Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

THAHARAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Fiqih A”

Dosen Pengampu :
Mahmud, M.Pd

Oleh : Kelompok 3
Alhidayatullah
Hasbullah
Qaribkhaliq Maulana
Rahmad Budiman

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


RASYIDIYAH KHALIDIYAH (RAKHA) AMUNTAI
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Thaharah” ini dengan lancar. Makalah ini kami buat dengan tujuan memenuhi
tugas mata kuliah Fiqih A.
Shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Baginda Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah memberi syafa`atnya kepada kita semua, sehingga
kita bisa hidup di zaman kemajuan seperti saat ini.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Dosen pengampu dalam
pembuatan makalah ini, serta teman-teman yang telah mendukung kami, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, karena memang masih dalam proses pembelajaran. Kritik dan saran
dari pembaca sungguh kami harapkan untuk hasil yang lebih baik lagi. Harapan
penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat
dimanfaatkan sebagai mana semestinya.

Penyusun

Kelompok 3

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Pengertian Thaharah........................................................................................3
B. Pengertian Wudlu............................................................................................4
C. Pengertian Mandi.............................................................................................4
D. Pengertian Tayamum.......................................................................................5
E. Thaharah..........................................................................................................5
F. Wudhu..............................................................................................................7
G. Mandi.............................................................................................................10
F. Tayamum........................................................................................................13
BAB III PENUTUP...............................................................................................16
A. Kesimpulan....................................................................................................16
B. Saran..............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna dan dimuliakan,
seperti tertera dalam surat At-Tien ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” Karena manusia
diciptakan oleh Allah bukan sekedar untuk hidup didunia ini kemudian meninggal
tanpa pertanggung jawab, tetapi manusia diciptakan oleh Allah hidup didunia
untuk beribadah.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahKu” (Q.S Adz-Dzaariyaat ayat 56). “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (Q.S Al-Bayyinah ayat 5). Karena
Allah Maha Mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga
hidupnya, taqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diwajibkan
beribadah, agar manusia itu mencapai taqwa.
Isi pembahasan ibadah menurut Ibnu Abidin, membagi persoalan ibadah
pada lima kitab, yakni : Sholat, Zakat, Shiyam, Hajji, dan Jihad. Umumnya Ulama
memasukan soal Thaharah pada pembahasan ibadah. Prof.Hashbi dalam
Pengantar Fiqh mengemukakan bahwa yang wajar, pembahasan ibadah itu
meliputi : Thaharah, Shalat, Jinayah, Shiyam, Zakat, Zakat Fitrah, Haji, Jihad,
Nazar, Qurban, Dzabihah, Shaid, Aqiqah, makanan dan minuman.1
Pada isi pembahasan ibadah menurut Prof.Hashbi disebutkan yang
pertama adalah pembahasan mengenai thaharah. Thaharah bagi umat muslim
adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi pada
kenyataannya masih banyak umat muslim yang masih minim pengetahuannya
tentang thaharah. Untuk itu, makalah ini dapat dijadikan media pembelajaran
dalam mempelajari thaharah yang sesuai dengan kaidah-kaidah islamiah.

1
Djamal Murni, Ilmu Fiqh, Jakarta, 1983, hlm.9.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Thaharah?
2. Apa yang dimaksud dengan Wudhu, Mandi dan Tayamum?
3. Bagaimana tata cara Wudhu, Mandi dan Tayamum?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Thaharah.
2. Mengetahui pengertian Wudhu, Mandi dan Tayamum.
3. Menjelaskan tata cara Wudhu, Mandi dan Tayamum.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Thaharah
Ath-Thaharah, menurut bahasa, artinya kebersihan atau bersih dari
berbagai kotoran, baik yang bersifat hissiyah (nyata), seperti najis berupa air seni
dan yang selainnya, maupun yang bersifat maknawiyah, seperti aib dan perbuatan
maksiat. At-Tathir bermakna tanzhif (membersihkan), yaitu pembersihan pada
tempat yang terkotori.2
Menurut pengertian syari’at (terminologi), thaharah berarti tindakan
menghilangkan hadas dengan air atau debu yang bisa menyucikan. Juga berarti
upaya melenyapkan najis dan kotoran. Berarti, thaharah menghilangkan sesuatu
yang ada di tubuh yang menjadi penghalang bagi pelaksanaan shalat dan ibadah
semisalnya.3
Ulama Fiqh menyatakan bahwa thaharah adalah membersihkan diri dari
segala hal baik hadas maupun najis yang menghalangi seseorang untuk melakukan
sholat, dengan menggunakan air atau tanah. Menurut Al-Hanafiah thaharah adalah
bersih dari hadas dan najis. Pengertian thaharah pun dikemukakan oleh Al-
Malikiyah yakni suatu sifat yang menurut pandangan syara membolehkan orang
yang mempunyai sifat itu mengerjakan sholat dengan pakaian yang
dikenakananya di tempat yang ia gunakan untuk mengerjakan sholat, sedangkan
menurut Asy-Syafi’iah adalah suatu perbuatan yang membolehkan seseorang
mengerjakan sholat seperti whudu, mandi dan menghilangkan najis serta
hilangnya hadast, najis atau semisalnya seperti tayamum dan mandi sunah.
B. Pengertian Wudhu
Wudhu merupakan sebuah rangkaian ibadah bersuci untuk menghilangkan
hadas kecil. Wudhu merupakan syarat sah sholat, yang artinya seseorang dinilai
tidak sah sholatnya jika dia melakukan tanpa berwudlu.4

2
Allubab Syarh al-Kitab (1/10); dan ad-Dur al-Mukhtar (1/79)
3
kitab al-Mughni (II/12) karya Ibnu Qudamah dan kitab Taudhiihul Ahkam min Buluughil
Maraam karya Abdullah al-Basam (I/87)
4
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta,
Al-Maghfirah, 2012, hlm. 7.

3
Sementara menurut istilah fiqih, para ulama mazhab mendefinisikan wudhu
menjadi beberapa pengertian. Mazhab Al-Hanafiah mendeskripsikan Wudhu
adalah membasuh dan menyapu dengan air pada anggota badan tertentu. Al-
Malikiah mendeskripsikan Wudhu adalah thaharah dengan menggunakan air yang
mencakup anggota badan tertentu, yaitu empat anggota badan, dengan tata cara
tertentu.5 Sedangkan Asy-Syafi’iyah mendeskripsikan Wudhu’ adalah
penggunaan air pada anggota badan tertentu dimulai dengan niat. 6 Serta
Hambaliyah mendeskripsikan Wudhu adalah penggunaan air yang suci pada
keempat anggota tubuh yaitu wajah, kedua tangan,kepala dan kedua kaki, dengan
tata cara tertentu seusai dengan syariah, yang dilakukan secara berurutan dengan
sisa furudh.7
C. Pengertian Mandi
Mandi merupakan aktivitas mengalirkan air pada seluruh anggota tubuh
dengan niat tertentu.8 Menurut arti syara’ mandi adalah sampainya air yang suci
keseluruh badan dengan cara tertentu.
Sedangkan menurut ulama’ bermadzhab Sayafi’i mendefisikan mandi
yaitu mengalirkan air keseluruh badan disertai dengan niat. Adapun ulama’
bermadzhab Maliki juga membuat suatu pengertian mandi yakni sampainya air ke
seluruh badan disertai dengan proses menggosok dengan niat diperbolehkannya
untuk melakukan sholat.
Adapun tujuan dari mandi itu sendiri yaitu selain kita melaksanakan suatu
‘ibadah yang berupa bersuci dari hadas besar, tapi kita juga membersihkan tubuh
kita dari segala kotoran dan itu sangat dianjurkan oleh nabi seperti dalam hadist
yang artinya “Kesucian adalah sebagian dari iman”.
D. Pengertian Tayamum
Tayamum secara harfiah memiliki arti menyengaja. Sedangkan menurut
syara, tayamum adalah menempelkan debu yang suci pada wajah dan tangan

5
Al-Ikhtiar jilid 1 halaman 7.
6
Asy-Syarhushshaghir wal hasyiatu alaihi jilid 1 halaman 104.
7
Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 47.
8
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta,
Al-Maghfirah, 2012, hlm. 13.

4
sebagai pengganti wudhu, mandi, atau membasuh anggota tubuh dengan syarat-
syarat tertentu.9
Di dalam Kamus Istilah Fiqh pula mendefinisikan tayammum yaitu
menyapukan debu atau tanah ke wajah dan kedua tangan hingga kedua siku
dengan beberapa syarat, yang berfungsi sebagai pengganti wudhu atau mandi
sebagai rukhsah (kemudahan) bagi mereka yang berhalangan atau tidak dapat
menggunakan air.10
E. Thaharah
Thaharah atau bersuci, dalam hukum islam soal bersuci dan segala seluk-
beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama karena
diantara syarat-syarat shalat telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan
mengerjakan sholat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan
tempatnya dari najis.
Bersuci hukumnya wajib, berdasar firman Allah swt dan sunnah Nabi
SAW. Adapun firman Allah swt dalam Q.S Al-Baqarah ayat 222 yang artinya “
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-
orang yang mensucikan diri.” Dan Sabda Rasulullah SAW yang artinya “Bersuci
adalah separuh dari Iman.”
Thaharah menurut bahasa artinya bersih dan suci. Menurut istilah (ahli
fikih) berarti membersihkan diri dari hadas atau najis, seperti mandi, berwudhu
atau tayamum. Thaharah sendiri secara harfiah juga memiliki arti sisa air yang
telah digunakan (musta’mal) karena berfungsi sebagai pembersih untuk bersuci.11
Banyak para ahli atau ulama mendefinisikan thaharah, namun dapat disimpulkan
bahwa Thaharah adalah tindakan membersihkan atau menyucikan diri dari hadast
dan najis.
Air yang dapat digunakan untuk bersuci secara sah atau benar
dikategorikan ke dalam 7 macam, antara lain:
 Air hujan
9
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta,
Al-Maghfirah, 2012, hlm. 18.
10
M. Abd. Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi'iyah Am. 1997: 382-383
11
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta,
Al-Maghfirah, 2012, hlm. 2.

5
 Air laut atau air asin
 Air sungai
 Air sumur
 Air sumber
 Air es atau salju
 Air embun
Ketujuh air tersebut terbagi menjadi dua golongan, yaitu air yang turun
dari langit dan air sumber yang keluar dari bumi. Air dapat dibagi menjadi empat
macam, yakni air mutlak, air suci yang menyucikan, air suci yang tidak bisa
digunakan untuk bersuci, dan air najis (mutanajjis).12
Air Mutlak adalah air yang keberadaannya suci dan dapat dipakai untuk
bersuci, serta dapat menyucikan benda lain. Atau dengan kata lain air mutlak
adalah air yang menyucikan dan tidak makruh untuk bersuci. Air mutlak ini bisa
untuk menghilangkan hadas dan najis. Contoh air mutlak adalah air hujan, air
salju dan air es, air laut, dan air zamzam.
Air suci yang menyucikan. Jika digunakan untuk menyucikan badan
hukumnya bisa berubah menjadi makruh. Namun jika digunakan untuk
menyucikan pakaian, hukumnya tidak makruh. Air ini adalah air musyammas,
yaitu air yang panas akibat terkena sinar matahari. Hukum makruh ini
menggunakan dasar bahwa air ini berbahaya untuk kesehatan manusia. Namun,
menurut Imam Nawawi menjelaskan bahwa air panas yang akibat terkena sinar
matahari, hukumnya mutlak dan tidak makruh, kecuali air itu dalam keadaan
terlalu panas atau terlalu dingin.
Air suci yang tidak bisa digunakan untuk bersuci, disebut air musta’mal.
Air musta’mal adalah air sisa yang mengenai badan manusia karena telah
digunakan untuk wudlu dan mandi. Apabila air itu tidak bertambah jumlahnya
setelah digunakan, air itu tetap suci namun tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Air najis (mutanajjis) adalah air yang hukumnya najis dan jelas tidak bisa
digunakan untuk bersuci. Air yang sedikit atau banyak yang terkena najis

12
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta,
Al-Maghfirah, 2012, hlm. 3.

6
sehingga berubah warna dan baunya. Kalau air itu sedikit, menjadi najis sebab
bercampur dengan najis, baik berubah atau tidak. Tetapi kalau air itu banyak,
menjadi najis sebab bercampur dengan najis sampai berubah rasa atau baunya.
Yang dimaksud air yang sedikit ialah air yang kurang dari dua kulah, dan air
banyak adalah kalau sudah sampai dua kulah. Ukuran dua kulah kurang lebih 200
liter.13
F. Wudhu
Wudlu, menurut bahasa berarti baik dan bersih. Menurut istilah syara’,
wudlu ialah membasuh muka, dan kedua tangan sampai siku, mengusap sebagian
kepala dan membasuh kaki yang di dahului dengan niat dan dilakukan dengan
tertib.14
Wudhu merupakan sebuah rangkaian ibadah bersuci untuk menghilangkan
hadas kecil. Wudhu merupakan syarat sah sholat, yang artinya seseorang dinilai
tidak sah shalatnya jika dia melakukan tanpa berwudhu.15 Syarat sah wudhu ada 5
perkara, yaitu islam,tamyiz16, airnya suci, tidak ada halangan bathin (seperti akal
tidak sehat), tidak ada halangan dari agama (seperti sedang haid, nifas, dan lain-
lain. Fardhu wudhu meliputi enam perkara, yakni :
1. Niat didalam hati, yang dilakukan di awal membasuh muka, bukan
sebelum membasuh muka. Ketika membasuh muka, dalam hati niatkan
berwudhu untuk menghilangkan hadas kecil, sehingga wudhunya menjadi
benar atau sah. Apabila dalam berwudhu tidak disertai niat, wudhu itu
menjadi tidak sah.
2. Membasuh seluruh bagian muka secara merata. Batas bagian muka
dimulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala sampai dagu bagian bawah
dan antara telinga kanan dan telinga kiri. Hal ini berarti pada janggut yang
tertutup oleh jenggot tipis yang terlihat yang nyata kulitnya oleh orang
yang diajak bicara, maka wajib dibasuh pada bagian kulitnya, yakni

13
Abdul Fatah Idris, abu ahmadi, Fikih Islam Lengkap,Jakarta, Rineka Cipta, hlm.4.
14
Ilmu Fiqh, Pembina Perguruan Tinggi Agama Islam, 1982, hlm. 40.
15
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta,
Al-Maghfirah, 2012, hlm. 7.
16
Bisa membedakan atau sudah berakal.

7
tempat tumbuhnya jenggot tersebut. Wajib membasuh satu kali dan sunnah
membasuh sebanyak tiga kali.
3. Membasuh kedua tangan sampai dengan siku serta wajib membasuh apa
saja yang ada pada tangan seperti bulu-bulu, lipatan-lipatan, dan kotoran
yang mencegah masuknya atau meresapnya air, termasuk kotoran yang
ada pada kuku.
4. Mengusap kepala dengan tangan yang dibasahi air. Sedang dalam
mengusap kepala dapat dipahami tidak seluruh kepala, tetapi dengan
mengusap sebagiannya cukup. Atau cukup mengusap sebagian rambut
sebatas kepala. Namun dalam hal ini banyak hadist yang berbeda
memberikan pengertian dalam menyapu kepala, ada yang berpendapat
hanya sebagian dan ada pula yang menyatakan seluruh bagian kepala.
Seperti Hadist yang ditakhrijkan (berasal dari kata takhrij 17) oleh Imam
Bukhari dan muslim dan Al-Mughirah bin Syu’bah yang bertentangan
dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Jam’ah dari Abdullah bin Zaid.
5. Membasuh kedua kaki sampai dengan mata kaki, berdasar firman Allah
swt yang artinya “Dan (basuhlah) kakimu beserta kedua mata kaki.”. Bagi
umat yang memakai muzah (sepatu) maka wajib membasuh kedua muzah
dan membasuh kedua kaki. Membasuh kedua kaki ini juga termasuk
membasuh bulu bulu, jari-jari dan lipatannya, seperti ketentuan pada
membasuh tangan diatas.
6. Tertib atau berurutan sesuai urutan ketentuan rukun atau fardhunya wudhu
yang telah ditetapkan. Apabila seseorang lupa bahwa wudhunya tadi tertib
atau tidak, maka wudhunya harus di ulang. Demikian juga ketika
seseorang sakit dan diwudhukan oleh empat saudaranya secara bersamaan,
masing-masing membasuh muka, tangan, sebagian kepala, dan kaki. Maka
yang dianggap sah dalam ketentuan tertib berwudhu adalah yang
membasuh muka.
17
kata takhrij berasal dari kata kharaja-yukhariju-takhrijan yang artinya menampakkan,
mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Maksudnya, menampakkan
sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi. Penampakan dan pengeluaran di sini
tidak mesti berbentuk fisik, tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan tenaga dan pikiran
seperti makna kata istikhraj yang berarti mengeluarkan hukum dari nash al-Qur’an dan hadits.

8
Wudhu juga memiliki sunnah dalam menjalankannya, diantaranya adalah :
a. Membaca Basmallah ketika mulai berwudlu.
b. Mencuci kedua telapak tangan sampai pergelangan terlebih dahulu
sebelum memasukkan kedua tangan ke dalam air dua kulah yang akan
dipergunakan untuk berwudhu.
c. Berkumur, setelah mencuci kedua telapak tangan.
d. Memasukkan air ke hidung, juga beralasan pada amal Rasulullah SAW
yang diriwayatkan Bukhari dan muslim.
e. Mengusap seluruh bagian kepala dengan air. Untuk yang berkerudung atau
memakai surban cukup diusap sebagian tanpa membukanya.
f. Mengusap dua telinga, yaitu daun telinga bagian luar dan dalam dengan air
yang baru diambil, bukan dengan air bekas basuhan muka atau kepala.
Caranya adalah dengan memasukkan jari telunjuk ke bagian dalam telinga.
Kedua jari ini dijalankan untuk membersihkan telinga bagian dalam dan
bagian luar. Yang terakhir, kedua telapak tangan digosok-gosokkan ke
telinga sampai terasa bersih.
g. Mengusap air ke sela-sela jenggot dengan jari diletakkan ke sela-sela
jenggot. Hal ini ditujukan untuk lebih memudahkan kulit tempat tumbuh
jenggot terbasuh oleh air ketika membasuh seluruh muka.
h. Mengusap sela-sela jari dan membasahinya.
i. Mendahulukan bagian yang kanan dan mengakhirkan bagian yang kiri.
j. Mengulang tiga kali pada setiap anggota yang dibersihkan dan diusap.
k. Bersambung antara membasuh anggota yang satu dan anggota yang
berikutnya, dalam artian tidak berhenti antara keduanya.
l. Menjaga agar percikan air itu jangan kembali ke badan.
m. Menggosok anggota wudhu agar menjadi lebih bersih.
n. Membaca dua kalimat syahadat dan menghadap kiblat ketika wudhu.
o. Berdoa sesudah selesai wudhu.
p. Membaca dua kalimat syahadat sesudah selesai wudhu.

9
Selain sunnah dalam menjalankan wudhu, apa pula hal-hal yang dapat
merusak wudhu atau disebut juga hal-hal yang menyebabkan hadas kecil.
Diantaranya adalah lima perkara sebagai berikut :
1) Adanya sesuatu yang keluar dari jalan depan (qubul) atau jalan belakang
(dubur) orang yang memiliki wudhu, yang berbentuk nyata, baik air
maupun feses atau yang menyerupainya seperti darah dan batu, atau hewan
kecil dan air mani.
2) Tidur, Kecuali tidur itu dalam keadaan duduk di tanah atau lantai yang
apabila ia terbangun masih dalam posisi yang tetap.
3) Hilangnya ingatan akibat mabuk, gila, kambuhnya ayan, pingsan dan lain-
lain.
4) Seorang pria yang menyentuh wanita yang bukan mahramnya walaupun
yang dipegangnya itu adalah mayat.
5) Memegang farji atau alat vital dengan telapak tangan, baik pria maupun
wanita.
G. Mandi
Mandi berarti mengguyur air ke seluruh badan. Berdasarkan firman Allah
dalam Q.S Al-Maidah ayat 6 yang artinya : “Dan jika kamu junub maka
mandilah”. Pengertian lain mengenai mandi adalah aktivitas mengalirkan air pada
seluruh tubuh dengan niat tertentu.18 Adapun sebab-sebab yang mewajibkan
mandi, yakni :
1. Bersetubuh, berdasar Q.S Al-Maidah ayat 6 yang artinya “Apabila kamu
sekalian dalam keadaan junub maka mandilah.” Dalam hal ini, baik keluar
mani atau tidak tetap diwajibkan mandi.(Sabda Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh Muslim).
2. Mengeluarkan mani dalam mimpi bersetubuh (ihtilam). Yakni keluarnya
sperma dari penis (laki-laki) atau vagina (bagi perempuan), baik disertai
kenikmatan yang nyata maupun yang tidak nyata, misalnya orang mimpi
basah yang mendapati kemaluannya basah namun tidak merasakan

18
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta,
Al-Maghfirah, 2012, hlm. 13.

10
syahwat. Kewajiban ini berdasarkan hadits narasi Abu Sa’id 19, ia berkata :
Rasulullah bersabda , yang artinya:”Sesungguhnya air (mandi wajib)
karena keluarnya air (sperma)”.
3. Selesainya haid dan nifas. Wanita yang datang bulan atau melahirkan
anak, apabila telah berhenti tidak lagi mengeluarkan darah, maka ia wajib
mandi. Adapun kewajiban mandi bagi wanita yang selesai nifas didasarkan
pada ijma’ sahabat bahwa nifas sama dengan haid.
4. Persalinan Tanpa Pendarahan. Kalangan ulama mazhab Hanafi, mazhab
Maliki, mazhab Syafi’I menyatakan kewajiban mandi atas perempuan
yang melahirkan, meskipun ia tidak melihat adanya bercak darah. Hal ini
demi sikap kehati-hatian, karena tidak mungkin perempuan melahirkan
tanpa disertai bercak darah. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Muhammad
Asy-Syaibani (keduanya dari mazhab Hanafi), dan ulama-ulama mazhab
Hanbali berpendapat bahwa tidak dijumpai bercak darah maka tidak wajib
mandi, sebab dalam hal ini tidak ada nash maupun yang semakna dengan
nash yang menyatakan kewajiban demikian.
5. Meninggal Dunia. Para ulama sepakat bahwa hukumnya fardhu kifayah
bagi orang-orang yang hidup untuk memandikan mayat muslim yang yang
tidak dilarang untuk dimandikan.
6. Masuk islam. Jika orang kafir masuk islam maka ia wajib mandi , sebab
ketika beberapa orang sahabat masuk islam , mereka disuruh Nabi mandi.
Menurut hadis,”Dari Qais bin Asim. Ketika ia masuk islam , Rasulullah
SAW menyuruhnya mandi dengan air dan daun bidara.”
 Hal-hal yang diharamkan bagi orang junub
Orang yang sedang dalam keadaan junub tidak diperbolehkan dan
diharamkan melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Shalat
2. Thawaf
3. Menyentuh dan membawa mushaf (Al-Qur’an)
4. Membaca Al-Qur’an
19
HR. Imam Muslim, dalam shahih Muslim, Kitab Al-Haidh, dalam bab Bayan Anna Al-Ghusla
Yajibu bi Al-Jima’

11
5. Berdiam diri di masjid

 Mandi-mandi sunnah
Mandi sunnah adalah mandi yang dilakukan orang mukallaf maka ia
mendapatkan pujian atas tindakannya , dan jika meninggalkan maka ia
tidak terkena celaan atau hukuman.
Adapun yang termasuk mandi sunnah adalah sebagai berikut:
1. Mandi hari jum’at
Mandi hari jum’at disunatkan bagi orang yang bermaksud akan
mengerjakan shalat jum’at, agar bau yang kurang enak tidak
mengganggu orang disekitar tempat duduknya.
2. Mandi Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Kurban
3. Mandi orang gila apabila ia sembuh dari gilanya, karena ada
kemungkinan ia keluar mani.
4. Mandi tatkala hendak ihram haji atau umrah
5. Mandi sehabis memandikan mayat.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Yang artinya : “Barang siapa
memandikan mayat, hendaklah ia mandi, dan barang siapa yang
membawa mayat, hendaklah ia berwudhu.” (riwayat Tirmidzi dan
dikatakan Hadits Hasan).
6. Mandi seorang kafir setelah memeluk agama Islam, sebab ketika
beberapa orang sahabat masuk islam, Nabi menyuruh mereka untuk
mandi.
 Fardu (rukun) Mandi
1. Niat. Orang yang junub hendaklah berniat (menyengaja)
menghilangkan hadas junubnya, perempuan yang baru selesai haid
atau nifas hendaklah berniat menghilangkan hadas kotorannya.
2. Mengalirkan air ke seluruh badan.
3. Bagi orang yang bernajis pada bagian tubuhnya, maka wajib
menghilangkan najisnya terlebih dahulu, baru kemudian berniat mandi
untuk menghilangkan hadas.

12
4. Membasahi seluruh rambut dan kulit diseluruh tubuh dengan air.

 Sunah-sunah Mandi
1. Membaca basmallah pada permulaan mandi.
2. Berwudhu sebelum mandi.
3. Menggosok-gosok seluruh badan dengan tangan.
4. Mendahulukan yang kanan daripada yang kiri.
5. Berurutan.

F. Tayamum
Apabila seseorang junub atau seseorang akan mengerjakan
sembahyang, orang tadi tidak mendapatkan air untuk mandi atau untuk
wudlu, maka sebagai ganti untuk menghilangkan hadast besar atau kecil
tadi dengan melakukan tayamum.
Tayamum menurut bahasa sama dengan Qasad artinya menuju.
Secara harfiah memiliki arti menyengaja, sedangkan menurut syara,
tayamum adalah menempelkan debu yang suci pada wajah dan tangan
sebagai pengganti wudlu, mandi, atau membasuh anggota tubuh dengan
syarat-syarat tertentu.
Sebab / Alasan Melakukan Tayamum adalah :

1) Dalam perjalanan jauh


2) Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
3) Telah berusaha mencari air tapi tidak diketemukan
4) Air yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan.
5) Air yang ada hanya untuk minum.
6) Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat
7) Pada sumber air yang ada memiliki bahaya
8) Sakit dan tidak boleh terkena air
Adapun Syarat Sah Tayamum adalah sebagai berikut :
1) Telah masuk waktu sholat.

13
2) Memakai tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran.
3) Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum.
4) Sudah berupaya / berusaha mencari air namun tidak ketemu.
5) Tidak haid maupun nifas bagi wanita / perempuan.
6) Menghilangkan najis yang yang melekat pada tubuh
Selain Syarat sah Tayamum, ada pula Sunah ketika melaksanakan Tayamum :
1) Membaca basmalah
2) Menghadap ke arah kiblat
3) Membaca doa ketika selesai tayamum
4) Medulukan kanan dari pada kiri
5) Meniup debu yang ada di telapak tangan
6) Menggodok sela jari setelah menyapu tangan hingga siku

Rukun Tayamum, meliputi :


1) Niat Tayamum
2) Menyapu muka dengan debu atau tanah.
3) Menyapu kedua tangan dengan debu atau tanah hingga ke siku.
Hal-hal yang membatalkan tayamum, antara lain :
1. Segala sesuatu yang membatalkan wudhu, berlaku pula pada tayamum.
2. Melihat air. Bagi orang yang bertayamum karena kesulitan mendapatkan
air lalu melihat air sebelum masuk waktu sholat maka tayamumnya batal.
Apabila seorang yang bermukim bertayamum dan sedang sholat, dan dia
melihat air, sholat itu harus diulang. Namun, bila orang itu adalah musafir,
sholatnya tidak harus diulang. Apabila seorang bertayamum karena sakit
kemudian ia melihat air, tayamumnya tidak batal dan tetap sah sholatnya.20
3. Murtad, artinya terputus Islamnya.
4. Bagi orang yang sakit, jika tangannya diperban maka cukup perbannya
saja yang diusap debu. Setiap bertayamum hanya berlaku satu kali sholat
fardhu, atau satu kali tawaf.

20
Yahya Marjuqi, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib Al-Mujib, Jakarta,
Al-Maghfirah, 2012, hlm. 20.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Thaharah adalah tindakan membersihkan atau menyucikan diri dari
hadast dan najis. Thaharah atau Bersuci beberapa macam-macamnya adalah
wudlu, mandi, dan tayamum.
Wudhu merupakan sebuah rangkaian ibadah bersuci untuk menghilangkan
hadas kecil. Wudlu merupakan syarat sah sholat, yang artinya seseorang dinilai

15
tidak sah shalatnya jika dia melakukan tanpa berwudlu. Yang didalamnya ada
ketentuan atau syarat-syarat serta rukun dan hal-hal yang merusak wudlu.
Mandi adalah aktivitas mengalirkan air pada seluruh tubuh dengan niat
tertentu. Sedangkan tayamum adalah mengusapkan tanah ke muka dan kedua
tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudlu
atau mandi, sebagai rukhsah (keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai
air karena beberapa halangan (uzur), yaitu Uzur karena sakit, karena dalam
perjalanan dan karena tidak ada air.
B. Saran
Dalam kehidupan sehari-hari tentu umat muslim tidak terlepas dari
thaharah atau bersuci yang didalamnya terdapat macam-macamnya seperti wudhu,
mandi dan tayamum, untuk itu aplikasikan ilmu sesuai dengan syariat islam, dan
tentunya menyempurnakan ibadah kita terhadap Allah swt.
Dalam kehidupan tidaklah semuanya sepaham, dalam ilmu fiqh pun
mengenal beberapa mazhab yang terkenal seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki,
Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali. Hal ini menyebabkan beberapa perbedaan
didalam mazhabnya termasuk perbedaan dalam fiqh ibadah, namun semua itu
kembali pada diri setiap individu umat muslim mana yang dipilihnya, karena
setiap mazhab sama-sama bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist, dan dibantu
pula dengan Ijma’ dan Qiyas.

16
DAFTAR PUSTAKA
Marjuqi, Yahya, Panduan Fiqih Imam Syafi’i Ringkasan Kitab Fathul Qarib

Al-Mujib, Jakarta, Al-Maghfirah, 2012.

Abdul Fatah Idris, abu ahmadi, Fikih Islam Lengkap,Jakarta, Rineka Cipta.

HR. Imam Muslim, dalam shahih Muslim, Kitab Al-Haidh, dalam bab Bayan

Anna Al-Ghusla Yajibu bi Al-Jima’.

17

Anda mungkin juga menyukai