Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

THAHARAH
Dosen Pengampu : D.r Zaenudin M.Pdi

Di Susun Oleh:
Kelompok 1
1. Giska Aprilia Samantha (2022F1A061)
2. Irwansyah (2022F1A074)
3. Indra Budi Kusuma (2022F1A072)
4. Ihya Ulumudin (2022F1A0069)
5. Fahmin Setiawan (2022F1A053)
6. Japril Karim (2022F1A077)
7. Lalu Muhammad Cikal Alfarizi (2022F1A082)

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
2023

i
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya dipanjatkan kepada Allah Ta’ala, Rabb semesta alam . Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang baik hingga hari hisab. Berkat limpahan
dan rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Thaharah” ini
guna memenuhi tugas mata pelajaran Fiqih Ibadah.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, teman serta dosen mata kuliah Fiqih Ibadah
sehingga kendala-kendala yang penyusun hadapi dapat teratasi.

Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang
dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan
terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Akhirya, kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami mengharapkan sumbangsih kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata, semoga Allah SWT, memberikan pertolongan kepada semua orang menjalani
kehidupan ini, terutama bagi penyusun.

Mataram 12 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2
2.1 Arti dan Kedudukan Thaharah.............................................................................2
2.2 Alat Thaharah.......................................................................................................2
2.2.1 Air.........................................................................................................2
2.2.2 Debu......................................................................................................5
2.2.3 Najis......................................................................................................5
2.2.4 Hadas....................................................................................................6
2.2.5 Mandi....................................................................................................7
2.2.6 Wudhu...................................................................................................8
2.2.7 Mengusap khuf.....................................................................................10
2.2.8 Tayamumm...........................................................................................10
2.2.9 Istinja....................................................................................................13

BAB III PENUTUP...........................................................................................................16


3.1 Kesimpulan.........................................................................................................16
3.2 Saran....................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki ibadah


shalat. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka, artinya tanpa thaharah,
ibadah shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, tidak sah.

Karena fungsinya sebagai alat pembuka pintu shalat, maka setiap muslim yang
akan melakukan shalat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan juga harus
mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga thaharahnya itu sendiri terhitung
sah menurut ajaran ibadah syariah.

Thaharah menurut bahasa artinya "bersih" sedangkan menurut istilah syara'


thaharah adalah bersih dari hadas dan najis. Selain itu thaharah dapat juga diartikan
mengerjakan pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum
dan menghilangkan najis. Thaharah juga dapat diartikan melaksanakan pekerjaan
dimana tidak sah melaksanakan shalat kecuali dengannya yaitu menghilangkan atau
mensucikan diri dari hadas dan najis dengan air. Bersuci dari najis berlaku pada
badan, pakaian dan tempat cara menghilangkannya harus dicuci dengan airsuci dan
mensucikan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa arti dan kedudukan thaharah?


2. Apa saja alat thaharah?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui arti dan kedudukan thaharah
2. Untuk mengetahui apa saja alat thaharah

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Arti dan Kedudukan Thaharah
Thaharoh berasal dari bahasa arab yang berarti bersuci. Bersuci dilakukan untuk
mensucikan diri dari hadas dan najis. Istilah ini kemudian digunakan dalam keseharian
sebagai kegiatan bersuci. Kegiatan bersuci dari najis ini meliputi menyucikan badan,
pakaian, tempat, dan lingkungan yang menjadi tempat segala aktifitas kita. Thaharoh
(bersuci) memiliki kedudukan sangat penting bagi kehidupan manusia. Sebagian bersar
ibadah dalam Islam mensyariatkan dilaksanakan dalam keadaan suci. Perintah thaharoh
(bersuci) dijelaskan Allah SWT dalam Alquran, salah satu dalil dalam Alquran yang
dapat kamu ketahui sebagai beriku yang artinya:.Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (Qs. Al-Baqoroh
[2]
Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa
adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa
ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah.
Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka
konsekuensinya adalah kesiasiaan

2.2 Alat Thaharah


2.2.1 Air
Dalam pandangan syariah, air adalah benda yang istimewa dan punya kedudukan
khusus, yaitu menjadi media utama untuk melakukan ibadah ritual berthaharah. Air
merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga air itu
berfungsi sebagai media yang syar'i untuk menghilangkan hadats. Meski benda lain juga
bisa dijadikan media berthaharah, namun air adalah media yang utama. Sebagai contoh
adalah tanah. Tanah memang dapat Fiqih Thaharah Ahmad Sarwat, Lc 34 berfungsi untuk
menghilangkan najis, tetapi yang utama tetap air. Najis berat seperti daging babi,
disucikan dengan cara mencucinya dengan air 7 kali, tanah hanya salah satunya saja.
Tanah memang bisa digunakan untuk bertayammum, namun selama masih ada air,
tayammum masih belum dikerjakan. Dalam ilmu fiqih, air dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu:

2
a. Air Mutlak
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih
asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun
benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan bersuci, yaitu untuk
berwudhu’ dan mandi janabah. Yang termasuk kelompok air mutlak adalah :
1) Air Hujan
Air hujan yang turun dari langit hukum suci dan juga mensucikan. Suci berarti bukan
termasuk najis. Mensucikan berarti bisa digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau
membersihkan najis pada suatu benda.
2) Salju
Salju sebenarnya hampir sama dengan hujan, yaitu sama-sama air yang turun dari
langit. Hanya saja kondisi suhu udara yang membuatnya menjadi butir-butir salju yang
intinya adalah air juga namun membeku dan jatuh sebagai salju.
Hukumnya tentu saja sama dengan hukum air hujan, sebab keduanya mengalami proses
yang mirip kecuali pada bentuk akhirnya saja. Seorang muslim bisa menggunakan salju
yang turun dari langit atau salju yang sudah ada di tanah sebagai media untuk bersuci,
baik wudhu`, mandi atau lainnya.
3) Embun
Embun juga bagian dari air yang turun dari langit, meski bukan berbentuk air hujan
yang turun deras. Embun lebih merupakan tetes-tetes air yang akan terlihat banyak di
hamparan dedaunan pada pagi hari. Maka tetes embun itu bisa digunakan untuk
mensucikan, baik untuk berwudhu, mandi, atau menghilangkan najis.
4) Air laut
Air laut adalah air yang suci dan juga mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk
berwudhu, mandi janabah ataupun untuk membersihkan diri dari buang kotoran (istinja’).
Termasuk juga untuk mensucikan barang, badan dan pakaian yang terkena najis.
5) Air zam-zam
Air Zam-zam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah
kering. Mata air itu terletak beberapa meter di samping ka`bah sebagai semua sumber
mata air pertama di kota Mekkah, sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya
pertama kali menjejakkan kaki di wilayah itu.
Air Zam-zam adalah air yang bersumber dari mata air yang tidak pernah kering. Mata
air itu terletak beberapa meter di samping ka`bah sebagai semua sumber mata air

3
pertama di kota Mekkah, sejak zaman Nabi Ismail alaihissalam dan ibunya pertama
kali menjejakkan kaki di wilayah itu.
6) Air sumur atau mata air
Air sumur, mata air dan dan air sungai adalah air yang suci dan mensucikan. Sebab air
itu keluar dari tanah yang telah melakukan pensucian. Kita bisa memanfaatkan air-air
itu untuk wudhu, mandi atau mensucikan diri, pakaian dan barang dari Najis.
b. Air Suci Tetapi Tidak Mensucikan
Air Suci Tetapi Tidak Mensucikan Air ini adalah air yang dilihat dari zatnya sendiri
adalah suci, misalnya air kelapa, air gula, air kopi, air teh dan sebagainya. Air ini
sekalipun suci tetapi ia tidak dapat dipergunakan untuk menghilangkan najis dan
hadas. Sedangkan air mutlak yang bercampur dengan benda suci seperti sabun, tepung
dan sebagainya, selama kemutlakanya terjaga, maka air tersebut tetap dapat digunakan
untuk bersuci.
c. Air Musta’mal
Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Baik air yang menetes
dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang, atau sisa juga air bekas mandi janabah. Air
bekas dipakai bersuci bisa saja kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para
ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta'mal.
Kata musta'mal berasal dari dasar ista'mala - yasta'milu (‫تعمل‬NN‫ اس‬- ‫تعمل‬NN‫( یس‬yang
bermakna menggunakan atau memakai. Maka air musta'mal maksudnya adalah air
yang sudah digunakan untuk melakukan thaharah, yaitu berwudhu atau mandi
janabah.
d. Air Mutanajjis
Air mutanajjis ialah air yang tercampur dengan barang najis sehingga merubah salah
satu diantara rasa, warna dan baunya. Air semacam ini tidak dapat dipergunakan
untuk thaharah, baik untuk menghilangkan hadas maupun menghilangkan najis.
Tetapi jika air ini dalam jumlah besar atau mengalir serta tidak merubah salah satu
diantara rasa, warna dan baunya, maka air itu dapat digunakan untuk bersuci.
e. Air Yang Tecampur dengan Benda Suci
dicampur dengan susu, meski air itu suci dan susu juga benda suci, tetapi
campuran antara air dan susu sudah menghilangkan sifat utama air murni menjadi
larutan susu. Air yang seperti ini tidak lagi bisa dikatakan air mutlak, sehingga secara
hukum tidak sah kalau digunakan untuk berwudhu' atau mandi janabah meskipun
masih tetap suci.

4
2.2.2 Debu
Bagi orang yang berhalangan menggunakan air karena suatu sebab, misalnya tidak
mendapat air ketika akan wudlu atau mandi junub, maka boleh menggantinya dengan
debu yang suci. Debu yang suci ini biasa terdapat pada tanah kering, pasir, tembok,
dibalik tikar, kaca dan lainnya. Dasar hukum debu dapat dijadikan sebagai alat bersuci
adalah Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maidah :6 yang artinya: "Dan jika
kamu sakit, atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (bersih). (QS. Al-Maidah: 6).

2.2.3 Najis
Secara etimologis, najis artinya kotor (Ahmad Warson Munawwir, 1984:
1487). Sedangkan secara terminologis, najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh
agama yang harus dibersihkan dari badan, pakaian, dan tempat Shalat oleh manusia saat
akan melaksanakan shalat. Karena berbentuk benda, dalam terminologi fiqih disebut
sebagai najis hakiki.
Yang termasuk najis hakiki ini adalah: [1]istinja (HR. An-Nasa'i: 44, Ahmad:
238630); [2] kencing (HR. Al-Bukhari: 214, Muslim: 439); [3] liur anjing (HR. Muslim:
422); [5] madzi? (HR. Al-Bukhari: 261, Muslim: 456); [6] wadi (HR. Al-Baihaqi: 832);
[7] darah haid (HR. Al-Bukhari: 319) dan darah nifas, karena disamakan dengan haid, dan
[8] darah istihadah (darah penyakit) (HR. Al-Bukhari: 221).
Berikut ini adalah pembahasan mengenai Najis:
1. Pembagian Najis
Najis itu dapat dibagi 3 bagian:
a. Najis mughallazhah (berat)
lalah najis anjing dan babi serta seluruh keturunannya.
b. Najis mukhaffafah (ringan)
lalah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan
sesuatu kecuali air susu ibunya.
c. Najis mutawassithah (sedang)

Ialah semua najis selain dari najis mughallazhah dan mukhaffafah,seperti segala sesuatu
yang keluar dari qubul dan dubur manusia dan binatang (kotoran) kecuali air mani, benda

5
cair yang memabuk- kan, susu hewan yang tidak halal dimakan, nanah, darah, bangkai
termasuk juga tulang dan bulunya kecuali bangkai manusia, ikan dan belalang.

Najis mutawassithah dibagi menjadi dua:


1. Najis ainiyah
lalah najis yang berwujud (memiliki warna, aroma dan rasa).
2. Najis hukmiyah
lalah najis yang tidak memiliki warna, aroma, dan rasa (tinggal hukumnya saja), seperti
bekas kencing, arak yang sudah kering dan sebagainya.

2. Cara Menghilangkan Najis


a. Najis mughallazhah (berat)
Sesuatu yang terkena najis mughallazhah, seperti jilatan atau kotoran anjing dan
babi, cara menyucikannya adalah harus dengan menghilangkan benda najisnya
terlebih dahulu lalu membasuhnya dengan air 7 kali basuhan dan salah satu
basuhannya harus dicampur dengan tanah yang suci.
b. Najis mukhaffafah (ringan)
Sesuatu yang terkena najis mukhaffafah, cara menyucikannya adalah cukup
memercikkan air pada tempat najis itu.
c. Najis mutawassithah (sedang)
Sesuatu yang terkena najis mutawassithah dapat suci dengan cara dibasuh sekali,
asal sifat-sifat najisnya (warna, bau dan rasanya) itu hilang. Adapun dibasuh tiga kali
basuhan atau siraman itu lebih baik. Jika najis hukmiyah cara menghilangkannya
cukup dengan meng- alirkan air saja pada najis tadi.
2.2.4 Hadas
Hadas secara bahasa berarti peristiwa. Secara istilah hadas yaitu keadaan tidak
suci pada diri seorang muslim yang menyebabkan ia tidak diperbolehkan beribadah. Hadas
juga terbagi menjadi dua macam, yaitu hadas besar dan hadas kecil.
1. Hadas Kecil
Hadas kecil adalah keadaan tidak suci pada diri seorang muslim yang dapat disucikan
dengan berwudhu atau tayamum pada keadaan tertentu. Seseorang dapat disebut berhadas
kecil apabila mengalami keadaan-keadaan berikut.
a) Keluar sesuatu dari dua jalan/lubang yaitu qubul dan dubur seperti buang air kecil,
buang air besar dan buang angin.

6
b) Hilang akal seperti mabuk, gila, pingsan, dan tidur .
c) Bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahrom tanpa ada batas yang
menghalanginya.
d) Menyentuh kemaluan (qubul atau dubur) dengan telapak tangan .

Menurut jumhur ulama, seseorang yang dalam keadaan berhadas kecil harus segera
bersuci. Saat seseorang yang mempunyi hadas kecil tidak boleh melakukan ibadah-ibadah
tertentu. Ibadah-ibadah tersebut yaitu:
a) Memegang (menyentuh) mushaf Alquran dan membawanya (kecuali yang disertai
barang lain yang lebih banyak mengandung huruf misalnya, tafsir atau terjemahan
Alquran).
b) Melaksanakan sholat, baik sholat fardu maupun sunnah.
c) Melaksanakan towafsaat sedang beribadah haji.

2. Hadas Besar
Hadas besar adalah keadaan tidak suci pada diri seorang muslim yang dapat disucikan
dengan mandi junub atau mandi besar. Akan tetapi, jika tidak ada air atau sebab tertentu
dapat diganti tayamum. Keadaan yang dapat menyebabkan seseorang berhadas besar
sebagai berikut.
a) Keluar mani baik karena mimpi atau hal yang lainnya.
b) Haid (menstruasi) bagi perempuan.
c) Melahirkan (wiladah) yaitu darah yang keluar saat seorang perempuan melahirkan.
d) Nifas yaitu darah yang keluar setelah seorang perempuan melahirkan .
e) Melakukan hubungan suami istri .
f) Meninggal dunia kecuali bagi orang yang syahid.

2.2.5 Mandi
Mandi dalam bahasa arab disebut dengan al-gusl yang artinya mengalirkan air suci ke
seluruh tubuh secara merata. Mandi besar bertujuan menghilangkan hadas besar yang sering
disebut mandi junub atau janabah.
Adapun tata cara mandi secara berurutan seperti yang dijelaskan dan diperaktekkan oleh
nabi sebagaimana disebut dalam hadis Aisyah adalah sebagi berikut:

7
1. Mencuci kedua tangan
2. Mencuci kemaluan dengan tangan kiri. Setelah itu tangan kiri digosokkan ke tanah
lalu mencucinya (HR. Al-Bukhari). Di jaman sekarang tanah dapat diganti dengan
sabun.
3. Berwudlu seperti berwudlu untuk shalat.
4. Menyiram air ke kepala sampai merata (keramas) sampil mengucek ke dasar kulit
kepala. Jika perempuan memiliki rambut panjang, dapat digelung kemudian
disiram di atasnya (HR. Al-Jama'ah kecuali Al-Bukhari).
5. Menyiramkan air ke seluruh badan sampai rata dimulai dari sebelah kanan
kemudian ke kiri, kemudian mencuci kaki. Selama wudlu tidak batal, setelah
mandi boleh langsung melaksanakan shalat.

2.2.6 Wudhu
Kata wudhu dalam bahasa Arab berasal dari kata al-wadha'ah yang bermakna
al-hasan yaitu kebaikan. Dan juga sekaligus bermakna an-andzafah yaitu kebersihan.
Sementara menurut istilah fiqih, para ulama mazhab mendefinisikan wudhu menjadi
beberapa pengertian, antara lain :
Al-Hanafiyah mendefiniskan: Wudhu adalah membasuh dan menyapu dengan air pada
anggota badan tertentu.
Al-Malikiyah mendefinisikannya: Wudhu adalah thaharah dengan menggunakan air
yang mencakup anggota badan tertentu, yaitu empat anggota badan, dengan tata cara
tertentu.
Asy-Syafi'iyah mendefiniskannya: Wudhu adalah penggunaan air pada anggota badan
tertentu dimulai dengan niat.
Hanabilah mendefinisaknnya: Wudhu adalah penggunaan air yang suci pada keempat
anggota tubuh yaitu wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki, dengan tata cara
tertentu seusai dengan syariah, yang dilakukan secara berurutan dengan sisa furudh.
Penjelasan lebih rinci dapat kita temukan dalam praktik yang dilakukan oleh Nabi saw
seperti disebut dalam hadis-hadis yang jika disimpulkan sebagai berikut:
a. Bersiwak atau bersikat gigi dengan pasta gigi (HR.Al-Bukhari, Nasa'i dan
Ahmad). Berdasarkan hadis Aisyah, Nabi bersiwak terlebih dahulu baru kemudian
berwudlu dan Shalat lail (HR. Ahmad, Nasa'i, Abu Daud).

8
b. Niat berwudlu karena Allah (HR. Al-Bukhari: 1, Muslim: 3530). Niat adalah
pekerjaan hati, bukan pekerjaan lisan. Dengan demikian maka tidak perlu
dilafazkan. c. Mengucapkan bismillah ketika akan memulai wudlu (HR.An-Nasa'i
dan Ibnu Huzaimah)
c. Membasuh tangan tiga kali sambil menyela-nyelai jari jemari (HR. At-Tirmizi,
Nasa'l, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah), dengan menggosok-gosokkannya
(HR. Abu Daud dan Ahmad).
d. Berkumur-kumur secara sempurna (tamadlmadla) sambil memasukkan air ke
dalam hidung (istansyaqa) sampai ke dalam-dalam lalu menyemburkannya keluar
sebanyak tiga kali (HR. Muttafaq Alaih). Anjuran memasukkan air ke hidung
dalam-dalam tidak berlaku saat sedang berpuasa (HR. At-Tirmizi, Nasa'I, Abu
Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).
e. Membasuh wajah tiga kali secara merata sambil mengucek ujung bagian dalam
kedua mata (HR. Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah). Bagi yang memiliki
janggut dituntunkan agar menyela-nyelainya (HR. At-Tirmizi dan Ibnu Majah).
Beliau menganjurkan agar menyempurnakan wudlu dengan cara melebihkan area
basuhannya (HR. Muslim).
f. Membasuh tangan kanan sampai siku tiga kali, kemudian tangan kiri dengan cara
yang sama (HR. Abu Daud, Nasa'i dan Ahmad).
g. Mengusap kepala sekaligus dengan telinga, cukup hanya sekali, dengan cara
mengusap kepala dengan kedua tangan dari depan ke belakang: memulai dari
batas depan kepala dengan menjalankan kedua tangan sampai tengkuk, kemudian
mengembalikannya ke tempat memulainya (HR. Al-Jama'ah). Setelah itu
memasukkan kedua jari telunjuk ke lubang telinga dan dua ibu jari mengusap
kedua punggung telinga (HR. At-Tirmizi, Abu Daud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Apabila terbiasa memakai sorban, cukup dengan mengusap ubun-ubun di atas
sorbannya (HR. Muslim, At-Tirmizi, Abu Daud, Nasa'i dan Ahmad).
h. Membasuh kaki kanan sampai dua mata kaki sambil menyela-nyelai jemarinya
sebanyak tiga kali, kemudian kaki kiri dengan perlakuan yang sama (HR. Al-
Bukhari).
i. Tertib, sesuai urutannya (HR.Ad-Daruquthni). Nasa'i, Ahmad dan
j. Berdo'a:

9
2.2.7 Mengusap Khuf (Mashul Khuffain)
Meskipun membasuh kaki merupakan salah satu rukun wudhu, namun agama
memberikan keringanan untuk tidak membasuhnya dengan cara mengusap punggung
khuf. Khuf artinya sepatu panjang yang menutupi seluruh bagian kaki yang wajib
dibasuh saat berwudlu. Khuf biasa dipakai oleh misalnya para mandor bangunan,
pekerja tambang dan lainnya. Mengusap khuf dibolehkan berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Shafwan bin 'Assal menyimpulkan bahwa kebolehan mengusap khuf
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Orang yang menggunakan khuf, harus dalam keadaan suci saat mulai
memakainya.
2. Khuf masih berlaku walaupun dipakai buang air besar, kencing dan tidur.
3. Khuf tidak boleh dilepas. Apabila salah satu atau keduanya dilepas, maka masa
berlakunya habis.
4. Masa berlaku khuf adalah sehari semalam bagi yang mukim, dan tiga hari bagi
yang musafir.
5. Masa berlaku khuf habis jika mengalami hadas besar yang menyebabkan wajib
mandi (Sayyid Sabiq, 1999:55).

2.2.8 Tayammum
Secara Istilah Tayamum bermakna : Mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan
tanah (permukaan bumi) dengan tata cara tertentu (Taudhihul Ahkan:1/409). Atau
Tayammum: Bersuci dengan menggunakann debu, sebagai pengganti wudhu’ atau
mandi janabat (QS: Al-Maidah:6)
Dalil - dalil yang memperkuat masalah Tayamum ini terdapat dalam
Al_qur’an dan Hadist :
1. “FALAM TAJIDUU FATAYAMMAMUU SO’IIDANN TOYYIBAAH”
Artinya : Kemudian kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah
yang baik (bersih). (QS; AlMaidah (5) ayat: 6)
2. “WAJUILAT TURBATUHA LANAA TOHUURAAH, IZAA LAM NAJIDIL
MAAA.”
Artinya: “Dan dijadikan tanahnya buat kami alat bersuci apabila kami tidak
menjumpai air” (HR:Muslim:522)
3. Ulama telah bersepakat memperbolehkan bertayammum bagi orang yang tidak
mampu bersuci dengan menggunakan air.

10
Berikut ini adalah beberapa penjelasan mengenai tayammum:
1. Bahan untuk bertayammum
a) Debu tanah yang bersih.
b) Tanah dalam berbagai warna seperti warnah merah atau hitam. Sekiranya
bercampur pasir mesti mengandungi kandungan debu.
c) Tidak dikategorikan sebagai abu.
d) Suci dan tidak bernajis.
e) Tidak musta’mal.
f) Tidak bercampur tepung atau kapur atau pasir yang tidak berdebu.
2. Syarat-syarat tayammum
a) Tidak ada air dan sudah berusaha mencarinya, tetapi tidak bertemu
b) berhalangan menggunakan air, seperti sedang sakit, apabila terkena air
penyakitnya akan
c) bertambah parah
d) Telah masuk waktu Shalat
e) Dengan tanah atau debu yang suci
3. Fardu Tayammum
a) Niat dalam hati (untuk bersuci/bertayammum/ shalat) Lafadz niat
Tayammum adalah
b) Kemudian meletakan kedua belah telapak tangan diatas debu untuk
diusapkan ke muka.
c) Mengusap muka dengan telapak tangan dengan sekali usapan.
d) Mengusap dua belah tangan hingga siku-siku dengan tanah atau debu dua
kali.
4. Sunah Tayammum
a) Membaca basmalah (Bismillaahirrahmaanirrahiim)
b) Mendahulukan anggota yang kanan dari pada yang kiri
c) Menipiskan debu yang berada ditelapak tangan sebelum di usapkan
dengan cara meniup
d) sedikit.
5. Hal-hal yang membolehkan tayamum ((OS: Al-Maidah: 6)
a) Tidak adanya air yang cukup untuk wudhu atau mandi.
b) Tidak mampu menggunakan air, seperti orang lemah, orang yang di
penjara, atau takut binatang buas.

11
c) Sakit atau memperlambat sembuh dari sakit bila menggunakan air.
d) Jumlah air sedikit dan lebih dibutuhkan untuk menyambung hidup
(minum).
e) Tidak adanya alat untuk menimba/mendapatkan air, meski airnya ada
dalam sumur misalnya.
f) Takut habisnya waktu salat sedangkan untuk mendapatkan air sangat jauh.
6. Hal-hal yang membatalkan tayamum
a) Semua hal-hal yang membatalkan wudlu (Sayyid Sabiq, 1983:69).
b) Menemukan air suci sebelum mengerjakan shalat. Jika Shalat telah selesai
dilakukan dengan menggunakan tayammum, lalu menemukan air untuk
berwudlu, maka Shalat tidak perlu diulangi berdasarkan hadis Abu Said
Al-Khudri (HR. Abu Daud: 286). Adapun jika ada orang yang Shalat
dengan tayammum sebagai pengganti mandi junub, maka Shalatnya tetap
sah. Tetapi jika ia telah menemukan air maka ia wajib mandi (HR. Al-
Bukhari: 331), dan Shalatnya tidak perlu diulangi.
c) Habis masa berlakunya, yaitu satu tayammum untuk satu Shalat (Tim
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003, 1:45-46) meskipun
tidak berhadas, berdasarkan teks hadis riwayat Ahmad:

7. Tata cara bertayammum


Untuk mengetahui tata cara bertayamum kita biasa memperhatikan hadis
berikut ini: “Dari Ammar bin Yasir dia berkata” Saya pernah junub dan tidak
menjumpai air, kemudian saya berguling-guling diatas tanah kemudian sholat.
Lalu saya menceritakan hal ini kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda,
sesungguhnya cukup bagimu demikian. Beliau menepukkan kedua telapak
tangannya ke tanah, lalu meniup keduanya, kemudian mengusapkan keduanya
kewajah dan kedua telapak tangannya (HR:Al-Bukhari : 338 & Muslim : 368)
8. Tata cara bertanyammum baik untuk penganti wudhu atau penganti mandi wajib
sama pelaksanaannya. Sesuai dengan Hadis Rasul sebagai berikut :
1. Niat yang ikhlas karena Allah dalam hati (tidak dilafadzkan)
2. Menepukkan debu yang suci dengan kedua telapak tangan ke permukaan
bumi dengan sekali tepukan atau usapan
3. Meniup kedua telapak tangan. (Hukumnya tidak wajib, sekedar boleh
karena tujuannya untuk mengurangi debu yang menempel ditangan

12
4. Mengusap muka dengan kedua tapak tangan
5. Mengusap punggung tangan kanan dengan tangan kiri kemudian panggung
tangan kiri dengan tangan kanan. Yang diusap adalah punggung telapak
tangan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang lain. (Shohih Al-
Bukhori: 347).

2.2.9 Istinja
Istinja secara bahasa bermakna menghilangkan kotoran. Sedangkan secara
istilah bermakna menghilangkan najis dengan air. Atau menguranginya dengan
semacam batu. Atau bisa dikatakan sebagai penggunaan air atau batu. Atau
menghilangkan najis yang keluar dari qubul dan dubur.

Hukum membersihkan kotoran yang keluar dari dua jalan adalah wajib.
Dalilnya adalah hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, yaitu:
"Apabila salah seorang dari kalian pergi untuk buang hajat, maka hendaklah dia
melakukan istithabah dengan tiga batu, karena sesungguhnya tiga batu itu cukup bagi
dia." (HR. Ahmad, An-Nasa'i dan Abu Dawud).

Berikut ini adalah beberapa pembahasan mengenai istinja, yaitu:


1. Syarat istinja
Syarat istinja itu ada 3 perkara, yaitu:
a. Menghilangkan rasanya
b. Menghilangkan baunya
c. Menghilangkan warnanya
2. Adab-adab istinja
a. Istinja dengan menggunakan air
Air adalah seutama-utama alat bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan
tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur dan qubul, dibandingkan dengan
selainnya. Berkaitan dengan orang-orang yang bersuci dengan menggunakan air,
Alloh Ta’ala menurunkan firman-Nya:
“Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid
yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut
kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin

13
membersihkan diri. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS.
at Taubah :108)
b. Istinja’ dengan menggunakan batu
Istinja’ dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang
menempati kedudukannya yang dapat membersihkan najis yang keluar dari
dubur dan qubul diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Salman al-Farisi
radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
melarang
kami dari istinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang.” (HR.
Muslim)
Pengkhususan larangan pada benda-benda tersebut menunjukkan
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membolehkan istinja’
dengan menggunakan batu dan benda-benda lain yang dapat membersihkan
najis yang keluar dari dubur dan qubul.
c. Istinja dengan tulang dan benda dimuliakan
Seseorang tidaklah diperbolehkan istinja’ dengan menggunakan tulang,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Salman radhiallahu ‘anhu di
atas. Mengapa dilarang istinja’ dengan tulang? Ulama mengatakan illah
(sebab) dilarangnya istinja’ dengan menggunakan tulan ialah:
1. Apabila tulang untuk istinja’ berasal dari tulang yang najis, tidaklah ia
akan membersihkan tempat keluarnya najis tersebut, justru semakin
menambah najisnya tempat tersebut.
2. Apabila bersal dari tulang yang suci lagi halal, maka ia merupakan
makanan bagi binatang jin, dan harus kita muliakan dan kita hormati.
Dalam hadits riwayat Muslim dari jalur Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Janganlah kalian
istinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang, sebab ia
merupakan bekal saudara kalian dari kalangan jin.”"
d. Istinja dengan tangan kanan
Tidaklah diperbolehkan istinja’ dengan menggunakan tangan kanan,
karena tangan kanan dipergunakan untuk sesuatu yang mulia, berdasarkan
kepada kaidah-kaidah umum syari’at Islamiyyah dalam menggunakan
tangan dan kaki. Dan dalam masalah istinja’ ini, ada larang secara khusus
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang disampaikan oleh sahabat

14
Salman al Farisi radhiallahu ‘anhu, yakni: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan tangan kanan
atau kurang dari tiga batu.” (HR.Muslim).
e. Disunnahkan buang hajat di tempat yang jauh dari manusia
Hal ini dimaksudkan agar uaratnya tidak dilihat oleh orang lain (ketika
buang hajat). Ini merupakan suatu adab dan sopan santun yang mulia, di
dalamnya terdapat penjagaan kehormatan seseorang, sebagaimana telah
dimaklumi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai suri tauladan
utama kita, telah mencontohkan hal ini, sebagaimana yang telah dikabarkan
oleh sahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu‘anhuma:” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam pergi sehingga tidak terlihat oleh kami, lalu
menunaikan hajatnya.” (HR. Bukhari, Muslim). Namun apabila seseorang
buang hajat di tempat tertutup, sehingga tidak ada seorang pun yang bisa
melihatnya, maka hal itu telah mencukupinya, karena telah didapatkan
maksud dari menjauhkan diri dari manusia, yaitu agar auratnya tidak dilihat
oleh orang lain (ketika buang hajat).
f. Memilih tempat empuk untuk buang air kecil
Bilamana seseorang melakukan buang air kecil di tanah lapang atau
padang pasir, maka hendaknya ia memilih tempat yang empuk, agar air
kencingnya tidak terpercik kembali ke anggota tubuhnya sehingga ternajisi
oleh kencing tersebut.
g. Kapan membaca do’a masuk tempat buang air
Ketika seseorang hendak masuk ke WC atau tempat yang
dipersiapkan untuk buang air besar atau bunag air kecil, disunnahkan untuk
membaca do’a masuk tempat buang air. Jika seseorang bertanya:Bagaimana
jika buang airnya di tempat terbuka atau tanah lapang? Jawab: Ulama
mengatakan, jika seseorang buang air di tanah lapang atau tempat terbuka,
maka ia membaca do’anya ketika pada langkah terakhir sebelum dia buang
air atau ketika dia hendak duduk untuk buang air

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Thaharah merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Alloh kepada hamba
sebelum melakukan ibadah yang lain. Thaharah hanya dilakukan dengan sesuatu yang
suci dan dapat menyucikan. Thaharah juga menunjukan bahwa sesungguhnya islam
sangat menghargai kesucian dan kebersihan sehingga diwajibkan kepada setiap muslim
untuk senantiasa menjaga kesucian dirinya, hartanya serta lingkungannya.
Syarat wajib melakukan thaharah yang paling utama adalah beragama Islam dan
sudah akil baligh. Sarana yang digunakan untuk melakukan thaharah adalah air suci,
tanah, debu serta benda-benda lain yang diperbolehkan. Air digunakan untuk mandi dan
berwudhu, debu dan tanah digunakan untuk bertayamum jika tidak ditemukan air,
sedangkan benda lain seperti batu, kertas, tisur dapat digunakan untuk melakukan istinja'.
Thaharah memiliki fungsi utama yaitu membiasakan hidup bersih dan sehat
sebagaimana yang diperintahkan agama. Thaharah juga merupakan sarana untuk
berkomunikasi dengan Allah Swt. Manfaat thaharah dalam kehidupan sehari-hari yaitu
membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis ketika hendak
melaksanakan suatu ibadah.

3.2. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami selaku penyusun
mohon diberi saran dan kritik yang membagun guna terciptanyamakalah yang lebih baik di
waktu yang akan datang.

16
DAFTAR PUSTAKA
Falahuddin, Najamudin.2021.Kuliah Fiqih Ibadah.Lembaga Pengkajian Pengamalan
Pendidikan Islam dan Kemuhammadiyahan (LP3IK).
Sarwat, Ahmad.2010. "Fiqih Thaharah" ,Documents/fiqih-thaharah%20(2).pdf
diakses pada minggu 12 maret 2023 pada pukul 09.04.
Misliyani."Tayamum pengganti wudhu dan mandi wajib"
,https://sg.docworkspace.com/l/sIGTFnMFpopDCoAY?sa=00&st=0t, diakses pada minggu
12 maret 2022 pukul 09.55.
Abidin, Zainal.1951.Kunci Ibadah. Semarang. PT. Karya Toha Putra Kitab Suci Al-
qur'an dan Kitab-kitab Pesantren atau Turats.
Fauzil Muhammad, Sukiman.2020. Fiqih Materi Thaharah (Bersuci). Yogyakarta.
Fikih%20Materi%20Thaharah%20(Bersuci)%20Pendekatan%20Kontekstual%20(1).pdf
Jamaluddin ,Syakir.2019. Thaharah.Jakarta. Redaksi Muhammadiyah.
https://muhammadiyah.or.id/thaharah/.
Harisuddin, M. Noor, Pengantar Ilmu Fiqih, Cet: VII; Surabaya: CV. Salsabila Putra
Pratama, 2019.

17

Anda mungkin juga menyukai