Anda di halaman 1dari 16

MUNASABAH AL-QUR’AN DAN I’JAZUL QUR’AN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an adalah kalam Allah. yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad Saw.
yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian
termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah
meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat
di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya
terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa sistimatikan al-Qur’an
sebagaimana terdapat dalam mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya, itulah sebabnya
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf tentang urutan surat dalam al-Qur’an. Pendapat pertama, bahwa
hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi. Golongan kedua berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad. Kehadiran
al-Qur’an dan misi risalah Rasulullah Saw selalu mengudang perhatian berbagai pihak untuk mengadakan studi. Aspek
kajiannya terus berkembang baik dari aspek ilmiah maupun aspek non ilmiah. Hal ini barangkali dikarenakan oleh
mu’jizat al-Qur’an. Keajaiban al-Qur’an seperti air laut tak pernah kering untuk ditimba. Ia lalu memeberikan inspirasi
kepada manusia tanpa habis-habisnya.

B. Identifikasi Masalah
1. Pengertian munasabah dan I’Jazul Qur’an
2. Beberapa contoh munasabah dalam alquran dan macam I’jazul Qur’an
3. Cara mengetahui munasabah kadar kemukjizatan Al-Qur’an
4. Macam-macam munasabah alquran
5. Ayat dan Surat
6. Urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah alquran dan Tujuan I’jazul Qur’an

C. Rumusan Masalah
1. Apa pengerian munasabah dan Pengertian I’jazul Qur’an?
2. Apa saja contoh munasabah yang ada di dalam alquran dan macam I’jazul Qur’an?
3. Bagaimana cara mengetahui munasabah dan Kadar Kemukjizatan Qur’an?
4. Ada berapa macam munasabah alquran dan Aspek Kemukjizatan Qur’an?
5. Apa urgensi dan kegunaan dari mempelajari munasabah alquran dan Tujuan I’jazul Qur’an?

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. MUNASABAH AL-QUR’AN

A. Pengertian Munasabah
secara etimologi berarti kecocokan, kesesuaian atau kepantasan. Kata munasabah secara etimologi menurut as-
Suyuthi berarti al-Musakalah (keserupaan) dan dan al-Muqabarah (kedekatan).

Sedangkan Menurut perngertian terminologi, munasabah dapat didefinisikan sebagai berikut :


1.) Menurut Az-Zarkasyi :
Artinya : Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tak kala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan
menerimanya.
2.) Menurut Manna’ Al-Qathhthan :
Artinya : Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam sau ayat atau antara ayat pada
beberapa ayat, atau antar surat (di dalam Al-qur’an).
3.) Menurut Ibn Al-‘Arabi :
Artinya : Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang
mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakn ilmu yang sangat agung.
4.) Menurut Al-Biqa’i :
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagiab Al-qur’an,
baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.

Dengan kata lain ilmu munasabah al-Qur’an adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan suatu ayat dengan ayat
lainnya, atau suatu surat dengan surat lainnya. Hubungan itu dapat berupa hubungan umum dengan khusus, hubungan
logis (‘aqli) atau hubungan konsekuensi logis seperti hubungan sebab dengan akibat, hubungan dua hal yang sebanding
atau berlawanan.

B. Beberapa Contoh Munasabah Dalam al-Qur’an


Untuk membuktikan apakah ada hubungan antara surat atau ayat dengan surat atau ayat lain dalam al-Qu’an
berikut beberapa contoh.
a). Hubungan surat al-‘Alaq dengan surat al-Qadar.
Dalam surat al-‘Alaq, nabi dan umatnya disuruh membaca (iqra), yang harus dibaca itu banyak sekali di antaranya
adalah al-Qur’an. Maka wajarlah jika surat berikutnya adalah surat al-Qadar yang menjelaskan turunya al-Qur’an. Inilah
keserasian susunan surat dalam al-Qur’an.
b). Hubungan surat al-Baqarah dengan surat al-Fatihah.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html 2
Pada awal surat al-Baqarah tertulis “kitab al-Qur’an ini tidak ada keraguan di dalamnya. Pada surat al-Fatihah
tercantum kalimat “tunjukilah kami jalan yang lurus,”ini berarti bahwa ketika mereka meminta “tunjukilah kami jalan yang
lurus,” maka Allah menjawab: jalan lurus yang kalian minta ini adalah al-Qur’an yang tidak ada keraguan di dalamnya.”
c). Keserasian surat al-Kautsar dengan surat al-Ma’un.
Hubungan ini adalah hubungan dua hal yang berlawanan. Dalam surat al-Ma’un, Allah menjelaskan sifat-sifat
orang munafik; bakhil (tidak memberi makan fakir miskin dan anak yatim), meninggalkan shalat, riya, (suka pamer), dan
tidak mau membayar zakat. Dalam surat al-Kautsar Allah mengatakan “sesungguhnya Kami telah memberi nikmat
kepadamu banyak sekali (lawan dari bakhil, mangapa kamu bakhil?, tetaplah menegakkan shalat); shalat kamu itu
hendaklah karena Allah saja, dan berkorbanlah, lawan dari enggan membayar zakat. Inilah keserasian yang amat
mengagumkan sebagai petanda adanya hikmah dalam susunan surat-surat dalam al-Qur’an.

C. Cara Mengetahui Munasabah


Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejarah munculnya kajian tentang munasabah tidak terjadi pada masa
Rasulullah, melainkan setelah berlalu sekitar tiga atau empat abad setelah masa beliau. Hal ini berarti, bahwa kajian ini
bersifat taufiqi (pendapat para ulama). Karena itu, keberadaannya tetap sebagai hasil pemikiran manusia (para ahli
Ulumul-Qur’an) yang bersifat relatif, mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sama halnya dengan
hasil pemikiran manusia pada umumnya, yang bersifat relatif (Zhanniy).
Sungguhpun keberadaannya mengandung nilai kebenaran yang relatif, namun dasar pemikiran tentang adanya
munasabah dalam al-Qur’an ini berpijak pada prinsip yang bersifat absolut. Yaitu suatu prinsip, bahwa tartib (susunan)
ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana kita lihat sekarang adalah bersifat Tauqifi yakni suatu susunan yang disampaikan
oleh Rasulullah berdasarkan petunjuk dari Allah (wahyu), bukan susunan manusia, atas dasar pemikiran inilah, maka
sesuatu yang disusun oleh Dzat Yang Maha Agung tentunya berupa susunan yang sangat teliti dan mengandung nilai-
nilai filosofis (hikmah) yang sangat tinggi pula. Oleh sebab itu, secara sistematis tentulah dalam susunan ayat-ayat al-
Qur’an terdapat korelasi, keterkaitan makna (munasabah) antara suatu ayat dengan ayat dengan ayat sebelumnya atau
ayat sesudahnya. Karena itu pula, sebagaimana ulama menamakan ilmu munasabah ini dengan ilmu tentang
rahasia/hikmah susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Qur’an.
Asy-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah namun masalah-
masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya
mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surah atau sebaliknya. Karena
bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
Mengetahui hubungan antara suatu ayat atau surah lain (sebelum atau sesudahnya) tidaklah kalah pentingnya
dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surah-surah itu
dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surah-surah yang bersangkutan.
Ilmu ini dapat berperan mengganti ilmu asbabul nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu
ayat tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat itu dengan yang lainnya. Sehingga di kalangan ulama timbul
masalah mana yang didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu
dengan yang lainnya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 3
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
Tentang masalah ilmu munasabah di kalangan ulama’ terjadi perbedaan pendapat, bahwa setiap ayat atau surat
selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain. Ada pula yang menyatakan bahwa hubungan itu tidak selalu ada.
Tetapi sebagian besar ayat-ayat dan surah-surah ada hubungannya satu sama lain. Ada pula yang berpendapat bahwa
mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat
dengan surat lainnya.
Muhammad Izah Daruzah mengatakan bahwa semula orang menyangka antara satu ayat atau surat dengan ayat
atau surat yang lain tidak memiliki hubungan antara keduanya. Tetapi kenyataannya, bahwa sebagian besar ayat-ayat
dan surat-surat itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Alquran diperlukan ketelitian dan pemikiran
yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah
ini, yaitu:
1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
2. Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan tingkatan-tingkatan itu, apakah ada hubungannya atau tidak.
4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memerhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan
tidak berlebihan.

D. Macam-Macam Munasabah al-Qur’an


Dalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah (masih banyak didalam Al-Qur’an), yaitu:
1.) Munanbah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan
atau menyempumakan ungkapan pada surat sebelurnnya. sebagai contoh, dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan
alhamdulilah. ungkapan ini berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 152 dan 186:
Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. ( QS. Al-Baqarah ayat 152).
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah
dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran. (QS. Al-Baqarah ayat 186).
Ungkapan " rabb al-alamin" dalam surat Al- Fatihah berkorelasi dengan surat Al-Baqarah ayat 21-22:
Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu
bertakwa. (Al-Baqarah ayat 21)
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari
langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui. (Al-Baqarah ayat 22).
Di dalam surat Al-Baqarah ditegaskan ungkapan "dzalik Al-kitab la raiba fih". Ungkapan ini berkorelasi dengan surat Ali
‘lmran ayat 3:

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 4
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali 'lmran : 3)

Demikian pula, apa yang oleh surat Al-Baqarah diungkapkan secara global, yaitu ungkapan wa ma unzila min qablik,
dirinci lebih jauh oleh surat Ali 'lmran ayat 3:
Artinya : Dia menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; membenarkan Kitab yang Telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil. (Ali 'lmran : 3).
Berkaitan dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr Abu Zaid. la menjelaskan
bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat Al-Baqarah merupakan hubungan stilistika kebahasaan.
Sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini
tercermin dalam kenyataan bahwa surat Al-Fatihah diakhiri dengan doa: lhdina Ashshirath Al-mustaqim, shirath Al-
ladzina an'amta alaihim ghair Al-maghdhubi'alaihim wa la adh-dhallin. Doa ini mendapatkan jawabannya dalam
permulaan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Atas dasar ini, kita
menyimpulkan bahwa teks tersebut berkesinambungan: "Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke
jalan yang lurus, dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu adalah Al-Kitabin"
Jika kaitan antara surat Al-Fatihah dan suratAl-Baqarah merupakan kaitan stilistika, hubungan antara surat Al-Baqarah
dengan surat Ali' lmran lebih mirip dengan hubungan antara "dalil" dengan "keraguan-keraguan akan dalil". Maksudnya,
surat Al-Baqarah merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah
agama, sementara Surat Ali lmran "sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh”. Kaitan antara surat Al-Baqarah
dan surat Ali 'lmran merupakan kaitan yang didasarkan pada semacam ta'wil (interpretasi) yang membatasi kandungan
Surat Ali'lmran pada ayat ketujuh saja.

2.) Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya


Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan itu tercermin pada namanya masing-masing,
seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat Al-Jinn. Lihatlah firman Allah surat Al-Baqarah : 67-71:
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina." mereka berkata: "Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: "Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil". Mereka menjawab: "
mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami, sapi betina apakah itu." Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda,
pertengahan antara itu, Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-
orang yang memandangnya." Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan
kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan
Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." Musa berkata: "Sesungguhnya
Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak
pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 5
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak
melaksanakan perintah itu. (QS. Al-Baqarah : 67-71).
Cerita tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas merupakan inti pembicaraannya, yaitu kekuasaan Tuhan
membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan
keimanan kepada hari kemudian.

3.) Munasabah antar bagian suatu ayat


Munasabah antar bagian surat sering berbentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan) seperti terlihat dalam
surat Al-Hadid ayat 4:
Artinya : Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia bersemayam di atas arsy dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan. (QS. Al-Hadid ayat 4).
Antara kala "yaliju”(masuk) dengan kata "yakhruju (keluar), serta kata "yanzilu (turun) dengan kata"ya'ruju”(naik)
terdapat korelasi pertawanan. Contoh lainnya adalah kata"Al-'adzab' dan Ar-rahmah" dan janji baik setelah ancaman.
Munasabah seperti ini dapat dijumpai dalam suratAl-Baqarah, An-Nisa dan surat Al-Mai'dah.

4.) Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan


Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas.
Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya rnenggunakan pola ta'kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh
(bantahan), dan tasydid (penegasan). Munasabah antar ayat yang menggunaan pola ta'kid yaitu apabila salah satu ayal
atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah:
Artinya : Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam (QS. Al-Fatihah : 1-2).
Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh
ayat atau bagian ayat di sampingnya. Contoh firman Allah :
Artinya : Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan
kepada mereka. (Qs. Al-Baqarah : 2-3).
Makna "muttaqin" pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demiklan, orang yang bertakwa adalah orang
yang mengimani hal-halyang gaib, mengerjakan shalat, dan selerusnya.
Munasabah antara ayat menggunakan pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya
dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan maknanya.
Contohnya firman Allah pada surat An-Nahl ayat 57:
Artinya : Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri
(mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki). (QS. An-Nahl ayat 57).
Kala "subhanahu" pada ayat di atas merupakan bentuk i'tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan
bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah. Adapun munasabah antar ayat
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 6
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
menggunakan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya.
Contohnya firman Allah dalam surat Al-Fatihah ayat 6-7:
Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka,
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 6-7).
Ungkapan “Ash-shirath Al-mustaqim"pada ayat 6 dipertegas oleh ungkapan “Shirathalladzina...”. Antara kedua
ungkapan yang saling memperkuat itu terkadang ditandai dengan huruf athaf (langsung) dan terkadang tidak diperkuat
olehnya (tidak langsung).
Munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qara'in ma'nawiyyah (hubungan makna) yang terlihat dalam
empat pola munasabah: At-tanzir (perbandingan), Al-mudhadat (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan At-
takhallush (perpindahan).
Munasabah yang berpolakan At-tanzir rerlihat pada adanya perbandingan antara ayat-ayat yang berdampingan.
Contohnya firman Allah pada surat Al-Anfal ayat 4-5:
Artinya : Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi
dan rumahmu dengan kebenaran, padahal Sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak
menyukainya. (QS. Al-Anfal: 4-5).
Pada ayat kelima, Allah memerintrahkan kepada RasulNya agar terus melaksanakan perintah-Nya meskipun para
sahabatnya tidak menyukainya. Sementara, pada ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari rumah
untuk berperang. Munasabah antarkedua ayat tersebut di atas terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan para
sahabat terhadap pembagian ghanimah yang dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka untuk berperang. Padahal,
sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan lslam.
Munasabah yang berpolakan Al-mudhadaf terlihat pada adanya perlawanan makna antara satu ayat makna yang lain
yang berdampingan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 6, misalnya, terdapat ungkapan:
Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri
peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. Al-Baqarah : 6).
Ayat ini bebicara tentang watak orang-orang kafir dan sikap mereka terhadap peringatan, sedangkan ayat-ayat
sebelumnya berbicara tentang watak-watak orang mukmin.
Munasabah yang berpolakan istithradh terlihat pada adanya penjelasan lebih lanjut dari suatu ayat. Misalnya dalam
surat Al-A’raaf ayat 26 diungkapkan:
Artinya : Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan
Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari
tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS. Al-A’raaf ayat 26).
Ayat ini, menurut Az-Zamakhsyari, datang setelah pembicaraan tentang terbukanya aurat Adam-Hawa dan menutupnya
dengan daun. Hubungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa penciptaan pakaian berupa daun merupakan
karunia Allah, telanjang dan terbuka aurat merupakan suatu perbuatan yang hina, dan menutupnya merupakan bagian
yang besardari takwa.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 7
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
Selanjutya, pola muhasabah takhallush terlihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertentu secara
halus. Misalnya, dalam surat Al-Araf, mula-mula Allah berbicaara tentang para Nabi dan umat terdahulu, kemudian
tentang Nabi Musa dan para pengikutya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.

5.) Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya


Dalam surat Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan
fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok
manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.

6.) Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat


Macam munasabah ini mengandung tujuan tujuan tertentu. Di antaranya adalah untuk menguatkan (tamkin)
makna yang terkandung dalam suatu ayat. Misalnnya, dalam surat Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut:
Artinya : Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak
memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan adalah Allah
Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Ahzab : 25).
Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan, bukan karena lemah, melainkan
karenaAllah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah diantara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan
agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna. Tujuan lain dari fashilah, adalah memberi
penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenamya, makna ayat sudah jelas. Misalnya dalam surat An-
Naml ayat 80:
Artinya : Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (Tidak pula) menjadikan
orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka Telah berpaling membelakang. (QS. An-Naml ayat 80).
Kalimat “idza wallau mudbirin" merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.

7.) Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Tentang munasabah semacam ini, As-suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid Al-Mathali fi
Tanasub Al-Maqati ‘wa Al-Mathali’. Contoh munasabah ini terdapat dalam surat Al-Qashas yang bermula dengan
menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolonganAllah,
Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat Allah menyampaikan kabar gembira kepada
Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal
surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan
kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.

8.) Munasbah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya


Jika diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya,
sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan surat Al-Hadid dimulai dengan tasbih:
Artinya : Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah).
dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hadid Ayat 1).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 8
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya. Al-Waqiah yang memerintahkan bertasbih:
Artinya : Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha besar (QS. AL-Waqiah Ayat 96).
Kemudian, permulaan surat Al-Baqarah:
Artinya : Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. Al-
Baqarah ayat 1-2).
Ayat ini bermunasabah dengan akhir surat Al-Fatihah
Artinya : (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 7).

E. Ayat Dan Surat


1. Tertib Ayat
Al-Qur'an terdiri atas surat-surat dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Adapun ayat, ia adalah
sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam suatu surat Al-Qur'an. sedangkan surat adalah sejumlah ayat Al-Qur'an yang
mempunyai permulaan dan kesudahan. Penempatan secara tertib urutan ayat-ayat Al-Qur'an ini adalah bersifat tauqifi,
berdasarkan ketentuan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan dan Abu Ja'far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah-nya, mengatakan, "Tertib ayat-ayat
di dalam surat-surat itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa dipersilisihkan kaum muslimin."
As-suyuthi memastikan hal itu, katanya, "Ijma' dan nash-nash yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu adalah
tauqifi, tanpa diragukan lagi." Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya di mana
ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan
kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka, "Letakkanlah
ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu.
Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan para sahabat kepada kita.
Utsman bin Abi Al-'Ash berkata, "Aku tengah duduk di samping Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tiba-tiba
pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya; Jibril telah datang kepadaku dan
memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surat ini, 'Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan serta bersedekah kepada kaum kerabat." (An-Nahl: 90)
Ketika pengumpulan Al-Qur'an, Utsman selalu berada di tempat setiap kali suatu ayat atau surat akan diletakkan di
dalam mushaf, sekalipun ayat itu telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan, penulisan ayat
dengan tertib seperti itu adalah tauqifi.
Kata Ibnu Az-Zubair,'Aku mengatakan kepada Utsman bahwa ayat; 'Dan orang orang yang meninggal dunia di
antara kamu dengan meninggalkan istri istri...'(Al-Baqarah: 234) telah dimansukh oleh ayat yang lain. Tetapi, mengapa
anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan? Ia menjawab, "wahai putra saudaraku, aku tidak mengubah
sesuatu pun dari tempatnya'.
Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surat-surat tertentu. Ini menunjukkan
bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika susunannya dapat diubah, tentulah ayat ayat itu tidak akan didukung
oleh hadits-hadits tersebut.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 9
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
Diriwayatkan dari Abu Ad-Darda'dalam hadits marfu'. "Barang siapa yang hafal sepuluh ayat dari awal surat Al-
Kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.
Juga terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar berkata, "Aku tidak
menanyakan kepada Nabi tentang sesuatu lebih banyak dari yang aku tanyakan kepada beliau tentang kalalah (orang
yang meninggal, tetapi tidak mempunyai anak dan orang tua), sampai Nabi menekankan jarinya ke dadaku dan
mengatakan,'Tidak cukupkah bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat di akhir surat An-Nisaa?.
Disamping itu, banyak juga riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca
sejumlah surat dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam Khutbah Jum'at, seperti surat Al-Baqarah, Ali Imran
dan An-Nisaa'. Juga diriwayatkan secara shahih, bahwa Rasulullah membaca surat Al-A'raf dalam shalat maghrib.
Beliau juga membaca surat AIif Lam Mim Tanzil (As-Sajdah) dan Hal ata'alal insan (Ad-Dahr) dalam shalat subuh di hari
Jum'at. Beliau pun membaca surat Qaf pada waktu khutbah; surat Al-Jumu'ah dan surat Al-Munafiqun dalam shalat
Jum'at.
Jibril senantiasa mengujikan Al-Qur'an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah setiap tahun sekali pada
bulan Ramadhan, dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan jibril terakhir ini seperti
tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikian, tertib ayat-ayat Al-Qur'an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar di antara kita adalah
tauqifi, tanpa diragukan lagi. Para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka
dengar dari Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.

2. Tertib Surat
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Al-Qur'an yang ada sekarang.
1.) Ada yang berpendapat bahwa tertib surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan
Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan demikian, Al-Qulan pada masa Nabi telah tersusun surat-suratnya
secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti yang ada di tangan kita sekarang ini, yaitu tertib mushaf Utsman
yang tak ada seorang sahabat pun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi ijma' atas susunan surat yang ada,
tanpa suatu perselisihan apa pun.
Kelompok ini berdalil bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surat secara tertib di dalam shalatnya. Ibnu Abi
syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat mufashshal (surat-surat pendek) dalam satu
rakaat. Al-Bukhari meriwayatkan dari lbnu Mas'ud katanya, "Surat Bani Israil, Al-Kahfi, Maryam, Thaha dan Al-Anbiya'
termasuk yang diturunkan di Makkah dan yang pertama-tama aku pelajari.' Kemudian ia menyebutkan surat-surat itu
secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Sulaiman bin Bilal, ia berkata Aku mendengar Rabi'ah ditanya orang, "Mengapa
surat Al-Baqarah dan Ali Imran didahulukan, padahal sebelum surat itu diturunkan sudah ada delapan puluh sekian
surat Makiyyah, sedang keduanya diturunkan di Madinah?" Ia menjawab, "Kedua surat itu memang didahulukan dan Al-
Qur'an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya." Kemudian katanya, "Ini adalah sesuatu
yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.
Ibnul Hashshar mengatakan, "Tertib surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya masing-masing itu berdasarkan
wahyu. Rasulullah mengatakan, "Letakkanlah ayat ini di tempat ini." Hal tersebut telah diperkuat pula oleh riwayat yang

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 10
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma' para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya
seperti ini di dalam mushaf.
2.) Kelompok kedua berpedapat bahwa tertib surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, sebab ternyata ada perbedaan
tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Igra',
kemudian Al-Muddatstsir, lalu Nun, Al- Qalam, kemudian Al-Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surat Makkiyah dan
Madaniyah.
Adapun dalam mushaf Ibnu Mas'ud, yang pertama ditulis adalah surat Al-Baqarah, kemudian An-Nisaa', lalu
disusul AIi Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay, yang pertama ditulis adalah Al-Fatihah, Al-Baqarah, An-Nisaa', lalu
Ali Imran.
Ibnu Abbas menceritakan, "Aku bertanya kepada Utsman, apakah yang mendorongmu mengambil Al-Anfal yang
termasuk kategori surat al-matsani dan Bara'ah yang termasuk mi'in untuk anda gabungkan menjadi satu tanpa anda
tuliskan bisrnillahir rahmanir rahim di antara keduanya, anda juga meletakkannya pada as-sab'u ath-thiwal (tujuh surat
panjang)? Utsman menjawab; Telah turun kepada Rasulullah surat-surat yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada
ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu, lalu menginstruksikan, 'Letakkanlah ayat ini pada surat
yang di dalamnya terdapat ayat anu dan anu. Surat Al-Anfal termasuk surat pertama yang turun di Madinah sedang
surat Bara'ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surat Al-Anfal serupa dengan kisah dalam surat Bara'ah,
sehingga aku mengira surat Bara'ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. Tetapi nyatanya sampai Rasulullah Shallallahu
Alaihiwa Sallam wafat tidak pernah menjelaskan kepada kami bahwa surat Bara'ah merupakan bagian dari surat Al-
Anfal. Oleh karena itu, kedua surat tersebut aku gabungkan dan di antara keduanya tidak aku tuliskan bismitlahir
rahmanir rahim. Aku juga meletakkannya pada as -sab'u ath-thiwal.
3.) Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad
para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya,
keterangan yang menunjukkan tertib as-sab'u ath-thiwal, aI-hawamim dan al-mufashshal pada masa hidup Rasulullah.
Menurut Ibnu Hajar, "Tertib sebagian surat-surat atau bahkan sebagian besarnya tidak dapat ditolak, bersifat
tauqifi. Untuk mendukung pendapatnya ini ia mengemukakan hadits Hudzaifah Ats-Tsaqafi yang mengatakan,
"Rasulullah berkata kepada kami; 'Telah datang kepadaku waktu untuk hizb (bagian) dari Al-Qur'an, maka aku tidak
ingin keluar sebelum selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah, "Bagaimana kalian membuat
pembagian Qu'ran?" Mereka menjawab; Kami membaginya menjadi tiga surat, lima surat, tujuh surat, sembilan surat,
sebelas surat, tiga belas surat, dan bagian al-mufashshal dari Qaf sampai kami khatam.
Kata Ibnu Hajar lebih lanjut, "Hal ini menunjukkan, bahwa tertib surat-surat seperti terdapat dalam mushaf
sekarang adalah tertib surat pada masa Rasulullah." Dan katanya, "Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu
itu hanyalah bagian mufashshal, bukan yang lain. Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa
pendapat kedua, yang menyatakan tertib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar
pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebahagian sahabat mengenai tertib mushaf mereka yang khusus, merupakan ikhtiar
mereka sebelum Al-Qur'an dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Ustman Al-Qur'an dikumpulkan, ditertibkan
ayat-ayat dan surat- auratnya pada satu dialek, umat pun sepakat, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka
ditinggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad, tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-
masing.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 11
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
itu pendapat ketiga, yang menyatakan sebagian surat itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi;
dalil-dalilnya hanya berpusat pada nash-nash yang menunjukkan tertib tauqifi.Adapun bagian yang ijtihadi tidak
bersandar pada dalil yang menunjukkan tertib ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti
yang selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu, yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tertib surat-surat itu bersifat tauqifi, seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar bin
Al-Anbari menyebutkan, "Allah telah menurunkan Al-Qur'an seluruhnya ke langit dunia. Kemudian Ia menurunkannya
secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surat turun karena ada suatu masalah yang terjadi,
ayat pun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya. Jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi dimana surat
dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surat-surat, seperti halnya susunan ayat-ayat dan
huruf-huruf Al-Qur'nn seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barangsiapa mendahulukan sesuatu surat atau
mengakhirkannya, berarti ia telah merusak tatanan Al-Qur'an.
Kata Al-Kirmani dalamAl-Burhan, 'Tertib surart seperti kita kenal sekarang ini sudah menjadi ketentuan Allah dalam
Lauh Mahfuzh.. Menurut tertib ini pula Nabi membacakan di hadapan Jibril setiap tahun. Demikian juga pada akhir
hayatnya beliau membacakan di hadapan Jibril, menurut tertib ini sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun
ialah, “Dan peliharalah dirimu pada hari di mana waktu itu kamu semua akan dikembalikan kepada Allah.' (Al-Baqarah:
281) Lalu Jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini di antara ayat riba dan ayat tentang utang piutang.
As-suyuthi mendukung pendapat Al-Baihaqi yang mengatakan “Surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur'an pada masa
Nabi, telah tersusun menurut tertib ini kecuali Al-Anfal dan Bara'ah, sesuai dengan hadits Utsman.

F. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah al-Qur’an


Sebagaimana asbabunnuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami Alquran. Muhammad Abdullah
Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapkan oleh surat itu banyak, semuanya
merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak
memahami sistematika surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala
permasalahannya.”
Kegunaan mempelajari ilmu munasabah sebagai berikut:
1.)Dapat mengembangkan sementara anggapan orang yang menganggap bahwa tema-tema Alquran kehilangan
relevansi antara satu bagian dengan bagian lainnya.
2.)Mengetahui persambungan atau hubungan antara bagian Alquran, baik antara kalimat-kalimat atau ayat-ayat maupun
surat-suratnya yang satu dengan yang lain, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap
Alquran dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3.)Dapat diketahui mutu dan tingkat kebalghahan bahasa Alquran dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan
yang lainnya, serta persesuaian ayat/surat yang satu dengan yang lainnya.
4.)Dapat membantu dalam menafsirkan Alquran setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat
atau ayat dengan yang lain.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Shihab, Quraish, dkk, Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001 12
3. http://iwanstanjung.blogspot.com/2013/munasabah-al-quran-makalah-ulumul-quran.html
II. I’JAZUL QUR’AN

A. Pengertian I’jazul Qur’an


I’jaz (kemukjizatan) adalah penetapan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidakmampuan
mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu’jiz
(sesuatu yang melemahkan), yang dimaksud dengan i’jaz ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya
sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu
al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.
Rasulullah telah meminta orang Arab menandingi Qur’an dalam tiga tahapan:
1) Menantang mereka dengan seluruh Qur’an dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri dan orang lain,
manusia mereka secara padu melalui Firman Allah :
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka
tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain". (QS. Al-Isra’ : 88)
2) Menantang mereka dengan sepuluh surah saja dari Qur’an dalam firman Allah :
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(kalau demikian), maka
datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu
sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". Jika mereka yang kamu seru itu
tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu Maka Ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah,
dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? (QS. Hud: 13-14)
3) Menantang mereka dengan satu surah saja dari Qur’an dalam firman Allah:
Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(kalau benar yang kamu katakan
itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk
membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar." (QS. Yunus : 38)
Kelemahan orang Arab untuk menandingi Qur’an padahal mereka memiliki faktor-faktor dan potensi untuk itu,
merupakan bukti tersendiri bagi kelemahan bahasa Arab di masa bahasa ini berada pada puncak keremajaan dan
kejayaannya.
Kemukjizatan Qur’an bagi bangsa-bangsa lain tetap berlaku di sepanjang zaman dan akan selalu ada dalam posisi
tantangan yang tegar. Misteri-misteri alam yang disingkap oleh ilmu pengetahuan modern hanyalah sebagian dari
fenomena hakikat-hakikat tinggi yang terkandung dalam misteri alam wujud yang merupakan bukti bagi eksistensi
pencipta dan perencanaannya.

B. Macam-macam I’jazul Qur’an


Dalam menjelaskan macam-macam I’jazil Qur’an para ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan
tinjauan masing-masing, di antaranya yaitu :
A. Dr. Abd. Rozzaq Naufal,
dalam kitab Al-I’jazu al-Adadi Lil Qur’anil Karim menerangkan bahwa i’jazil Qur’an itu ada 4 macam, adalah sebagai
berikut :

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
2. Al-Qathan, Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta: pustaka Islamiyah, 1998 13
3. http://methiafarina.blogspot.com/2012/05/ijaz-al-quran.html
1. Al-I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya, yang muncul ada pada masa peningkatan mutu
sastra Arab.
2. Al-I’jazut Tasyri’i yaitu kemukjizatan segi pensyariatan hukum-hukum ajarannya yang muncul pada masa
penetapan hukum-hukum syari’at Islam.
3. Al-I’jazul Ilmu yaitu kemukjizatan segi ilmu pengetahuan, yang muncul pada masa kebangkitan ilmu dan sains di
kalangan umat Islam.
4. Al-I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan segi quantity / matematis, statistik yang muncul pada abad ilmu pengetahuan
dan teknologi sekarang.

B. Imam al-Khotthoby (wafat 388 H),


dalam buku al-Bayan fi I’jazil Qur’an mengatakan bahwa kemukjizatan al-Qur’an itu terfokus pada bidang kebalaghahan
saja.

C. Imam al-Jahidh (w. 255 H)


di dalam kitab Nudzumul Qur’an dan Hujajun Nabawiyah serta al-Bayan wa at-Tabyin menegaskan bahwa kemukjizatan
al-Qur’an itu terfokus pada bidang susunan lafal-lafalnya saja, maksudnya, i’jazul Qur’an itu hanya satu macam saja

D. Moh. Ismail Ibrahim


dalam buku yang berjudul Al-Qur’an wa I’jazihi al-Ilmi mengatakan, orang yang mengamati al-Qur’an dengan cermat,
mereka akan mengetahui bahwa kitab itu merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, baik ilmu-ilmu
lama maupun ilmu-ilmu baru.

C. Kadar kemukjizatan
1.) Golongan Mu’tazilah berpendapat
bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan keseluruhan Qur’an, bukan dengan sebagiannya atau dengan setiap
surahnya secara lengkap.
2.) Sebagian ulama berpendapat
sebagian kecil atau sebagian besar dari Qur’an, tanpa harus satu surah penuh, juga merupakan mukjizat berdasarkan
firman Allah :
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. (QS.
At-Thur : 34)
3.) Ulama yang lain berpendapat
kemukjizatan itu cukup hanya dengan satu surah lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surah, baik satu
ayat atau beberapa ayat.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008
14
2. Al-Qathan, Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta: pustaka Islamiyah, 1998
3. http://methiafarina.blogspot.com/2012/05/ijaz-al-quran.html
D. Tujuan I’jazul Qur’an
Dari pengertian yang telah diuraikan di atas, dapatlah diketahui bahwa tujuan i’jazul Qur’an itu banyak, di antaranya
yaitu :
1. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad saw yang membawa mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang
Nabi dan Rasul Allah. Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT kepada umat manusia dan untuk
mencanangkan tantangan supaya menandingi al-Qur’an kepada mereka yang ingkar.
2. Membuktikan bahwa kitab al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan
bukan tulisan Nabi Muhammad saw. Sebab pada kenyataannya mereka tidak bisa membuat tandingan seperti al-
Qur’an sehingga jelaslah bahwa al-Qur’an itu bukan buatan manusia.
3. Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghahnya bahasa manusia, karena terbukti pakar-pakar pujangga
sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mampu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti al-Qur’an,
yang telah ditantangkan kepada mereka dalam berbagai tingkat dan bagian al-Qur’an.
4. Menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan
kesombongannya. Mereka ingkar tidak mau beriman dan sombong tidak mau menerima kitab suci itu.

E. Aspek Kemu’jizatan al Qur’an


Pada umumnya ulama, pengarang dan buku-buku yang berkaitan dengan I’jaz al Qur’an mengemukakan banyak sekali
kemukjizatan yang dikandung oleh al Qur’an. Al Qurthuby (w. 256 H/ 1258 M) mengemukakan sepuluh aspek
kemukjizatan al Qur’an, yaitu:
1. Aspek bahasanya yang melampaui seluruh cabang bahasa Arab.
2. Gaya bahasanya yang melampaui keindahan gaya bahasa Arab pada umumnya.
3. Keutuhannya yang tidak tertandingi
4. Aspek peraturannya yang tidak terlampaui.
5. Penjelasannya tentang hal-hal yang ghaib hanya dapat ditelusuri lewat wahyu semata.
6. Tidak ada hal yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan (science).
7. Memenuhi seluruh janjinya, baik tentang limpahan rahmat atau ancaman.
8. Pengetahuan yang dikandungnya.
9. Memenuhi keperluan dasar manusia.
10. Pengaruh terhadap qalbu manusia

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anwar, Rosihon, Ulum al-Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2008 15
2. Al-Qathan, Manna Khalil, Studi Ilmu Qur’an, Jakarta: pustaka Islamiyah, 1998
3. http://methiafarina.blogspot.com/2012/05/ijaz-al-quran.html
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi yang dibahasa bahwasanya Al-Qur’an begitu dahsyat dan sempurna karna dari pengertian
Munasabah Qur’an dan I’jazul Qur’an telah jelas.
Contoh-contoh dan macam-macan yang tealh ada itu menjadikan bagian dari kesempurnaan dan keutamaan
Qur’an. Dengan kecocokan, kesesuaian atau kepantasan Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tak kala
dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya.
Sejak diturunkan hingga sekarang selalu mendapat tantangan dan menjadi bahan yang tidak kering
dibahas manusia, baik muslim ataupun kafir. Jika tantangan yang dihadapi oleh nabi-nabi terdahulu dianggap
telah selesai dengan kehadiran nabi terkhir Muhammad SAW, maka dalam statusnya sebagai kitab suci
terakhir dari bagi umat terakhir (Islam), maka al Qur’an akan senantiasa mendapat tantangan. Akan tetapi al
Qur’an dengan watak mukjizatnya akan selalu eksis dalam menjawab seluruh tantangan.
Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Setiap rasul selalu dikaruniai
kemukjizatan, sehingga karenanya ummatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah
padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui pengikut para rasul
lainnya kelak di hari kiamat".

16

Anda mungkin juga menyukai