Disusun Oleh :
Fawwaz
Ani
Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa atas segala limpahan Nikmat, Rahmat,
Taufik dan Inayah-Nya . Tuhan yang telah menciptakan manusia dan jagat raya ini. Yang
telah menganugerahkan beragam kenikmatan kepada manusia, mengutus Rasul-Nya untuk
manusia, serta memberikan petunjuk kepada manusia.
Shalawat serta Salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para
sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa istiqomah menjalankan Sunnah-sunnahnya
hingga Yaumul Qiyamah.
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah mukjizat islam yang abadi dimana semakin maju pengetahuan,
semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Swt menurunkannya kepada Nabi
Muhammad SAW. Demi membebaskan manusia dari kegelapan hidup menuju cahaya Illahi,
dan membimbing mereka ke jalan yang lururs. Rasulullah menyampakannya kepada para
sahabatnya sebagai penduduk asli arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika
terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka
langsung menanyakan kepada Rasulullah. Diantara kemurahan Allah terhadap manusia ialah
Dia tidak saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingkan kepada
kebaikan bahkan juga dari masa ke masa mengutus seorang Rasul yang membawa kitab
sebagai pedoman hidup dari Allah, mengajak manusia agar beribadah kepada-Nya semata.
Menyampaikan kabar gembira dan memberika peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia
untuk membantah Allah setelah datangnya para Rasul.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ilmu dalam al-Qur’an?
2. Bagaimana hakikat ilmu dalam al-Qur’an?
3. Bagiamana kaitannya tafsir al-Qur’an surah al-Mujadalah : 11, Thaha: 114, an Naml :
15, al-Qashah : 14 ?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian tentang ilmu..
2. Menjelaskan hakikat ilmu dalam al Qur’an.
3. Menjelaskan kaitannya tentang hakikat ilmu dari tafsir beberapa surah dalam al Qur’an
(surah al-Mujadalah : 11, Thaha: 114, an-Naml : 15, al- Qashah : 14
BAB II
PEMBAHASAN
Kata ilmu secara bahasa berarti kejelasan. Oleh karena itu, segala bentuk yang berasal
dari akar kata tersebut selalu menunjuk kepada kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai
bentuk dan derifasinya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti
proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahasa berarti
kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung),
‘alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa (mengetahui)’ a’rif (yang mengetahui),
dan ma’rifah (pengetahuan). Allah SWT. Tidak dinamakan a’rif’ tetapi ‘alim, yang berkata
kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al- Qur’an menggunakan kata itu untuk Allah
dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan. Perhatikan
objek-objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan kepada Allah: ya’lamu ma yusirrun
(Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan), ya’lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui
sesuatu yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa (apa yang dikandung oleh setiap
betina/perempuan), mafianfusikum (yang di dalam dirimu), ma fissamawat wa ma fil ardh
(yang ada di langit dan di bumi), khainat al-’ayun wa ma tukhfiy ash-shudur (kedipan mata
dan yang disembunyikan dalam dada). Demikian juga ‘ilm yang disandarkan kepada
manusia, semuanya mengandung makna kejelasan.
Berbicara tentang ilmu pengetahuan dalam hubungannya dengan al- Qur’an, ada
persepsi bahwa al-Qur’an itu adalah kitab ilmu pengetahuan. Persepsi ini muncul atas dasar
isyarat-isyarat al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dari isyarat tersebut
sebagian para ahli berupaya membuktikannya dan ternyata mendapatkan hasil yang sesuai
dengan isyaratnya, sehingga semakin memperkuat persepsi tersebut.
Jika berangkat dari asumsi dasar bahwa al-Qur’an itu adalah wahyu, sementara wahyu
sangat erat hubungannya dengan masalah jiwa dan perilaku manusia yang dominan bersifat
psikis/psikologis. Dalam hal ini maka hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan tidaklah
hanya sekedar diukur dengan banyaknya ditemukan ilmu pengetahuan yang berasal dari
penyimpulan ayat, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori ilmiah terhadap isyarat
ayat.
Akan tetapi pembahsan tersebut hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai
dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an.
1. QS. Al – Mujadalah : 11
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang- lapanglah dalam
majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Menurut Tafsir As-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad
14 H, Ini adalah ajaran dari allah untuk para hambaNya yang beriman ketika mereka berada
dalam majelis perkumpulan, yang sebagian dari mereka ada orang yang baru datang meminta
agar tempat duduk diperluas. Termasuk bersopan santun dalam hal ini adalah dengan
memberikan kelonggaran tempat baginya agar maksudnya bisa terpenuhi, bukan untuk
mengganggu orang yang memberi kelonggaran tempat tersebut. Maksud saudaranya pun
terpenuhi tanpa harus terganggu. Balasan itu berdasarkan jenis amal. Siapa pun yang
memberi kelonggaran, maka akan diberi kelonggaran oleh Allah, siapa pun yang memberi
keleluasaan pada saudaranya, maka Allah akan memberinya keleluasaan. “Dan apabila
dikatakan, ‘Berdirilah kamu’,” artinya berdirilah dari tempat duduk kalian, karena adanya
suatu keperluan mendesak, “maka berdirilah,” maksudnya segeralah berdiri agar
kemaslahatan tercapai, karena melaksanakan hal seperti ini termasuk bagian dari ilmu dan
iman. Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman berdasarkan ilmu dan
keimanan yang Allah berikan pada mereka. “Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” Masing-masing diberi balasan berdasarkan amalnya. Perbuatan baik akan dibalas
baik dan perbuatan buruk akan dibalas buruk. Di dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang
keutamaan ilmu. Dan keindahan serta buah dari ilmu adalah dengan beradab dengan adab-
adab ilmu serta menunaikan tuntutannya.
Menurut Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad
14 H, 114. Ketika Allah menyebutkan keputusan pembalasan- pembalasanNYa pada para
hambaNya dan ketetapan perintah agamaNya yang Allah turunkan di dalam KItabNya, -
realita ini termasuk bagian dari implikasi kekuasaanNya-, Allah berfirman, “Maka Maha
Tinggi Allah,” maksudnya Mahabesar, berada di ketinggian, suci dari segala kekurangan dan
kerusakan. “Raja”, yang kepemilikan kerajaan menjadi ciriNya, dan semua makhluk adalah
budak-budakNya. Ketetapan hukum-hukum kekuasaan qadari maupun syar’iNya berlaku
pada mereka. “Yang sebenar-benarnya,” maksudnya wujudNya, kerajaanNYa, dan
kesempurnaanNYa benar-benar haq. Sifat-sifat kesempurnaan tidaklah hakiki kecuali bagi
Dzat Yang Memiliki keagungan. Termasuk hal itu adalah kepemilikan kekuasaan.
Sesungguhnya selainNYa dari kalangan makhluk, walaupun mempunyai kekuasaan pada
waktu-waktu tertentu yang meliputi sebagian aspek, akan tetapi kekuasaannya adalah
kekuasaan yang pendek, batil lagi akan sirna. Adapun (kekuasaaan) Allah, maka akan tersu
eksis
dan tidak musnah, karena Diia Raja, Yang Mahahidup, Maha menangani yang lain
lagi Mahaagung. “Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Quran sebelum
wahyunya disampaikan (secara sempurna) kepadamu,” maksudnya janganlah engkau
bersegera untuk menangkap al-Quran ketika Jibril sedang membacakannya kepadamu.
Bersabarlah sampai dia menuntaskannya. Jika sudah selesai, maka bacalah. Sesungguhnya
Allah telah menjamin pengumpulannya bagimu di dadamu dan dalam bacaan al-Quranmu.
Seperti yang difirmankan Allah, "Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al
Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-
lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila
Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian,
sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya." (Al-Qiyamah:16-19). Ketika
ketergesaan dan kesegeraan beliau untuk menerima wahyu menunjukkan kecintaan beliau
yang utuh kepada ilmu dan keantusiasan untuk menguasainya, maka Allah memerintahkan
beliau untuk meminta tambahan ilmu. Sesungguhnya ilmu itu baik, dan banyak kebaikan
itu dituntut, kebaikan itu berasal dari Allah, dan jalan menuju ke sana adalah melalui
ketekunan, kerinduan kepada ilmu, memohon dan meminta pertolongan kepadaNya serta
duduk bersimpuh kepadaNya di setiap waktu. Bisa di ambil pelajaran dari ayat yang mulia
ini, mengenai etika dalam menerima ilmu, bahwa orang yang mendengarkan ilmu
seyogyanya perlahan-lahan dan bersabar, sampai pendikte dan pengajar selesai dari
penjelasannya yang saling berkaitan. Jika ia sudah selesai darinya, pencari ilmu
menanyakan (nya) bila dia punya pertanyaan. Janganlah dia bersegera bertanya dan
memotong keterangan orang yang mengajar. Sesungguhnya sikap ini penyebab terhalangi
(dari menguasai ilmu). Demikian juga orang yang ditanya, seharusnya ia meminta
penjelasan lebih lanjut tentang pertanyaan penanya dan melacak maksudnya sebelum
menjawab. Sesungguhnya sikap ini menjadi penyebab ketepatan dalam menjawab dengan
benar.
3. QS. An – Naml : 15
َّ ََولَقَ ْد ٰاتَ ْينَا َد ٗاو َد َو ُسلَ ْيمٰ َن ِع ْل ًم ۗا َوقَااَل ْال َح ْم ُد هّٰلِل ِ الَّ ِذيْ ف
ضلَنَا َع ٰلى َكثِي ٍْر ِّم ْن
ِعبَا ِد ِه ْال ُمْؤ ِمنِي َْن
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan
keduanya mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang melebihkan Kami dari kebanyakan
hamba-hambanya yang beriman".
Menurut Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14
H, Allah mengingatkan di dalam al-qur’an ini dan memuji karuniaNya kepada Dawud dan
putranya, sulaiman yaitu berupa ilmu pengetahuan yang luas lagi banyak, dengan bukti
(ungkapan) nakirah, sebagimana Allah berfirman, “dan (ingatlah kisah) Dawud dan sulaiman,
di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak
oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan kami menyaksikan keputusan yang
diberikan oleh mereka itu, maka kami telah memberikan pengertian kepada sulaiman tentang
hukum (yang lebih tepat), dan kepada masing-masing mereka telah kami berikan hikmah dan
ilmu,” (al-anbiya:78-79) Dan keduanya pun berkata seraya bersyukur kepada tuhannya atas
karuniaNya yang sangat besar, yaitu atas pengajaran untuk keduanya, “segala puji bagi Allah
yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hambaNya yang beriman,” maka keduanya
memuji Allah karena telah menjadikan keduanya termasuk orang-orang yang beriman,
manusia yang mendapat kebahagiaan, dan mereka adalah orang-orang yang special. Sudah
tidak ragu lagi bahwa orang- orang yang beriman itu ada empat derajat, yaitu orang-orang
shalih, lalu di atasnya adalah para syuhad’, dan di atasnya lagi adalah para shidiqqin dan yang
plaing atas adalah para nabi. Dawud dan sulaiman adalah termasuk dalam kategori elitnya
para rasul, sekalipun mereka masih berada di bawah derajat (tingkatan) ulul azmi yang
berjumlah lima rasul. Akan tetapi mereka tetap termasuk golongan para rasul yang paling
utama lagi mulia; yaitu mereka yang dipuji oleh Allah di dalam al-qur’an dengan pujian yang
amat besar. Maka dari itu mereka memuji Allah atas kedudukan yang mereka capai ini.
Ini adalah tanda kebahagiaan seorang hamba, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas berbagai
nimatNya yang bersifat religi dan duniawi, dan kalau dia melihat (merasakan) bahwa seluruh
nikmat adalah berasal dari Rabbnya, maka dia tidak akan berbangga diri karenanya dan tidak
menjadi sombong dengannya, bahkan dia melihat bahwa kenimatan-kenikmatan tersebut
sangat berhak untuk disyukuri sebanyak-banyaknya.
4. QS. Al – Qashash : 14
Artinya: “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan ke-padanya
Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah Kami memberi Balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik.”
Menurut Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad
14 H, “Dan setelah Musa cukup umur,” dia memiliki kekuatan, akal, dan kedewasaan. Dan
hal ini biasanya terjadi kira-kira pada usia 40 tahun, “dan sempurna,” maksudnya, semua
permasalahan sudah menjadi sempurna, “Kami berikan kepadanya hikmah dan pengetahuan.”
Maksudnya, hukum-hukum yang bisa dia gunakan untuk dapat mengetahui hukum-hukum
syariat dan dapat memberikan keputusan diantara manusia, dan ilmu yang cukup banyak.
“Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik,” di dalam
beribadah kepada Allah, berbuat baik kepada makhluk Allah. Allah memberi mereka ilmu
dan hikmah menurut ihsan yang mereka miliki. Ia membuktikan kesempurnaan sifat ihsannya
Nabi Musa.5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ilmu secara bahasa berarti kejelasan. Oleh karena itu, segala bentuk yang berasal
dari akar kata tersebut selalu menunjuk kepada kejelasan. Kata ilmu dengan berbagai
bentuk dan derifasinya terulang 854 kali dalam Al-Quran. Kata ini digunakan dalam arti
proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahasa berarti
kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung),
‘alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa (mengetahui)’ a’rif (yang mengetahui),
dan ma’rifah (pengetahuan). Allah SWT. Tidak dinamakan a’rif’ tetapi ‘alim, yang berkata
kerja ya’lam (Dia mengetahui), dan biasanya Al- Qur’an menggunakan kata itu untuk Allah
dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi, atau dirahasiakan.
Kami menyadari bahwa dengan segala keterbatasan yang kami miliki, maka kami
mengharap atas kritikan dan saran para pakar dibidang menulis lebih-lebih terhadap Bapak
Dr. Abdul Hamid, Lc M.Kom.I selaku pemegang atau yang diberikan tugas makalah ini, Itu
semua demi untuk mengembangkan kemampuan dan semangat kami Dan menjadi bahan
acuan agar kami bisa memperbaikinya dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qaththan, Manna. Pengantar Studi Ilmu al Qur’an. Jakarta: Pustala al Kautsar Rosidin,
Dedeng. (2003).
Esensi Ilmu Dalam Pandangan al Qur’an. [online]. Tersedia:
http://www.taqrib.info [27 Februari 2012] Meyheriadi. (2011).
https://tafsirweb.com/10765-surat-al-mujadilah-ayat-11.html
https://tafsirweb.com/5356-surat-thaha-ayat-114.html https://tafsirweb.com/6879-
surat-an-naml-ayat-15.html https://tafsirweb.com/7064-surat-al-qashash-ayat-
14.html