Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

THAHARAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fikih

Dosen Pengampu : Sofyan Sachuri, Lc., M.Pd.

Disusun oleh :

1. Ade Khilda Nur Amaliah


2. Agitsni Alfa Tasya
3. Allia Syafira Ismaniyyah N.

SEMESTER III

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) – PUI

MAJALENGKA

2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan
rahmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun dan
menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Fikih dengan judul “Thaharah”.
Sholawat beserta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW., kepada keluarganya, sahabatnya, para tabiin, dan kita
semua selaku umatnya semoga mendapat syafa‟atnya di yaumil qiyamah, dan
mendapat kebahagiaan fiddunya wal akhiroh. Aamiin yaa rabbal „aalamiin.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah yang kami buat ini. Akhir kata, kami
sampaikan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha
kita. Aamiin.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Majalengka, 29 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH ......................................................... 1


B. RUMUSAN MASALAH ......................................................................... 1
C. TUJUAN .................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. DEFINISI THAHARAH .......................................................................... 3


B. DASAR HUKUM THAHARAH ............................................................. 5
C. MACAM-MACAM THAHARAH, ALAT, DAN KETENTUANNYA . 6

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ........................................................................................ 20
B. SARAN .................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Allah merupakan Dzat yang bersih dan suci. Untuk menemui-Nya,
kita selaku hamba-Nya harus terlebih dahulu mensucikan diri. Allah
mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Maka dari itu Islam sangat
menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan.
Kebersihan yang dimaksud ialah meliputi kebersihan rohani dan
badani. Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim
selalu bersuci sebelum melaksanakan ibadah menghadap Allah SWT..
Dalam hukum Islam, bersuci dengan segala seluk-beluknya merupakan
bagian dari ilmu dan amalan yang penting. Terutama karena di antara
syarat-syarat shalat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan
melaksanakan shalat, wajib suci dari hadats, dan suci pula badan, pakaian,
dan tempatnya dari najis.
Adapun dalam proses pembuatannya, makalah ini disusun untuk
berusaha mengidentifikasi dan mengungkap apa saja yang menjadi
definisi, landasan hukum, macam-macam, serta ketentuan-ketentuan dalam
thaharah (bersuci).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan thaharah?
2. Dalil mana yang menjadi landasan hukum thaharah?
3. Ada berapa macam thaharah?
4. Bagaimana ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam thaharah?

1
2

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
thaharah.
2. Untuk mengetahui dalil-dalil yang menjadi landasan hukum thaharah.
3. Untuk mengetahui macam-macam thaharah.
4. Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam thaharah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI THAHARAH
Secara umum, kata thaharah berasal dari Bahasa Arab ‫ انطهاس‬yang
secara bahasa artinya bersuci dari sesuatu yang kotor, baik yang kotor itu
bersifat hissiy (dapat dirasakan oleh indera), maupun maknawi (tidak dapat
dirasakan oleh indera).1
Menurut syara‟, thaharah adalah suci dari hadats atau najis, dengan
cara yang telah ditentukan oleh syara‟ atau menghilangkan najis, yang
dapat dilakukan dengan mandi dan tayamum.2
Adapun menurut imam madzhab, thaharah memiliki pengertian
yang berbeda-beda,
1. Menurut Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi mengartikan thaharah sebagai sebuah keadaan
bersih dari hadats atau khabas. Bersih di sini maksudnya mungkin
sengaja dibersihkan atau juga bersih dengan sendirinya, seperti terkena
air yang banyak sehingga najisnya hilang. Hadats adalah suatu yang
bersifat syar‟i yang menempati pada sebagian atau seluruh badan
sehingga menghilangkan kesucian. Hadats disebut juga najasah
hukmiyyah, artinya sang pembuat syariat menghukumi jika seorang
berhadats maka dia dianggap memiliki najis dan dilarang untuk
melakukan shalat sebagaimana juga dilarang ketika dia memiliki najis
yang dzahir. Sedangkan khabats, secara istilah adalah suatu jenis

1
Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakkiy Al-Kaaf, Bandung : Pustaka
Setia, 2007, hal. 31
2
Suad Ibrahim Shalih, Fiqih Ibadah Wanita, Jakarta : Amzah, 2011, hal. 83

3
4

materi yang kotor dan menjijikkan yang diperintahkan oleh pemilik


syariat untuk dihilangkan dan dibersihkan.3
2. Menurut Madzhab Maliki
Menurut madzhab Maliki, thaharah ialah sifat hukmiyyah yang
orang memilikinya dibolehkan shalat dengan pakaian yang dipakainya
dan tempat yang dia pakai untuk shalat. Sifat hukmiyyah berarti sifat
yang bersifat maknawi yang ditentukan oleh sang pemilik hukum
sebagai syarat sahnya shalat.4
3. Menurut Madzhab Syafi‟i
Menurut Madzhab Syafi‟i, thaharah digunakan untuk dua
makna. Pertama, mengerjakan sesuatu yang dengannya diperbolehkan
shalat, seperti wudhu, tayammum dan menghilangkan najis, atau
mengerjakan sesuatu yang semakna dengan wudhu dan tayamum,
seperti wudhu ketika masih keadaan berwudhu, tayamum sunnah dan
mandi sunnah. Singkatnya, thaharah adalah nama untuk perbuatan
seseorang. Kedua, thaharah berarti juga suci dari semua najis.5
4. Menurut Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, thaharah menurut syara‟ ialah
hilangnya hadast atau yang semisalnya serta hilangnya najis atau
hukum hadast dan najis itu sendiri. Adapun hilangnya hadast berarti
hilangnya sifat yang menghalangi sholat dan yang searti dengannya. 6
Dari beberapa pengertian tentang thaharah di atas, maka dapat
penulis simpulkan bahwa thaharah berarti menyucikan dan membersihkan
diri dari hadats dan najis sebagai salah satu syarat untuk melakukan
ibadah.

3
Hasbiyallah, Perbandingan Madzhab, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
RI, 2012, hal. 243
4
Ibid, hal. 245
5
Hasbiyallah, loc. cit.
6
Yetin Dwi Cantika, Pengertian Thaharah (Bersuci) Menurut Imam Madzhab
(https://sabyan.org/pengertian-thaharah-bersuci-menurut-imam-
madzhab/#:~:text=Baca%20juga%20%3A%20Lagu%20Anak%20Islam%20Malaikat%20dan,man
di%20dan%20tayamum%20dengan%20alat%20yang%20digunakan%20), Diakses pada 29
September 2022
5

B. DASAR HUKUM THAHARAH


Thaharah (bersuci) hukumnya wajib berdasarkan penjelasan al-
Qur‟an maupun as-Sunnah. Firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Maidah
ayat 6:

ِ ِ‫ص ََلةِ فَا ْغ ِسهُىا ُو ُجى َه ُك ْم َوأ َ ٌْ ِذٌَ ُك ْم إِنَى ْان َم َشاف‬
‫ق‬ َّ ‫ٌَا أٌَُّ َها انَّزٌِهَ آ َمىُىا إِرَا قُ ْمت ُ ْم إِنَى ان‬
‫ض ٰى‬ َّ َ‫س ُحىا بِ ُش ُءو ِس ُك ْم َوأ َ ْس ُجهَ ُك ْم إِنَى ْان َك ْعبٍَ ِْه ۚ َوإِ ْن ُك ْىت ُ ْم ُجىُبًا ف‬
َ ‫اط َّه ُشوا ۚ َوإِ ْن ُك ْىت ُ ْم َم ْش‬ َ ‫َو ْام‬
‫سا َء فَهَ ْم ت َِجذُوا َما ًء فَتٍََ َّم ُمىا‬ َ ّ‫سفَ ٍش أ َ ْو َجا َء أ َ َحذٌ ِم ْى ُك ْم ِمهَ ْانغَائِ ِط أ َ ْو ََل َم ْست ُ ُم ان ِى‬ َ ‫أ َ ْو‬
َ ‫عهَ ٰى‬
ٍ‫عهَ ٍْ ُك ْم ِم ْه َح َشج‬ َّ ُ‫س ُحىا بِ ُى ُجى ِه ُك ْم َوأ َ ٌْذٌِ ُك ْم ِم ْىهُ ۚ َما ٌ ُِشٌذ‬
َ ‫َّللاُ ِنٍَجْ عَ َم‬ َ ‫ام‬ َ ‫ص ِعٍذًا‬
ْ َ‫ط ٍِّبًا ف‬ َ
‫عهَ ٍْ ُك ْم نَعَهَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُشونَ ۝‬ َ ٍُ‫َو ٰنَ ِك ْه ٌ ُِشٌذُ ِن‬
َ ُ‫ط ِ ّه َش ُك ْم َو ِنٍُتِ َّم وِ ْع َمتَه‬
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan
atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur.”7
Berdasarkan ayat di atas, Allah SWT. memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman agar dalam melaksanakan ibadah, kondisi tubuh
atau badan harus bersih dan suci dari segala kotoran baik yang terlihat
maupun yang tidak terlihat, tidak ada alasan bagi orang beriman untuk
tidak bersuci dalam melaksanakan ibadah terutama shalat.
Suci yang dimaksud tidak hanya pada badan saja, tetapi juga suci
dari seluruh pakaian, tempat, dan yang lainnya. Menjaga kesucian

7
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2005,
hal. 108
6

merupakan hal yang disenangi dan dicintai Allah SWT. sebagaimana


dijelaskan dalam al-Qur‟an berikut ini:
Firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 222:
َ َ ‫َّللاَ ٌ ُِحبُّ انت َّ َّىابٍِهَ َوٌ ُِحبُّ ْان ُمت‬
‫ط ِ ّه ِشٌهَ ۝‬ َّ ‫ِإ َّن‬
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”8
Firman Allah dalam Q.S. Al-Muddatsir ayat 4:
َ َ‫َوثِ ٍَا َبكَ ف‬
‫ط ِ ّه ْش۝‬
Terjemahnya:
“dan pakaianmu bersihkanlah”
Berdasarkan bunyi ayat di atas, jelas bahwa thaharah sangat
penting dilakukan sebelum melaksanakan ibadah terutama shalat. Hal ini
juga dipertegas Rasulullah Saw. dalam haditsnya,
‫س ْفٍَانَ ح و َحذَّثَىَا‬
ُ ‫ع ْه‬ َ ‫َحذَّثَىَا قُت َ ٍْبَتُ َو َهىَّاد ٌ َو َمحْ ُمىد ُ ب ُْه‬
َ ‫غٍ ََْلنَ قَانُىا َحذَّثَىَا َو ِكٍ ٌع‬
َ ‫ع ْه‬
َّ ‫ع ْب ِذ‬
‫َّللاِ ب ِْه ُم َح َّم ِذ ب ِْه‬ ُ ٍَ‫س ْف‬
َ ‫ان‬ ُ ‫ي ٍ َحذَّثَىَا‬ّ ‫انشحْ َم ِه ب ُْه َم ْه ِذ‬
َّ ُ ‫ع ْبذ‬ َ ‫اس َحذَّثَىَا‬ ٍ ‫ش‬ َّ َ‫ُم َح َّمذ ُ ب ُْه ب‬
‫سهَّ َم قَا َل ِم ْفت َا ُح‬
َ ‫ع َه ٍْ ِه َو‬ َّ ‫صهَّى‬
َ ُ ‫َّللا‬ َ ًِ ّ ِ‫ع ْه انىَّب‬َ ًٍ ّ ‫ع ِه‬ َ ‫ع ْه ُم َح َّم ِذ ب ِْه ْان َحىَ ِفٍَّ ِت‬
َ ‫ع ْه‬ َ ‫ع ِقٍ ٍم‬ َ
‫ٍش َوتَحْ ِهٍهُ َها انت َّ ْس ِهٍ ُم‬
ُ ‫ىس َوتَحْ ِشٌ ُم َها انت َّ ْك ِب‬ ُّ ِ‫ص ََلة‬
ُ ‫انط ُه‬ َّ ‫ان‬
Terjemahnya:
Telah menceritakan kepada kami Quthaibah dan Hannad dan Mahmud
bin Ghailan mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Waki‟ dari
Sufyan. (dalam jalur lain disebutkan) dan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar berkata, telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin Mahdi berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan
dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil dari Muhammad Ibnul Hanafiyah
dari Ali dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Kunci

8
Ibid, hal. 35
7

Shalat adalah bersuci, keharamannya adalah takbir, dan penghalalannya


adalah salam.” (H.R. At-Tirmidzi no. 3)9
Dari beberapa dasar hukum thaharah di atas, jelas bahwa bersuci
adalah wajib dilakukan bagi seorang muslim/muslimah apabila ingin
melaksanakan ibadah seperti shalat atau yang lainnya, sedangkan ia dalam
keadaan berhadats atau terkena najis.

C. MACAM-MACAM THAHARAH, ALAT, DAN KETENTUANNYA


1. Macam-macam Thaharah
Para ulama telah mengklasifikasikan thaharah menjadi dua
macam, yakni:
a. Thaharah haqiqiyyah, yaitu bersuci dari najis, yang meliputi badan,
pakaian, dan tempat.
b. Thaharah hukmiyyah, yaitu bersuci dari hadats, yang hanya meliputi
badan saja.
Hadats adalah sebuah keadaan atau sifat yang menempel
pada badan seseorang dimana ia terhalang dari ibadah shalat dan
ibadah lainnya yang mempersyaratkan suci dari hadats. Hadats
sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
 Hadats Besar; dan
 Hadats Kecil
Adapun hadats besar adalah hadats yang ada pada seluruh
tubuh. Diantara penyebabnya adalah : berhubungan seksual, haid,
nifas, dsb.
Sedangkan hadats kecil adalah hadats yang ada pada anggota
wudhu. Hadats ini disebabkan oleh : buang air kecil, buang air besar,
kentut, keluar air madzi dan lain-lain.10

9
Hadits Jami‟ At-Tirmidzi No. 3 – Kitab Bersuci, Pembuka Shalat Adalah Bersuci
(https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/3) Diakses pada 30 September 2022
10
Adam Rizkala, Pengertian Thaharah, Jenis dan Macamnya serta Tata Caranya
(https://www.nasehatquran.com/2020/06/pengertian-thaharah-jenis-dan-macamnya.html), Diakses
pada 30 September 2022
8

2. Alat Thaharah
Alat thaharah adalah sesuatu yang biasa digunakan untuk
bersuci. Di bawah ini merupakan uraian dari alat-alat thaharah menurut
4 madzhab.
a. Air mutlak, yaitu air yang suci dan mensucikan, yakni air yang
masih murni dan belum atau tidak tercampuri oleh sesuatu (najis).
Adapun air itu sendiri terdapat beberapa macam, di antaranya
adalah:
1) Air laut;
2) Air telaga;
3) Air hujan;
4) Air sungai;
5) Air salju;
6) Air embun;
7) Air mata air; dan
8) Air yang berubah karena lama tidak mengalir.
Selain air mutlak, juga ada beberapa air yang bisa dipakai bersuci, di
antaranya adalah:
1) Air Mutaghayyir, adalah air yang mengalami perubahan salah satu
sifatnya yang disebabkan tercampur dengan barang suci yang lain
dengan perubahan yang menghilangkan kemutlakan nama air
tersebut. Berdasarkan sebabnya, air muthaghayyir dibagi menjadi
tiga macam, yaitu:
a) Mutaghayyir bi al-Mukhalith, merupakan air yang berubah sifat-
sifatnya sebab bercampur dengan benda suci lainnya hingga
mempengaruhi terhadap nama dan statusnya, semisal air teh dan
semacamnya.
b) Mutaghayyir bi al-Mujawir, merupakan air yang berubah sifat-
sifatnya sebab terpengaruh benda lain yang ada di sekitarnya.
Contohnya adalah air yang berdekatan dengan bunga mawar
sehingga tercium aroma mawar pada air tersebut.
9

c) Mutaghayyir bi Thuli al-Muktsi merupakan air yang berubah


sifat-sifatnya sebab terlalu lama diam. Seperti air kolam yang
tidak pernah digunakan oleh seseorang sehingga berubah sifatnya.
Di antara ketiga jenis air Mutaghayyir tersebut hanya dua yang bisa
kita gunakan untuk bersuci yaitu air Mutaghayyir bi al-Mujawir dan
Mutaghayyir bi Thuli al-Muktsi. Dan yang tidak bisa digunakan
untuk bersuci adalah air mutaghayyir bi al-Mukhalith.11
2) Air Musta‟mal, para ulama madzhab berkata: apabila air berpisah
dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya
menjadi najis. Kalau air itu berpisah tidak bersama najis, maka
hukumnya bergantung pada tempat yang dibasuh
Para ulama ketika membedakan air musta'mal dan bukan
(ghairu) musta'mal, membuat batas dengan ukuran volume air.
Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air
menjadi musta'mal. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW :
َّ َ ‫سى ُل‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫ قَا َل َس‬:َ‫ع ْى ُه َما قَال‬ َّ َ ً
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ض‬ِ ‫ع َم َش َس‬ َّ َ ‫ع ْب ِذ‬
ُ ‫َّللاِ ب ِْه‬ َ ‫ع ْه‬ َ
s
‫ِإرَا‬
ُ‫أ َ ْخ َش َجهُ اَأل َ ْس َب َعت‬-‫س‬
ْ ‫ نَ ْم ٌَ ْى ُج‬: ٍ‫ َو ِفً نَ ْفظ‬-‫ث‬َ َ‫َكانَ ا َ ْن َما َء قُهَّتٍَ ِْه نَ ْم ٌَحْ ِم ْم ا َ ْن َخب‬
Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, “Rasulullah SAW
telah bersabda: “Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak
mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:”tidak najis”. (H.R. Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa‟i, Ibnu Majah).
Disebutkan di dalam hadits ini bahwa ukuran volume air
yang membatasai kemusta'malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah
qullah adalah ukuran volume air. Istilah qullah adalah ukuran
yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan 2
abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun
sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka
menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan
istilah kati. Para ulama kontemporer kemudian mencoba
11
Anonim, Thoharoh dalam Pandangan 4 Imam Madzhab Fiqh
(http://makalahpaikdu.blogspot.com/2016/10/thoharoh-dalam-pandangan-4-imam-
mazhab.html?m=1#), diakses pada 30 September 2022
10

mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata


Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.12
Jadi bila air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari
270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah
atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`,
maka air itu dianggap sudah musta‟mal. Air itu suci secara fisik,
tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci (berwudhu` atau mandi).
Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan
biasa, maka tidak dikategorikan air musta‟mal.
3) Air Musakhkhan Musyammasy, Air musakhkhan (‫ )مسخه‬artinya
adalah air yang dipanaskan. Sedangkan musyammas (‫)مشمس‬
diambil dari kata syams yang artinya matahari. Jadi air
musakhkhan musyammas artinya adalah air yang berubah
suhunya menjadi panas akibat sinar matahari. Sedangkan air yang
dipanaskan dengan kompor atau dengan pemanas listrik, tidak
termasuk ke dalam pembahasan disini. Hukum air ini untuk
digunakan berthaharah menjadi khilaf di kalangan ulama.
a) Pendapat Yang Membolehkan Mutlak
Pendapat ini mengatakan tidak ada bedanya antara air
yang dipanaskan oleh matahari atau air putih biasa. Keduanya
sama-sama suci dan mensucikan dan boleh digunakan tanpa
ada kemakruhan. Yang berpendapat seperti ini adalah
umumnya jumhur mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah.
Bahkan sebagian ulama di kalangan Asy-Syafi'iyah seperti
Ar-Ruyani dan Al-Imam An-Nawawi sekali pun juga
berpendapat sama.
b) Pendapat Yang Memakruhkan
Pendapat ini cenderung memakruhkan air yang
dipanaskan oleh sinar matahari. Di antara mereka yang

12
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillahutuh, Jakarta: Gema Insani, 2011, Jilid 1 hal.
122
11

memakruhkannya adalah mazhab Al-Malikiyah dalam


pendapat yang muktamad, sebagian ulama di kalangan
mazhab dan sebagian Al-Hanafiyah.13
b. Cairan selain air. Sesuatu yang cair dan suci adalah yang berpisah
dari benda yang diperasnya, seperti cuka dan air mawar, maka air
tersebut adalah menyucikan. Pendapat ini hanya menurut hanafi
saja.
c. Tanah: dapat menyucikan telapak kaki dan sandal yang
dipergunakan berjalan di atas tanah, atau dapat dipergunakan untuk
menggosok sesuatu yang melekat di atas sandal dengan syarat
bahan najis itu dapat hilang, menurut Imamiyah dan Hanafi.
d. Matahari. Hanafi: sesuatu yang kering itu dapat menyucikan tanah
dan pohon-pohonan, baik dikeringkan dengan sinar matahari atau
kering dengan angin. Tetapi Syafi‟I, Maliki, dan Hambali sepakat
bahwa tanah itu tidak bisa menyucikan baik dengan sinar matahari
atau dengan angin (udara) tetapi harus disiram dengan air.
e. Api. Hanafi: membakar najis dengan api, pembakaran tersebut dapat
menyucikan dengan syarat bahan najis itu hilang. Hanafi
memutuskan bahwa kalau menyucikan tanah yang najis sampai ia
menjadi debu (tembikar), dan kalau minyak sampai menjadi sabun.
Syafi‟I dan Hambali: api bukan sesuatu yang dapat menyucikan,
bahkan mereka berpendapat bahwa abu najis, asapnya itu tetap
najis. Maliki: abunya itu adalah suci, tetapi asapnya itu tetap najis.
f. Samak. Hanafi: samak itu dapat menyucikan kulit bangkai, dan
setiap najis dapat disucikan dengan samak kecuali kulit babi. Kalau
kulit anjing, ia juga dapat disucikan dengan disamak dan boleh
digunakan untuk shalat. Syafi‟i: samak itu dapat menyucikan
kecuali kulit babi dan anjing. Maliki dan Hambali tidak
memasukkan samak ke dalam hal yang dapat menyucikan, hanya
Hambali tetap membolehkan memakai sesuatu benda najis yang

13
Anonim, loc. cit.
12

telah disamak, selain benda cair, yang sekiranya kalau dipakai


najisnya tidak mencair kemana-mana.14
g. Busar (sesuatu yang terurai). Hanafi: kapas itu bisa suci kalau ia
telah terbusar.
h. (Yang bisa) digosok. Hanafi: mani itu bisa suci kalau bisa hilang
dengan digosok, tanpa disiram (diguyur) dengan air.
i. (Yang bisa) dihapus. Hanafi: kalau benda licin selicin besi,
kuningan, dan kaca, maka yang terkena najis itu dapat suci dengan
dihapus tanpa disiram air.
j. Air liur. Hanafi: apabila jari terkena najis, maka cara
menghilangkannya cukup dengan menjilatnya.15
3. Cara Bersuci
a. Wudhu
Secara etimologi, wudhu berarti kebaikan dan kebersihan.
Adapun maknanya dalam istilah fikih adalah menggunakan air pada
anggota-anggota tubuh tertentu, seperti wajah, tangan dan
seterusnya, dengan cara yang tertentu pula.16
Para ulama fiqih berendapat bahwa hadats itu dibagi mejadi
dua bagian. Pertama, hadats kecil yang hanya mewajibkan wudhu
saja. Kedua, hadats besar yang kedua ini pun dibagi dua, ada yang
diwajibkan mandi saja, da nada yang diwajibkan mandi dan wudhu
secara bersamaan.
Orang yang berhadats kecil dilarang melakukan beberapa hal di
bawah ini:
1) Shalat, baik sunnah maupun wajib. Keempat ulama madzhab
sepakat dengan ini.
2) Thawaf. Tidak sah melakukan thawaf tanpa berwudhu terlebih
dahulu, demikian menurut Maliki, Syafi‟I, dan Hambali.

14
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera, 2011, hal. 30
15
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 31
16
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, Fikih Empat Madzhab, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017, hal.
73
13

Sedangkan menurut Hanafi: barangsiapa yang berthawaf di


Baitullah dalam keadaan hadats, ia tetap sah, sekalipun berdosa.
3) Sujud tilawah dan sujud syukur. Keempat ulama madzhab juga
sepakat dalam hal ini.
4) Menyentuh mushaf. Semua madzhab sepakat bahwa tidak boleh
menyentuh Al-Quran kecuali suci. Hanya mereka berbeda
pendapat tentang orang yang berhadats kecil.
Maliki: tidak boleh menulisnya, menyentuh kulitnya walau
dengan aling-aling (penghalang) (kalau dengan niat untuk
menjaganya boleh), boleh melafalkan dengan membaca maupun
tidak.
Hambali: boleh menulisnya dan membawanya demi menjaganya
kalau dengan aling-aling.
Syafi‟i: tidak boleh menyentuh kulitnya walau ia terpisah dari
isinya juga tidak boleh menyentuh talinya selama ia masih
melekat dengan Al-Quran tetapi ia boleh menulisnya dan
membawanya demi menjaganya sebagaimana boleh menyentuh
sesuatu yang menjadi sulaman dari ayat-ayat Al-Qur‟an.
Hanafi: tidak boleh menulisnya dan menyentuhnya walau ditulis
dengan bahasa asing, tetapi boleh membacanya tanpa memakai
Al-Quran.17
a) Fardu-fardu Wudhu
(1) Niat, para ulama madzhab sepakat bahwa niat itu termasuk
salah satu fardu dalam wudhu dan tempatnya pada waktu
melaksanakan wudhu itu. Hanya saja, Hanafi berpendapat
bahwa sahnya shalat tidak hanya bergantung pada wudhu dan
niat.
(2) Membasuh muka, yang dimaksud dengan membasuh muka
adalah mengalirkan air pada muka. Batasnya dari tumbuhnya
rambut sampai ke ujung dagu. Syafi‟i: juga wajib membasahi

17
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 35
14

sesuatu yang di bawah dagu. Madzhab-madzhab yang lain:


batas membasuh muka itu dari anak kuping kiri ke anak
kuping kanan.
(3) Membasuh dua tangan
(4) Mengusap kepala, Hambali: wajib mengusap seluruh kepala
dan dua telinga. Maliki: wajib mengusap semua kepala tanpa
telinga. Hanafi: wajib mengusap seperempat kepala, tetapi
cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau dengan
memasukkan air di atas kepalanya.18 Syafi‟i: wajib mengusap
sebagian kepala walaupun sedikit, tetapi cukup dengan
membasahi atau menyiram sebagai pengganti dari mengusap.
(5) Membasuh dua kaki, empat madzhab: wajib membasuhnya
sampai mata kaki.
(6) Tertib, tertib ini berdasarkan keterangan ayat yaitu dimulai
dari muka, dan dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki. Ia wajib
sekaligus syarat sahnya wudhu menurut Syafi‟i dan
Hambali.19 Hanafi dan Maliki: tidak wajib tertib dan boeh
dimulai dengan dua kaki berakhir di muka.
(7) Muwalat, yaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota
wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah
pada anggota selanjutnya dengan segera. Hambali: wajib
muwalat. Syafi‟i dan Hanafi: tidak wajib muwalat, hanya
dimakruhkan memisahkan dalam membasuh anggota-anggota
wudhu itu kalau tidak „udzur. Maliki: muwalat itu diwajibkan
hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaaan sadar.20
b) Sunnah-sunnah Wudhu
(1) Memulai dengan membasuh kedua telapak tangan;
(2) Kumur-kumur;
(3) Menghirup air ke dalam hidung lalu dihembuskan;
18
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 36
19
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 37
20
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 38
15

(4) Mengusap dua telinga;


(5) Memakai siwak;
(6) Menghadap kiblat ketika berwudhu; dan
(7) Berdoa dengan doa ma‟tsur setiap membasuh muka, lengan,
sampai tiga kali menurut empat madzhab.21
b. Mandi
Al-ghusl dengan mendhammahkan huruf ghin secara bahasa
berarti perbuatan manusia dalam bentuk menyiramkan air pada
tubuhnya, menggosok-gosok tubuhnya, dan seterusnya.Dengan
demikian, al-ghusl berkaitan dengan perbuatan. Sedangkan menurut
istilah, mandi adalah mengalirkan air yang thahur pada seluruh tubuh
dengan cara tertentu.22
Macam-macam mandi wajib:
1) Mandi junub
Disebabkan oleh:
a) Keluar mani baik dalam keadaan bangun maupun tidur;
Syafi‟i: wajib mandi
Hanafi, Maliki, dan Hambali: tidak diwajibkan mandi kecuali
pada waktu keluarnya itu merasakan nikmat.23
b) Bertemunya dua kemaluan (bersetubuh).
Hanafi: wajibnya mandi itu dengan beberapa syarat, yaitu
baligh, tidak ada batas yang dapat mencegah timbulnya
kehangatan, dan Orang yang disetubuhi adalah orang yang
masih hidup.
Syafi‟i: sekalipun kepala zakar itu tidak masuk atau
sebagiannya saja belum masuk, maka ia sudah cukup
diwajibkannya mandi, tak ada bedanya baik baligh ataupun
tidak, ada batas maupun tidak, baik terpaksa maupun karena

21
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 93
22
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, op. cit. hal. 166
23
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 41
16

suka, baik yang disetubuhi itu masih hidup maupun sudah


meninggal, baik pada binatang maupun manusia.
Hambali dan Maliki: bagi yang menyetubuhi maupun yang
disetubuhi itu wajib mandi, tidak ada batas yang dapat
mencegah kenikmatan, tak ada bedanya baik pada binatang
maupun manusia, yang disetubuhi itu masih hidup maupun
sudah meninggal.24
Dalam mandi junub diwajibkan apa yang disyaratkan dalam
wudhu, baik dari segi kesucian airnya, serta badan harus suci
terlebih dahulu, juga tidak ada sesuatu yang dapat mencegah
sampainya air ke kulit. Diwajibkan juga berniat (kecuali
Hanafi yang menolak niat ini).25
2) Haid
Makna haid menurut etimologi bahasa Arab adalah
sesuatu yang mengalir, sebagaimana dikatakan dalam bahasa
Arab yang artinya air mengalir dari telaga, atau getah mengalir
dari pepohonan. Menurut madzhab maliki, haid adalah darah yang
keluar dengan sendirinya dari bagian qubul ftemaluan) wanita
pada usia yang biasanya ia dapat hamil (usia produktif), meskipun
darah itu hanya keluar sesaat saja.26
Cara mandi haid:
Empat madzhab: meratakan air ke seluruh badannya sebagaimana
telah dijelaskan pada bab mandi junub.27
3) Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari seorang perempuan pada
waktu melahirkan, atau sesaat sebelumnya, ataupun setelahnya.28
Cara mandi dan syaratnya sama persis seperti haid.29

24
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 42
25
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 43
26
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, op. cit. hal. 191
27
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 46
28
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, op. cit. hal. 207
29
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 48
17

4) Orang yang meninggal dunia


Memandikan jenazah bertujuan untuk membersihkan jenazah dan
memuliakannya sebelum kemudian dishalati dan dikuburkan.30
Cara memandikan :
Empat madzhab: diwajibkan hanya dimandikan dengan air bersih
satu kali, sedangkan kedua kalinya itu disunnahkan, dan tidak ada
persyaratan tentang cara-cara memandikannya, disunnahkan
mencampur air dengan kapur dan sejenisnya yang harum.
Disyaratkan tentang sahnya memandikan itu adalah: niat, airnya
adalah air mutlak, suci, menghilangkan najis yang ada di badan
mayat, dan tidak ada sesuatu yang mencegah sampainya air ke
tubuh mayat secara langsung.31
c. Tayamum
Menurut terminologi para ulama Islam, tayamum itu adalah
mengusap wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci dengan
caracara tertentu. Hal ini disyariatkan ketika seseorang tidak dapat
menemukan air atau tidak boleh menggunakannya dengan alasan
yang diperkenankan.32 Semua ulama madzhab sepakat bahwa bahan
yang wajib dipergunakan tayamum itu adalah tanah yang suci. 33
Cara Tayamum:
Semua ulama madzhab sepakat bahwa tayamum itu tidaklah sah
kalau tanpa niat.
Empat madzhab: mengusap semua wajah yang di dalamnya
termasuk janggut, dan dua tangan adalah dua telapak tangan, dan
pergelangan sampai pada dua siku-siku. Itulah batas tayamum
sebagaimana batas wudhu. Dan caranya adalah menepuk dengan dua
kali tepukan, yang pertama untuk mengusap wajah dan yang kedua

30
Novi Puji Astuti, Cara Memandikan Jenazah yang Benar Sesuai Syariat Islam, Lengkap dengan
Doanya (https://m.merdeka.com/jabar/cara-memandikan-jenazah-yang-benar-dan-sesuai-dengan-
syariat-islam-beserta-doanya-kln.html), diakses pada 01 Oktober 2022.
31
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 52
32
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, op. cit. hal. 236
33
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 62
18

untuk mengusap kedua tangan, dengan cara dari ujung jari sampai
kedua siku-siku.34
d. Istinja
Istinja adalah istilah untuk membersihka sesuatu yang keluar
dari salah satu dua lubang -qubul dan dubur- dari tempat keluarnya
najis tersebut baik dengan air maupun dengan batu dan sejenisnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum dan alat yang
digunakan untuk istinja.35
Air yang sah digunakan untuk istinja disyaratkan dua hal.
Pertama, air tersebut harus suci dan mensucikan (thahur). Istinja
tidak sah dengan air yang suci saja (thahir), sebagaimana air yang
hanya suci tidak sah untuk menghilangkan najis. Kedua, air harus
bisa menghilangkan najis. Jika ia hanya memiliki sedikit air yang
tidak bisa menghilangkan najis hingga kembali bersih kembali
sebagaimana sebelum adanya najis, maka, dalam kondisi seperti ini,
air tidak digunakan. Kemudian apakah seseorang harus
mendahulukan membasuh qubulnya atau duburnya? Dalam hal ini
para ulama madzhab juga berbeda pendapat.36 Adapun batu dan
sejenisnya, maka posisinya menggantikan posisi air, meskipun air
saat itu tersedia. Hanya saja yang lebih utama tetap menggunakan
air, yang lebih utama lagi menyatukan batu dengan air.37
Mengenai kotortan yang keluar disyaratkan beberapa hal:
1) Tidak boleh kering, sebab batu dan sejenisnya tidak berguna
dalam menghilangkan najis yang sudah kering.
2) Tidak datang padanya najis lairu selain kotorannya, atau benda
suci selain keringatrya.
3) Kotoran tidak melampaui shafhah, air kencing tidak
melampauihasyafah. Shafhah adalah bagian daging pantat yang

34
Muhammad Jawad Mughniyyah, op. cit. hal. 63
35
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, op. cit. hal. 142
36
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, op. cit. hal. 153
37
Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, op. cit. hal. 154
19

menyatu saat berdiri, sementara fta syafah adalah areal diatas


tempat khitan.
Disyaratkan pula untuk mengusap dengan batu dan
sejenisnya tidak kurang dari tiga usapan, tiap usaPan mencapai
seluruh tempat najis, meskipun dengan tiga ujung sebuah
batu.Kurang dari tiga usapan dianggap tidak cukup, meskipun
tempat najis sudah bersih.Apabila setelah tiga usapan tempat belum
bersih, maka ditambahkan usaPan berikutnya sampai tempat najis
menjadi bersih, sampai tidak ada lagi bekas najis kecuali sisa-sisa
yang memang tidak bisa dibersihkan kecuali dengan air atau
tembikar kecil.38

38
Syaikh Abdurrahman Al-Jauzi, op. cit. hal. 156
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Thaharah berarti menyucikan dan membersihkan diri dari hadats
dan najis sebagai salah satu syarat untuk melakukan ibadah. Thaharah
dihukumi wajib ketika hendak melakukan ibadah yang mengharuskan
bersuci terlebih dahulu.
Dengan mengkaji materi thaharah dari berbagai sudut pandang
madzhab kali ini kita tentu dapat lebih mengetahui dan memahami apa saja
yang menjadi perbedaan pendapat di antara para imam dan bagaimana saja
perbedaan pendapat tersebut.

B. SARAN
Dari makalah yang kami buat ini diharapkan para mahasiswa
STAI-PUI Majalengka dapat memahami tentang Thaharah termasuk
materi yang kami bahas mengenai definisi, macam-macam, dasar huku,
dan ketentuannya, dan diharapkan agar mahasiswa STAI PUI Majalengka
terus menggali informasi mengenai pembelajaran fiqh.
Dengan melalui adanya penyusunan makalah ini, kami satu
kelompok merasa sangat banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman yang
bernilai tinggi. Mungkin ada kesalahan dalam penulisan makalah ini dari
kami baik yang disadari maupun tidak, maka untuk kesempurnaan dalam
sebuah pembelajaran, kritik dan saran yang membangun kami harapkan,
khususnya dari dosen pembimbing.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Thoharoh dalam Pandangan 4 Imam Madzhab Fiqh


(http://makalahpaikdu.blogspot.com/2016/10/thoharoh-dalam-pandangan-4-
imam-mazhab.html?m=1#), diakses pada 30 September 2022.
Al-Juzairi, Syaikh Abdurrahman. 2017. Fikih Empat Madzhab. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Astuti, Novi Puji. 2020. Cara Memandikan Jenazah yang Benar Sesuai Syariat
Islam, Lengkap dengan Doanya (https://m.merdeka.com/jabar/cara-memandikan-
jenazah-yang-benar-dan-sesuai-dengan-syariat-islam-beserta-doanya-kln.html).
Diakses pada 01 Oktober 2022.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Al-Fiqhul Islami wa Adillahutuh. Jakarta: Gema
Insani.
Cantika, Yetin Dwi. 2020. Pengertian Thaharah (Bersuci) Menurut Imam
Madzhab (https://sabyan.org/pengertian-thaharah-bersuci-menurut-imam-
madzhab/#:~:text=Baca%20juga%20%3A%20Lagu%20Anak%20Islam%20Mala
ikat%20dan,mandi%20dan%20tayamum%20dengan%20alat%20yang%20diguna
kan%20). Diakses pada 29 September 2022.
Departemen Agama. 2005. al-Qur‟an dan Terjemahnya. Bandung: PT Syaamil
Cipta Media.
Hasbiyallah. 2012. Perbandingan Madzhab. Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama RI.
Kitab Bersuci, Hadits Jami‟ At-Tirmidzi No.3. Pembuka Shalat Adalah Bersuci
(https://www.hadits.id/hadits/tirmidzi/3) Diakses pada 30 September 2022
Mughniyyah, Muhammad Jawad . 2011. Fiqih Lima Madzha. Jakarta: Lentera.
Rizkala, Adam. Pengertian Thaharah, Jenis dan Macamnya serta Tata Caranya
(https://www.nasehatquran.com/2020/06/pengertian-thaharah-jenis-dan-
macamnya.html), Diakses pada 30 September 2022RI.
Shalih, Suad Ibrahim. 2011. Fiqih Ibadah Wanita. Jakarta : Amzah.
Syalthut, Mahmud. 2007. Fiqih Tujuh Madzhab. terj. Abdullah Zakkiy Al-Kaaf,
Bandung : Pustaka Setia.

21

Anda mungkin juga menyukai