FIQIH IBADAH
(THAHARAH DARI HADATS DAN NAJIS)
OLEH
KELOMPOK 5
Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillah, puji syukur selalu tercurahkan kepada kehadirat Allah Swt.
Yang telah memberikan rahmat,taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “FIQIH IBADAH (THAHARAH
DARI HADATS DAN NAJIS).”
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad Saw yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang terang benderang.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih. Selain itu makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang “Fiqih ibadah
(thaharah dari hadats dan najis).”
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Hasbullah, S.Ag.M.I
selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah kami
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Demikian yang dapat kami sampaikan
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum wr.wb
i
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................II
BAB I......................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................2
BAB II.....................................................................................................3
PEMBAHASAN....................................................................................3
A. Pengertian Thaharah.....................................................................3
B. Bersuci Dengan Air.......................................................................4
C. Bersuci Dengan Wudhu................................................................7
D. Cara Bertayamum.........................................................................11
E. Bersuci Bengan Mandi..................................................................18
F. Macam - Macam Najis..................................................................22
1. Najis Mukhaffafah...................................................................23
2. Najis Mutawassitah..................................................................23
3. Najis Mughalazah....................................................................24
BAB III...................................................................................................26
PENUTUP..............................................................................................26
A. Kesimpulan....................................................................................26
B. Saran..............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................27
ii
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani dan rohani.
Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci
sebelum mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada hakikatnya
tujuan bersuci adalah agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang
menempel di badan sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan
rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT.
Pengertian thaharah adalah mensucikan diri, pakaian, dan tempat sholat
dari hadas dan najis menurut syariat islam. Bersuci dari hadas dan najis adalah
syarat syahnya seorang muslim dalam mengerjakan ibadah tertentu. Berdasarkan
pengertian tersebut sebenarnya banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari
fungsi thaharah. Taharah sebagai bukti bahwa Islam amat mementingkan
kebersihan dan kesucian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis bermaksu untuk
memaparkan penjelasan lebih rinci tentang thaharah, menjelaskan bagaimana
fungsi thaharah dalam menjalan ibadah kepada Allah, serta menjelaskan manfaat
thaharah yang dapat umat muslim peroleh. Dengan demikian umat muslim akan
lebih tahu makna bersuci dan mulai mengamalkannya untuk peningkatan kualitas
ibadah yang lebih baik.
B. Rumusan masalah
1. Apa Pengertian Thaharah ?
2. Bagimana Tata cara Bersuci Menggunakan Air ?
3. Bagaimana Tata Cara Bersuci Dengan Wudhu ?
4. Bagaimana Tata Cara Bersuci Dengan mandi ?
5. Bagaimana Tata Cara Bertayamum ?
6. Apa saja Macam – Macam Najis dan Cara Mensucikannya ?
1
C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Thaharah
2. Untuk Mengetahui Tata Cara Bersuci Dengan Air
3. Untuk Mengetahui Tata Cara Bersuci Dengan Wudhu
4. Untuk Mengetahi Tata Cara Bersuci Dengan Mandi
5. Untuk Mengetahui cara bertayamum
6. Untuk mengetahui macam-macam najis dan cara mensucikannya
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Thaharah
1. Pengertian Thaharah
Thaharah (طهارberarti bersih (nadlafah), suci (nazahah) terbebas (khulus)
dari kotoran (danas).
Menurut syara, thaharah itu artinya mengangkat (menghilangkan)
penghalang yang timbul dari hadata atau najis.1
Pengertian thaharah menurut beberapa ahli fiqih sebagai berikut :
a) Qadi Husain
Taharah adalah menghilangkan sesuatu yang dapat mencegah hadas. Dalam
hal ini yang dimaksud adalah bersuci wajib, seperti; mandi junub untuk
menghilangkan hadas besar dan wudhu untuk menghilangkan hadas kecil.
b) Imam Nawawi
Taharah ada suatu pekerjaan menghilangkan hadas atau najis. Taharah
dalam arti menghilangkan hadas adalah mandi junub, wudhu, dan tayamum,
sedangkan dalam arti menghilangkan najis adalah istinja dengan air, dan istijmar
dengan batu.
c) Syekh Ibrahim Al Bajuri
Taharah adalah melakukan pekerjaan yang memperbolehkan sholat, seperti
mandi, wudhu, dan tayamum.2
2. Pentingnya Thaharah
Taharah amat penting dalam Islam baik thaharah haqiqi, yaitu suci pakaian,
badan, dan tempat shalat dari najis; ataupun thaharah hukmi, yaitu suci anggota
wudhu dari hadats, dan suci seluruh anggota zahir dari janabah (junub); sebab ia
menjadi syarat yang tetap bagi sahnya shalat yang dilakukan sebanyak lima kali
1
Lahmudin Nasution, Fiqih 1, CV. Daras,1995 Hlm. 9
2
Abidin Suyono. Fiqih Ibadah Untuk IAIN,STAIN dan PTAIS, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2017.
Hlm.17
3
dalam sehari. Oleh Karena shalat adalah untuk menghadap Allah SWT, maka
menunaikannya dalam keadaan suci adalah untuk mengagungkan kebesaran Allah
SWT.
Allah memuji orang yang suka bersuci (mutathahhirin) berdasarkan firman-
Nya,
ه ِر ْينY’ِ ْ ط
َّوا ويُ ا لYَُّي ِح ب الت اِن
Yِب ْين ِح ُمته لهّال
ب
" ....Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri."(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 222)
4
Tentang air laut, sabda Nabi Saw :
ّح ط ُهو
ُر
5
"Ia (laut itu) suci airnya, halal bangkainya."
Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Sakan, At-Tarmidzi dan Al-Bukhari.
Pembagian Air
Air dibagi menjadi 4 macam, yaitu Air Mutlak, Air musyammas, Air
Musta'mal, Air yang terkena najis.
a. Air Murni (Air Mutlak)
Disebut juga dengan air suci dan mensucikan dan tidak makruh. Air yang
demikian boleh diminum dan sah dipakai unyuk menyucikan (membersihkan)
benda yang lain. Yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih
tetap (belum berubah) keadannya, seperti air hujan, air laut, air sungai, air es,
yang sudah hancur Kembali, air embun, air yang keluar dari mata air. Air sumur
sekalipun air tadi berubah warnanya misalnya merah atau hitam, namun ia masih
dinamakan air muthlak sekalipun air tadi berubah warna dengan warna yang
disebutkan tadi, karena segala perubahan warna hanya sementara karena itu masih
dapat dikatakan air yang tidak berubah. Dan juga air yang menjadi beku seperti
garam, air yang banyak yang berubah disebabkan oleh sesuatu yang tidak
merusaknya seperti tercampur dengan lumpur, kembang, atau berdampingan
dengan sesuatu yang suci, maka semua itu dinamakan air yang muthlak.
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadannya atau sifatnya “suci
mensucikan” walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya
yang tiga (warna,rasa,baunya) sebagai berikut :
1) Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di
batu belerang
2) Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
3) Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti disebabkan ikan
4) Berubah karena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar
memeliharannya, misalnnya berubah karena daun daunan yang jatuh dari
pohon pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat tempat air itu.3
3
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2017. Hlm. 14-15
6
b. Air Musyammas
Air ini suci dan mensucikan tetapi makruh digunakan untuk bersuci) yaitu
air yang diemur di bawah sinar matahari atau air yang telah hangat karena terkena
panas matahari dan berada dalam bejana atau wadah. Hal ini di makruhkan karena
akan menyebabkan penyakit barash (sejenis penyakit kulit) atau membuat
penyakit bertambah parah.4
Air yang terjemur idak makruh memakainnya melainkan telah tercapai lima syarat
berikut ini;
1.) Air yang terjemur pada daerah yang sangat panas seperti daerah Yaman da
Hijaz, maka tidak makruh memakai air yang terjemur di daerah dingin
seperti syam, daerah yang sedang seperti mesir, , karena pengaruh cahaya
matahari pada kedua daerah ini kurang.
2.) Terjemur pada musim panas, tidak makruh memakai air yang terjemur pada
musim dingin, sekalipun di daerah yang sangat panas.
3.) Terjemur di dalam wadah besi atau tembaga selain dari tempat emas dan
perak, kayu atau kulit selain tempat perak dan emas, kayu atau kulit dan
terjemur di dalam telaga atau kolam terkecuali telaga atau kolam yang ada
di pegunungan besi.
4.) Dipakai pada saat panasnya tidak makruh memakainya sesudah dingin.
5.) Dipakai untuk menyirami tubuh seperti untuk berwudhu atau untuk mandi
atau tayamum, baik pada tubuh yang hidup atau pada tubuh yang mati atau
pada tubuh orang yang terkena penyakit lepra atau pada tubuh binatang
seperti kuda. Karena air yang terjemur dalam pelbagai bentuk di atas akan
menye-babkan penyakitnya bagi yang menderita penyakit lepra bagi yang
tidak menderita lepra atau takut berttambah penyakitnya bagi yang
menderita penyakit lepra.5
4
Al-Qadhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ashfahani. Fikih Sunnah Imam Syafi’i. Sukmajaya: Fathan
Media Prima. 2017 Hlm. 2-3
5
Aswadi Syukur, Kitab Sabilal Muhtadin I, PT. Bina Ilmu, Surabaya. 1998, Hlm. 25-26
7
c. Air Musta'mal (air suci tetapi tidak mensucikan)
Air yang pernah dipakai untuk bersuci dari hadats. Zat nya suci tetapi tidak
sah dipakai untuk mensucikan sesuatu.
- air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda
yang suci, selain dari perubahan yang tersebut yang diatas seperti air kopi,teh dan
sebaginya
- air sedikit, kurang dari dua kulah, sudah terpakai untuk menghilangkan hadas
atau menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan
tidak pula bertambah timbangannya.
- air pohon pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan
pohon kayu (air nira), air kelapa, dan sebaginya.6
6
Ibid, hal. 15
7
Muhammad Badruz-Zaman Al Farabi,Pedoman Praktis dan Lengkap Sholat Khusus Wanita,
Hikmah Pustaka, Yogyakarta, 2017. Hlm 17.
8
membersihkan anggota anggota badan tertentu. Wudhu diambil dari Bahasa arab
al-wadha’ah , al;hasanah, dan an-nazhafah.
Wudhu menurut syara adalah kegiatan kebersihan yang khusus atau
perrbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai degan niat khusus.jadi definisi wudhu
ialah menggunakan air yang suci pada empat anggota badan dengan cara-cara
yang telah ditentukan oleh syara.9
dalil melakukan wudhu yang pertama ada pada QS. Al-Maidah Ayat 6:
Allah SWT berfirman:
سحو ˚ا ْي ِّدَي ُك ْمYََوأ ِّإَذا ق صلَ ٰو ِّة ˚ا ُو جوه ُك ْم َءا َمُن ٓو ˚ا ي َها ٱل نYََيٓأ
َوٱ ِّإَلى ٱ ْل َم َراف َفٱ غسلُو إِّلَى ٱل ْمYُْمت ِّذي
ْم
ق
ُ ك ْم اِّلَى ا ْل َك ْم ُ ر ُ ء ْو
َْعَب ْي ِّن جل َواَ ْر
س ُك
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki"...
b. Hukum-hukum wudhu :
1. Fardu, Wudhu difardukan bagi orang yang berhadast, yaitu apabila ia ingin
melaksankan sholat, baik sholat fardu, ataupun sholat sunah, dan baik sholat
dilakukukan secara sempurna atau tidak seperti sholat jenazah dan sholat
tilawah.
Wudhu difardukan karena ingin memegang al-qur’an, walaupun hanya
sepotong Ayat yang ditulis diatas kertas atau di atas dinding atau di tas
uang.
2. Wajib, Wudhu diwajibkan karena ingin mengerjakan tawaf,
megelilingi ka’bah.
3. Sunah, yaitu berwudhu Ketika menyentuh buku buku agama seperti buku
tafsir,hadits,aqidah, fiqih dan lain-lain, ketika ingin tidur, sesudah
marah.
9
4. Makruh, mengulang wudhu sebelum melaksanakan sholat adalah, yakni
wudhu diatas wudhu yang masih ada.
9
Prof. Dr. Wahbah AZ-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuha Jilid 1, Pengantar Ilmu Fiqih – Tokoh-
Tokoh Madzhab Fiqih – Niat – thaharah – shalat, Darul Fikr, 2007 M .Hlm 298-304
1
5. Haram, berwudhu dengan air rampasan seseorang, begitu juga berwudhu
menggunakan air milik anak yatim
6. Mubah, berwudhu untuk membersihkan diri untuk mendinginkan badan
yang panas.
c. Syarat-syarat wudhu:
a) Islam.
b) Mumayiz.
c) Tidak berhadas besar.
d) Dengan air yang suci dan menyucikan.
e) Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit.
d. Rukun-rukun wudhu:
1) Niat.
Hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadas atau menyengaja
berwudhu. Sedang tempat niat itu dalam hati, dan dilakukan pada permulaan
wudhu'. Jadi seandainya ada salah satu anggota yang dibasuh sebelum niat, itu
tidak sah, dan wajib diulangi setelah niat dilaksanakan. Dan tak apalah bila niat
itu dilakukan menjelang wudhu', asal jangkanya niat itu dilakukan menjelang
wudhu', asal jangkanya --menurut adat ('uruf)-- tidak terlalu lama. Karena
menurut hukum niat itu sebenarnya sudah ada.
2) Membasuh muka.
Dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah atas sampai kedua tulang dagu
sebelah bawah, dari telinga ke telinga. Membasuh seluruh permukaan wajah
dengan air yang suci, satu kali. Adapun basuhan berikutnya, itu bukan fardhu.
Perlu diterangkan di sini, bahwa batas wajah memanjang bagi wanita ialah dari
tempat yang biasanya mulai ditumbuhi rambut pada dahi bagian atas, sampai
bagian dagu paling bawah. Maksudnya, bagian inipun wajib di- basuh. Dan begitu
pula wajib dibasuh kedua pelipis yang ada di sebelah kiri-kanan kening, dan
1
10
bagian wajah yang ada di bawah cuping telinga. Adapun dalamnya mulut dan
telinga tidaklah termasuk wajah, oleh karena itu tidak wajib dibasuh.
3) Membasuh kedua tangan dari ujung jari sampai ke siku.
Lekuk-lekuk kulit pada jari-jari, dan begitu pula ujung jari yang ter- tutup
oleh kuku yang panjang, semuanya harus terkena air. Bagi orang yang tangannya
terpotong pada bagian yang mestinya wajib dibasuh, maka sisanya yang masih
ada, wajib pula dibasuh. Sedang kalau terpo- tongnya dari siku, maka tempat
terpotongnya itulah yang wajib dikenai air
6) Tertib
Mensucikan keempat anggota tsb. di atas menurut urutan yang tercantum di
dalam Al Qur'an Al 'Aziz. Jadi basuhlah wajah terlebih dahulu, kemudian kedua
belah tangan, sesudah itu usaplah kepala, dan terakhir membasuh kedua kaki. Dan
berurutan, erturut-turut (mualat) dalam mensucikan seluruh ang- gota wudhu',
jangan sampai antara dua anggota berselang cukup lama sehingga anggota yang
pertama kering, padahal waktu, tempat maupun cuacanya biasa-biasa saja. Dan
10
Ibid.304
1
dalam hal ini anggota yang diusap di- anggap mendapat basuhan. Jadi yang
dimaksud terlambat mengusap anggota wudhu' berikutnya hingga anggota itu
kering, maksudnya ialah andaikan anggota yang diusap itu dibasuh
ِّإن
ِعي ˝ ته هيYْم ته هء ح ’من ’من ٱ أه ْو ُم ه ٰ „رYم ْ أهYُكنت
و
د˝ا و ˚ا ء َّم ُموYُِجد ِئ ٰله م ٱل ِن’ ءY˜أه د ُكم ْلغها ْوYر ْو ض ى أه
ه Y˚ ˜جا
ص ˚ا له ما سُت سا سفه ٰ˜ ى ع ل
ط
˜ ˜ ه م
ٱ ْم ˚ا ُوجو وأه ْي ِدي ن ٱ كان عُف ˝راYط ’ي ˝با فه
ِ
ًّوا غفُو سحو ِه ُك ْم ُك ْم ۗ ِإ َّ لهّل
Artinya:"Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu
1
11
Ibid, hlm. 468
1
dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS.
An Nisaa': 43)
Sebab-sebab tayamum
1. Tidak adanya air yang mencukupi untuk wudhu ataupun mandi.
Ketiadaan itu adakalanya memang nyata seperti tidak adanya air sama sekali
ataupun ada air, tetapi tidak mencukupi. Dan adakalanya juga ketiadaan tersebut
hanya hukman seperti takut mendapatkan air, karena jalan ketempat air tidak
aman, atau air berada di tempat jauh yang jaraknya kira-kira 1.848 meter atau
4.0 hasta/Langkah, atau lebih dari itu (menurut mazhab Hanafi) ataupun air itu
berada sejauh dua mil (menurut mazhab Maliki) ataupun seseorang perlu kepada
harga air itu ataupun ada air, tetapi ia dijual dengan harga yang lebih dari harga
pasaran biasa. Ulama Syafi’I membuat ulasan terperinci berkenaan dibolehkannya
bertayamum Ketika tidak ada air dan sejauh manakah air tersebut perlu dicari.
Mereka mengatakan,
a). jika ia yakin tidak ada air disekelilingnya, makai a boleh bertayamum tanpa
perlu mencarinya.
b). jika ia mempunyai sangkaan yang kuat, ataupun ragu tentang adanya air,
hendaklah ia mencari baik dirumahnya ataupun di tempat kawan-kawanya,
dan mencari kesekitarnya dengan jarak 400 hasta atau 184,8 meter
(menurut mazhab Hanafi).
c). jika dia yakin akan adanya air, maka hendaklah ia mencarinya di Kawasan
yang dekat dengannya, yaitu sejauh 6.000 langkah.
1
maksiat, maka dia boleh bertayamum. Sebab, tayamum adalah disyariatkan
secara12
muthlak. Tetapi menurut Imam Syafi’I, orang mukmin yang bertayamum karena
ketiadaan air kemudian melakukan sholat, hendaklah dia mengqadha’ sholatnya
tersebut. Sebaliknya, seorang musafir tidak perlu melakukan qadha’, kecuali
orang yang orang yang safarnya adalah untuk tujuan maksiat, maka dia perlu
mengqadha’ sholat nya tersebut.
4. Ada air, tapi diperlukan untuk sekarang ataupun untuk masa yang akan datang.
Seseorang boleh bertayamum jika dia yakin atau mempunyai sangkaan kuat
bahwa pada masa yang akan datang dia sangat memerlukan air tersebut. Dan
sekiranya tidak memerlukan air tersebut. Dan sekiranya dia tidak mendapatkan
air, maka hal itu menyebabkan kebinasaan atau kesengsaraan manusia ataupun
hewan yang akan meyebabkan kehausan meskipun hewan tersebut adalah anjing
buruan atau anjing pengawal.
12
Ibid, Hlm. 480
1
perlu mencari air, baik kekhawatiran itu untuk dirinya sendiri, hartanya, ataupun
barang titipan. Apabila ada perempuan yang takut kepada lelaki jahat di tempat air
atau ada orang yang berhutang yang tidak punya harta sama sekali dan dia takut
ditahan ataupun dia takut kehilangan barang yang yang dicarinya seperti orang
yang sedang mencari orang yang melarikan diri maka semua orang tersebut
hukumannya adalah sama seperti orang yang tidak mempunyai air, karena
keadaan yang demikian dianggap sebagai keadaan yang darurat.
7. Tidak ada alat untuk mengambil air, seperti tidak ada timba taupun tali.
Orang yang sebenarnya mampu menggunakan air boleh melakukan
tayamum jika tidak ada orang yang dapat membantu untuk mendapatkan air
Adapun dia tidak mempunyai alat untuk memperoleh air seperti tidak adanya tali
ataupun tidak ada timba sedangkan dia khawatir waktu salat akan terlewat dalam
keadaan seperti ini orang tersebut dianggap seperti orang tidak mempunyai air.
1
8. Khawatir terewat waktu sholat.13
Ulama Mazhab Syafi'i tidak membolehkan tayamum dengan alasan
khawatir terdapat waktu salat karena tayamum dalam keadaan seperti itu berarti
tayamum dalam kondisi ada air namun mereka mengecualikan kasus orang
musafir sebab orang yang musafir tidak wajib mencari air musafir tersebut boleh
bertayamum Jika dia takut terawat waktu salat takut akan keselamatan dirinya
atau keselamatan hartanya ataupun takut kehilangan rombongan
Ulama Hambali mereka tidak memberikan tayamum dengan alasan khawatir
lewat waktu salat sebaik tayamum itu untuk salat jenazah untuk hari raya kata
untuk salat fardhu namun ada pengecualian bagi musafir yang mengetahui
keberadaan ayat di suatu tempat yang tidak jauh Tetapi dia khawatir Jika dia
mengambilnya maka waktu salat akan terlewat Oleh karena itu hendaknya orang
yang tersebut bertayamum kemudian salat dan dia tidak perlu mengulangi
salatnya Sebab Dia memang tidak mampu menggunakan air pada waktunya jadi
kasus sama seperti orang yang tidak mempunyai air
13
Ibid, Hlm. 486
1
karena tayamum adalah sebagai ganti wudhu. Dan perlu diperhatikan kata tangan
disebut secara mutlak di dalam ayat tayamum, sedang dalam wudhu dibatasi
(muqayyad) dengan firman Allah SWT,
Oleh karena itu, hukum tayamum disamakan dengan hukum wudhu dan
diqiyaskan dengannya.
Ulama madzhab Maliki dan Hambali me ngatakan, mengusap kedua tangan
cukup hingga ke pergelangan tangan saja. Adapun mengusap dari dua
pergelangan tangan hing ga ke siku, hukumnya adalah sunnah. Mereka berdalil
kepada firman Allah SWT,
d. Cara bertayamum :
Pendapat Ulama Hanafi dan
Syafi'i
Mereka berpendapat bahwa tayamum dilakukan dengan dua kali tepukan
telapak tangan pada debu. Satu tepukan untuk mengusap muka dan satu tepukan
lagi untuk mengusap kedua tangan hingga ke siku.Hal ini karena tangan adalah
temasuk anggota tayamum. Oleh sebab itu, ia mesti diusap keseluruhannya, sama
seperti muka.Adapun hadits Ammar r.a. yang menunjukkan bahwa mengusap
kedua telapak tangan saja sudah cukup, maka boleh ditafsirkan sebagai mengusap
kedua telapak tangan hingga ke siku. Hal ini berdasarkan hadits Abu Umamah dan
Ibnu Umar. Pendapat ini lebih baik untuk diikuti, sebab tayamum adalah
pengganti wudhu. Ma ka, anggotanya adalah anggota wudhu, yaitu anggota yang
telah ditentukan sebagai yang wajib diusap ketika tayamum.14
1
14
Ibid, Hlm. 494
2
2. Hendaklah tanah tersebut suci,
3. Hendaknya debu itu bukan debu yang sudah digunakan, yaitu debu yang masih
melekat pada anggota tayamum atau yang jatuh setelah diusapkan pada ang gota
tubuh ketika tayamum. Debu yang demikian hukumnya sama dengan hukum air
musta'mal. Ini menurut pendapat yang ashah.
4.Hendaknya debu itu tidak bercampur de ngan tepung atau yang semacamnya; se
perti bercampur dengan minyak za'faran,kapur, atau lainnya. Karena, ia dapat
menghalangi sampainya tanah ke anggota tayamum.
5. Hendaklah dilakukan dengan maksud bertayamum. Jika ada angin yang mem-
hawa debu itu ke anggota tayamum, lalu diusap-usapkan pada anggota tayamum
tersebut dan diniatkan, maka tayamum itu tidak sah. Karena, tidak ada tujuan
(niat) memindahkan tanah itu. Tapi, debu itu datang dengan sendirinya. Tetapi
jika dia ditayamumkan oleh orang lain dengan izinnya, maka tayamumnya sah.
6. Hendaklah dia mengusap muka dan kedua tangannya itu dengan dua kali
tepukan ke debu, meskipun dia hanya dapat mene s puk dengan kain atau yang
semacamnya.
7. Hendaklah dia terlebih dahulu menghi- langkan najis. Jika dia bertayamum se-
belum menghilangkan najis, maka menurut pendapat mu'tamad, tayamumnya
tidak sah. Sebab, tayamum yang dilakukan su- paya boleh melakukan ibadah
(ibahah) dan ibadah tidak akan terjadi jika ada halangan. Kasusnya sama seperti
bertayamum sebelum waktunya.
8. Hendaklah berijtihad mengenai arah kiblat sebelum bertayamum. Jika
seseorang bertayamum sebelum ijtihad arah kiblat, maka menurut pendapat yang
kuat, tayamumnya tidaklah sah.
9. Tayamum hendaklah dikerjakan setelah masuk waktu. Sebab, ia adalah bentuk
darurat bersuci, dan kondisi darurat tidak akan terwujud sebelum waktunya tiba.
Namun dalam kasus shalat sunnah mutlak, tayamum boleh dilakukan pada waktu
kapan saja, kecuali pada waktu makruh.
10. Hendaklah tayamum dilakukan setiap kali melakukan fardhu 'ain, karena
tayamum adalah thaharah dharurah (cara bersuci darurat). Oleh karena itu,
hendaklah ia ditimbang mengikut kadarnya
2
E. Bersuci dengan Mandi
a) Pengertian :
Lafal al-ghusl atau al-ghaslu dalam Islam menunjukkan arti perbuatan
mandi itu sendiri, ataupun air yang digunakan untuk mandi. Dari segi bahasa, ia
berarti mengalirkan air ke atas sesuatu secara mutlak. Kalimah al-ghislu juga
digunakan untuk menyebutkan bahan yang digunakan untuk membersihkan
sesuatu seperti sabun, sampo, dan sebagainya.
Menurut istilah syara, arti mandi (al ghaslu) adalah meratakan air ke seluruh
tubuh dengan cara tertentu.
Ulama Syafi'i mendefinisikannya dengan mengalirkan air ke seluruh badan
dengan niat.
Ulama Maliki mendefinisikan al-ghasludengan menyampaikan air serta
menggosok-kannya ke seluruh badan dengan niat supaya boleh sholat.
Dalil Pensyariatannya
Firman Allah SWT,
˝با َفا ْو ْمYُُك ْنت واِّ ْن
جُن ا ط
ّه
ُر
"... Jika kamu junub maka mandilah. " (al-Maa'idah: 6)
Ayat ini memerintahkan agar kita me nyucikan seluruh tubuh, kecuali
bagian yang air tidak dapat sampai kepadanya seperti bagian dalam mata. Hal ini
disebabkan mem basuh bagian dalam mata adalah menyakitkan serta
membahayakan.
Hikmah dan tujuan mandi ini ialah untuk kebersihan, mengembalikan
kesegaran dan keaktifan badan. Sebab, bersetubuh telah memberi pengaruh
kepada seluruh badan.
Rukunnya
Meratakan air suci ke seluruh bagian tubuh sesuai dengan kemampuan dan
2
tidak sampai menimbulkan kesukaran.
2
Sebabnya
Sebabnya adalah apabila seseorang mau melakukan sesuatu yang tidak
boleh dilakukan karena dia sedang dalam keadaan junub ataupun karena ingin
melakukan perkara yang wajib.
Hukumnya
Dengan mandi tersebut, maka semua hal yang sebelum mandi dilarang akan
menjadi halal, di samping itu juga akan mendapat pahala karena dia
melakukannya dengan tujuan ibadah kepada Allah SWT. Ketika mandi, seseorang
boleh membuka seluruh tubuhnya jika dia memang mandi sendirian di dalam
tempat yang tertutup, atau dia hanya bersama orang yang diperbolehkan melihat
auratnya. Namun, menutup aurat ketika mandi lebih afdhal.
2
seseorang wajib memerhatikan bagian-bagian kulit yang tersembunyi di bagian
tubuh yang ce kung dan berlipat seperti pusar, bawah ketiak, dan semua lubang
yang ada di tubuh dengan cara menuangkan air ke atasnya
2
ataupun saluran lain seperti pecah ba gian sulbinya lalu keluar mani. Namun jika
mani yang keluar melalui saluran yang tidak biasa itu disebabkan sakit, maka ia
tidak me nyebabkan wajib mandi.
2
terpilih dalam Madzhab Hanafi dan pendapat yang ashah di kalangan ulama
Syafi'i, hal itu tetap menyebabkan wajib mandi, karena adanya kelahiran bayi.
Meskipun-menurut ulama Syafi'i-yang ke luar itu hanyalah segumpal darah atau
daging, karena pada hakekatnya ia adalah manusia yang telah terbentuk. Selain
itu, biasanya proses kelahiran selalu disertai keluarnya cairan. Oleh karena itu,
hukumnya disamakan. Kedudukannya sama seperti jika seorang wanita tidur
kemudian keluar sesuatu (cairan dari jenis kelaminnya). Perempuan juga
menganggap batal puasanya dengan sebab ini. Berbeda jika yang keluar dari jenis
kelamin wanita itu hanya satu tangan atau kaki, atau anggota lainnya, maka ia
tidak menyebabkan wajib mandi dan juga tidak membatalkan puasa.
2
jamak dari kata najis, yaitu nama bagi benda yang kotor me- nurut pandangan
syara'. Najis ada dua jenis, najis hukmi dan najis haqiqi. Kotoran (al-khubuts)
khusus bagi najis haqiqi, sedangkan hadats adalah sebutan khusus bagi najis
hukmi. Kata an-najas, jika huruf jim-nya dibaca dengan fathah, maka ia menjadi
isim. Tetapi jika dibaca dengan kasrah (an-najis), maka ia menjadi kata sifat.
Najis terbagi menjadi dua jenis, yaitu najis haqiqi dan najis hukmi. Dari segi
bahasa, najis haqiqi adalah benda-benda yang kotor seperti darah, air kencing, dan
tahi. Menurut syara', ia adalah segala kotoran yang menghalangi sahnya shalat.
Najis hukmi ialah na-jis yang terdapat pada beberapa bagian ang- gota badan yang
menghalangi sahnya shalat. Najis ini mencakup hadats kecil yang bisa
dihilangkan dengan wudhu dan hadats besar (janabah) yang dapat dihilangkan
dengan mandi. Najis haqiqi terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu mughallazhah
(berat), mukhaffafah (ringan), najis yang keras, najis yang cair, najis yang dapat
dilihat, dan najis yang tidak dapat dilihat.
Hukum menghilangkan najis yang tidak dimaafkan dari pakaian, badan, dan juga
waktu shalat bagi orang yang hendak mengerjakan shalat adalah wajib. Ini
menurut pendapat jumhur fuqaha kecuali ulama Madzhab Maliki, karena Allah
SWT berfirman, :
Dilihat dari segi berat ringannya, para ulama membagi najis menjadi tiga bagian.
a. Najis mughalazha
Najis ini merupakan najis berat. Para ulama enggan bahwa yang termasuk
najisjenis ini adalah yang ditimbulkan dari najis anjing dan babi. Cara
menyucikannya terlebih dahulu dihilangkan dulu wujud benda najis tersebut,
kemudian dicuci bersih dengan air sampai 7 kali. Pada permulaan atau
penghabisannya di antara pencucian itu wajib dicampur dengan debu (tanah). Hal
ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.
2
لتYِ با
ْن سل ه َّ ت أُوYا ْل أه ْ م ول Yط ُهو ُر إنها ِء أه
هَله هراب ن إذها ه هك ْل هي ْغ ه ع ر
ب ه س ا ح ِد هغ ي ِه
ْب م ُك
“ Sucinya tempat (perkakas)mu apabila telah dijilat oleh anjing adalah dengan
mencucinya tujuh kali. Permulaan pencucian itu (harus) dicuci dengan air yang
bercampur dengan tanah.” (HR Tumudzi)
b) Najis mukhaffafah,
Najis ini adalah najis yang ringan. Contoh najis ini seperti air kencing bayi
laki-laki yang usianya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air
susu ibunya. Cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air bersih pada
benda yang terkena najis tersebut. Hal ini berdasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh bahwa Rasulullah saw.
ل الُغال
شم ،ُي ْغسل ْ ْول ِر هي ِة
ِم
ْن هب ن ا ْل وُي هر جا
ْو
م
“ Barangsiapa yang terkena air kencing anak wanita, harus dicuci. Dan jika
terkena air kencing anak laki-laki, cukup dengan memercikkan air padanya. (HR
Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah).”
c) Najis mutawassithah
Najis ini adalah najis sedang. Yang termasuk dalam jenis najis adalah
kotoran manusia atau hewan, seperti air kencing, nanah, darah, dan bangkai, serta
benda-benda selain dari najis berat dan ringan. Para ulama membagi najis
mutawassithah ini menjadi dua bagian.
1) Najis 'ainiah, yaitu najis yang bendanya memiliki wujud.
Cara menyucikannya dengan menghilangkan zat atau bendanya terlebih
dahulu sehingga unsur rasa, bau, dan warnanya hilang. Kemudian disiram
dengan air sampai bersih.
2
2) Najis hukmiah, yaitunajis yang bendanya tidak berwujud, seperti bekas
kencing dan arak yang sudah kering. Cara menyucikannya cukup dengan
mengalirkan air pada bekas najis tersebut.15
15
Ania, Muhammad Sumaji, 125 Masalah Thaharah, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo,
2008 Hlm. 27-28
3
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thaharah merupakan salah satu syarat sah dalam pelaksanaan ibadah baik
Shalat, puasa maupun haji juga ibadah sunat lainnya.makaibadah yang paling
sering dilaksanakan terutama shalat wajib lima waktu, jika
dalam pelaksanaannya shalat tersebut tidak sah kecuali seluruh keadaan
pakaian,badan, tempat dan sebagainya dalam keadaan bersih dan suci, baik
suci dari hadas besar, maupun hadas kecil, dan najis.
Hadas menghalangi salat, maka bersuci adalah seperti kunci yang
diletakkan kepada orang yang berhadas. Jika ia berwudhu, otomatis kunci itu
pun terbuka. Hal ini juga ditunjukkan oleh ijtihad para fuqaha dalam tulisan-
tulisan mereka yang selalu diawali dengan pembahasan thaharah. Hal tersebut
menunjukkan betapa pentingnya masalah thaharah ini.
B. Saran
Demikian makalah yang berjudul Fiqih Ibadah(Thaharah dari hadits dan
najis) ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dan apabila
ada saran dan kritik silahkan sampaikan kepada kami, serta apabila ada
terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya.
3
DAFAR PUSTAKA