan yang seperti ini, tindakan emosional
dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dapat
mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang negatif. Dengan demikian, mereka akan
mudah terprovokasi oleh berbagai isu yang berkembang.
Meskipun anak-anak jalanan ini sering digolongkan sebagai kelompok masyarakat yang
termarginalisasikan, namun mereka merupakan generasi muda bangsa. Nasib dan pengaruh
lingkungan yang membawa mereka ke dalam kehidupan yang demikian. Semuanya
menjadikan mcreka kehilangan alternatif dan kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya.
Oleh karena itu, tanggung jawab ini terbebankan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat brperan. Demikian pula
organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun menyerahkan sepenuhnya kepada
pemerintah, bagaimanapun bukanlah sikap yang arif. Kasus anak jalanan tampaknya memang
memerlukan penanganan yang serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi
bagian dari masalah keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Pendidikan agama dalam pendidikan islam sangatlah penting sekali, sebab dengan adanya
pendidikan agama, manusia akan lebih dekat dengan Tuhan, dan keimanan mereka akan
semakin kuat.
Pendidikan sangatlah  berpengaruh terhadap jiwa keagamaan seseorang, khususnya dalam
pembentukan pribadi atau pembentukan watak. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka
akan semakin baik tingkat kecerdasan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Oleh
karena itu pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan sangatlah penting untuk diketahui
guna untuk menanamkan rasa keagamaan pada seorang anak didik. Diantara pengaruhnya
adalah Pendidikan Keluarga, Pendidikan Kelembagaan, dan Pendidikan di masyarakat.
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.
Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga
sulit di identifikasi secara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan, manusia begitu rumit
dan kompleksnya. Di sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sikap masyarakat
terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan lebih memberi
pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang
memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA

Deradjat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT. Bulan Bintang.

Prof. Dr. H. Jalaludin. 2009. Psikologi Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Quraish Shihab. 1992. Membumikan al Qur`an. Bandung : Mizan.

Anda mungkin juga menyukai