Anda di halaman 1dari 15

Makalah Fiqh Ibadah

Tentang

Wudhu’ dan Tayammum

Disusun oleh :

Kelompok II

Muhammad Amri Soleh : 1914020105

Rini Widiansyah : 1914020098

Ibnu Fajar Wisty : 1914020111

Dosen Pembimbing :

Dr. Anton Akbar, M.Ag

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB (PBA C)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN IMAM BONJOL PADANG

2022 M / 1443 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga pemakalah telah dapat menyusun makalah ini. Shalawat beserta salam
semoga tetap tercurah selalu kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing kita sebagai
umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman yang berilmu pengetahuan yang kita rasakan saat ini.

Makalah yang berjudul “Wudhu’ dan Tayammum” pemakalah buat untuk memenuhi
salah satu tugas pada mata kuliah Fiqh Ibadah. Dalam menyusun makalah ini penulis dibantu
oleh berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
semuanya, terutama kepada dosen yang telah membimbing mengarahkan dalam penyusunan
makalah ini.
Sebagaimana sebuah pepatah mengatakan bahwa “tak ada gading yang tak retak“. Dengan
ini pemakalah menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk
itu penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Terakhir penulis berharap
agar makalah ini bermanfaat bagi semua, terutama bagi penulis sendiri. Aamiin.

Padang, 2 Maret 2022

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... ....... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................................... ....... 1


B. Rumusan Masalah.................................................................................. ....... 1
C. Tujuan Masalah...................................................................................... ....... 1

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wudhu’ ......................................................... 2


B. Rukun Wudhu’ .............................................................................................. 4
C. Tata Cara Wudhu’ ........................................................................................ 5
D. Pengertian Dan Dasar Hukum Tayammum .................................................. 8
E. Sebab Tayammum ...................................................................................... 10
F. Rukun Tayammum....................................................................................... 13
G. Tata Cara Tayammum.................................................................................. 13

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................. ..... 17
B. Saran....................................................................................................... ..... 17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... ........


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari pergaulan
antar sesama dan hubungan dengan sang pencipta. Sebagai makhluk yang
berakal, sudah selayaknya ketika menghadap Tuhannya harus mematuhi
rambu-rambu yang digariskan oleh syara’. Bahkan, ketika bermunajat dengan
Sang Khaliq pun, harus diperhatikan aturan mainnya, diantaranya adalah
dengan melakukan thaharah sebagai mediator dalam beribadah kepaad Allah.
Setiap kegiatan ibadah umat Islam pasti melakukan membersihkan
(thaharah) terlebih dahulu mulai dari wudhu. Wudhu adalah sebuah syariat
kesucian yang Allah ‘azza Wa Jalla tetapkan kepada kaum muslimin. Sebagai
pendahuluan bagi shalat dan ibadah lainnya. Di dalamnya terkandung sebuah
hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim
memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir batin. Sebab kata ini
sendiri berasal dari kata yang mengandung makna “kebersihan dan keindahan”.
Wudhu dan tayammum disyariatkan bukan hanya ketika kita hendak
beribadah, bahkan juga disyariatkan pada seluruh kondisi. Oleh karena itu,
seorang muslim dianjurkan agar selalu dalam kondisi bersuci sebagaimana
yang dahulu yang dilazimi oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu, baik dalam keadaan senang ataupun
susah dan kurang menyenangkan (seperti saat muslim hujan dan dingin).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan dasar hukum wudhu’?
2. Apa saja rukun wudhu’?
3. Bagaimana tata cara wudhu’?
4. Apa pengertian dan dasar hukum tayammum?
5. Apa saja Sebab Tayammum?
6. Apa saja rukun tayammum?
7. Bagaimana tata cara tayammum?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian wudhu’
2. Untuk mengetahui rukun wudhu’
3. Untuk mengetahui Bagaimana tata cara wudhu’
4. Untuk mengetahui Apa pengertian dan dasar hukum tayammum
5. Untuk mengetahui sebab Tayammum
6. Untuk mengetahui Apa saja rukun tayammum
7. Untuk mengetahui Bagaimana tata cara tayammum
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wudhu’


Kata wudhu’ berasal dari bahasa Arab ‫الوضوء‬yang artinya bersih atau
suci. Secara bahasa wudhu’ diambil dari kata yang maknanya adalah ‫النظافة‬
(kebersihan), dan ‫(الحسن‬baik).1
Al-Imam Ibnu Atsir Al-Jaziry Rohimahumullah (seorang ahli bahasa)
menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’ (‫)الوضوء‬, maka yang dimaksud adalah
air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu (‫)الوضوء‬, maka yang
diinginkan disitu adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan sedang
wadhu adalah air wudhu’.2
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy Rohimahulloh, kata wudhu terambil
dari kata al-wadho’ah / kesucian (‫)الوضوء‬. Wudhu disebut demikian, karena orang
yang sholat membersihkan diri dengannya. Akhirnya, ia menjadi orang yang
suci.3
Defenisi wudhu’ secara syar’i adalah Menggunakan air yang thohur (suci
dan mensucikan) pada anggota tubuh yang empat yaitu wajah, kedua
tangan, kepala, dan kedua kaki dengan c ara yang khusus menurut syari’at.4
Jadi, definisi wudhu bila ditinjau dari sisi syariat adalah suatu bentuk peribadatan

1
Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘Ala zadil Mustaqni, Cet.
I, (Mesir: Darul Ummah, tth), hlm. 148
2
Muhammad Al-Utsaimin bin Shalih, Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits wal
atsar, Cet. V, (Mesir: Jannatul Afkar, 2008), hlm . 428
3
Al-Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih
Al-Bukhari, Cet. I, (Jakarta Selatan: Pustaka Azam, 2001), hlm. 306

4
Al-Thoyaar Abdullah bin Muhammad, Risalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar, Cet
I, (Riyadh: Madar Al Watoni lin Nasyr, tth), hlm. 19
kepada Allah Ta’ala dengan mencuci anggota tubuh tertentu dengan tata cara
yang khusus.
Wudhu’ adalah suatu ibadah wajib yang ditetapkan oleh Allah ta’ala di
dalam Al-Quran dan ditetapkan oleh Rasul-Nya dalam hadits yang mulia. Allah
ta’ala berfirman:

‫الص ٓلوةِ فَا ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْوَه ُك ْم َواَيْ ِديَ ُك ْم اِ ََل الْ َمَرافِ ِق َو ْام َس ُح ْوا‬
َّ ‫ٓاٰيَيُّ َها الَّ ِذيْ َن آ َمنُ ْاوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِ ََل‬
ِ
ْ َ‫بُِرءُْو ِس ُك ْم َواَْر ُجلَ ُك ْم ا ََل الْ َك ْعب‬
‫ي‬
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua
mata kaki (Q.S Al-Maidah: 6).
Ayat yang mulia diatas menetapkan adanya kewajiban wudhu’ di dalam
agama Islam yang hendak mengerjakan shalat, baca atau bawa Al-Quran, thawaf,
dll. Rasulullah SAW juga bersabda yang mengandung pensyariatan wudhu’ bagi
umat Islam:

َ‫ضاء‬
َّ ‫ث َح ََّّت يَتَ َو‬ ْ ‫صالَةَ اَ َح ُد ُك ْم إِذَا أ‬
َ ‫َح َد‬ َ َ‫الَيَ ْقبَ ُل هللا‬
Artinya : Allah tidak menerima shalat salah seorang diantaramu bila ia
berhadats, sehingga ia berwudhu lebih dahulu. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Kaum muslimin telah ijma’ tentang syari’at wudhu’ sejak zaman nabi
Muhammad SAW sampai hari ini, sehingga wudhu’ merupakan bagian dari
pengetahuan agama yang penting. Ijma’ ulama dalam hal ini tidak ada sama
sekali pendapat yang mengatakan bahwa wudhu’ itu tidak wajib.
Untuk sahnya wudhu’ harus terpenuhi beberapa syarat dan fardhu. Akan
tetapi, untuk kesempurnaannya ada beberapa hal yang sunnah dilakukan pada
waktu berwudhu’, Setiap beribadah memiliki syarat yang wajib dipenuhi
sehingga hukum ibadah tersebut dihukumi sah.

B. Rukun Wudhu’
Wudhu merupakan salah satu cara bersuci/an-nazhafah selain mandi.
Sedangkan bersuci mencakup pengertian bersih dari kotoran meski tergolong
suci baik secara lahir seperti ingus dan riak maupun kotoran batin seperti dengki,
hasad, dan kotoran batin lainnya.5
Wudhu disyariatkan pada malam Isra Mi’raj sebagaimana kewajiban
shalat. Wudhu disyariatkan karena shalat merupakan munajat kepada Tuhan
sehingga dibutuhkan keadaan badan yang suci. 6 Dalam fikih mazhab Syafi’i
ditetapkan ada enam hal yang menjadi rukun wudhu:
1. Niat
2. Membasuh muka
3. Membasuh kedua tangan sampai ke siku
4. Mengusap sebagian kepala
5. Membasuh Kedua kaki sampai ke mata kaki
6. Tertib.7

C. Tata Cara Berwudhu’


Adapun tata cara wudhu’ secara ringkas berdasarkan hadits Nabi
shallallahu alahi wasallam yang diriwayatkan dari Humraan, bekas budak
sahabat Utsman bin Affan RA. Suatu ketika Usman memintanya untuk

5
Sayyid Bakri, I’anatut Thalibin, Juz I, (Beirut: Darul Fikr, 2005), hlm. 36
6
Abdullah Bafadhal Al-Hadhrami, Busyral Karim bi Syarhi Masa’ilit
Ta’lim, Juz I (Beirut: Darul Fikr, 2012), hlm. 53
7
Salim bin Sumair Al-Hadhrami, Safînatun Naja, (Beirut, Darul Minhaj,
2009), hlm. 18
membawakan air wudhu‟ (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari
wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya
sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu‟
kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau
membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya
sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.)
kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau
mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu „alaihi was sallam berwudhu‟
dengan wudhu‟ yang semisal ini dan beliau shallallahu „alaihi was sallam
mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu‟ dengan wudhu‟ semisal ini
kemudian sholat 2 roka‟at (dengan khusyuked.) dan ia tidak berbicara di antara
wudhu‟ dan sholatnya maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah
lalu”(HR. Bukhari Muslim). Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang
lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu‟ Nabi shallallahu’alaihi wasallam
secara ringkas sebagai berikut.

1) Niat berwudhu‟ (dalam hati) untuk menghilangkan hadats


2) Membaca basmallah
3) Membasuh dua telapak sebanyak tiga kali
4) Berkumur sebanyak tiga kali, menghirup air ke hidung (Istinsyaq)
sebanyak tiga kali, dan menyemprotkan air (istin-tsar) dari hidung
ke sebelah kiri
5) Membasuh muka sebanyak tiga kali. Batasan muka dimulai dari
tumbuhnya rambut kepala –menurut kebiasaan-hingga ke bagian
ujung dua tulang rahang dan dagu.
6) Membasuh dua tangan beserta siku sebanyak tiga kali. Batasan
tangan dimulai dari ujung jari-jari tangan (berikut kuku-kukunya)
sampai lengan atas. Sebelum kedua tangan dibasuh, terlebih dahulu
menghilangkan sesuatu yang melekat pada keduanya seperti
lumpur dan celupan yang tebal yang melekat pada kuku agar air
sampai ke kulit.
7) Menyapu seluruh kepala berikut dua telinga sebanyak satu kali
sapuan dengan air yang baru dan bukan air sisa basuhantangan.
Cara menyapu kepala ialah meletakkan kedua tangan yang sudah
dibasahi dengan air yang baru pada bagian depan kepala., lalu
melintaskan keduanya sampai tengkuk lalu mengembalikan
keduanya ketempat semula, lalu memasukkan kedua jari telunjuk
kedua lubang telinga dan menyapu bagian luar telinga dengan dua
ibu jari.
8) Membasuh dua kaki beserta dua mata kaki sebanyak tiga kali. Mata
kaki ialah dua tulang yang menonjol pada bagian bawah betis. Bagi
orang yang tangan atau kakinya diamputasi, maka cukup
membasuh bagian yang tersisa dari siku atau kaki. Setelah selesai
berwudhu’ dengan cara-cara tadi, maka arahkanlah pandangan ke
langit (atas) dan ucapkanlah do’a sebagaimana yang diriwayatkan
dari Rasulullah. Ashhadu allaa ilaaha illallah wahdahu
laasyariikalah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh,
allahummaj ‘alnii minattawwabiinaa waj’alnii minal mutathahiriin.
Subhanakallahumma wa bihamdika asyhadu alla ilaaha illa anta,
astaghfiruka wa atubu ilaik.

D. Pengertian dan Dasar hukum Tayammum


Kata tayammum menurut Bahasa sama dengan al-qashdu yang berarti
menuju, menyengaja. Menurut pengertian syara’ tayammum adalah menyengaja
(menggunakan) tanah untuk menyapu dua tangan dan wajah dengan niat agar
dapat mengerjakan shalat dan sepertinya.
Tayammum adalah pengganti wudhu’ atau mandi, sebagai rukhsah
(keringanan) untuk orang yang tidak dapat memakai air karena beberapa
halangan atau udzur yaitu karena sakit, karena dalam perjalanan, dan karena tidak
adanya air. Pensyari’atan tayammum ini berdasarkan firman Allah dalam Q.S an-
Nisa’ 43 yang artinya:
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau dating dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)
sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun”.

E. Sebab tayammum
Sebab-sebab tayamum ada tiga, berikut penjelasan lengkap
diperbolehkan mengerjakan tayamum yang dikutip dari buku Risalah Tuntunan
Shalat Lengkap karangan Drs. Moh Rifa'i.Tayamum dapat dikerjakan untuk
bersuci apabila tidak ada air yang memenuhi syarat kesucian.

1. Syarat kesucian air adalah air yang suci dan mensucikan berupa air hujan
atau air yang keluar dari bumi.

2. Bagi umat muslim yang berhalangan menggunakan air, maka boleh


mengerjakan tayamum. Orang yang sakit dan khawatir akan bertambah
sakitnya apabila tersentuh air, maka ia bisa mengerjakan tayamum.

3. Tayamum juga bisa dikerjakan apabila ada air, namun air tersebut akan
digunakan untuk keperluan lebih penting. Tayamum pun dapat dikerjakan
dengan cara-cara tertentu, agar sah. Jika tayamum sah, maka solat pun juga sah,
karena tayamum menjadi syarat sahnya salat.

F. Rukun Tayammum
Tayammum terdiri atas empat rukun yaitu:
1. Niat
dalil wajibnya niat disini sudah ada hadits yang dikemukakan
sebagai dalil niat pada wudhu’. Niat ini dikerjakan serentak dengan
pekerjaan pertama dalam tayammum, yaitu ketika memindahkan
tanah ke wajah.
2. Mengusap wajah
Gunakan kedua telapak tanganmu untuk mengusapkan debu
keseluruh wajah. Gunakan tangan kanan untuk mengusap wajah
sisi kiri, lalu tangan kiri digunakan untuk mengusap wajah pada sisi
kanan.
3. Mengusap kedua tangan sampai siku
Usap kedua tangan menggunakan debu yang telah menempel di
telapak tangan. Usapan ini sama seperti ketika berwudhu’ gunakan
tangan kiri untuk mengusap tangan kanan sampai siku, dan gunakan
tangan kanan untuk mengusap tangan kiri sampai siku.
4. Tertib
Lakukan tayammum dengan tertib perhatikan rukun dan tata cara
tayammum sesuai urutan, tidak boleh terbalik dan terlewat.
G. Tata Cara Tayammum
Tata cara tayammum adalah:
1. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/debu dengan sekali
pukulanDalam hal ini Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup
tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi.
Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih,
sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian
pendapat Al-Imam Ahmad, ‘Atha`, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul
Mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini
adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. Sedangkan pendapat yang
mengatakan dua kali pukulan ke tanahseperti pendapat kebanyakan
fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar dari
Rasulullah:“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan
sekali untuk kedua tangan sampai siku” (HR. Ad-Daraquthni).
Namun para imam menghukumihadits ini mauquf terhadap Ibnu
‘Umar. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-
Daraquthni, dan yang lainnya.
2. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua
telapak tangan tersebut.
3. Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak
tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak
tangan dahulu barusetelahnya mengusap wajah. Dalam
ihya’ulumuddin disebutkan dalam mengusapwajah tidak diwajibkan
menyampaikan debu itu pada tempat-tempat tumbuhnyarambut
cukup meratakan debu itu pada kulit wajah yang dapat dicakup kedua
talapak tangan.8
Disamping itu, hadits riwayat dari jabir Ibn Abdullah dijadikan alasan
yang menyatakan bahwa:

‫التيمم ضربتان ضربة للوجه وضربة للذار عي اَل املرفقي‬


Artinya: tayammum terbagi atas dua usapan: usapan pertama untuk
wajah; dan usapankedua untuk dua tangan hingga sikunya.

BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan

8
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, (Bandung: Mizan Media
Utama, 2003), hlm. 56
Kata wudhu’ berasal dari bahasa Arab ‫الوضوء‬yang artinya
bersih atau suci. Secara bahasa wudhu’ diambil dari kata yang
maknanya adalah ‫(النظافة‬kebersihan), dan ‫(الحسن‬baik).9
Al-Imam Ibnu Atsir Al-Jaziry Rohimahumullah (seorang ahli bahasa)
menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’ (‫)الوضوء‬, maka yang
dimaksud adalah
air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu (‫)الوضوء‬, maka
yang
diinginkan disitu adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan
sedang
wadhu adalah air wudhu’.
Kata tayammum menurut Bahasa sama dengan al-qashdu yang
berarti menuju, menyengaja. Menurut pengertian syara’ tayammum
adalah menyengaja (menggunakan) tanah untuk menyapu dua tangan
dan wajah dengan niat agar dapat mengerjakan shalat dan sepertinya.

B. Saran
Penulis menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih banyak
kesalahan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, untuk
memperbaiki makalah tersebut penulis meminta kritik yang
membangun dari para pembaca.

9
Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘Ala zadil Mustaqni, Cet.
I, (Mesir: Darul Ummah, tth), hlm. 148
DAFTAR PUSTAKA

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah


Shahih Al-Bukhari, Cet. I, (Jakarta Selatan: Pustaka Azam,
2001)
Al-Thoyaar Abdullah bin Muhammad, Risalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar,
Cet I, (Riyadh: Madar Al Watoni lin Nasyr, tth)
Abdullah Bafadhal Al-Hadhrami, Busyral Karim bi Syarhi Masa’ilit
Ta’lim, Juz I (Beirut: Darul Fikr, 2012)
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya ‘Ulumuddin, (Bandung: Mizan Media
Utama, 2003)
Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Syarhul Mumti’ ‘Ala zadil Mustaqni,
Cet. I, (Mesir: Darul Ummah, tth)
Muhammad Al-Utsaimin bin Shalih, Al-Nihayah fi Ghorib Al-Hadits
wal atsar, Cet. V, (Mesir: Jannatul Afkar, 2008)
Sayyid Bakri, I’anatut Thalibin, Juz I, (Beirut: Darul Fikr, 2005)
Salim bin Sumair Al-Hadhrami, Safînatun Naja, (Beirut: Darul Minhaj,
2009)

Anda mungkin juga menyukai