Anda di halaman 1dari 21

KONSEP DASAR TAHARAH DAN MEMPRAKTIKANNYA

Dosen pengampu : Dr. Harwis, Lc. M.H.I

Mata kuliah : Fiqh

Disusun oleh:

1. Sakila N Hamzah (21131067)

2. Rosdiana Mustafa(21131014)

3. Saskiya Yunsur (21131066)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM TERNATE (IAIN)

TERNATE 2022

1
KATA PENGANTAR

“ Assalamualakum warrahmatullahi Wabarakatuh”

Segala puji bagi Allah SWT yang naungan-Nya lebih luas di bandingkan
dunia dan seisinya. Berkat limpahan rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan
makalah yang berjudul “konsep dasar taharah dan mempraktikannya salawat nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta seluruh umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada bapak yang telah membimbing kami
dalam mata kuliah Fiqh sehingga kami mampu mengerjakan makalah ini dengan
baik.
Kami menyadari masih banyak kekeliruan dan kekurangan dalam makalah
ini, kami besar kiranya harapan kami untuk mendapat kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Dan kami berharap bahwa makalah
ini dapat menambah wawasan serta dapat memberikan manfaat bagi semua pihak
dan juga bagi diri kami sendiri

Ternate, 17 september 2022

Kelompok 2

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2


DAFTAR ISI ...................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 5
A. LATAR BELAKANG MASALAH ........................................................ 5
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................ 5
C. TUJUAN.................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................... 7
A. Pengertian Tharah .................................................................................. 7
B. Macam macam air................................................................................... 7
C. Tata cara wudhu ................................................................................... 10
D. Tayamum ............................................................................................... 11
E. Mandi wajib........................................................................................... 12
F. Junub ..................................................................................................... 14
G. Haid .................................................................................................... 14
H. Nifas .................................................................................................... 15
I. Istihadah ................................................................................................ 15
J. Istinja ..................................................................................................... 17
K. Mashu al-jaurab ................................................................................ 18
L. Mash al-khuf ......................................................................................... 19
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 20
A. Kesimpulan ............................................................................................ 20
B. Saran................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 21

3
4
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih
dahulu bersuci atau disucikan. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci.
Dalam hukum Islam bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian
ilmu dan amalan yang penting terutama karena diantaranya syarat-syarat sholat
telah ditetapkan bahwa seseorang yang akan melaksanakan sholat, wajib suci dari
hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Dalam kehidupan
sehari-hari kita tidak terlepas dari sesuatu (barang) yang kotor dan najis sehingga
thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri sendiri agar
sah saat menjalankan ibadah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian taharah?
2. Sebutkan macam- macam air?
3. Sebutkan tata cara berwudhu?
4. Apa yang di maksud dengan tayamum?
5. Apa yang di maksud dengan mndi besar?
6. Apa yang di maksud dengan junub?
7. Apa yang di maksud dengan haid?
8 Apa yang di maksud dengan nifas ?
9. Apa yang di maksud dengan istihadah?
10. Apa yang di maksud dengan istinjah?
11. Apa yang di maksud dengan mashu al-jaurab mash al-khuf dan landasan-
landasan hukumnya?

C. TUJUAN
1. Ingin mengetahui tentang thaharah.
2. ingin mengetahui macam-macam air
3. ingin mengetahui tata cara berwudhu
4. menjelaskan tata cara bertayamum
5. menjelaskan mandi junub
7. menjelaskan mandi haid
8. menjelaskan mandi nifas
9. menjelakan mandi istihadah

5
10. menjelaskan cara membersihkan istinjah
11. menjelaskan hukumnya mashu al-jaurab
12. menjelakan hukumnya mash al-khuf

6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tharah
Thaharah menurut bahasa ialah bersih dan bersuci dari segala kotoran, baik
yang nyata seperti najis, maupun yang tidak nyata seperti aib. Menurut istilah
para fuqaha’ berarti membersihkan diri dari hadas dan najis, seperti mandi
berwudlu dan bertayammum.Taharah adalah ritual yang tidak selalu identic
dengan kebersihan meskipun tetap punya hubungan yang kuat seringkali tidak
terpisahkan.
Ada dua jenis tharah
1. Tharah hakiki (najis)
Tharah hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersiahan
badan pakain dan tempat shalat dari najis. Boleh di katakan bahwa tharah
hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakain yang ada noda darah atau air
kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian
secara hakiki
2. Tharah hukmi (hadats)
Thatrah hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil
Maupun hadats besar (kondisi janabah).
Tharah hukmi adalah kesucian secara ritual dimana secara fisik memang tidak
ada kotoran yang menempel namun seolah olah dirinya tidak suci untuk
melakukan ritual ibadah.

B. Macam macam air


1. Air mutlak
Air mutlak adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun air itu
masih asli , dalam arti belum di gunakan untuk bersuci tidak tercampur benda
suci ataupun benda najis. Air mutlak hukumnya suci dan sah untuk di gunakn
bersuci yaitu untuk berwudhu dan mandi janabah.
Air –air yang termasuk dalam kelompok suci dan mensucikan yaitu
 Air hujan
 Salju
 Embun
 Air laut
 Air zam-zam
 Air sumur atau mata air
 Air sungai

7
2. Air musta’mal
Air yang telah di gunakan untuk bersuci, baik air yang menetes dari sisa bekas
wudhu di tubuh seseorang atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air bekas
dipakai bersuci bisa juga kemudia masuk lagi kedalam penampungan. Para
ulama seringkali menyebut air mus’tamal.Kata mus’tamal berasal dari kata
ista’mala yasta’milu yang bermakna menggunakan atau memakai . maka air
mas’tamal adalah air yang sudah di gunakan untuk melakukan tharah yaitu
berwudhu dan mandi janabah.

3. Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Suci


Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang
yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun,
kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya.
Namun bila air telah keluar dari kriterianya sebagai air murni, air itu hukumnya
suci namun tidak mensucikan.

Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.

Dari Ummi Athiyyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW


bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan
air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR. Bukhari
1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah
1458).

Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan
mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan
mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung, ada hadits
yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.

Dari Ummu Hani’ bahwa Rasulullah SAW mandi bersama


Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari
tepung. (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)

4. Air Yang Tercampur Dengan Barang Yang Najis


Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan
hukum. Yaitu antara air itu berubah dan tidak berubah setelah tercampur benda
yang najis. Kriteria perubahan terletak pada rasa, warna atau bau / aromanya.

a. Bila Berubah Rasa, Warna atau Aromanya


Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau
kemasukan barang najis, maka hukum air itu iut menjadi najis juga. Hal ini
disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.

8
b. Bila Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aromanya

Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu
suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak. Dalilnya adalah hadits
tentang a`rabi (arab kampung) yang kencing di dalam masjid : :‫عن ) أب هري)رة قال‬
‫ ’ قام أع)راب فبال ف الس)جد فقام إلي)ه الناس ليقعوا به‬,‫من) ماء’ أ )و ذنوب‬4‫ ا من) ماء‬R ‫دعو)ه‬
‫ وأري)ق!وا على ب )وله سج)ل‬s ‫ رواه الماعة إل فقال النبي‬- ‫فإنما بعثتم) ميسرين ول )تبع!ثوا معسرين‬
‫مسلما‬

Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di
dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW
bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air.
Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk
menyusahkan. (HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu
Majah 529).

Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah,


Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budha`ah? Rasulullah SAW
menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66,
At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad 3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35

9
C. Tata cara wudhu

Wudhu' adalah sebuah ibadah ritual untuk mensucikan diri dari hadats kecil
dengan menggunakan media air. Yaitu dengan cara membasuh atau mengusap
beberapa bagian anggota tubuh menggunakan air sambil berniat di dalam hati dan
dilakukan sebagai sebuah ritual khas atau peribadatan.

Bukan sekedar bertujuan untuk membersihkan secara pisik atas kotoran,


melainkan sebuah pola ibadah yang telah ditetapkan tata aturannya lewat wahyu
dari langit dari Allah SWT.

Hukum Wudhu
1. Hukumnya Fardhu / Wajib
2. Hukumnya Sunnah

. Rukun Wudhu`
Para ulama berbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang
menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada
juga yang menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.

• Mazhab Hanafi

Menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4


sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran

• Mazhab Maliki

Menurut Al-Malikiyah rukun wudhu’ itu ada delapan. Yaitu dengan


menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota
wudhu`. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu` dengan air
masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau menambahkan
kewajiban muwalat.

• Mazhab Syafi’i

Menurut As-Syafi`iyah rukun wudhu itu ada enam perkara. Mazhab ini
menambahi keempat hal dalam ayat Al-Quran dengan niat dan tertib yaitu
kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh
terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib

Mazhab Hambali Menurut mazhab Al-Hanabilah jumlah rukun wudhu ada tujuh
perkara, yaitu dengan menambahkan niat, tertib dan muwalat, yaitu

10
berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan
anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas
wudhu`.

Rukun Hanafi Maliki Syafi`i Hanbali


1. Niat X Rukun rukun rukun
2. Membasuh wajah Rukun Rukun rukun rukun
3. Membasuh tangan Rukun Rukun rukun rukun
4. Mengusap kepala Rukun Rukun rukun rukun
5. Membasuh kaki Rukun Rukun rukun rukun
6. Tertib X X rukun rukun
7. Muwalat X Rukun X rukun
8. Ad-dalk X Rukun X x
Jumlah 4 8 6 7

D. Tayamum

Secara bahasa, tayammum itu maknanya adalah (‫صد‬ ‫ )الق‬al-qashdu, yaitu bermaksud.
Sedangkan secara syar`i maknanya adalah bermaksud kepada tanah atau penggunaan
tanah untuk bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar. Caranya dengan menepuk-
nepuk kedua tapak tangan ke atas tanah lalu diusapkan ke wajah dan kedua tangan
dengan niat untuk bersuci dari hadats.

Tayammum berfungsi sebagai pengganti wudhu` dan mandi janabah sekaligus. Dan itu
terjadi pada saat air tidak ditemukan atau pada kondisi-kondisi lainnya yang akan kami
sebutkan. Maka bila ada seseorang yang terkena janabah, tidak perlu bergulingan di atas
tanah, melainkan cukup baginya untuk bertayammum saja. Karena tayammum bisa
menggantikan dua hal sekaligus, yaitu hadats kecil dan hadats besar.

Hal-hal Yang Membolehkan Tayammum

1. Tidak Adanya Air

11
2. Karena Sakit

3. Karena Suhu Yang Sangat Dingin


Cara bertayamum

Cara tayammum amat sederhana. Cukup dengan niat, lalu menepukkan kedua
tapak tangan ke tanah yang suci dari najis. Lalu diusapkan ke wajah dan kedua
tangan sampai batas pergelangan. Selesailah rangkaian tayammum. Sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika Ammar bertanya tentang itu.
،‫ فتمعكت ف الصعيد وصليت‬، ‫ أج)نب)ت فلم أصب االء‬:‫ عن) عمار قال‬، ‫ إنما يكفي)ك هكذا‬: ‫فقال‬
‫ وضرب النبي صلى ال‬s ‫ متفق فذكر )ت ذلك للنب‬- ‫ (رض ونفخ )فيهما !ثم مسح بهما )وجهه وكفيه‬Y ‫علي‬
‫ !ثمتن)ف!خ في)هما )ه وسلم )بكفيه ال‬، ‫ إنما كان يكفيك أن تض)رب بكفيك ف التراب‬:‫ وف لفظ‬. ‫عليه‬
‫ !ثم تم)سح بهما وج)هك )وكفيك إل )الرصغي)ن رواه الدارقطن‬،

Dari Ammar ra berkata,"Aku mendapat janabah dan tidak menemukan air. Maka
aku bergulingan di tanah dan shalat. Aku ceritakan hal itu kepada Nabi SAW dan
beliau bersabda,"Cukup

bagimu seperti ini : lalu beliau menepuk tanah dengan kedua tapak tangannya
lalu meniupnya lalu diusapkan ke wajah dan kedua tapak tangannya. (HR.
Bukhari dan Muslim)

E. Mandi wajib
Mandi wajib adalah istilah yang sering digunakan oleh masyarakat kita.
Nama sebenarnya adalah mandi janabah Mandi ini merupakan tatacara ritual yang
bersifat ta`abbudi dan bertujuan menghilangkan hadats besar.

Hal-hal yang mengharuskan mandi wajib

Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk
mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan.
Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan.

1. Keluarnya air mani


2. Bertemunya dua kemaluan
3. Meninggal
4. Melahirkan
5. Haid
6. Nifas

. Tata Cara Mandi Janabah


Pertama kedua tangan dicuci, kemudian mandi pertama kepala, kemudian terus
dari bagian sebelah kanan, kemudian kiri, terakhir cuci kaki.

12
Adapun urutan-urutan tata cara mandi junub, adalah sebagai berikut

1. Mencuci kedua tangan dengan tanah atau sabun lalu mencucinya sebelum
dimasukan ke wajan tempat air
2. Menumpahkan air dari tangan kanan ke tangan kiri
3. Mencuci kemaluan dan dubur.
4. Najis-nsjis dibersihkan
5. Berwudhu sebagaimana untuk sholat, dan mnurut jumhur disunnahkan untuk
mengakhirkan mencuci kedua kaki
6. Memasukan jari-jari tangan yang basah dengan air ke selasela rambut, sampai
ia yakin bahwa kulit kepalanya telah menjadi basah
7. Menyiram kepala dengan 3 kali siraman
8. Membersihkan seluruh anggota badan
9. Mencuci kaki, dalil :
Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi SAW memulainya dengan
mencuci kedua tangannya, kemudian ia menumpahkan air dari tangan kanannya
ke tangan kiri lalu ia mencuci kemaluannya kemudia berwudku seperti wudhu`
orang shalat. Kemudian beliau mengambil air lalu memasukan jari-jari
tangannya ke sela-sela rambutnya, dan apabila ia yakin semua kulit kepalanya
telah basah beliau menyirami kepalnya 3 kali, kemudia beliau membersihkan
seluruh tubhnya dengan air kemudia diakhir beliau mencuci kakinya (HR
Bukhari/248 dan Muslim/316)

. Sunnah-sunnah Yang Dianjurkan Dalam Mandi Janabah:

1. Membaca basmalah
2. Membasuh kedua tangan sebelum memasukkan ke dalam air
3. Berwudhu` sebelum mandi Aisyah RA berkata,`Ketika mandi janabah, Nabi
SAW berwudku seperti wudhu` orang shalat (HR Bukhari dan Muslim)
4. Menggosokkan tangan ke seluruh anggota tubuh. Hal ini untuk
membersihkan seluruh anggota badan.
5. Mendahulukan anggota kanan dari anggota kiri seperti dalam berwudhu`.
6. Mandi Janabah Yang Hukumnya Sunnah

Selain untuk `mengangkat` hadats besar, maka mandi janabah ini juga bersifat
sunnah -bukan kewajiban-untuk dikerjakan (meski tidak berhadats besar),
terutama pada keadaan berikut:

1. Shalat Jumat
2. Shalat hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
3. Shalat Gerhana Matahari (kusuf) dan Gerhana Bulan
4. (khusuf)
5. Shalat Istisqa`

13
6. Sesudah memandikan mayat
7. Masuk Islam dari kekafiran
8. Sembuh dari gila
9. Ketika akan melakukan ihram
10. Masuk ke kota Mekkah
11. Ketika wukuf di Arafah
12. Ketika akan thawaf, menurut Imam Syafi`i itu adalah salah satu sunnah
dalam berthawaf

F. Junub

Secara bahasa, junub berasal dari kata janabah yang berarti jauh. Sedangkan
secara istilah, junub adalah keadaan seseorang setelah mengeluarkan air mani (al-
inzal), bagi perempuan dan laki-laki, karena sebab mimpi basah atau berhubungan
seksual.Ketika masih dalam keadaan junub, seorang Muslim diwajibkan untuk
mandi besar. Jika tidak, maka ia dilarang mendekati tempat ibadah dan melakukan
ibadah tertentu. Perintah untuk mandi junub atau mandi besar tertuang dalam
Surat Al-Maidah ayat 6.

Allah SWT berfirman:


َّ ‫َوا ِْن كُ ْنت ُ ْم ُجنُبًا فَا‬
‫ط َّه ُر ْوا‬

“Dan jika kamu junub, hendaklah bersuci”

G. Haid

Secara bahasa haid itu artinya mengalir. Dan makna ( ‫ )حاض الوادي‬haadhal wadhi
adalah bila air mengalir pada suatu wadi. Secara syariah haid adalah darah yang
keluar dari kemaluan wanita atau tepatnya dari dalam rahim wanita bukan karena
kelahiran atau karena sakit selama waktu masa tertentu. Biasanya berwarna hitam,
panas, dan beraroma tidak sedap.

Di dalam Al-Quran Al-Kariem dijelaskan tentang masalah haid ini dan bagaimana
menyikapinya. ‫ى فاع)تزل!وا النساء في المحيض ول‬R‫ويس)أل!ونك عن المحيض ق!ل هو أذ‬
‫تقربوهن حتى يطهر)ن فإذا تطهر)ن فأتوهن من) حي)ث! أمرك!م هللا إن هللا يحب التوابي ويحب‬
‫المتطهرين‬

`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu
kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan

14
H. Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita karena melahirkan.
Para ulama bahkan mengelompokkan darah yang keluar karena keguguran
termasuk nifas juga. Jadi bila seorang wanita melahirkan bayi yang meninggal
di dalam kandungan dan setelah itu keluar darah, maka darah itu termasuk
darah nifas.
Umumnya para ulama mengatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk
sebuah nifas bagi seorang wanita aling cepat adalah hanya sekejap atau hanya
sekali keluar. bila seorang wanita melahirkan dan darah berhenti begitu bayi lahir
maka selesailah nifasnya. dan dia langsung serta puasa sebagaimana biasanya.
Menurut as-Syafi`iyah biasanya nifas itu empat puluh hari, sedangkan menurut al
Malikiyah dan juga as Syafi`iyah paling lama nifas itu adalah enam puluh hari.
menurut al Hanafiyah an al Hanabilah paling lama empat puluh hari. bila lebih
dari empatpuluh hari maka darah istihadhah.

‫كانت‬Dalilnya adalah hadis berikut ini :


‫النفساء على عهد رسول ال تقعد بعد نفاسها أربعي يوما‬
"Dari Ummu Slamah r.a berkata: para wanita yang mendapat nifas, dimasa
Rasulullah duduk selama empat puluh hari empat puluh malam (HR. Khamsah
kecuali Nasa`i).

At-Tirmizi berkata setelah menjelaskan hadis ini : bahwa para ahli ilmu
dikalangan sahabat Nabi, para tabi`in dan orang-orang yang sesudahnya sepakat
bahwa wanita yang mendapat nifas harus meninggalkan salat selama empat puluh
hari kecuali darahnya itu berhenti sebelum empat puluh hari. bila demikian ia
harus mandi dan salat. namun bila selama empat puluhhari darah masih tetap
keluar kebanyakan ahli ilmu berkata bahwa dia tidak boleh meninggalkan
salatnya.

I. Istihadah

Pengertian
Keluarnya darah dari kemaluan wanita diluar haid dan nifas atau karena sakit.

II. Tiga kondisi istihadhah

1. Mumayyizah
Seorang wanita mengetahui dengan pasti lama haidnya sehingga bila
keluarnya darah itu melebihi masa haid yang normal jadi darah itu adalah
darah istihadhah.

Dasarnya adalah hadis berikut ini :

15
Dari Ummi Salamah r.a beliau meminta kepada Nabi saw. tentang seorang
wanita yang mengeluarkan darah, beliau bersabda: Lihatlah kebiasaan
jumlah hari-hari haidnya dan dikaitkan dengan bulannya selama masa yang
biasanya haid dia harus meninggalkan salat, bila telah lewat dari
kebiasannya hendaknya ia mandi kemudian menyumbatnya dan salat (HR
Khamsah kecuali Tirmizi)

2. Kondisi kedua
Seorang wanita yangtidak punya kepastian tentang lama masa haidnya, dan
juga tidak bisa membedakan antara darah haid dan bukan darah haid. Dalam
kondisi ini acuannya adalah enam atau tujuh hari sebagaimana umumnya
kebiasannya para wanita ketika mendapatkan haid.

Dari Jannah binti Jahsy berkata : `Aku mendapat haid yang sangat banyak,
kudatangi Rasulullah unuk meminta fatwa dan kudapati beliau dirumah
saudaraku Zainab binti Jahsy, aku bertanya: Ya Rasulullah, Aku mendapat
darah haid yang amat banyak, apa pendapatmu ? sedangkan engkau telah
melarang unuk salat dan puasa. Beliau menjawab:Sumbatlah dengan kain
karena akan menghilangkan darah, aku berkata :tapi darahnya banyak
sekali...Yang demikian hanya satu gangguan dari syaitan: Oleh karena
ituhendaklah engkau berhaid enam atau tujuh hari kemudian engkau mandi.
Maka apa bila engkau sudah bersih, salatlah 24 atau 23 hari, dan puasalah
dan sembahyanglah (sunnat), karen yang demikian itu cukup buatmu; dan
buatlah demikian tiap-tiap bulan sebagaimana perempuan-perempuan
berhaid, tetapi jika engkau kuat buat menta`khirkan dhuhur dan
mentaqdimkan `ashar kemudian engkau mendi ketika engkau bersih
(sementara) lalu engkau jamak sembahyang dhuhur dan `ashar kemudian
engkau ta`khirkan maghrib dan dan taqdimkan isya`, kemudian engkau
mandi , kemudian engkau jama`kan dua sembahyang itu (kalau kuat) buatlah
(begitu); dan engkau mandi beserta shubuh dan engkau salat. Sabdanya
lagi: Dan yang demikian perkara yang lebih aku sukai dari yang
lainnya.(HR.Khamsah kecuali Nasa`i)

3. Kondisi ketiga
Seorang wanita yang tidak tahu kebiasaannya namun mampu membedakan
mana darah haid dan mana darah istihadhah. Maka baginya cukup dengan
melihat darah itu, bila darahnya adalah darah haid maka dia sedang haid bila
darahnya bukan darah haid maka dia sedang istihadhah.

Dari Fatimah binti Abi Hubaisy bahwa dia mengalami istihadhah, maka
Rasulullah saw, bersabda kepadanya kalau darah haid warnanya hitam dan
mudah dikenali maka janganlah kau salat. Tapi kalau beda warnanya maka
wudhu`lah dan salatlah karena itu adalah penyakit.

16
III. Hukum Wanita yang Istihadhah
1. Tidak wajib mandi bila ingin salat kecuali hanya sekali saja yaitu ketika
selesai haid. Ini disepakati oleh jumhur ulama salaf (masa lalu) dan
khalaf (masa kemudian).
2. Dia harus berwudhu setiap mau salat, sebagaimana sabda Rasulullah
saw. dalam riwayat Bukhari, "Kemudian berwudhulah setiap akan salat.
Namun Imam Malik tidak mewajibkan wudhu setiap mau salat, beliau
hanya menyunahkan saja.
3. Mencuci dan membersihkan kemaluannya sebelum berwudhu dan
menyumbatnya dengan kain atau kapas agar tidak menjadi najis. Paling
tidak sebagai upaya mengurangi najis.
4. Tidak berwudhu kecuali setelah masuknya waktu salat, menurut
pendapat jumhur. Sebab wudhunya itu bersifat darurat maka tidak sah
jika belum sampai kepada kebutuhannya. Suaminya boleh
menyetubuhinya meski darah mengalir keluar. ini adalah pendapat jumur
ulama, sebab tidak ada
J. Istinja

. Pengertian Istinja’ dan istilah-istilah lainnya yang berdekatan

Istinja’ : (‫ )ا سنتجاء‬secara bahasa, istinja’ bermakna menghilangkan kotoran.


Sedangkan secara istilah bermakna :

• menghilangkan najis dengan air.


• menguranginya dengan semacam batu.
• penggunaan air atau batu.
• menghilangkan najis yang keluar dari qubul
(kemaluan) dan dubur (pantat).

Istijmar (‫ )استجمار‬: Istijmar adalah menghilangkan sisa buang air dengan


menggunakan batu atau benda-benda yang semisalnya.

Istibra` (‫ )ا ستبراء‬: maknanya menghabiskan, yakni menghabiskan sisa kotoran


atau air seni hingga yakin sudah benar-benar keluar semua.

. Hukum Istinja’
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum istinja’ menjadi dua hukum.

17
a. Wajib
Mereka berpendapat bahwa istinja’ itu hukumnya wajib ketika ada sebabnya. Dan
sebabnya adalah adanya sesuatu yang keluar dari tubuh lewat dua lubang (anus
atau kemaluan).

. Sunnah
Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan sebagian riwayat dari Al-
Malikiyah. Maksudnya adalah beristinja’ dengan menggunakan air itu hukumnya
bukan wajib tetapi sunnah. Yang penting najis bekas buang air itu sudah bisa
dihilangkan meskipun dengan batu atau dengan ber-istijmar.

Dasar yang digunakan Al-Imam Abu Hanifah dalam masalah kesunnahan istinja’
ini adalah hadits berikut:

Siapa yang beristijmar maka ganjilkanlah bilangannya. Siapa yang


melakukannya maka telah berbuat ihsan. Namun bila tidak maka tidak ada
keberatan. (HR. Abu Daud).

Praktek Istinja’ dan adabnya


Mulai dengan mengambil air dengan tangan kiri dan mencuci kemaluan, yaitu
pada lubang tempat keluarnya air kencing. Atau seluruh kemaluan bila sehabis
keluar mazi.

Kemudian mencuci dubur dan disirami dengan air dengan mengosok-gosoknya


dengan tangan kiri.

K. Mashu al-jaurab

Hukum mengusap Al-Jaurab (kaos kaki) ditetapkan dalam As Sunnah.


Diantaranya adalah Hadits Al Mughirah bin Syu’bah,

‫ّللا َرسُولَ أ َ َّن‬


ِ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫سلَّ َم‬
َّ ‫علَ ْي ِه‬
َ ُ ‫ّللا‬ َ ‫ضأ َ َو‬ َ ‫علَى َو َم‬
َّ ‫س َح ت ََو‬ َ ‫َوالنَّ ْعلَي ِْن َج ْو َربَي ِْنْْال‬

“Sesungguhnya Rasulullah berwudhu` dan mengusap dua kaos kaki dan


sandalnya”. (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan At Tirmidzi yang
mengatakan hadits ini hasan shahih).

Hukum pembolehan mengusap kaos kaki diriwayatkan oleh banyak sahabat,


diantaranya adalah: Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas bin Malik,
Ammar bin Yasir, Bilal, Al Barra’ bin Azib, Abu Umamah, Sahl bin Sa’d, Amr
bin Huraits dan Sa’d bin Abi Waqas.

Madzhab Hanafi dan Hanbali memperbolehkannya. Sedang madzhab Syafi’iy


memperbolehkannya dengan syarat kaos kaki itu dapat dipakai untuk berjalan.

18
Kebolehan mengusap kaos kaki ini hukum-hukumnya seperti yang ada pada
hukum mengusap sepatu.

L. Mash al-khuf

Mengusap khuff artinya adalah mengusap sepatu, sebagai ganti dari mencuci
kaki pada saat wudhu`. Mengusap khuff merupakan bentuk keringanan yang
diberikan oleh Allah kepada umat Islam. Biasanya terkait dengan masalah udara
yang sangat dingin padahal ada kewajiban untuk berwudhu dengan air dan hal itu
menyulitkan sebagian orang untuk membuka bajunya, sehingga dibolehkan dalam
kondisi tertentu untuk berwudhu tanpa membuka sepatu atau mencuci kaki.
Cukup dengan mengusapkan tangan yang basah dengan air ke bagian atas sepatu
dan mengusapnya dari depan ke belakang pada bagian atas.
Makna mengusap adalah menjalankan tangan diatas sesuatu dan secara
syari`ah maksudnya ialah membasahkan tangan dengan air lalu mengusapkannya
ke atas sepatu dalam masa waktu tertentu. Sepatu atau segala jenis alas kaki yang
bisa menutupi tapak kaki hingga kedua mata kaki, baik terbuat dari kulit maupun
benda-benda lainnya. Dimana alas kaki bisa digunakan untuk berjalan kaki

Praktek Mengusap Sepatu

Mengusap sepatu dilakukan dengan cara membasahi tangan dengan air, paling
tidak menggunakan tiga jari, mulai dari bagian atas dan depan sepatu, tangan yang
basah itu ditempelkan ke sepatu dan digeserkan ke arah belakang di bagian atas
sepatu. Ini dilakukan cukup sekali saja, tidak perlu tiga kali. Sebenarnya tidak
disunnahkan untuk mengulanginya beberapa kali seperti dalam wudhu'. Dan tidak
sah bila yang diusap bagian bawah sepatu, atau bagian sampingnya atau bagian
belakangnya.

• Yang wajib menurut mazhab Al-Malikiyah adalah mengusap seluruh bagian


atas sepatu, sedangkan bagian bawahnya hanya disunahkan saja.
• Sedangkan mazhab As-Syafiiyah mengatakan cukuplah sekedar usap
sebagaimana boleh mengusap sebagian kepala, yang diusap adalah bagian
atas bukan bawah atau belakang.
• Mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa haruslah terusap sebagian besar
bagian depan dan atas sepatu. Tidak disunahkan mengusap bawah atau
belakangnya sebagaimana perkataan al Hanafiyah.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bersuci dari hadas maupun najis termasuk dalam perihal thaharah atau
bersuci. Dalam hukum Islam juga disebutkan, bahwa segala seluk beluknya
termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting. Macam - macam Thaharah ada
empat yaitu pertama, tentang wudhu yaitu menghilangkan najis dari
badan. Kedua, tentang bertanyamum yaitu pengganti air wudhu disaat
kekeringan. Ketiga, mandi besar yaitu menyiram air keseluruh tubuh disertai
niat. Keempat, Istinja’ yaitu membersihkan kotoran yang keluar dari salah satu
dua pintu keluarnya kotoran itu.
Bersuci bisa juga menggunakan alat - alat bantu yang dianjurkan oleh
Rasullullah SAW yaitu Air, tanah, dan masih banyak lagi yang bisa digunakan.
Macam - macam hadas juga terbagi menjadi dua ialah hadas kecil yaitu yang
disebabkan oleh keluar sesuatu dari dubur dan kubul, sedangkan hadas besar yaitu
yang disebabkan oleh keluarnya air mani dan bersetubuh. Dan macam - macam
Najis terbagi menjadi tiga yaitu Najis Mukhofafah, Najis Mutawashitho, dan Najis
Mogholladhoh.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari
makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat
menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.

20
DAFTAR PUSTAKA
https://almanhaj.or.id/1684-nifas-dan-hukum-hukumnya.htm

https://nu.or.id/thaharah/istinja-pengertian-hukum-dan-tata-caranya-L1KH6

Asy-Syarhul Kabir jilid 1 halaman 83 dan As-Syarhus-Shaghir jilid 1 halaman 43.

Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 78, kitab Kasy-syaaf Al-Qanna` jilid 1


halaman 208 dan kitab Al-Mug1 lihat Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 hal 362

Lihat kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 64, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 63.
Sayyid Sabiq. 1984. Fikih Sunnah jilid 1. Jakarta: Mulyaco.
Moh. Rifa’i. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha
Putra.

Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fikih Praktis, (Bandung: Mizan Media Utama


{UUM}), H.7

Dr. Yusuf Qaradhawi, Fikih Thaharah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004)


cet.ke-1, h.9
Abdul Rosyad Shiddiq. 2006. Fikih Ibadah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Sayyid, Sabiq, dkk, Fikih Sunah jilid 1,(Jakarta:Mulyaco,1984), hlm. 144.

21

Anda mungkin juga menyukai