Anda di halaman 1dari 36

TUGAS STRUKTUR DOSEN PENGAMPU

FIQIH DAN USHUL FIQIH HASBULLAH, S.Ag.M.H.I

FIQIH IBADAH
(THAHARAH DARI HADATS DAN NAJIS)

OLEH
KELOMPOK 5

ERNA MUNAWARAH 220101010545


MUHAMMAD HAIDILLAH : 220101010558

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2023 / 1444H
KATA PENGANTAR
‫ن ح ْيم‬
ٰ ‫لال‬ ‫بس ِم‬
‫الر م الر‬
‫ح‬

Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillah, puji syukur selalu tercurahkan kepada kehadirat Allah Swt.
Yang telah memberikan rahmat,taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “FIQIH IBADAH (THAHARAH
DARI HADATS DAN NAJIS).”
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad Saw yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
yang terang benderang.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih. Selain itu makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang “Fiqih ibadah
(thaharah dari hadats dan najis).”
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Hasbullah, S.Ag.M.I
selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa makalah kami
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Demikian yang dapat kami sampaikan
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Banjarmasin, Februari 2023

i
Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................II
BAB I......................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................1
C. Tujuan Penulisan...........................................................................2
BAB II.....................................................................................................3
PEMBAHASAN....................................................................................3
A. Pengertian Thaharah.....................................................................3
B. Bersuci Dengan Air.......................................................................4
C. Bersuci Dengan Wudhu................................................................7
D. Cara Bertayamum.........................................................................11
E. Bersuci Bengan Mandi..................................................................18
F. Macam - Macam Najis..................................................................22
1. Najis Mukhaffafah...................................................................23
2. Najis Mutawassitah..................................................................23
3. Najis Mughalazah....................................................................24
BAB III...................................................................................................26
PENUTUP..............................................................................................26
A. Kesimpulan....................................................................................26
B. Saran..............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................27

ii
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam menganjurkan untuk selalu menjaga kebersihan badani dan rohani.
Kebersihan badani tercermin dengan bagaimana umat muslim selalu bersuci
sebelum mereka melakukan ibadah menghadap Allah SWT. Pada hakikatnya
tujuan bersuci adalah agar umat muslim terhindari dari kotoran atau debu yang
menempel di badan sehingga secara sadar atau tidak sengaja membatalkan
rangkaian ibadah kita kepada Allah SWT.
Pengertian thaharah adalah mensucikan diri, pakaian, dan tempat sholat
dari hadas dan najis menurut syariat islam. Bersuci dari hadas dan najis adalah
syarat syahnya seorang muslim dalam mengerjakan ibadah tertentu. Berdasarkan
pengertian tersebut sebenarnya banyak sekali manfaat yang bisa kita ambil dari
fungsi thaharah. Taharah sebagai bukti bahwa Islam amat mementingkan
kebersihan dan kesucian
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis bermaksu untuk
memaparkan penjelasan lebih rinci tentang thaharah, menjelaskan bagaimana
fungsi thaharah dalam menjalan ibadah kepada Allah, serta menjelaskan manfaat
thaharah yang dapat umat muslim peroleh. Dengan demikian umat muslim akan
lebih tahu makna bersuci dan mulai mengamalkannya untuk peningkatan kualitas
ibadah yang lebih baik.

B. Rumusan masalah
1. Apa Pengertian Thaharah ?
2. Bagimana Tata cara Bersuci Menggunakan Air ?
3. Bagaimana Tata Cara Bersuci Dengan Wudhu ?
4. Bagaimana Tata Cara Bersuci Dengan mandi ?
5. Bagaimana Tata Cara Bertayamum ?
6. Apa saja Macam – Macam Najis dan Cara Mensucikannya ?

1
C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Thaharah
2. Untuk Mengetahui Tata Cara Bersuci Dengan Air
3. Untuk Mengetahui Tata Cara Bersuci Dengan Wudhu
4. Untuk Mengetahi Tata Cara Bersuci Dengan Mandi
5. Untuk Mengetahui cara bertayamum
6. Untuk mengetahui macam-macam najis dan cara mensucikannya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Thaharah
1. Pengertian Thaharah
Thaharah (‫طهار‬berarti bersih (nadlafah), suci (nazahah) terbebas (khulus)
dari kotoran (danas).
Menurut syara, thaharah itu artinya mengangkat (menghilangkan)
penghalang yang timbul dari hadata atau najis.1
Pengertian thaharah menurut beberapa ahli fiqih sebagai berikut :
a) Qadi Husain
Taharah adalah menghilangkan sesuatu yang dapat mencegah hadas. Dalam
hal ini yang dimaksud adalah bersuci wajib, seperti; mandi junub untuk
menghilangkan hadas besar dan wudhu untuk menghilangkan hadas kecil.
b) Imam Nawawi
Taharah ada suatu pekerjaan menghilangkan hadas atau najis. Taharah
dalam arti menghilangkan hadas adalah mandi junub, wudhu, dan tayamum,
sedangkan dalam arti menghilangkan najis adalah istinja dengan air, dan istijmar
dengan batu.
c) Syekh Ibrahim Al Bajuri
Taharah adalah melakukan pekerjaan yang memperbolehkan sholat, seperti
mandi, wudhu, dan tayamum.2

2. Pentingnya Thaharah
Taharah amat penting dalam Islam baik thaharah haqiqi, yaitu suci pakaian,
badan, dan tempat shalat dari najis; ataupun thaharah hukmi, yaitu suci anggota
wudhu dari hadats, dan suci seluruh anggota zahir dari janabah (junub); sebab ia
menjadi syarat yang tetap bagi sahnya shalat yang dilakukan sebanyak lima kali

1
Lahmudin Nasution, Fiqih 1, CV. Daras,1995 Hlm. 9
2
Abidin Suyono. Fiqih Ibadah Untuk IAIN,STAIN dan PTAIS, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2017.
Hlm.17

3
dalam sehari. Oleh Karena shalat adalah untuk menghadap Allah SWT, maka
menunaikannya dalam keadaan suci adalah untuk mengagungkan kebesaran Allah
SWT.
Allah memuji orang yang suka bersuci (mutathahhirin) berdasarkan firman-
Nya,
‫ه ِر ْين‬Y’ِ ‫ْ ط‬
‫ َّوا ويُ ا ل‬Yَّ‫ُي ِح ب الت‬ ‫اِن‬
Y‫ِب ْين ِح ُمته‬ ‫لهّال‬
‫ب‬
" ....Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri."(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 222)

B. Bersuci Dengan Air


Dalam pandangan syariah, air adalah benda yang istimewa dan punya
kedudukan khusus, yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual
berthaharah. Air merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis,
sekaligus juga air itu berfungsi sebagai media yang syar'i untuk menghilangkan
hadats. Meski benda lain juga bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah
media yang utama. Sebagai contoh adalah tanah. Tanah memang dapat berfungsi
untuk menghilangkan najis, tetapi yang utama tetap air.
Air yang boleh untuk bersuci ada 7 macam yaitu :
Air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air(sumber), air es, air
embun. Tentang air hujan berdasarkan firman Allah Swt :

‫ُقل‬ ‫ع ٰل ى‬ ‫ط‬ ‫ه ْن ُك ْم ج َز ْ ط ِّن‬, ‫ َر ُك ْم ِّب‬Yٓ‫ِّء َما‬ ‫علَ ْي ُك ن‬ ‫زل‬Y’ِّ ‫َوُي َن‬


‫ْوِّب ُك ْم‬ ‫ال ي َو ِّل َي ْر ِّب‬ ‫َوُيذْ ِّه ط ِّ’ه‬ ‫ْمِّ’م ال ˝ء ِّل’يُ س‬
‫ّر ب ع‬ ‫َما‬
‫ش‬
‫ ِّ’بت ِّب ِّه ا ْ َل ْقَدا َم‬Yَ‫ُويث‬
"(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk untuk memberi ketenteraman
dari-Nya, dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk
menyucikan kamu dengan (hujan) itu dan menghilangkan gangguan-gangguan
setan dari dirimu dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh telapak
kakimu (teguh pendirian)."
(QS. Al-Anfal 8: Ayat 11)

4
Tentang air laut, sabda Nabi Saw :

‫ه‬Y‫ ُت‬Y‫َما ُؤهُ ا ل َم ْي َت‬ ‫ُه َو ال‬


‫ْل‬

‫ّح ط ُهو‬
‫ُر‬

5
"Ia (laut itu) suci airnya, halal bangkainya."
Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Sakan, At-Tarmidzi dan Al-Bukhari.

Pembagian Air
Air dibagi menjadi 4 macam, yaitu Air Mutlak, Air musyammas, Air
Musta'mal, Air yang terkena najis.
a. Air Murni (Air Mutlak)
Disebut juga dengan air suci dan mensucikan dan tidak makruh. Air yang
demikian boleh diminum dan sah dipakai unyuk menyucikan (membersihkan)
benda yang lain. Yaitu air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih
tetap (belum berubah) keadannya, seperti air hujan, air laut, air sungai, air es,
yang sudah hancur Kembali, air embun, air yang keluar dari mata air. Air sumur
sekalipun air tadi berubah warnanya misalnya merah atau hitam, namun ia masih
dinamakan air muthlak sekalipun air tadi berubah warna dengan warna yang
disebutkan tadi, karena segala perubahan warna hanya sementara karena itu masih
dapat dikatakan air yang tidak berubah. Dan juga air yang menjadi beku seperti
garam, air yang banyak yang berubah disebabkan oleh sesuatu yang tidak
merusaknya seperti tercampur dengan lumpur, kembang, atau berdampingan
dengan sesuatu yang suci, maka semua itu dinamakan air yang muthlak.
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadannya atau sifatnya “suci
mensucikan” walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya
yang tiga (warna,rasa,baunya) sebagai berikut :
1) Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di
batu belerang
2) Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
3) Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti disebabkan ikan
4) Berubah karena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar
memeliharannya, misalnnya berubah karena daun daunan yang jatuh dari
pohon pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat tempat air itu.3

3
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2017. Hlm. 14-15

6
b. Air Musyammas
Air ini suci dan mensucikan tetapi makruh digunakan untuk bersuci) yaitu
air yang diemur di bawah sinar matahari atau air yang telah hangat karena terkena
panas matahari dan berada dalam bejana atau wadah. Hal ini di makruhkan karena
akan menyebabkan penyakit barash (sejenis penyakit kulit) atau membuat
penyakit bertambah parah.4
Air yang terjemur idak makruh memakainnya melainkan telah tercapai lima syarat
berikut ini;
1.) Air yang terjemur pada daerah yang sangat panas seperti daerah Yaman da
Hijaz, maka tidak makruh memakai air yang terjemur di daerah dingin
seperti syam, daerah yang sedang seperti mesir, , karena pengaruh cahaya
matahari pada kedua daerah ini kurang.
2.) Terjemur pada musim panas, tidak makruh memakai air yang terjemur pada
musim dingin, sekalipun di daerah yang sangat panas.
3.) Terjemur di dalam wadah besi atau tembaga selain dari tempat emas dan
perak, kayu atau kulit selain tempat perak dan emas, kayu atau kulit dan
terjemur di dalam telaga atau kolam terkecuali telaga atau kolam yang ada
di pegunungan besi.
4.) Dipakai pada saat panasnya tidak makruh memakainya sesudah dingin.
5.) Dipakai untuk menyirami tubuh seperti untuk berwudhu atau untuk mandi
atau tayamum, baik pada tubuh yang hidup atau pada tubuh yang mati atau
pada tubuh orang yang terkena penyakit lepra atau pada tubuh binatang
seperti kuda. Karena air yang terjemur dalam pelbagai bentuk di atas akan
menye-babkan penyakitnya bagi yang menderita penyakit lepra bagi yang
tidak menderita lepra atau takut berttambah penyakitnya bagi yang
menderita penyakit lepra.5

4
Al-Qadhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ashfahani. Fikih Sunnah Imam Syafi’i. Sukmajaya: Fathan
Media Prima. 2017 Hlm. 2-3
5
Aswadi Syukur, Kitab Sabilal Muhtadin I, PT. Bina Ilmu, Surabaya. 1998, Hlm. 25-26

7
c. Air Musta'mal (air suci tetapi tidak mensucikan)
Air yang pernah dipakai untuk bersuci dari hadats. Zat nya suci tetapi tidak
sah dipakai untuk mensucikan sesuatu.
- air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda
yang suci, selain dari perubahan yang tersebut yang diatas seperti air kopi,teh dan
sebaginya
- air sedikit, kurang dari dua kulah, sudah terpakai untuk menghilangkan hadas
atau menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan
tidak pula bertambah timbangannya.
- air pohon pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan
pohon kayu (air nira), air kelapa, dan sebaginya.6

d. Air yang bernajis


Air bernajis atau Air Mutanajjis Yaitu air yang terkena najis yang
ukurannya kurang dari duaa kullah, dan telah berubah salah satu sifatnya (warna,
bau atau rasanya). Air seperti ini hukumnya najis tidak boleh diminum, tidak sah
bila dipergunakan untuk wudhu, mandi, atau menyucikan benda yang terkena
najis.7
- sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi,baik
airnya sedikit ataupun banyak sebab hukumna seperti najis.
- air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit berarti
kurang dari satu kulah – tidak boleh diakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan
najis.8

C. Bersuci dengan Wudhu


a. Pengertian:
Menurut Bahasa, kata wudhu dengan membaca dhammah pada huruf wawu
adalah nama untuk suatu perbuatan yang memanfaatka air dan digunakan untuk

6
Ibid, hal. 15
7
Muhammad Badruz-Zaman Al Farabi,Pedoman Praktis dan Lengkap Sholat Khusus Wanita,
Hikmah Pustaka, Yogyakarta, 2017. Hlm 17.

8
membersihkan anggota anggota badan tertentu. Wudhu diambil dari Bahasa arab
al-wadha’ah , al;hasanah, dan an-nazhafah.
Wudhu menurut syara adalah kegiatan kebersihan yang khusus atau
perrbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai degan niat khusus.jadi definisi wudhu
ialah menggunakan air yang suci pada empat anggota badan dengan cara-cara
yang telah ditentukan oleh syara.9
dalil melakukan wudhu yang pertama ada pada QS. Al-Maidah Ayat 6:
Allah SWT berfirman:

‫سحو ˚ا‬ ‫ ْي ِّدَي ُك ْم‬Yَ‫َوأ‬ ‫ِّإَذا ق صلَ ٰو ِّة ˚ا ُو جوه ُك ْم‬ ‫َءا َمُن ٓو ˚ا‬ ‫ ي َها ٱل ن‬Yَ‫َيٓأ‬
‫َوٱ‬ ‫ِّإَلى ٱ ْل َم َراف‬ ‫َفٱ غسلُو‬ ‫إِّلَى ٱل‬ ‫ ْم‬Yُ‫ْمت‬ ‫ِّذي‬
‫ْم‬
‫ق‬
‫ُ ك ْم اِّلَى ا ْل َك‬ ‫ْم‬ ‫ُ ر ُ ء ْو‬
َ‫ْعَب ْي ِّن جل‬ ‫َواَ ْر‬
‫س ُك‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki"...

b. Hukum-hukum wudhu :
1. Fardu, Wudhu difardukan bagi orang yang berhadast, yaitu apabila ia ingin
melaksankan sholat, baik sholat fardu, ataupun sholat sunah, dan baik sholat
dilakukukan secara sempurna atau tidak seperti sholat jenazah dan sholat
tilawah.
Wudhu difardukan karena ingin memegang al-qur’an, walaupun hanya
sepotong Ayat yang ditulis diatas kertas atau di atas dinding atau di tas
uang.
2. Wajib, Wudhu diwajibkan karena ingin mengerjakan tawaf,
megelilingi ka’bah.
3. Sunah, yaitu berwudhu Ketika menyentuh buku buku agama seperti buku
tafsir,hadits,aqidah, fiqih dan lain-lain, ketika ingin tidur, sesudah
marah.

9
4. Makruh, mengulang wudhu sebelum melaksanakan sholat adalah, yakni
wudhu diatas wudhu yang masih ada.

9
Prof. Dr. Wahbah AZ-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuha Jilid 1, Pengantar Ilmu Fiqih – Tokoh-
Tokoh Madzhab Fiqih – Niat – thaharah – shalat, Darul Fikr, 2007 M .Hlm 298-304

1
5. Haram, berwudhu dengan air rampasan seseorang, begitu juga berwudhu
menggunakan air milik anak yatim
6. Mubah, berwudhu untuk membersihkan diri untuk mendinginkan badan
yang panas.

c. Syarat-syarat wudhu:
a) Islam.
b) Mumayiz.
c) Tidak berhadas besar.
d) Dengan air yang suci dan menyucikan.
e) Tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit.

d. Rukun-rukun wudhu:
1) Niat.
Hendaklah berniat (menyengaja) menghilangkan hadas atau menyengaja
berwudhu. Sedang tempat niat itu dalam hati, dan dilakukan pada permulaan
wudhu'. Jadi seandainya ada salah satu anggota yang dibasuh sebelum niat, itu
tidak sah, dan wajib diulangi setelah niat dilaksanakan. Dan tak apalah bila niat
itu dilakukan menjelang wudhu', asal jangkanya niat itu dilakukan menjelang
wudhu', asal jangkanya --menurut adat ('uruf)-- tidak terlalu lama. Karena
menurut hukum niat itu sebenarnya sudah ada.

2) Membasuh muka.
Dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah atas sampai kedua tulang dagu
sebelah bawah, dari telinga ke telinga. Membasuh seluruh permukaan wajah
dengan air yang suci, satu kali. Adapun basuhan berikutnya, itu bukan fardhu.
Perlu diterangkan di sini, bahwa batas wajah memanjang bagi wanita ialah dari
tempat yang biasanya mulai ditumbuhi rambut pada dahi bagian atas, sampai
bagian dagu paling bawah. Maksudnya, bagian inipun wajib di- basuh. Dan begitu
pula wajib dibasuh kedua pelipis yang ada di sebelah kiri-kanan kening, dan

1
10
bagian wajah yang ada di bawah cuping telinga. Adapun dalamnya mulut dan
telinga tidaklah termasuk wajah, oleh karena itu tidak wajib dibasuh.
3) Membasuh kedua tangan dari ujung jari sampai ke siku.
Lekuk-lekuk kulit pada jari-jari, dan begitu pula ujung jari yang ter- tutup
oleh kuku yang panjang, semuanya harus terkena air. Bagi orang yang tangannya
terpotong pada bagian yang mestinya wajib dibasuh, maka sisanya yang masih
ada, wajib pula dibasuh. Sedang kalau terpo- tongnya dari siku, maka tempat
terpotongnya itulah yang wajib dikenai air

4) Menyapu Sebagian kepala.


Adapun seberapanyakah yang harus diusap, itu bisa kita lihat
pembahasannya secara terperinci me- nurut madzhabnya sendiri-sendiri. Hanya
yang lebih hati-hati tentu saja diusap seluruhnya. Tapi kedua telinga tidak wajib
diusap, karena bukan termasuk kepala.

5) Membasuh dua telapak kaki.


Membasuh dua telapak kaki sampai kedua mata yaitu dua tulang yang
menonjol pada ujung betis, persis di atas telapak. Periksalah kedua tumit anda,
sudahkah terkena air. Dan begitu pula retak- an-retakan yang ada pada bagian
bawah telapak kaki, kalau ada. Bagi yang kakinya terpotong pada bagian yang
mestinya wajib dibasuh, maka sisanya wajib dibasuh. Tapi kalau seluruh bagian
yang wajib dibasuh terpotong semua, maka tidak perlu bagi membasuh kaki.

6) Tertib
Mensucikan keempat anggota tsb. di atas menurut urutan yang tercantum di
dalam Al Qur'an Al 'Aziz. Jadi basuhlah wajah terlebih dahulu, kemudian kedua
belah tangan, sesudah itu usaplah kepala, dan terakhir membasuh kedua kaki. Dan
berurutan, erturut-turut (mualat) dalam mensucikan seluruh ang- gota wudhu',
jangan sampai antara dua anggota berselang cukup lama sehingga anggota yang
pertama kering, padahal waktu, tempat maupun cuacanya biasa-biasa saja. Dan

10
Ibid.304

1
dalam hal ini anggota yang diusap di- anggap mendapat basuhan. Jadi yang
dimaksud terlambat mengusap anggota wudhu' berikutnya hingga anggota itu
kering, maksudnya ialah andaikan anggota yang diusap itu dibasuh

D. Bersuci dengan Tayamum


a) Pengertian :
Tayamum menurut Bahasa adalah al-qashd (niat)
Adapun dari segi istilah,para ulama ahli fiqih memberi definisi tayamum dengan
sebagai berikut yaitu :
a. Ulama Hanafi mendefinisikan tayamum dengan mengusap muka dan
kedua tanagn dengan debu yang suci. Al;qashd menjadi syarat dalam
tayamum, sebab ia adalah niat yaitu qashd mengguakan debu yang suci
dngan sifat tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah
b. Ulama malik, mendefinisikan tayamum sebagai satu bentuk cara bersuci
dngan mengunakan debu yang suci dan digunakan untuk mengusap muka
dan dua tangan dengan niat.
c. Ulama syafi’i mendefinisakn tayamum sebagai mengusapkan debu ke
wjah dan kedua tanagan sebagai ganti wudh,mandi, atau salah satu
anggota dari keduannya dengan syarat-syarat tertentu
d. Ulama hambali mendefinikan tayamum sebagai mengusap muka dan
kedua tangan dngan debu yang sesuai dengan cara yang tertentu. 11
Tayamum disyariatkan dalam Al Quran, sunnah, dan juga ijtima'. Allah SWT
berfirman dalam QS. An Nisaa' ayat 43 sebagai berikut

‫ِّإن‬
‫ِعي‬ ‫ ˝ ته هي‬Y‫ْم ته‬ ‫هء ح ’من ’من ٱ أه ْو ُم ه‬ ‫ ٰ „ر‬Y‫م ْ أه‬Yُ‫كنت‬
‫و‬
‫د˝ا‬ ‫و ˚ا ء َّم ُمو‬Yُ‫ِجد‬ ‫ ِئ ٰله م ٱل ِن’ ء‬Y˜‫أه د ُكم ْلغها‬ ‫ ْو‬Y‫ر ْو ض ى أه‬
‫ه‬ Y˚ ˜‫جا‬
‫ص‬ ‫˚ا‬ ‫له ما‬ ‫سُت سا‬ ‫سفه‬ ‫ٰ˜ ى ع ل‬
‫ط‬
˜ ˜ ‫ه‬ ‫م‬
‫ٱ ْم ˚ا ُوجو وأه ْي ِدي ن ٱ كان عُف ˝را‬Y‫ط ’ي ˝با فه‬
ِ
‫ًّوا غفُو‬ ‫سحو ِه ُك ْم ُك ْم ۗ ِإ َّ لهّل‬
Artinya:"Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat
buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu
1
11
Ibid, hlm. 468

1
dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS.
An Nisaa': 43)

Sebab-sebab tayamum
1. Tidak adanya air yang mencukupi untuk wudhu ataupun mandi.
Ketiadaan itu adakalanya memang nyata seperti tidak adanya air sama sekali
ataupun ada air, tetapi tidak mencukupi. Dan adakalanya juga ketiadaan tersebut
hanya hukman seperti takut mendapatkan air, karena jalan ketempat air tidak
aman, atau air berada di tempat jauh yang jaraknya kira-kira 1.848 meter atau
4.0 hasta/Langkah, atau lebih dari itu (menurut mazhab Hanafi) ataupun air itu
berada sejauh dua mil (menurut mazhab Maliki) ataupun seseorang perlu kepada
harga air itu ataupun ada air, tetapi ia dijual dengan harga yang lebih dari harga
pasaran biasa. Ulama Syafi’I membuat ulasan terperinci berkenaan dibolehkannya
bertayamum Ketika tidak ada air dan sejauh manakah air tersebut perlu dicari.
Mereka mengatakan,
a). jika ia yakin tidak ada air disekelilingnya, makai a boleh bertayamum tanpa
perlu mencarinya.
b). jika ia mempunyai sangkaan yang kuat, ataupun ragu tentang adanya air,
hendaklah ia mencari baik dirumahnya ataupun di tempat kawan-kawanya,
dan mencari kesekitarnya dengan jarak 400 hasta atau 184,8 meter
(menurut mazhab Hanafi).
c). jika dia yakin akan adanya air, maka hendaklah ia mencarinya di Kawasan
yang dekat dengannya, yaitu sejauh 6.000 langkah.

2. Tidak ada kemampuan untuk menggunakan air.


Menurut Madzhab Maliki, Hambali, dan lain-lain, orang yang tidak bisa
menggunakan air seperti orang yang dipaksa (tidak boleh menggunakan air),
orang yang dipenjara, orang yang diikat dekat dengan air dan orang yang takut
binatang buas ataupun takut kecurian, baik dia sedang berada dalam perjalanan
ataupun sedang bermukim, dan meskipun perjalanan nya itu adalah perjalanan

1
maksiat, maka dia boleh bertayamum. Sebab, tayamum adalah disyariatkan
secara12
muthlak. Tetapi menurut Imam Syafi’I, orang mukmin yang bertayamum karena
ketiadaan air kemudian melakukan sholat, hendaklah dia mengqadha’ sholatnya
tersebut. Sebaliknya, seorang musafir tidak perlu melakukan qadha’, kecuali
orang yang orang yang safarnya adalah untuk tujuan maksiat, maka dia perlu
mengqadha’ sholat nya tersebut.

3. Sakit atau lambat sembuh.


Jika seseorang menghawatirkan jiwanya atau khawatir rusak anggota badan
saat menggunakan air karena memang dia sedang sakit ataupun demam dan
lainnya sehingga dia bimbang jikalau dia menggunakan air, maka sakitnya akan
bertambah parah atau semakin lambat sembuh dan dia mengetahui hal itu
berdasarkan pengalaman, maka dia diperbolehkan bertayamum. Khawatir terjadi
kecacatan pada anggota badan. Karena kecacatan dan kemudharatamnya
berkelanjutan.

4. Ada air, tapi diperlukan untuk sekarang ataupun untuk masa yang akan datang.
Seseorang boleh bertayamum jika dia yakin atau mempunyai sangkaan kuat
bahwa pada masa yang akan datang dia sangat memerlukan air tersebut. Dan
sekiranya tidak memerlukan air tersebut. Dan sekiranya dia tidak mendapatkan
air, maka hal itu menyebabkan kebinasaan atau kesengsaraan manusia ataupun
hewan yang akan meyebabkan kehausan meskipun hewan tersebut adalah anjing
buruan atau anjing pengawal.

5. Khawatir hartanya rusak jika mencari air.


Maksud harta disini adalah harta yang nilainya lebih daripada untuk
membeli air. Menurut ulama mazhab Maliki takut terhadap ancaman musuh baik
musuh itu manusia ataupun lainnya, atau takut akan kebakaran ataupun takut akan
pencuri, semua itu memperbolehkan seseorang untuk bertayamum dan dia tidak

12
Ibid, Hlm. 480

1
perlu mencari air, baik kekhawatiran itu untuk dirinya sendiri, hartanya, ataupun
barang titipan. Apabila ada perempuan yang takut kepada lelaki jahat di tempat air
atau ada orang yang berhutang yang tidak punya harta sama sekali dan dia takut
ditahan ataupun dia takut kehilangan barang yang yang dicarinya seperti orang
yang sedang mencari orang yang melarikan diri maka semua orang tersebut
hukumannya adalah sama seperti orang yang tidak mempunyai air, karena
keadaan yang demikian dianggap sebagai keadaan yang darurat.

6. Iklim yang sangat dingin atau air menjadi sangat dingin.


Iklim yang sangat dingin menyebabkan seseorang dibolehkan bertayamum
jika memang penggunaan air itu dapat membahayakan dan pada waktu yang sama
tidak ada alat pemanas air. Tetapi, para ulama mazhab Hanafi membatasi
dibolehkannya tayamum karena hawa dingin ini, hanya kepada orang yang
khawatir mati jika menggunakan air, menyebabkan rusaknya fungsi Sebagian
anggota badan atau menimbulkan penyakit. Ulama mazhab Maliki membatasi
pembplehan tayamum karena hawa yang dingian hanya dalam keadaan iklim
dingin yang memang dapat menyebabkan kematian. Adapun ulama mazhab
Syafi’I dan Hambali membolehkan tayamum karena hawa yang dingin apabila
orang tersebut memang tidak mempunyai alat untuk memanaskan air, atau apabila
memanaskan anggota badan pada masa itu tidak dapat mengatasi masalah dingin
dan apabila dia khawatir terjadinya kerusakan fungsi anggota badan apabila
menggunakan air atau menimbulkan kecacatan.

7. Tidak ada alat untuk mengambil air, seperti tidak ada timba taupun tali.
Orang yang sebenarnya mampu menggunakan air boleh melakukan
tayamum jika tidak ada orang yang dapat membantu untuk mendapatkan air
Adapun dia tidak mempunyai alat untuk memperoleh air seperti tidak adanya tali
ataupun tidak ada timba sedangkan dia khawatir waktu salat akan terlewat dalam
keadaan seperti ini orang tersebut dianggap seperti orang tidak mempunyai air.

1
8. Khawatir terewat waktu sholat.13
Ulama Mazhab Syafi'i tidak membolehkan tayamum dengan alasan
khawatir terdapat waktu salat karena tayamum dalam keadaan seperti itu berarti
tayamum dalam kondisi ada air namun mereka mengecualikan kasus orang
musafir sebab orang yang musafir tidak wajib mencari air musafir tersebut boleh
bertayamum Jika dia takut terawat waktu salat takut akan keselamatan dirinya
atau keselamatan hartanya ataupun takut kehilangan rombongan
Ulama Hambali mereka tidak memberikan tayamum dengan alasan khawatir
lewat waktu salat sebaik tayamum itu untuk salat jenazah untuk hari raya kata
untuk salat fardhu namun ada pengecualian bagi musafir yang mengetahui
keberadaan ayat di suatu tempat yang tidak jauh Tetapi dia khawatir Jika dia
mengambilnya maka waktu salat akan terlewat Oleh karena itu hendaknya orang
yang tersebut bertayamum kemudian salat dan dia tidak perlu mengulangi
salatnya Sebab Dia memang tidak mampu menggunakan air pada waktunya jadi
kasus sama seperti orang yang tidak mempunyai air

c.) Rukum-ruku tayamum :


1. Niat Ketika mengusap muka
Niat adalah fardu menurut kesepakatan ulama mazhab fiqih yang empat,
Maksud niat disini ilah dengan cara beniat supaya boleh melakukan sholat atau
melakukan hal hal yang dilarang karena ada hadats. Atau dengan cara niat fardu
tayamum, Ketika membasuh muka. Jika seseorang beriat menagngat hadast saja,
mka tayamumnya batal. Hal iini disebabkan tayamum tidak dapat mengangkkat
hadats.
Jika dia niat fardu tayamum, maka niatnya sah. Dia juga tidak perlu menentukan
hadats besar ataupun kecil.
2. Mengusap muka dan kedua tangan serta meratakannya.
Yang perlu dilakukan saat mengusap dua tangan-menurut pendapat Hanafi
dan Syafi'i-adalah mengusap secara menyeluruh kedua tangan hingga ke siku
sama seperti dalam wudhu. Dalilnya adalah berdasarkan ayat di atas. Hal ini

13
Ibid, Hlm. 486

1
karena tayamum adalah sebagai ganti wudhu. Dan perlu diperhatikan kata tangan
disebut secara mutlak di dalam ayat tayamum, sedang dalam wudhu dibatasi
(muqayyad) dengan firman Allah SWT,

Oleh karena itu, hukum tayamum disamakan dengan hukum wudhu dan
diqiyaskan dengannya.
Ulama madzhab Maliki dan Hambali me ngatakan, mengusap kedua tangan
cukup hingga ke pergelangan tangan saja. Adapun mengusap dari dua
pergelangan tangan hing ga ke siku, hukumnya adalah sunnah. Mereka berdalil
kepada firman Allah SWT,

d. Cara bertayamum :
Pendapat Ulama Hanafi dan
Syafi'i
Mereka berpendapat bahwa tayamum dilakukan dengan dua kali tepukan
telapak tangan pada debu. Satu tepukan untuk mengusap muka dan satu tepukan
lagi untuk mengusap kedua tangan hingga ke siku.Hal ini karena tangan adalah
temasuk anggota tayamum. Oleh sebab itu, ia mesti diusap keseluruhannya, sama
seperti muka.Adapun hadits Ammar r.a. yang menunjukkan bahwa mengusap
kedua telapak tangan saja sudah cukup, maka boleh ditafsirkan sebagai mengusap
kedua telapak tangan hingga ke siku. Hal ini berdasarkan hadits Abu Umamah dan
Ibnu Umar. Pendapat ini lebih baik untuk diikuti, sebab tayamum adalah
pengganti wudhu. Ma ka, anggotanya adalah anggota wudhu, yaitu anggota yang
telah ditentukan sebagai yang wajib diusap ketika tayamum.14

syarat syarat tayamum menurut imam syafi'


1. Hendaklah menggunakan debu walau apa pun bentuknya, seperti tanah liat, ta
nah baja, atau lainnya asalkan berdebu. Tayamum juga boleh dilakukan dengan
menggunakan tanah yang dibuat obat seperti armani jika memang dihaluskan,
termasuk juga debu pasir baik kasar atau halus. Tetapi, tidak boleh dengan tanah
yang telah dibakar yang namanya masih ada, tetapi debunya sudah hilang.

1
14
Ibid, Hlm. 494

2
2. Hendaklah tanah tersebut suci,
3. Hendaknya debu itu bukan debu yang sudah digunakan, yaitu debu yang masih
melekat pada anggota tayamum atau yang jatuh setelah diusapkan pada ang gota
tubuh ketika tayamum. Debu yang demikian hukumnya sama dengan hukum air
musta'mal. Ini menurut pendapat yang ashah.
4.Hendaknya debu itu tidak bercampur de ngan tepung atau yang semacamnya; se
perti bercampur dengan minyak za'faran,kapur, atau lainnya. Karena, ia dapat
menghalangi sampainya tanah ke anggota tayamum.
5. Hendaklah dilakukan dengan maksud bertayamum. Jika ada angin yang mem-
hawa debu itu ke anggota tayamum, lalu diusap-usapkan pada anggota tayamum
tersebut dan diniatkan, maka tayamum itu tidak sah. Karena, tidak ada tujuan
(niat) memindahkan tanah itu. Tapi, debu itu datang dengan sendirinya. Tetapi
jika dia ditayamumkan oleh orang lain dengan izinnya, maka tayamumnya sah.
6. Hendaklah dia mengusap muka dan kedua tangannya itu dengan dua kali
tepukan ke debu, meskipun dia hanya dapat mene s puk dengan kain atau yang
semacamnya.
7. Hendaklah dia terlebih dahulu menghi- langkan najis. Jika dia bertayamum se-
belum menghilangkan najis, maka menurut pendapat mu'tamad, tayamumnya
tidak sah. Sebab, tayamum yang dilakukan su- paya boleh melakukan ibadah
(ibahah) dan ibadah tidak akan terjadi jika ada halangan. Kasusnya sama seperti
bertayamum sebelum waktunya.
8. Hendaklah berijtihad mengenai arah kiblat sebelum bertayamum. Jika
seseorang bertayamum sebelum ijtihad arah kiblat, maka menurut pendapat yang
kuat, tayamumnya tidaklah sah.
9. Tayamum hendaklah dikerjakan setelah masuk waktu. Sebab, ia adalah bentuk
darurat bersuci, dan kondisi darurat tidak akan terwujud sebelum waktunya tiba.
Namun dalam kasus shalat sunnah mutlak, tayamum boleh dilakukan pada waktu
kapan saja, kecuali pada waktu makruh.
10. Hendaklah tayamum dilakukan setiap kali melakukan fardhu 'ain, karena
tayamum adalah thaharah dharurah (cara bersuci darurat). Oleh karena itu,
hendaklah ia ditimbang mengikut kadarnya

2
E. Bersuci dengan Mandi
a) Pengertian :
Lafal al-ghusl atau al-ghaslu dalam Islam menunjukkan arti perbuatan
mandi itu sendiri, ataupun air yang digunakan untuk mandi. Dari segi bahasa, ia
berarti mengalirkan air ke atas sesuatu secara mutlak. Kalimah al-ghislu juga
digunakan untuk menyebutkan bahan yang digunakan untuk membersihkan
sesuatu seperti sabun, sampo, dan sebagainya.
Menurut istilah syara, arti mandi (al ghaslu) adalah meratakan air ke seluruh
tubuh dengan cara tertentu.
Ulama Syafi'i mendefinisikannya dengan mengalirkan air ke seluruh badan
dengan niat.
Ulama Maliki mendefinisikan al-ghasludengan menyampaikan air serta
menggosok-kannya ke seluruh badan dengan niat supaya boleh sholat.

Dalil Pensyariatannya
Firman Allah SWT,
‫˝با َفا ْو‬ ‫ ْم‬Yُ‫ُك ْنت‬ ‫واِّ ْن‬
‫جُن ا ط‬

‫ّه‬
‫ُر‬
"... Jika kamu junub maka mandilah. " (al-Maa'idah: 6)
Ayat ini memerintahkan agar kita me nyucikan seluruh tubuh, kecuali
bagian yang air tidak dapat sampai kepadanya seperti bagian dalam mata. Hal ini
disebabkan mem basuh bagian dalam mata adalah menyakitkan serta
membahayakan.
Hikmah dan tujuan mandi ini ialah untuk kebersihan, mengembalikan
kesegaran dan keaktifan badan. Sebab, bersetubuh telah memberi pengaruh
kepada seluruh badan.

Rukunnya
Meratakan air suci ke seluruh bagian tubuh sesuai dengan kemampuan dan

2
tidak sampai menimbulkan kesukaran.

2
Sebabnya
Sebabnya adalah apabila seseorang mau melakukan sesuatu yang tidak
boleh dilakukan karena dia sedang dalam keadaan junub ataupun karena ingin
melakukan perkara yang wajib.

Hukumnya
Dengan mandi tersebut, maka semua hal yang sebelum mandi dilarang akan
menjadi halal, di samping itu juga akan mendapat pahala karena dia
melakukannya dengan tujuan ibadah kepada Allah SWT. Ketika mandi, seseorang
boleh membuka seluruh tubuhnya jika dia memang mandi sendirian di dalam
tempat yang tertutup, atau dia hanya bersama orang yang diperbolehkan melihat
auratnya. Namun, menutup aurat ketika mandi lebih afdhal.

b) Perkara-perkara fardu dalam mandi :


1. Berniat Ketika Memulai Membasuh Bagian Tubuh
Maksudnya adalah niat menunaikan ke-fardhuan mandi, ataupun
mengangkat junub, mengangkat hadats besar, ataupun supaya boleh melakukan
perkara yang terlarang jika tanpa mandi, umpamanya niat supaya boleh shalat atau
thawaf yang memang harus dilakukan dalam keadaan suci dengan cara mandi
terlebih dahulu. Namun jika ia berniat dengan menyebutkan suatu amal yang tidak
perlu kepada mandi wajib, seperti mandi sunnah Hari Raya, maka tidak sah.
Tempat niat adalah hati, dan hendaklah dilakukan serentak dengan melakukan
perkara fardhu yang paling awal dilakukan, yaitu ketika membasuh untul pertama
kali bagian tubuh yang mana pun. baik dari bagian atas atau di sebelah bawah,
karena dalam mandi tidak perlu tertib.

2. Meratakan Air ke Seluruh Tubuh


Semua bagian rambut atau bulu dan kulit. Ini adalah syarat yang disepakati
oleh fuqaha. Oleh karena itu, meratakan air ke seluruh bagian kulit dan juga bulu-
bulu adalah waiih Sehingga kalau ada yang tertinggal meskipun satu bagian kecil
saja yang tidak terkena air maka ia wajib dibasuh lagi. Dengan demikian.

2
seseorang wajib memerhatikan bagian-bagian kulit yang tersembunyi di bagian
tubuh yang ce kung dan berlipat seperti pusar, bawah ketiak, dan semua lubang
yang ada di tubuh dengan cara menuangkan air ke atasnya

c) Perkara-perkara yang menyebabkan mandi wajib :


a. Keluar Mani
Yaitu, apabila air mani keluar dari kemaluan lelaki ataupun wanita, disertai
rasa nikmat menurut kebiasaan dan keluarnya muncrat, meskipun keluarnya
sewaktu tidur ataupun sewaktu terjaga. Air mani itu keluar biasanya disebabkan
memandang atau berpikir (hal yang menimbulkan syahwat), sebab bersetubuh,
atau melakukan hubungan dengan seorang yang hidup, yang telah mati, ataupun
binatang.
Mani adalah air kental yang keluar memuncrat ketika syahwat menegang.
Adapun mani Wanita bentuknya cair dan berwarna kekuningan.
Keluar air madzi atau air wadi tidak menyebabkan wajib mandi. Air madzi
ialah air yang putih dan agak jernih dan keluar ketika seorang itu bermesra dengan
istrinya. Sementara air wadi adalah air kencing ya kental yang keluar pada
permulaan kencing.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama Svafi`i, air mani dapat dikenali
melalui cara keluarnya yang memuncrat beberapa kali ataupun dengan adanya
rasa nikmat atau lezat ketika ia keluar, diikuti dengan kondisi zakar menjadi
lembek dan hilang keinginan syahwat. Mani juga kadang keluar tidak dengan cara
memuncrat karena ia sedikit. Ia juga mungkin keluar dengan warna darah. Ia juga
dapat dikenali melalui baunya; sewaktu basah ia berbau seperti bau tepung
gandum yang dalam adonan dan ketika kering ia berbau seperti putih telur. Jika
seseorang keluar mani tanpa memuncrat dan terasa nikmat seperti ia keluar sisa
mani setelah mandi, maka mandinya wajib diulang.
Kesimpulannya adalah keluar mani-meskipun akibat membawa benda berat
ataupun terjatuh dari tempat tinggi, ataupun semata- mata mendapatinya di
pakaian, semua ini menyebabkan wajib mandi, menurut ulama Syafi'i, baik ia
keluar dengan keinginan atau pun tidak, dan baik keluar melalui saluran biasa

2
ataupun saluran lain seperti pecah ba gian sulbinya lalu keluar mani. Namun jika
mani yang keluar melalui saluran yang tidak biasa itu disebabkan sakit, maka ia
tidak me nyebabkan wajib mandi.

b. Bertemunya alat kelamin, meskipum tidak keluar mani


Bertemu Alat Kelamin,820 Meskipun tidak Keluar Mani Maksudnya adalah
berjunub, yaitu dengan memasukkan kepala zakar atau kemaluan lelaki atau
kadarnya-bagi yang zakarnya terpotong-ke dalam kemaluan wanita yang dapat
disetubuhi baik qubul atau dubur, lelaki ataupun perempuan, secara suka rela
ataupundipaksa, dalam keadaan tidur ataupun terjaga.
Menurut pendapat ulama Syafi'i dan Hambali, mandi tetap wajib meskipun
perkara tersebut terjadi pada anak-anak yang belum balig. Kewajiban ini tidak
disyaratkan harus taklif. Oleh sebab itu, anak-anak dan orang gila juga dianggap
berjunub dengan mema- sukkan zakarnya ke dalam jenis kelamin wanita, dan
keduanya wajib mandi apabila mereka sampai ke tahap sempurna (al-kamaal).
Anak-anak mumayyiz yang mandi, maka mandinya dianggap sah. Anak-anak
tersebut hendaklah disuruh melakukan mandi wajib tersebut, se- bagaimana dia
disuruh mengerjakan wudhu. Ulama Hambali juga mewajibkan mandi ke- pada
anak laki-laki vang berumur 10 tahun atau kanak perempuan yang berumur
sembilan tahun, apabila mereka melakukan persetubahan.
Ulama sepakat bahwa mandi junub adalah
wajib karena persetubuhan dan mereka tidak mensyaratkan keluar mani, karena
hadits Aisyah yang menyatakan, "Sesungguhnya air (mandi) adalah disebabkan
air (keluar mani)," telah dimansukh menurut ijma ulama.

c. Haid dan Nifas


Ulama sepakat bahwa kedua hal ini juga menjadi sebab wajibnya
mandi.Sementara itu, nifas adalah darah haid yang terkumpul. Berhentinya darah
haid dan nifas merupakan syarat wajib serta syarat sahnya mandi.
Kelahiran bayi dalam keadaan kering (tidak ada darah yang keluar),
menurut pendapat yang mu'tamad di kalangan ulama Maliki, pendapat yang

2
terpilih dalam Madzhab Hanafi dan pendapat yang ashah di kalangan ulama
Syafi'i, hal itu tetap menyebabkan wajib mandi, karena adanya kelahiran bayi.
Meskipun-menurut ulama Syafi'i-yang ke luar itu hanyalah segumpal darah atau
daging, karena pada hakekatnya ia adalah manusia yang telah terbentuk. Selain
itu, biasanya proses kelahiran selalu disertai keluarnya cairan. Oleh karena itu,
hukumnya disamakan. Kedudukannya sama seperti jika seorang wanita tidur
kemudian keluar sesuatu (cairan dari jenis kelaminnya). Perempuan juga
menganggap batal puasanya dengan sebab ini. Berbeda jika yang keluar dari jenis
kelamin wanita itu hanya satu tangan atau kaki, atau anggota lainnya, maka ia
tidak menyebabkan wajib mandi dan juga tidak membatalkan puasa.

d. Muslim yang Mati Selain Mati Syahid


Ulama melarang bahwa orang Islam diwa-jibkan secara kifayah dan secara
ta'abbudi. untuk memandikan jenazah seorang muslim yang meninggal dunia
selain muslim yang mati syahid dan yang mati dalam keadaan tidak menanggung
janabah. Hukum ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw.

f. Orang kafir yang masuk islam


Ulama Hanafi dan ulama Syafi'i berpendapat bahwa mereka hanya
disunnahkan mandi apabila mereka tidak berjunub. Jika mereka hanya mengambil
wudhu, maka sudah cukup. Alasan mereka adalah Nabi Muhammad saw. tidak
menyuruh setiap orang yang memeluk Islam supaya mandi. Jika perbuat- an
tersebut wajib, tentulah Nabi Muhammad saw. tidak hanya menyajikan setengah
orang dan yang lainnya tidak. Hal ini menunjukkan bahwa perintah Nabi
Muhammad saw. yang disebutkan dalam hadits di atas hanya sebagai perintah
sunnah saja.

F. Macam-macam Najis dan cara menyucikannya ;


Perkataan an-najaasah adalah lawan kata dari kata ath-thahaarah, dan kata
an-najas juga kebalikan dari kata ath-thahir. Kata al-anjaas merupakan bentuk

2
jamak dari kata najis, yaitu nama bagi benda yang kotor me- nurut pandangan
syara'. Najis ada dua jenis, najis hukmi dan najis haqiqi. Kotoran (al-khubuts)
khusus bagi najis haqiqi, sedangkan hadats adalah sebutan khusus bagi najis
hukmi. Kata an-najas, jika huruf jim-nya dibaca dengan fathah, maka ia menjadi
isim. Tetapi jika dibaca dengan kasrah (an-najis), maka ia menjadi kata sifat.
Najis terbagi menjadi dua jenis, yaitu najis haqiqi dan najis hukmi. Dari segi
bahasa, najis haqiqi adalah benda-benda yang kotor seperti darah, air kencing, dan
tahi. Menurut syara', ia adalah segala kotoran yang menghalangi sahnya shalat.
Najis hukmi ialah na-jis yang terdapat pada beberapa bagian ang- gota badan yang
menghalangi sahnya shalat. Najis ini mencakup hadats kecil yang bisa
dihilangkan dengan wudhu dan hadats besar (janabah) yang dapat dihilangkan
dengan mandi. Najis haqiqi terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu mughallazhah
(berat), mukhaffafah (ringan), najis yang keras, najis yang cair, najis yang dapat
dilihat, dan najis yang tidak dapat dilihat.

Hukum menghilangkan najis yang tidak dimaafkan dari pakaian, badan, dan juga
waktu shalat bagi orang yang hendak mengerjakan shalat adalah wajib. Ini
menurut pendapat jumhur fuqaha kecuali ulama Madzhab Maliki, karena Allah
SWT berfirman, :

Dan bersihkanlah pakaianmu. (al-Mud-datstsir: 4)

Dilihat dari segi berat ringannya, para ulama membagi najis menjadi tiga bagian.
a. Najis mughalazha
Najis ini merupakan najis berat. Para ulama enggan bahwa yang termasuk
najisjenis ini adalah yang ditimbulkan dari najis anjing dan babi. Cara
menyucikannya terlebih dahulu dihilangkan dulu wujud benda najis tersebut,
kemudian dicuci bersih dengan air sampai 7 kali. Pada permulaan atau
penghabisannya di antara pencucian itu wajib dicampur dengan debu (tanah). Hal
ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.

2
‫لت‬Y‫ِ با‬
‫ ْن سل ه َّ ت أُو‬Y‫ا ْل أه‬ ‫ْ م ول‬ Y‫ط ُهو ُر إنها ِء أه‬
‫هَله هراب ن‬ ‫إذها ه هك ْل هي ْغ ه ع ر‬
‫ب ه س ا‬ ‫ح ِد هغ ي ِه‬
‫ْب م‬ ‫ُك‬
“ Sucinya tempat (perkakas)mu apabila telah dijilat oleh anjing adalah dengan
mencucinya tujuh kali. Permulaan pencucian itu (harus) dicuci dengan air yang
bercampur dengan tanah.” (HR Tumudzi)

b) Najis mukhaffafah,
Najis ini adalah najis yang ringan. Contoh najis ini seperti air kencing bayi
laki-laki yang usianya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa, selain air
susu ibunya. Cara membersihkannya cukup dengan memercikkan air bersih pada
benda yang terkena najis tersebut. Hal ini berdasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh bahwa Rasulullah saw.

‫ل الُغال‬
‫شم‬ ،‫ُي ْغسل ْ ْول ِر هي ِة‬
‫ِم‬
‫ْن هب‬ ‫ن ا ْل وُي هر جا‬
‫ْو‬
‫م‬
“ Barangsiapa yang terkena air kencing anak wanita, harus dicuci. Dan jika
terkena air kencing anak laki-laki, cukup dengan memercikkan air padanya. (HR
Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah).”

c) Najis mutawassithah
Najis ini adalah najis sedang. Yang termasuk dalam jenis najis adalah
kotoran manusia atau hewan, seperti air kencing, nanah, darah, dan bangkai, serta
benda-benda selain dari najis berat dan ringan. Para ulama membagi najis
mutawassithah ini menjadi dua bagian.
1) Najis 'ainiah, yaitu najis yang bendanya memiliki wujud.
Cara menyucikannya dengan menghilangkan zat atau bendanya terlebih
dahulu sehingga unsur rasa, bau, dan warnanya hilang. Kemudian disiram
dengan air sampai bersih.

2
2) Najis hukmiah, yaitunajis yang bendanya tidak berwujud, seperti bekas
kencing dan arak yang sudah kering. Cara menyucikannya cukup dengan
mengalirkan air pada bekas najis tersebut.15

15
Ania, Muhammad Sumaji, 125 Masalah Thaharah, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo,
2008 Hlm. 27-28

3
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Thaharah merupakan salah satu syarat sah dalam pelaksanaan ibadah baik
Shalat, puasa maupun haji juga ibadah sunat lainnya.makaibadah yang paling
sering dilaksanakan terutama shalat wajib lima waktu, jika
dalam pelaksanaannya shalat tersebut tidak sah kecuali seluruh keadaan
pakaian,badan, tempat dan sebagainya dalam keadaan bersih dan suci, baik
suci dari hadas besar, maupun hadas kecil, dan najis.
Hadas menghalangi salat, maka bersuci adalah seperti kunci yang
diletakkan kepada orang yang berhadas. Jika ia berwudhu, otomatis kunci itu
pun terbuka. Hal ini juga ditunjukkan oleh ijtihad para fuqaha dalam tulisan-
tulisan mereka yang selalu diawali dengan pembahasan thaharah. Hal tersebut
menunjukkan betapa pentingnya masalah thaharah ini.

B. Saran
Demikian makalah yang berjudul Fiqih Ibadah(Thaharah dari hadits dan
najis) ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dan apabila
ada saran dan kritik silahkan sampaikan kepada kami, serta apabila ada
terdapat kesalahan mohon dapat memaafkan dan memakluminya.

3
DAFAR PUSTAKA

Nasution Lahmudin Fiqih 1, CV. Daras,1995


Suyono Abidin, Fiqih Ibadah Untuk IAIN,STAIN dan PTAIS, CV. Pustaka Setia,
Bandung, 2017.
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2017.
Al-Qadhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ashfahani. Fikih Sunnah Imam Syafi’i.
Sukmajaya: Fathan Media Prima. 2017.
Muhammad Badruz-Zaman Al Farabi,Pedoman Praktis dan Lengkap Sholat
Khusus Wanita, Hikmah Pustaka, Yogyakarta, 2017.
Ania Muhammad Sumaji, 125 Masalah Thaharah, PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, Solo, 2008.
Syukur Asywadie, Kitab Sabilal Muhtadin I, PT. Bina Ilmu, Surabaya. 1998.

Anda mungkin juga menyukai