Anda di halaman 1dari 13

Makalah Qawaidul Fiqhiyah

Kaidah Adh-Dharar Yuzalu

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hafiz Anshari Az, MA


Dr. Fathurrahman Azhari, M.H.I

Diajukan Oleh:
Abdul Aziz Muslim S.H. (190211050110)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Sebagai manusia khususnya umat muslim yang hidup bermasyarakat tentunya sangat
banyak permasalahan baru yang timbul didalam kehidupan bahkan cara penyelesaiannya pun
tidak terdapat didalam Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga membuat para ulama merasa
terusik  dan berijtihad untuk mencari solusinya. Meskipun demikian, mereka berijtihad bukan
hanya untuk mencari solusi tetapi mereka juga berpegang teguh pada dasar-dasar umum yang
terdapat didalam Al-Qur’an  dan Hadist sehinggga ijtihad yang mereka lakukan hasilnya
tidak menyimpang dari ajaran yang diturunkan oleh Allah SWT melalui nabi Muhamad
SAW. Dari beberapa ijtihad yang dilakukan para Ulama dapat diambil suatu kaidah-kaidah
demi menyelesaikan masalah yang dihadapi, yang mana salah satu dari kaidahnya yaitu
kaidah Adh-dharuriyah atau Adh-dhararu yudzalu.
            Kaidah Adh-dharuriyah ini meruapakan kaidah asasiyyah yang mana membahas
tentang kemudharatan yang harus dihilangkan akan tetapi jika seseorang itu didalam keadaan
darurat maka yang haram pun diperbolehkan. Akan tetapi, keadaan darurat dalam hal ini yang
benar-benar berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara-cara yang membawa kemudharatan.
Oleh karena itu, dalam islam memperbolehkan untuk meninggalkan  hal-hal yang wajib jika
dalam keadaan yang sangat darurat.
            Maka disini saya sebagai penulis mencoba untuk mengkaji tentang kaidah Adh-
Dharuriyah beserta cabang-cabangnya. Apa pengertiannya, dasar hukum yang melandasinya
dan juga cabang-cabang yang terkait dengan kaidah ‫لض>> َر ُر يُ>>زَ ا ُل‬
َّ ‫ا‬  Adh-dhararu yudzalu
(Kemudharatn Dihilangkan)

B. Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Kaidah  ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َّ ‫ال‬ ?
2.      Apa Saja Macam-macam Kemudharatan?
3.      Bagaimana Penjelasan Kaidah ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َّ ‫ال‬  ?
4.      Apa Landasan Kaidah  ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
َّ ‫ال‬ ?
5.      Apa Kaidah Cabang  ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َّ ‫ال‬ ?
C. Tujuan Makalah
1.      Untuk Memahami Apa Pengertian Kaidah  ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َّ ‫ال‬ ?
2.      Untuk Memahami Apa Saja Macam-macam Kemudharatan?
3.      Untuk Memahami Penjelasan Kaidah ‫ض َر ُر يُزَ ا ُل‬
َّ ‫ال‬  ?
4.      Untuk Memahami Apa Landasan Kaidah  ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
َّ ‫ال‬ ?
5.      Untuk Memahami Apa Kaidah Cabang  ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
َّ ‫ال‬ ?
BAB II
PEMBAHASAN

َّ ‫اَل‬ (Kemudharatn Dihilangkan)
A. Pengertian Kaidah  ‫ض َر ُر يُزَا ُل‬
Arti dari kata “‫الض> َر ُر يُ>زَ ا ُل‬
َّ “ adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi
konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idrar
(tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia
menimbulkan bahaya pada orang lain.1
Dharar secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh dharar" yang berarti sesuatu
yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut
para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1.        Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu
yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati.
2.        Abu Bakar Al Jashas, mengatakan  “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada
bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”.
3.        Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat”.
4.        Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5.        Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia
tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.2
Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang
terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama memelihara jiwa, memelihara akal
memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Dengan demikian  darurat  itu  terkait  dengan Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah.
Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah  dan tahsaniah.
            Hal tersebut memungkinkan bahwa tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang
haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan
lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat
diperbolehkan memakainya. Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali

1 Nashr Farid Muhammad Washil, Qawaid Fiqhiyyah. h. 17


2 Alim, Nur, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-.
ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan
sebatas keperluannya.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar
adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan
maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

B. Macam-macam Kemudharatan
Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari Ikhwan al-
Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat yang membolehkan
orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada empat, ialah
1.      Dirinya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat membahayakan
nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya;
2.      Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya. Misalnya orang
kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah berada dalam keadaan bahaya lapar
yang gawat akibatnya;
3.      Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan perbuatan
pelanggaran/kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan menempuh perbuatan yang
mubah. Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli makanan yang halal, maka
tidak dibenarkan makan makanan yang tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian;
4.      Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja (seminimal
mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya).
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Sedangkan unsur-unsur darurat meliputi empat
hal pula, yaitu kondisi darurat yang dihadapi; perbuatan yang dilakukan untuk mengatasi
kondisi darurat; objek darurat, dan orang yang berada dalam kondisi darurat.
Dalam kaitan ini DR. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu
dengan tiga klasifikasi, yaitu :
1.      Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,
karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak
dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan
segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang,
dan sebagainya;
2.      Hajiah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan
kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram.
Misalnya, seseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan
makanan halal, bukan makanan haram; Manfaat, yaitu  kepentingan manusia
untuk   menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya
karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya, makan makanan pokok
seprti beras, ikan, sayur- mayur, lauk pauk, dan sebagainya;
3.      Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih- lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan
hukum Saddud Dzariah, yakni  menutup  segala  kemungkinan yang mendatangkan
kerusakan. Contoh kaidah diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika  perang
dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis, dan
sebagainya.3

َّ ‫اَل‬ 
C. Penjelasan Kaidah ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus
dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui adits nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas::

‫ص َّلى هللا‬
َ ‫هللا‬ ُ ‫ان ا ْل ُخدْ ِري َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه أَنَّ َر‬
ِ َ ‫س ْول‬ ِ ‫س َعدْ ْب ِن سِ َن‬ َ ‫َعنْ أَ ِبي‬
َ ‫س ِع ْي ٍد‬
َ َ‫ ال‬: َ ‫عليه وس َّل َم َقال‬
َ ‫ض َر َر َوالَ ضِ َر‬
‫ار‬

Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudriradhiallahuanhu, sesungguhnya


Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Tidak boleh melakukan perbuatan yang
memudharatkan, dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan cara yang
salah” (H.R. Imam Ahmad dan Ibnu Majah)
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1.        Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada
mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan  “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi
orang lain memudaratkan”.
2.        Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan
membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang
menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya
3 Hamsidar, Al  Daraaru  Yuzalu  (SalahSatu  Kaidah  Ushuliyah) Yang  Berkesesuaian  DenganKondisi 
Membahayakan Dan Menyulitkan. Jurnal Ekpose Vol XXIII, No. 2, Desember 2014
roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat
bahaya yang begitu jelas di dalamnya.

Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan
bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya
dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak
tetangganya. 
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya
yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia
lebih dahulu ada sebelum si tetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun
rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun
rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek
negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya
dengan keinginan dan pilihannya sendiri.
“Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat” artinya, apabila suatu
perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali
dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar
dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil.
Namun, apabila tindakakn tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh
dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah
penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya
ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan
umum atau membangun jembatan yang mempesulit arus lalu lintas, maka ia dapat
diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.4
Ada juga contoh lainnya mengenai kaedah ad-dharûrah yuzalu  antara lain:
1.      Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan
tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2.      Larangan menghancurkan pahon-pahon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan
orang-orang yang tidak terlibat perperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudaratan.
3.      Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan
kemudaratan.

4 Ibid h. 18
4.       Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk
menghilangkan kemudaratan.5

َّ ‫اَل‬  (Kemudharatn Dihilangkan)


D. Landasan Kaidah ‫ض َر ُر يُزَا ُل‬

                  Kaidah Fiqh “Adh-Dhararu Yuzalu” menunjukkan bahwa kemadharatan itu


telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus
dihilangkan. Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 56:

َّ$ $ِ‫ إ‬$ۚ $‫ ا‬$‫ ًع‬$‫ َم‬$‫ط‬$َ $‫و‬$َ $‫ ا‬$‫ ًف‬$‫و‬$ْ $‫خ‬$َ $ُ‫ه‬$‫ و‬$‫ ُع‬$‫د‬$ْ $‫ ا‬$‫و‬$َ $‫ ا‬$‫ َه‬$‫ اَل ِح‬$‫ص‬
‫ن‬ $ْ $ِ‫ إ‬$‫د‬$َ $‫ع‬$ْ $‫ َب‬$‫ض‬ $ِ $‫ر‬$ْ $َ ‫أْل‬$‫ ا‬$‫ ي‬$‫ ِف‬$‫ا‬$‫ و‬$‫ ُد‬$‫س‬ $ِ $‫ ْف‬$‫ اَل ُت‬$‫و‬$َ
$ِ $‫ح‬$ْ $‫ ُم‬$‫ ْل‬$‫ ا‬$‫ن‬$َ $‫ ِم‬$‫ب‬
$‫ن‬$َ $‫ ي‬$‫ ِن‬$‫س‬ $ٌ $‫ ي‬$‫ر‬$ِ $‫ َق‬$ِ ‫ هَّللا‬$‫ت‬$َ $‫ َم‬$‫ح‬$ْ $‫ر‬$َ

Artinya:  dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan
harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang
yang berbuat baik. (Q.S al-a’raf : 56)

dan Surat al-Qashash ayat 77:

$ۖ $‫ ا‬$‫ َي‬$‫ ْن‬$‫ ُّد‬$‫ل‬$‫ ا‬$‫ن‬$َ $‫ ِم‬$‫ َك‬$‫ َب‬$‫ ي‬$‫ص‬


$ِ $‫ َن‬$‫س‬ $َ $‫ ْن‬$‫َت‬ ‫ اَل‬$‫و‬$َ $ۖ $‫ َة‬$‫ر‬$َ $‫آْل ِخ‬$‫ ا‬$‫ر‬$َ $‫َّد ا‬$ $‫ل‬$‫ ا‬$ُ ‫ هَّللا‬$‫ َك‬$‫ ا‬$‫ َت‬$‫ آ‬$‫ ا‬$‫ َم‬$‫ ي‬$‫ ِف‬$‫غ‬$ِ $‫ َت‬$‫ ْب‬$‫ ا‬$‫و‬$َ
‫ اَل‬$َ ‫ هَّللا‬$‫ َّن‬$ِ‫ إ‬$ۖ $‫ض‬ $ِ $‫ر‬$ْ $َ ‫أْل‬$‫ ا‬$‫ ي‬$‫ ِف‬$‫د‬$َ $‫ ا‬$‫س‬
$َ $‫ َف‬$‫ ْل‬$‫ا‬ $‫غ‬$ِ $‫ ْب‬$‫ اَل َت‬$‫و‬$َ $ۖ $‫ َك‬$‫ ْي‬$‫ َل‬$ِ‫ إ‬$ُ ‫ هَّللا‬$‫ن‬$َ $‫س‬ $َ $‫ح‬$ْ $َ‫ أ‬$‫ ا‬$‫ َم‬$‫ َك‬$‫ن‬$ْ $‫س‬ $ِ $‫ح‬$ْ $َ‫ أ‬$‫و‬$َ
$ِ $‫ ْف‬$‫ ُم‬$‫ ْل‬$‫ ا‬$‫ب‬
$‫ن‬$َ $‫ ي‬$‫ ِد‬$‫س‬ ُّ $‫ ِح‬$‫ُي‬

Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S al-Qashash :
77)

E. Kaidah Cabang

5 A. Djajuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-


masalah Yang Praktis, Jakarta: Pranada Media Grup, 2007, h. 68
Terdapat beberapa kaidah penting, 5 diantaranya adalah:

1.   ‫ب أَ َخ ِّف ِه َما‬


ِ ‫ار ِت َكا‬ َ ‫س َد َتان ُر ْوعِ َى أَ ْع َظ ُم ُه َما‬
ْ ‫ض َر ًرا ِب‬ َ ‫ض َم ْف‬ َ ‫ا َِذا َت َع‬
َ ‫ار‬

“Jika terjadi pertentangan antara dua macam mufsadat, maka harus diperhatikan mana
yang lebih besar bahayanya dengna melakukan yang lebih ringan.”

            Maksud kaidah ini, manakala pada suatu ketika datang secara bersamaan dua
mufsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakah diantara mufsadat itu yang lebih kecil
ata lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus
ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih kecil atau yang lebih ringan mudharatnya.6

َّ ‫ض ُر ْو َر ِة َعا َّم ًة َكا َن ْت أَ ْو َخا‬


2. ‫ص ًة‬ ُّ ‫اَ ْلحا َ َج ُة ُت َن َّزل ُ َم ْن ِز َل َة ال‬

“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.”

            Menurut kaedah ini, kejahatan yang sangat mendesak, dapat disamakan dengan
keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah menjadi
darurat.7
          Contoh: Diibaratkan Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran
jalan demi mengurangi kecelakaan lalu lintas karena sudah sangat ramai, maka dari itu
pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Hal tersebut dibolehkan
demi kepentingan orang banyak.

3. ‫ورات ُت ِب ْي ُح ا ْل َم ْح ُظ ْو َرات‬ َّ َ‫ا‬


َ ‫لض ُر‬
“Kemadharatan itu membolehkan yang dilarang”

6 Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarata: Raja Grafindo Perseda, 2001, h. 76


7 Ibid. h. 79
            Di kalangan Ulama Ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang
membolehkan seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang adalah kadaan yang memenuhi
syarat sebagai berikut:8
a)      Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b)      Keadaa darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c)      Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Adapun dasar pijakannya adalah firman Allah sebagai berikut:9

$ۖ $ِ ‫ هَّللا‬$‫ر‬$ِ $‫ ْي‬$‫غ‬$َ $ِ‫ ل‬$‫ ِه‬$‫َّ ِب‬$‫ ل‬$‫ ِه‬$ُ‫ أ‬$‫ ا‬$‫ َم‬$‫و‬$َ $‫ر‬$ِ $‫ ي‬$‫ز‬$ِ $‫ ْن‬$‫ ِخ‬$‫ ْل‬$‫ ا‬$‫ َم‬$‫ح‬$ْ $‫ َل‬$‫و‬$َ $‫ َم‬$‫ َّد‬$‫ل‬$‫ ا‬$‫و‬$َ $‫ َة‬$‫ َت‬$‫ ْي‬$‫ َم‬$‫ ْل‬$‫ ا‬$‫ ُم‬$‫ ُك‬$‫ ْي‬$‫ َل‬$‫ َع‬$‫َّر َم‬$ $‫ح‬$َ $‫ ا‬$‫ َم‬$َّ‫ن‬$ِ‫إ‬
$ٌ‫م‬$‫ ي‬$‫ ِح‬$‫ر‬$َ $‫ ٌر‬$‫ و‬$ُ‫ ف‬$‫غ‬$َ $َ ‫ هَّللا‬$‫ َّن‬$ِ‫ إ‬$ۚ $‫ ِه‬$‫ ْي‬$‫ َل‬$‫ع‬$َ $‫ َم‬$‫ ْث‬$ِ‫ اَل إ‬$‫ َف‬$‫ ٍد‬$‫ ا‬$‫ع‬$َ ‫ اَل‬$‫و‬$َ $‫غ‬$ٍ $‫ ا‬$‫ َب‬$‫ر‬$َ $‫ ْي‬$‫َّر َغ‬$ $‫ ُط‬$‫ض‬ $ْ $‫ا‬ $‫ ِن‬$‫ َم‬$‫َف‬

“Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak


menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut, maka dalam keadaan terpaksa, seseorang
boleh diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang dalam kebiasaannya melakukannya,
kemungkinan besar sekali menimbulkan kemadhatratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka
kaidah-fiqih tersebut merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (general law),
artinya orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang oleh
agama.10
Contohnya: Diibaratkan disuatu desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan
namun, sudah dalam keadaan kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada
seorang bidan dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan bagi
dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.

َّ ‫لض َر ُرالَ ُي َزال ُ باَل‬


4. ‫ض َر ِر‬ َّ َ‫ا‬

“Kemudharatan tidak bisa hilang dengan kemudharatan lain.”

8 A. Djajuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-


masalah Yang Praktis, Jakarta: Pranada Media Grup, 2007, h. 72
9 Muhamad Mas’ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), h. 65
10 Ibid
Maksud kaidah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara
melakukan kemudharatan yang lain yang sebanding keadaannya.11
Contoh: Diibaratkan seorang pasien yang memiliki penyakit ginjal, sedang si pasien
tersebut ingin menyumbangkan salah satu ginjalnya untuk pasien yang lain dengan alasan
ingin menolongnya.

ِ ‫دَ ْر ُء ا ْل َم َفاسِ ِد ُم َق َّد ٌم َع َلى َج ْل‬


َ ‫ب ا ْل َم‬
5. ‫صال ِِح‬

“Mencegah bahaya itu lebih utama dari pada menarik datangnya kebaikan”
Maksud kaidah itu adalah jika ditemukan adanya bahaya dan kebaikan berkumpul
dalam satu kasus, maka yang harus diprioritaskan lebih dahulu adalah menangkal bahaya
dengan mengabaikan kebaikan. Artinya hal-hal yang dilarang dan membahayakan itu lebih
utama dicegah dari pada berusaha meraih kebaikan dengan cara menjalankan perintah
keagamaan, sementara disisi lain dibiarkan terjadinya kerusakan.
Contoh : Jika ada seseorang yang memiliki penyakit dan dia dalam keadaan ingin
melaksanakan sholat jum’at, maka dia boleh meninggalkan sholat jum’at tersebut karena
adanya faktor sakit.

1. Kondisi saat ini

11 A. Djajuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan Masalah-


masalah Yang Praktis, h. 74
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Arti dari kaidah “ Adh-dharar Yuzaluu “ adalah Tidak boleh ada penderitaan dari
penindasan, baik oleh dirinya maupun orang lain. kalimat "Dharar" yang berarti
mendatangkan kesulitan dan kerusakan kepada pihak lain segala hal yang mengakibatkan
kemudharatan, penderitaan, kesulitan itu tidak boleh ada. Maka upayanya bagaimana untuk
mencegah kemunculannya, ketika kenyataannya telah muncul maka hal tersebut harus
dihilangkan. Dan setelahnya harus dihindari keberulangannya. Dan dasar hukum yang
melandasi kaidah ini yang terdapat dalam firman Allah surat Al-Qashash ayat 77 dan
menurut hadist yang diriwayatkan oleh  Ibnu Majjah ra ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dari
Ibnu ‘Abbas yang berbunyi “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas
kemudharatan”.
Dan turunan yang dapat diambil dari kaidah ini adalah Kemudharatan yang terjadi tidak
dapat dianggap sesuatu yang telah lama adanya,Kemudharatan itu harus dihindarkan sedapat
mungkin, Kemudharatan yang lebih berat dapat dihilangkan dengan mengerjakan
kemudharatan yang lebih ringan, Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan
kemudharatan yang sebanding, Kerusakan tidak dihilangkan dengan yang merusak,
Keterpaksaan dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang, dan Menolak bahaya
didahulukan dari pada menarik keuntungan.
B.   Saran
Dengan disusunnya makalah ini, dari penulis berharap agar para pembaca khususnya
mahasiswa dapat mengerti dan memahamidan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
tentang kaidah Adh-Dharuriyah dan keturunannya yang mana cakupan dari kaidah
Asasiyyah.
Dalam makalah ini mungkin sangat banyak sekali kesalahan-kesalahan dari segi
penulisan ataupun hal yang lainnya. Dengan demikian kami sebagai penulis mohon maaf dan
juga kami mengharapkan kritik dan saran atas tulisan kami agar bisa membangun dan
memotivasi kami agar membuat tulisan jauh lebih baik lagi

Daftar Pustaka
Nashr Farid Muhammad Washil, Qawaid Fiqhiyyah.
Alim, Nur, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-
Hamsidar, Al  Daraaru  Yuzalu  (SalahSatu  Kaidah  Ushuliyah) Yang  Berkesesuaian 
DenganKondisi  Membahayakan Dan Menyulitkan. Jurnal Ekpose Vol XXIII, No. 2, Desember 2014
A. Djajuli, Kaidah-kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah Yang Praktis, Jakarta: Pranada Media Grup, 2007,
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarata: Raja Grafindo Perseda, 2001
Muhamad Mas’ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah)

Anda mungkin juga menyukai