Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

THAHARAH (BERSUCI)

Disusun Oleh :
Irma Hardianti Maulida – XII AP1

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN


TUNAS NUSANTARA
ADMINISTRASI PERKANTORAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita berupa pengetahuan dan kesempatan
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah menyampaikan petunjuk Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah
petunjuk yang paling benar yakni syariah agama islam yang sempurna, dan merupakan satu
satunya karunia paling besar bagi alam semesta.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan keilmuan tentang “THAHARAH” baik bagi para pembaca ataupun bagi penulis
sendiri.
Penulis ucapkan terima kasih kepada teman teman yang sudah berkontribusi dengan
memberikan ide idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.
Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi para pembaca.
Meskipun saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu
kritik dan saran dari para pembaca sangat dibutuhkan untuk memperbaiki penyusunan
makalah saya selanjutnya. Kemudian apabila terdapat kesalahan dalam makalah baik dari
segi penyusunan ataupun pembahasan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Garut, 25 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................2
A. Definisi Thaharah.......................................................................................................2
B. Macam-Macam Thaharah...........................................................................................2
C. Klasifikasi Air Ala Madzhab Syafi’iyah An-Nahdliyah............................................6
D. Tujuan Thaharah.........................................................................................................7
E. Kisah Islami Tentang Pentingnya Berthaharah..........................................................7
F. Implementasi Hikmah Thaharah Dalam Kehidupan Sehari-Hari...............................7

BAB III PENUTUP.................................................................................................................9


A. Kesimpulan...................................................................................................................9
B. Saran.............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHUUAN

A. Latar Belakang
Thaharah adalah hal yang sangat penting untuk diketahui, terutama dalam beribadah,
seperti halnya shalat. Thaharah menjadi syarat sahnya shalat. Jadi ketika hendak shalat
diharuskan suci badannya, tempatnya, serta suci dari hadast kecil dan hadast besar. Jika tidak
maka shalatnya tidak sah.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam thaharah. Kita sebagai orang islam
tentunya harus tahu bahkan wajib untuk mengetahui cara-cara bersuci, karena suci adalah
dasar ibadah bagi orang islam. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak tidak lepas dari hal
kotor ataupun najis, sehingga kita harus mensucikan diri terlebih dahulu sebelum beribadah,
baik dengan cara berwudlu’, mandi, ataupun bertayammum. Kalau kita melihat secara teliti
hamper seluruh kitab-kitab fiqih didahului dengan pembahasan tentang thaharah. Dari hal ini
kita dapat mengetahui bahwa betapa pentingnya tharah dalam kehidupan sehari-hari.
Namun meskipun menjadi hal yang mendasar, masih banyak orang muslim yang tidak
begitu mengerti tentang thaharah, najis, serta macam-macam air yang dapat digunakan
untuk bersuci. Semoga dengan makalah ini bisa membuat para pembaca lebih memahami
tentang thaharah.

B. Rumusan Masalah
1. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini, sebagai berikut:
2. Apakah pengertian thaharah?
3. Apa saja macam-macam thaharah?
4. Bagaimana klasifikasi air ala madzhab Syafi’iyah An-nahdliyah?
5. Apa saja tujuan thaharah?
6. Bagaimana thaharah yang baik dan benar menurut madzhab Syafi’iyah An- nahdliyah?
7. Bagaimana kisah islam tentang pentingnya berthaharah?
8. Bagaimana implementasi hikmah thaharah dalam kehidupan sehari hari?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang pengertian thaharah
2. Untuk mengetahui macam-macam thaharah
3. Untuk mengetahui klasifikasi air ala madzhab Syafi’iyah An-nahdliyah
4. Untuk memahami tujuan thaharah
5. Untuk mengetahui thaharah yang baik dan benar menurut madzhab Syafi’ iyah An-
nahdliyah
6. Untuk mengetahui kisah islam tentang pentingnya thaharah
7. Untuk mengetahui implementasi hikmah thaharah dalam kehidupan sehari- hari

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Thaharah
Lafadz “at-thaharah” secara Bahasa bermakna bersih. Sedangkan secara syara’, maka
terdapat definisi yang cukup banyak di dalam menjelaskan arti lafadz “at-thaharah”. Di
antaranya adalah ungkapan ulama’, “at-thaharah” melakukan sesuatu yang menjadi sebab
diperbolehkannya melakukan shalat. Yaitu perbuatan berupa wudlu, mandi, tayammum, dan
menghilangkan najis.
Bolehnya bertayammum dari dua hadast sebab tidak adanya air atau takut dari hal
yang membahayakan dari penggunaan air yaitu dengan menggunakan debu yang suci yang
dapat beterbangan.kalau seandainya seseorang yakim akan adanya air di akhir waktu shalat,
maka menantinya lebih utama, namun jika tidak yakin maka lebih utama mempercepat
tayammum.
Dalam karangan buku Dr. Majdah Amir dijelaskan bahwa Thaharah kegiatan
membersihkan kotoran yang tampak. Secara istilah, thaharah adalah menghilangkan segala
sesuatu yang menghalangi sahnya shalat, seperti hadast (kotoran yang tidak tampak) dan
najis (kotoran yang tamapak) dengan menggunakan air, dan yang berfungsi sama, atau
dengan debu.
Mengingat air adalah alat untuk bersuci, maka mushannif menyisipka n pembahasan
macam macam air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh. Yakni, air hujan, air lau
(air asin), air sungai (air tawar), air sumur, air sumber, air salju, dan air embun.

B. Macam-macam Thaharah
Beberapa macam thaharah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya yaitu
wudlu, mandi, tayammum, dan beristinja’. Untuk perinciannya akan kami bahas lebih lanjut
sebagai bertikut:

1. Wudlu
Wudlu menurut bahasaya itu sebutan untuk pembersihan sebagian anggota badan .
Adapun menurut syara’, wudlu adalah sebutan untuk pembersihan bagian- bagian tertentu
dengan niat yang tertentu . Hukum wudlu ada dua, wajib bagi orang yang hadats dan
sunnah bagi orang yang memperbarui wudlu baik setelah shalat ataupun setelah mandi
wajib, serta ketika orang yang junub hendak melakukan makan, tidur atau wathi dan lain
sebagainya.
2. Mandi (Al Ghusl)
Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air ke segala sesuatu baik badan, pakaian dan
sebagainya tanpa diiringi dengan niat. Sedangkan menurut syara’ mandi yaitu
mengalirkan air ke seluruh anggota badan dengan niat tertentu. Dalam islam, mandi
atau Al Ghusl memiliki posisi yang cukup urgen. Hal ini mengingat mandi
bertujuan untuk menghilangkan hadats atau kotoran yang tidak bisa dihilangkan
hanya dengan wudlu. Namun mandi yang dimaksud disini tentunya memiliki
karakteristik serta aturan yang berbeda dari mandi yang hanya untuk membersihkan
badan dari kotoran yang melekat di tubuh. Berikut beberapa hal yang menyangkut
mandi dalam Islam:
2
a. Hal yang mewajibkan mandi besar
Secara Bahasa mandi bermakna mengalirnya air pada sesuatu secara
mutlaq. Secara syara’, mandi bermakna mengalirnya air ke seluruh badan disertai niat
tertentu. Sesuatu yang mewajibkan mandi ada enam perkara, tiga diantaranya dialami
oleh laki-laki dan perempuan sedangkan tiganya lagi hanya dialami oleh perempuan.
Adapun yang mewajibkan mandi yang dialami oleh laki-laki dan perempuan, yaitu:
1) Bertemunya dua kemalua
2) Keluarnya mani bukan sebab hubungan intim
3) Meninggal dunia
Sedangkan tiga perkara yang mewajibkan mandi yang hanya dialami oleh
perempuan adalah:
1) Haid, yaitu darah yang keluar dari seorang wanita yang sudah mencapai usia
Sembilan tahun atau lebih, dalam keadaan sehat, dan keluarnya minimal sehari
semalam atau 24 jam, maksimal 15 hari 15 malam
2) Nifas, yaitu darah yang keluar setelah melahirkan. Minimalnya masa nifas adalah
sekejap, maksimalnya 60 hari, sedangkan normalnya 40 hari.
3) Wiladah, yaitu darah yang keluar pada saat melahirkan
b. Fardlu mandi
Fardlu mandi ada tiga yaitu niat, membersihkan najis yang ada di seluruh
tubuh serta mengalirkan air ke seluruh bagian rambut dan kulit badan.
c. Sunnah mandi
1) Membaca basmalah
2) Berwudlu sebelum melakukan mandi
3) Menggosok-gosokkan tangan pada tubuh
4) Berturut-turut
5) Mendahulukan anggota sebelah kanan
d. Mandi-mandi yang disunnahkan
Beberapa mandi yang disunnahkan dalam Islam adalah mandi jum’at, mandi
dua hari raya , mandi dua gerhana , mandi karena islamnya orang kafir serta mandi
karena sembuhnya orang gila dan orang yang berpenyakit ayan.

3. Tayammum
Menurut bahasa, tayammum adalah menyengaja (‫)صد ق ال‬. Sedangkan
menurut ishtilah yaitu mengusapkan debu suci mensucikan pada wajah dan kedua tangan
dengan niat tertentu. Tayammum yaitu sebuah ritual penyucian diri dari hadats dengan
menggunakan debu sebagai pengganti air dikarenakan beberapa sebab atau hal tertentu.
syarat-syarat tayammum ada lima perkara. Dalam sebagian redaksi matan
menggunakan Bahasa “khamsu khishalin (lima hal)”. Pertama, adanya udzur sebab
bepergian atau sakit. Kedua, masuk waktu shalat. Maka tidak sah tayammumunt uk shalat
yang dilakukan sebelum masuk waktunya. Ketiga, mencari air setelah masuknya waktu
shalat, baik diri sendiri ataupun orang lain yang telah ia beri izin. Maka ia harus mencari
air di tempatnya ataupun di teman-temannya. Keempat, sulit menggunakan air. Dengan
gambaran jika menggunakan air ia khawatir akan kehilangan nyawa atau fungsi anggota
badan. Kelima, debu suci. Maksudnya debu suci mensucikan dan tidak basah.

3
Fardlu tayammum ada empat yaitu, niat, mengusap wajah, mengusap dua tangan
hingga kedua siku dan tertib. Beberapa Sunnah tayammum yaitu, membaca basmalah,
mendahulukan bagian kanan dari kedua tangan sebelum bagian kiri, dan mendahulukan
wajah bagian atas sebelum wajah bagian bawah.
Hal hal yang membatalkan tayammum diantaranya yaitu hadats, murtad, mengira telah
ada air di luar sholat, mengerti tentang keberadaan air, mampu untuk membeli air dan
sebagainya.

4. Beristinja’
Beristinja’ artinya menghilangkan najis atau meringankannya dari tempat keluarnya
air seni atau kotoran. Terambil dari kata an-najaa’ yang berarti bersih atau selamat dari
penyakit. Dinamakan demikian karena orang yang melakukan istinja’ ia mencari
keselamatan dari penyakit dan berbuat untuk menghilangkannya (lihat Dr. Musthofa Al-
Khin dkk, al-Fiqh al-Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013), jil. 1, hal. 45).
Beristinja’ dapat dilakukan dengan menggunakan air mutlak atau air yang suci dan
mensucikan saja atau dengan menggunakan batu saja. Namun yang paling utama bila
istinja’ dilakukan dengan menggunakan batu pada awalnya, kemudian disempurnakan
dengan menggunakan air. Ini dikarenakan batu dapat menghilangkan wujud najisnya
sedangkan air dapat menghilangkan bekasnya dengan tanpa bercampur dengan
najisnya karena telah dihilangkan oleh batu.
Bila orang yang beristinja’ dengan menggunakan salah satunya saja maka beristinja’
hanya dengan menggunakan air lebih utama daripada beristinja’ hanya dengan
menggunakan batu, karena air dapat menghilangkan wujud najis sekaligus bekasnya,
sedangkan selain air tidak bisa. Namun bila orang yang beristinja’ hanya akan
menggunakan batu saja maka ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi sehingga
istinja’nya dianggap sah.
Dalam kitab Safinatun Naja, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menyebutkan 8
(delapan) syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang hendak beristinja’ hanya dengan
batu saja tanpa menggunakan air. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan:
“Syarat beristinja; hanya dengan menggunakan batu ada delapan, yakni (1) dengan
menggunakan tiga buah batu (2) batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis (3)
najisnya belum kering (4) najisnya belum pindah (5) najisnya tidak terkena barang
najis yang lain (6) najisnya tidak melampaui shafhah dan hasyafah (7) najisnya tidak
terkena air (8) batunya suci.”(lihat Salim bin Sumair Al- Hadlrami, Safiinatun Najaa,
(Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 17).
Kedelapan syarat itu beserta penjelasannya disampaikan oleh Syaikh Nawawi Al-
Bantani dalam kitabnya Kasyifatus Saja sebagai berikut:
Dengan menggunakan tiga buah batu atau tiga buah sisi dari satu batu. Meskipun
dengan satu batu atau satu sisi batu tempat yang dibersihkan dari najis telah bersih, tetap
ada keharusan untuk terus melakukannya sampai batas minima l tiga buah batu atau tiga
sisi batu. Sebaliknya bila dengan tiga batu itu tempat yang dibersihkan masih belum
bersih dari najis maka wajib hukumnya untuk menambah hingga tempatnya benar-benar
bersih. Dalam hal penambahan ini disunahka n dengan bilangan ganjil meskipun telah
bersih pada saat dibersihkan dengan bilangan genap.

4
Batunya dapat membersihkan tempat keluarnya najis. Dengan batasan bahwa najis
yang dibersihkan tak lagi tersisa pada temat keluarnya kecuali hanya sekedar bekasnya
saja yang tidak bisa dihilangkan selain dengan air atau lainnya.
Najisnya belum mengering. Bila najisnya telah mengering maka tidak bisa beristinja’
hanya dengan batu saja tanpa menggunakan air. Ini dikarenakan batu tidak bisa
menghilangkan najis tersebut setelah kering. Maka bila najis telah mengering secara
keseluruhan atau sebagiannya harus dibersihkan dengan menggunakan air.
Najisnya belum berpindah dari tempat yang ia kenai ketika keluar. Bila ada najis yang
berpindah dan masih menyambung dengan tempat tersebut maka wajib menggunakan air
untuk menghilangkan najis tersebut secara keseluruhan. Namun bila najis yang
berpindah itu tidak menyambung dengan tempat keluarnya maka yang wajib
dibersihkan dengan air hanyalah najis yang berpindah saja, sedangkan najis yang masih
tetap berada pada tempatnya boleh dibersihkan dengan batu saja.
Najisnya tidak terkena barang najis yang lain atau barang suci yang basah selain air
keringat. Bila yang mengenainya adalah air keringat atau benda suci yang kering seperti
batu kerikil maka tidak mengapa. Namun bila yang mengena inya adalah barang najis
baik basah maupun kering atau barang suci yang basah maka istinja’ mesti dilakukan
dengan menggunakan air, tidak bisa hanya dengan menggunakan batu saja.
Bagi orang yang buang air besar najis yang keluar tidak melampaui bagian samping
dubur, yakni bagian bokong yang apabila pada posisi berdiri maka akan menempel satu
sama lain. Sedangkan bagi orang yang buar air kecil najis yang keluar tidak
melampaui ujung zakar. Bila itu terjadi maka istinja’ yang dilakukan harus dengan air,
tidak bisa hanya dengan batu saja.
Setelah atau sebelum beristinja’ menggunakan batu najis yang keluar tidak terkena air
yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan najis tersebut meskipun air tersebut
suci atau tidak terkena benda cair lain. Ini dikarenakan air atau benda cair tersebut
bisa menjadi najis. Beranjak dari ini maka apabila beristinja’ dengan menggunakan batu
yang basah tidak sah istinja’nya, karena dengan basahnya batu tersebut dapat menjadikan
batu itu najis dengan najisnya tempat yang dibersihkan, kemudian batu yang telah jadi
najis itu dipakai untuk beristinja’ sehingga mengotori tempat yang dibersihkan tersebut.
Bila ini yang terjadi maka istinja’ harus dilakukan dengan air, tidak cukup dengan
batu saja.
Batu yang digunakan beristinja adalah batu yang suci. Maka tidak cukup bila
beristinja’ hanya dengan batu namun batunya mutanajis (batu yang terkena najis).
Lebih lanjut Syaikh Nawawi juga mengemukakan:
“Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang dapat diqiyaskan dengan batu secara
hakiki—yakni apapun yang padanya terdapat empat batasan—maka dapat digunakan
untuk beristinja’. Yang demikian itu disebut batu secara syar’i.”(li hat Muhammad
Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja, (Jakarta: Darul Kutub Islamiya h, 2008), hal. 34).
Dari ungkapan tersebut dapat diambil satu pemahaman bahwa selain menggunakan
batu ada barang-barang lain yang juga dapat dijadikan alat untuk beristinja’. Barang-
barang ini, sebagaimana dijelaskan Syaikh Nawawi, secara syar’i disamakan dengan
batu bila memenuhi empat buah syarat sebagai berikut:

5
a. Barangnya suci.
Tidak bisa beristinja’ dengan menggunakan suatu barang najis atau
mutanajis (barang yang terkena najis). Tentunya ini justru akan lebih menambah
kenajisan tempat yang akan dibersihkan, bukan malah membersihkannya.

b. Barangnya padat.
Tidak cukup beristinja’ dengan menggunakan sesuatu yang basah baik
berupa batu atau lainnya seperti minyak bunga mawar atau air cuka.
c. Berupa sesuatu yang menghilangkan najis
Barang yang dipakai beristinja’ berupa sesuatu yang dapat menghilangka n dan
menyerap najisnya. Maka tidaklah cukup beristinja’ dengan kaca atau bambu yang
licin.
d. Bukan sesuatu yang dihormati.
Seperti beristinja’ dengan menggunakan makanan manusia semisal roti dan
lainnya atau beristinja’ denganmenggunakan makanannya jin yaitu tulang belulang.
Apa pun yang memenuhi keempat syarat tersebut maka dapat dijadikan pengganti batu
untuk beristinja’. Seumpama tisu, daun yang telah kering, batu bata dan lain sebagainya
bisa digunakan untuk beristinja’ karena ia memenuhi keempat syarat di atas.

C. Klasifikasi Air Ala Madzhab Syafi’iyah An-Nahdliyah


Mengingat pentingnya air dalam beribadah fiqih islam mengatur sedemikian rupa
perihal air. Di dalam Madzhab Imam Syafi’I, para ulama’ membagi air menjadi empat
bagian:
1. Air suci dan bisa mensucikan, dan tidak makruh digunakan, yaitu air mutlaq. Secara
ringkas air mutlak adalah air yang turun dari langit atau yang bersumber dari bumi
dengan sifat asli penciptaannya.
2. Air yang suci dan mensucikan, serta makruh menggunakannya pada badan, tetapi
bukan pada pakaian, yaitu air musyammas. Yakni air yang dipanaskan dengan pengaruh
sinar matahari. Air musyammas hanya dimakruhkan secara syara’ bila digunakan di
daerah panas yang menggunakam wadah terbuat dari logam.
3. Air yang suci tapi tak bisa mensucikan. Yaitu air musta’mal, yakni air yang sudah
digunakan untuk menghilangkan hadast, atau menghilangkan najis, apabila tidak
berubah sifatnya.
4. Air najis, yaitu air yang terkena najis sampai berubah sifatnya ataupun tidak, dan kondisi
air tersebut kurang dua qulla. Ukuran dua qulla adalah kurang lebih 500 rith negara
Baghdad. Menurut Imam Nawawi satu rith negara Baghdad adalah 128 dirham. Para
ulama’ kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang.
Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter.

6
D. Tujuan Thaharah
Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah, diantaranya:
1. Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.
2. Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba. Nabi Saw bersabda:
“Allah tidak menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadas, sampai ia
wudhu”, karena termasuk yang disukari Allah, bahwasanya Allah SWT memuji
orang-orang yang bersuci : firman-Nya, yang artinya : “sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya”.(Al- Baqarah:122)
Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta pembersih diri
dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam aktifitas ibadah seorang
hamba.Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan memiliki keutamaan-
keutamaan yang dianugerahkan oleh Alloh di akhirat nanti. Thaharah juga membantu
seorang hamba untuk mempersiapa kan diri sebelum melakukan ibadah- ibadah kepada
Alloh. Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia sedang menghadap kepada
Alloh, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba bisa siap untuk beribadah dan bisa
terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudhu sebelum sholat karena
wudhu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan-kesibukan
duniawi untuk siap melaksanakan sholat.

E. Kisah Islami Tentang Pentingnya Berthaharah


Suatu hari Nabi Muhammad Saw. melewati tempat pemakaman bersama para
sahabat. Atas izin Alloh Swt., Nabi Muhammad Saw. dapat mendengar jerit tangis orang-
orang yang ada di dalam kubur sehingga beliau berhenti sejenak dan menitikkan air mata.
Selanjutnya, Nabi Muhammad Saw. mengambil sebuah pelepah kurma yang ada di
sekitar kuburan, lalu menancapkan pelepah itu pada salah satu kuburan. Melihat peristiwa itu,
para sahabat menanyakan kepada Nabi Muhammad Saw.
Sejenak Nabi Muhammad Saw. diam, lalu berkata, "Sesungguhnya aku mendengar
jerit tangis umatku didalam kubur karena siksa Alloh Swt. yang di berikan kepadanya."
Sahabat bertanya, "Kesalahan apakah yang di lakukan orang itu, ya Rosululloh?"
jawab Nabi Muhammad Saw. "Semasa hidupnya orang ini jika kencing atau buang air
kecil tidak mau istinjak sehingga kulit dan pakaian yang di gunakan selalu najis." Itulah siksa
Alloh Swt. yang di berikan kepada kaumku yang tidak memperhatikan kebersihan dan
kesuciannya. Oleh karena itu, hati-hatila h terhadap najis karena Alloh Swt. tidak suka kepada
orang yang najis."
Mendengar penjelasan Nabi Muhammad Saw. Para sahabat makin hati- hati dalam
memelihara kebersihan dan kesucian badan, pakaian, dan tempat tinggalnya.

F. Implementasi Hikmah Thaharah Dalam Kehidupan Sehari-Hari


Thaharah terbagi menjadi dua, secara batin dan lahir, keduanya termasuk di antara
cabang keimanan: Thaharah bathiniyah: ialah menyucikan diri dari kotoran kesyirikan dan
kemaksiatan dari diri dengan cara menegakkan tauhid dan beramal saleh. Thaharah lahiriyah:
ialah menyucikan diri menghilangkan hadats dan najis. Allah Swt. telah menjadikan taharah
(kebersihan) sebagai cabang dari keimanan.
Oleh karena itu, dalam Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa hidup
bersih, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. Adapun yang perlu

7
kita perhatikan dalam menjaga kebersihan adalah kebersihan lingkungan tempat tinggal,
lingkungan madrasah, tempat ibadah, dan tempat umum.
1. Untuk membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari hadas dan najis ketika hendak
melaksanakan suatu ibadah. Dengan bersih badan dan pakaiannya, seseorang tampak
cerah dan enak dilihat oleh orang lain karena Allah Swt, juga mencintai kesucian dan
kebersihan serta memenuhi syarat sah ibadah.
2. Menjaga Kebersihan Lingkungan Tempat Tinggal.Kebersihan tidak hanya terbatas pada
jasmani dan rohani saja, tetapi juga kebersihan mempunyai ruang lingkup yang luas. Di
antaranya adalah kebersihan lingkungan tempat tingga l kita bersama-sama ayah, ibu,
kakak, adik, dan sebagainya. Terkadang hal yang sering kita lakukan adalah membuang
sampah sembarangan. Lebih parah lagi saat menonton tv sambil memakan makanan
ringan dan membuang sampahnya di bawah karpet atau dibiarkan begitu saja. Oleh
karena itu, agar kita sehat dan betah tinggal di rumah, maka kebersihan, kerapian, dan
keindahan rumah harus dijaga dengan baik. Dengan demikian, kebersihan lingkungan
tempat tinggal yang bersih, rapi, dan nyaman menggambarkan ciri pola hidup orang yang
beriman kepada Allah Swt. Oleh karena itu, kita semua harus dan wajib menjaga
kebersihan, baik di rumah maupun di madrasah, agar kita betah dan terhindar dari
berbagai penyakit.
3. Menjaga Kebersihan Lingkungan Tempat Ibadah. Kita mengetahui bahwa tempat ibadah
seperti masjid, mushalla, atau langgar adalah tempat yang suci. Oleh karena itu, Islam
mengajarkan untuk merawatnya supaya orang yang melakukan ibadah mendapatkan
ketenang-an, dan tidak terganggu dengan pemandangan yang kotor atau bau di
sekelilingnya. Umat Islam akan mendapatkan kekhusyu-an dalam beribadah kalau
tempatnya terawat dengan baik, dan orang yang merawatnya akan mendapatkan pahala di
sisi Allah. Dengan demikian, kita akan terpanggil untuk selalu menjaga kebersihan
lingkungan tempat ibadah di sekitar kita. Apabila orang Islam sendiri mengabaikan
kebersihan, khususnya di tempat-tempat ibadah, ini berarti 17 tingkat keimanan mereka
belum seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
4. Menjaga Kebersihan Lingkungan Tempat Umum. Menjaga dan memelihara kebersihan di
tempat umum dalam ajaran Islam memiliki nilai lebih besar daripada memelihara
kebersihan di lingkungan tempat tinggal sendiri, karena tempat umum dimanfaatkan oleh
orang banyak. Jika lingkungan umum tampak kumuh maka itu akan menjadi sarang
penyakit, khusus nya adalah nyamuk. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa
nyamuk sering kali membuat warga sekitar resah karena takut dengan demam berdarah.
Kesimpulannya. Seseorang yang menjaga kebersihan, baik badan, pakaian, ataupun
tempat tidak mudah terjangkit penyakit. Seseorang yang selalu menjaga kebersihan baik
dirinya, rumahnya, maupun lingkungannya, maka ia menunjukan cara hidup sehat dan
disiplin. Oleh karena itu, mari bersama-sama untuk menjaga kebersihan lingkungan
umum karena dengan bersihnya lingkungan umum maka akan membuat kita menjadi
sehat, tenang dan nyaman.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Thaharah melakukan sesuatu yang menjadi sebab diperbolehkannya melakukan shalat.
Yaitu perbuatan berupa wudlu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis.\
Macam-macam thaharah ada tiga. Pertama, wudlu’. Kedua, mandi. Dan ketiga,
tayammum.
Klasifikasi air ala madzhab syafi’i ada empat:
1. Air suci dan bisa mensucikan, serta tidak makruh digunakan, yaitu air mutlaq.
2. Air yang suci dan mensucikan, serta makruh menggunakannya pada badan, tetapi bukan
pada pakaian, yaitu air musyammas.
3. Air yang suci tapi tak bisa mensucikan. Yaitu air musta’mal
4. Air najis, yaitu air yang terkena najis sampai berubah sifatnya ataupun tidak, dan
kondisi air tersebut kurang dua qulla.
Adapun tujuan dari thaharah adalah untuk menyucikan diri dari kotoran berupa hadats
dan najis serta sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba.
Tharah yang baik dan benar dengan beberapa ketentuan seperti niat, menggunakan air
yang suci dan mensucikan , terbasuhnya semua bagian-bagia n yang wajib dibasuh saat
bersuci, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan thaharah.
Implementasi hikmah thaharah dalam kehidupan sehari-hari yaitu bisa mengjaga
kebersihan lingkungan tempat tinggal ataupun tempat ibadah.

B. Saran
Setelah penulis mencoba sedikit menguraikan hal-hal mengenai thaharah, penulis
berharap Semoga dapat diterima dan dipahami oleh para pembaca. Semoga dengan adanya
makalah ini dapat memberikan kesadaran baik bagi penulis sendiri ataupum para pembaca
tentang betapa pentingngya thaharah dalam kehidupan
sehari-hari. Karena segala amal sesuatu didahului dengan thaharah, baik thaharah
secara fisik ataupum secara batin.

9
DAFTAR PUSTAKA

HR, M. Hamim. 2017. Fathal Qarib. Kediri: Santri Salaff Press


Hakam, M. Fikri. 2017. Fiqih Populer Terjemah Fathul Mu’in. Kediri: Lirboyo Press
https://islam.nu.or.id/post/read/82243/empat-macam-air-dan-hukumnya- untuk-bersuci
https://islam.nu.or.id/post/read/82513/tiga-macam-najis-dan-cara- menyucikannya
https://islam.nu.or.id/post/70/thaharah

10

Anda mungkin juga menyukai