Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

WUDHU DALAM ISLAM

DI

OLEH: KELOMPOK 5

NADIA MUNAWARAH

AMIRA LAYYINA

RIJALUL AKMAL

PRODI : HUKUM EKONOMI SYARI’AH

PEMBIMBING : MUSLIADI, Lc., M.Sh

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH


AL-HILAL SIGLI
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak
memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita umatnya. Rahmat beserta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita, pemimpin akhir jaman yang sangat dipanuti oleh
pengikutnya yakni Nabi Muhammad SAW.

Makalah yang berjudul “Wudhu dalam Islam” ini sengaja dibahas karena sangat penting
untuk kita yang tinggal di jaman yang sangat maju ini untuk bisa membandingkan.

Selanjutnya, penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan pengarahan-pengarahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tidak lupa juga kepada Bapak Muhammad Fazil, M.Ag selaku Dosen
mata kuliah untuk memberikan kritikan dan sarannya kepada kelompok kami agar dalam
penyusunan makalah ini lebih baik.

Demikian, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun umumnya kepada
semua pihak yang membaca makalah ini.

Sigli, 12 Oktober 2022


penyusun

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. APengertian dan Dasar Hukum Wudhu ...................................................... 2
B. Rukun Wudhu ............................................................................................. 3
C. Syarat-Syarat Wudhu .................................................................................. 4
D. Sunah-Sunah Wudhu .................................................................................. 5
E. Hal-hal yang Membatalkan Wudhu ............................................................ 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari pergaulan antar
sesama dan hubungan dengan sang pencipta. Sebagai makhluk yang berakal, sudah
selayaknya ketika menghadap Tuhannya harus mematuhi rambu-rambu yang
digariskan oleh syara‟. Bahkan, ketika bermunajat dengan Sang Khaliq pun, harus
diperhatikan aturan mainnya, diantaranya adalah dengan melakukan thaharah sebagai
mediator dalam beribadah kepaad Alloh.
Setiap kegiatan ibadah umat Islam pasti melakukan membersihkan
(thaharah) terlebih dahulu mulai dari wuhdu. Wudhu adalah sebuah syariat kesucian
yang Alloh „azza Wa Jalla tetapkan kepada kaum muslimin. Sebagai pendahuluan
bagi shalat dan ibadah lainnya. Di dalamnya terkandung sebuah hikmah yang
mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim memulai ibadah dan
kehidupannya dengan kesucian lahir batin. Sebab kata ini sendiri berasal dari kata
yang mengandung makna “kebersihan dan keindahan”.
Wudhu disyariatkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga
disyariatkan pada seluruh kondisi. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar
selalu dalam kondisi bersuci (wudhu) sebagaimana yang dahulu yang dilazimi oleh
Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa
berwudhu, baik dalam keadaan senang ataupun susah dan kurang menyenangkan
(seperti saat muslim hujan dan dingin).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian wudhu dan dasar hukumnya?
2. Apa saja rukun-rukun wudhu beserta syarat-syarat wudhu?
3. Apa saja hal-hal yang membatalkan wudhu?
4. Apa saja sunnah-sunnah wudhu?
5. Bagaimana hukum wudhu dengan salju?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wudhu


1. Pengertian Secara Bahasa
Al Imam Ibnu Atsir Al-Jazary rohimahumullah (seorang ahli bahasa)

menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu‟ (‫ء‬ ُ ‫)ا َ ْل َو‬, maka yang dimaksud adalah
ْْ ‫ضو‬
air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu (‫ء‬ ُ ‫)الُو‬, maka yang
ْْ ‫ضو‬
diinginkan di situ adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan sedang wadhu
adalah air wudhu.1
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi‟iy rohimahulloh, kata wudhu terambil dari

kata al-wadho‟ah / kesucian (‫ء‬ ُ ‫)ا َ ْل َو‬. Wudhu disebut demikian, karena orang yang
ْْ ‫ضو‬
sholat membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang suci.”2
2. Pengertian Secara Syari‟at
Sedangkan menurut Syaikh Sholih Ibnu Ghonim As-Sadlan Hafishohulloh:

‫ص ٍة‬ ٍ ِ ِ ِ ‫ اَست ع ِمل م ٍاء طَهوٍر ِِف اْألَع‬: ‫معَن الْوضوِء‬


َ ‫ص ْو‬
ُ َْ‫ضاء اْالَْربَ َعة َعلَى ص َفة َم‬
َْ ْ ُ َ ُ ْ َْ ُْ ُ َ ْ َ
‫ِِف الش َّْرِع‬
Artinya: mak awudhu adalah menggunakan air yang suci lagi menyucikan pada
anggota-anggota badan yang empat (wajah, tangan, kepala dan kaki) berdasarkan tata
cara yang khusus menurut syariat”.3
Jadi definisi wudhu bila ditinjau dari sisi syariat adalah suatu bentuk
peribadatan kepada Alloh Ta‟ala dengan mencuci anggota tubuh tertentu dengan tata
cara yang khusus.

1
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, An-Nihayah Fi Gharib Al-Hadits wa Al-Atsar,
Cet. 5 (Mesir: Jannatul Afkar, 2008), 428

2[2] Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqulani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari,
Cet I (Jakarta Selatan, Pustaka Azam, 2001), 306

3[3] Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar. Kitab Riasalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar Cet. I
(riyadh: Madar Al-Wathoni Lin Nasyr, tt), 19

2
Disyari‟atkan wudhu ditegaskan berdasarkan 3 macam alasan:4
a. Firman Alloh dalam surat Al-Maidah ayat 6

ْْْْْْْْْْ

ْْ ْْْْْْ

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.

b. Sabda Rosululloh

َ‫ث َح ََّّت يَتَ َوضَّاء‬ ْ ‫صالََة اَ َح ُد ُك ْم إِ َذا أ‬


َ ‫َح َد‬ َ َ‫الَيَ ْقبَ ُل هللا‬
Artinya: Alloh tidak menerima shalat salah seorang dia nataramu bila ia
berhadats, sehingga ia berwudhu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

c. Ijma‟
Telah terjalin kesepakatan kaum muslim atas disyari‟atkannya wudhu
semenjak zaman Rosululloh hingga sekarang ini, sehingga tidak dapat
disangkal lagi bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama.

B. Rukun Wudhu
Dalam kitab Fathul Mu‟in disebutjkan ada 6 hal yang menjadi rukun wudhu:5
1. Niat fardhunya wudhu ketika pertama kali membasuh wajah
2. Membasuh wajah
3. Membasuh kedua tangan dari telapak dan lengan sampai siku
4. Membasuh sebagian kepala
5. Membasuh kedua kaki beserta jkedua mata kaki

4[4] Zainuddin bin Muhammad Al-Ghazaly Al Mailbary. Fatkhul Mu’in (Surabaya, Barul Al
Ilmi, tt), 5

5[5] Drs. H. Ibnu Mas‟ud, Drs. H. Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Imam Syafi’i (Bandung),
2007, 56

3
6. Tertib
Dan terdapat perbedaan pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada
yang menyebutkan 4 saja, sebagaimana yang tercantum dalam ayat Qur‟an, namun
ada juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari sunnah.6
4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu
hanya ada 4 sebagamana yang disebutkan dalam Nash Qur‟an.
7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat,
ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu, sebab menurut beliau sekedar mengguyur
anggota wudhu dengan air masih belum bermakna mencuci/membasuh, juga beliau
menambahkan kewajiban muwalat.
6 (enam) rukun menurut As-Syafi‟iyah menambahnya dengan niat
pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau
gunakan adalah harus tertib.
7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib
dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu
anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air
bekas wudhu.

C. Syarat-syarat Wudhu
1. Dikerjakan dengan air mutlaq
2. Mengalirkan air di atas anggota yang dibasuh
3. Tidak ada sesuatu pada anggota yang dapat mengubah air, yaitu perubahan
yang merusakkan nama air mutlak itu
4. Pada anggota wudhu, tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dan
anggota yang dibasuh
5. Dilakukan sesudah masuk waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats

ْْْْْْْ6 Ibrahim Muhammad Al-Jamal. Fiqih Muslimah (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), 14-16

4
D. Sunah-sunah Wudhu
1. Membaca basmalah sebelum mengambil air untuk membasuh muka sambil
niat berwudhu
2. Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan, dicuci dengan air yang
suci 3x (tiga kali)
3. Berkumur
4. Beristisyaq (menghirup air ke dalam hidung)
Dan sunnah mengeraskan berkumur dan beristinsyaq bagi yang tidak puasa,
dan makruh bagi yang puasa. Berkumur dan istinsyaq dilakukan 3x.
5. Istinsaar (membuang air dari hidung) dengan meletakkan jari telunjuk dan ibu
jari tagan kiri di atas hidung. Jika dalam hidung terdapat kotoran yang keras,
hendaklah dikeluarkan dengan jari kelingking tangan kiri.
6. Mengusap kedua telinga bagian luar atau dalam hingga gendang telinga
Dalam mengusap telinga harus menggunakan air yang babru, bukan air yang
habis digunakan mengusap kepala.
7. Merenggangkan jari-jari kedua tangan dan kaki jika menghalangi masuknya
air ke sela-sela jari
Caranya pada tangan ialah meletakkan bagian dalam pada salah satu telapak
tangan di atas telapan tangan yang lain sambil memasukkan jari tanganpada
tangan lain. Dan caranya pada kaki adalah meletakkan jari-jari tangan kiri
diantara jari kaki, dimulai dari jari kelingking kaki kanan dan berakhir pada
kelingking kiri pada bagian bawah kaki.
8. Menggerakkan cincin agar air sampai pada bagian bawah jari
9. Mendahulukan anggota kanan ketika membasuh kedua tangan dan kaki
10. Memulai dengan ujung anggota yaitu membasuh wajah mulai bagian atas
sampai bawah dan membasuh kedua tangan mulai jari-jari sampai siku,
mengusap kedua kepala mulai dari tempat yang biasa ditumbuhi rambut
sampai bagian atas kepala, dan membasuh kedua kaki dari ujung jari-jari
sampai kedua mata kaki
11. Melebihkan basuhan pada anggota yang wajib seperti wajah, tangan, kaki

5
12. Membasuh dua atau tiga kali dalam segala hal, kecuali bila sudah merata, bila
merata pada basuhan kedua, maka basuhan kedua itu dianggap kali pertama.
Bila merata pada basuhan kali ketiga, maka semua basuhan dianggap kali
pertama, dan hendakllah diteruskan dengan basuhan kali kedua dan ketiga.
13. Menghadap kiblat
14. Langsung yaitu beruntun antara anggota-anggota wudhu tidak terdapat jarak
yang lama, sehingga anggota yang telah dibasuh mengering kembali.
15. Membasuh tangan hingga pergelangan pada saat akan mulai wudhu. Ini biasa
dilakukan Rosulullah SAW, sunnah ini sangat sesuai dengan fitrah dan akal.
Sebab biasanya pada tangan itu ada debu atau yang serupa dengan debu.
Maka sudah harusnya, kamu dimulai dengan membersihkannya sehingga
kemudian bisa digunakan untuk mencuci muka dan anggota tubuh lainnya.
Dan yang sangat ditekankan untuk melakukan itu adalah saat bangun
dari tidur. Sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan
Muslim.
ِ
ً َ‫َح ُد ُك ْم ِم ْن نَ ْوِم ِو فَالَ يُ ْد ِخ ْل يَ َدهُ ِِف اْا ِإل ََنء َح ََّّت يَ ْغ ِسلَ َها ثَال‬
‫ث‬ ْ ‫إِ َذ‬
َ ‫استَ ْي َق َظ أ‬
.ُ‫ت يَ ُده‬ ْ َ‫فَِإنَّوُ الَيَ ْد ِرى أَيْ َن ََبت‬
“Jika seorang diantara kalian bangun dari tidur, maka janganlah ia
memasukkan tangannya ke dalam wadah air hingga dia mencucinya sebanyak
3x. Sebab dia tidak tahu di tempat mana tangannya berada sebelumnya.”7
16. Menyela-nyela jenggot yang lebat
17. Memulai dari bagian kanan. Hendaknya ia mulai mencuci tangan kanan
sebelum yang kiri, mencuci kaki kanan sebelm yang kiri.
18. Irit dalam menggunakan air dan jangan sampai melakukan pemborosan,
namun jangan sampai terlalu kikir

7
Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Thaharoh, Jl. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2004, hal. 200-203

6
E. Hal-hal yang Membatalkan Wudhu
1. Kencing dan Buang Air Besar
Hal yang membatalkan wudhu dan disepakati bersama adalah keluarnya
kencing dan tinja dari seseorang. Tentang batalnya wudhu karena kencing dan tinja
adalah sesuatu yang sudah sangat diketahui dan disepakati dan sudah jelas tidak
memerlukan dalil untuk menjelaskannya.
2. Madzi dan Wadi
Termasuk yang membatalkan yang keluar dari kemaluan depan seorang laki-
laki adalah madzi dan wadi.
Madzi adalah sesuatu yang keluar dari penis seseorang lelaki setelah dia bercumbu,
melihat atau berpikir mengenai seks. Dia adalah air yang kental yang keluar dengan
cara mengalir dan tidak memancar laksana mani.
Sedangkan wadi adalah air berwarna putih yang keluar setelah buang air
kecil. Keduanya membatalkan wudhu laksana kencing, dan tidak ada kewajiban apa-
apa lagi bagi seseorang yang keluar madzi dan wadi kecuali istinja‟ dan wudhu.
3. Keluarnya Angin dari Anus
Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa
Rosululloh SAW bersabda:

َ‫ث َح ََّّت يَتَ َوضَّاء‬ ْ ‫صالََة اَ َح ُد ُك ْم إِ َذا أ‬


َ ‫َح َد‬ َ َ‫الَيَ ْقبَ ُل هللا‬
Artinya: Alloh tidak menerima shalat salah seorang dia nataramu bila ia berhadats,
sehingga ia berwudhu”.
Abu Hurairah menafsirkan kata “hadats”, di sini ada orang bertanya kepadanya: “apa
yang dimaksud dengan hadats”? Dia berkata: kentut yang tidak ada suaranya dan
kentut yang ada suaranya.
Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid dari Ashim
Al-Anshari, bahwa dia mengadukan sesuatu kepada Rosululloh tentang seseorang
yang ragu merasakan sesuatu pada saat shalat yakni dia merasakan ada angin keluar
dari anusnya, maka Rosululloh SAW bersabda:

‫ص ْو ًًت أ َْو ََِي َد ِرْْيًا‬ ْ ‫ص ِر‬ ِ


َ ‫ف َح ََّّت يَ ْس َم َع‬ َ ‫الَيَْن َفت ْل أ َْو الَ يَْن‬

7
“Janganlah dia berhenti (berpaling) hingga dia mendengar bunyi atau dia mencium
bau”.8
Artinya, dia masih tetap berada dalam keadaan suci dan dalam wudhunya, karena itu
adalah keyakinan, dan keyakinan tidak hilang disebabkan keraguan, lain halnya jiak
dia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya.
4. Tidur Berat
Hal yang disepakati membalatkan wudhu adalah tidur berat dan panjang.
Sebagaimana tidurnya seseorang yang tidur di malam hari, kemudian dia bangun
pagi. Sedangkan yang berupa kantuk, maka dia tidak membatalkan wudhu, sebab itu
adalah tidur ringan.
ِ ‫ ( َكا َن أَصحاب رسو ُل‬:‫ال‬ َ َ‫ك َر ِض َي هللاُ َعْنوُ ق‬ِ ِ‫س اب ِن مال‬
‫م‬.‫هللا ص‬ ُْ َ ُ َ ْ َ ْ ِ َ‫َع ْن أَن‬
‫صلُّ ْو َن َوالَ يَتَ َوض َُّؤ َن‬ ِ ِ ِ ِِ
َ ُ‫َعلَى َع ْهدن يَْن تَظُرْو َن الْع َشاءَ َح ََّّت ََْتف َق َرُؤ ُس ُه ْم ُُثَّ ي‬
‫صلُوُ فِو ُم ْسلِ ٍم‬ْ َ‫َّار قُطَِْن َوا‬
َ ‫ص َّح َحوُ الد‬
َ ‫َخَر َجوُ أبُ ْو َد ُاوَد َو‬
ْ ‫(أ‬
5. Bersentuhan laki-laki dan perempuan yang boleh nikah yang sudah baligh dan
berakal, dan tidak ada penghalang keduanya.
6. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan tanpa ada penghalang

8
Yusuf Al Quradhawi. Fikih Thaharah (Jln. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2004), 2007-231

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al Imam Ibnu Athir Al-Jazary rohimahulloh (Seorang ahli bahasa)
menjelaskan bahwa jika dikatakan wudhu maka yang dimaksud adalah air yang
digunakan berwudhu, bila dikatakan wudhu, maka yang diinginkan di sini adalah
perbuatannya. Jadi wudhu adalah perbuatan, sedangkan wadhu adalah air wudhu.
Al-Hafi‟ah Ibnu Hajar Asy-Syafi‟iy, kata wudhu diambil dari kata al-
wadho‟ah/kesucian. Wudhu disebut demikian, karena orang yang sholat
membersihkan diri dengan wudhu, akhirnya ia menjadi orang yang suci.
Menurut Syaikh Shohih Ibnu Ghorim As-Sadlan Harishulloh, bila ditinjau
dari sisi syari‟at adalah suatu bentuk peribadatan kepada Allah SWT dengan
mencucui anggota tubuh tertentu dengan data cara khusus.

9
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari Cet. I.
Jakarta Selatan: Pustaka Azam. 2001

Al-Jamal Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani. 1999.

Al-Malibary, Zainuddin bin Muhammad Al-Ghozaly. Fathul Mu’in. Surabaya: Darul Ilmi,
tt.

Al-Qaradhawi Yusuf. Fiqih Thoharoh. Jl. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar. 2004.

Al-Thoyaar, Abdullah bin Muhammad. Risalah fi Al-Fiqh. Al-Muyassar Cet I. Riyadh:


Madar Al Watoni lin Nasyr. tt.

Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad bin Shalih. Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits wal atsar Cet.
5. Mesir: Jannatul Afkar. 2008.

Mas‟ud, Ibnu dan Zainal Abidin. Fiqih Madzab Imam Syafi’I, Bandung: Pustaka Setia
Bandung. 2007.

10

Anda mungkin juga menyukai