Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

AL-MUHKAM AL-MUTASYABIH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulum Al-Qur'an

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Yuyun Rahmatul Uyuni, M. Ag

Disusun Oleh:

Kelompok IX

Masnah 201220012

Sulthan Aqila Adriansyah 201220019

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDIN


BANTEN

TAHUN 2021 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kami mampu menyelesaikan makalah Ulum al-Qur'an ini.
Sholawat beriringkan salam senantiasa tercurah limpahkan kepada nabi besar
Muhammad SAW. Atas perjuangan beliaulah kita dapat terbebas dari kejamnya
masa jahiliyyah.

Makalah tentang Ayat Muhkam dan Mutasyabiha dalam mata pelajaran ini
kami susun dengan semaksimal mungkin, agar pembaca mampu memahami dan
mempelajari makalah ini serta dapat mengambil manfaat maupun inspirasi terkait
materi ini.

Terima kasih banyak kami ucapkan kepada dosen pengampu, yang telah
memberikan tugas makalah ini dengan baik, sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Namun, kami menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini tentu masih anyak kekurangan serta kesalahan baik dalam
penulisan, materi terkait, dan susunan bahasanya.

Kami dengan sepenuh hati mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca, agar kedepannya kami dapat membuat makalah dengan lebih
baik lagi.

Pandeglang, 14 November 2021

Kelompok IX

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ········································································· i

DAFTAR ISI ······················································································· ii

BAB I PENDAHULUAN ··············································· 1

A. Latar Belakang Masalah ······················································ 1

B. Rumusan Masalah ································································ 2

C. Tujuan ··················································································· 2

BAB II PEMBAHASAN ················································ 3

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabihat ······························ 3

B. Fawatih al-Suwar ································································· 8

C. Sikap Ulama Terhadap Ayat al-Mutasyabihat ············· 9

D. Hikmah Adanya Ayat al-Mutasyabihat ··················· 13

BAB III PENUTUP ···················································· 15

A. Kesimpulan ······································································· 15

B. Saran ·················································································· 15

DAFTAR PUSTAKA ······································································· 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Alquran adalah kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi


Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi manusia,
juga penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara hak dan bathil.
Karena Alquran merupakan petunjuk, maka ia harus dapat di pahami makna-
maknanya, dan untuk memahami makna-maknanya tersebut diperlukan
seperangkat alat-alatnya yang disebut dengan ilmu-ilmu Alquran.

Alquran diturunkan ke bumi ini untuk menjadi petunjuk dan


pembimbing bagi manusia, dengan kedudukannya, maka pemahaman
terhadap ayat-ayat Alquran merupakan suatu tuntutan bagi umat islam, di
antaranya dengan tafsir Alquran, dalam perkembangan ilmu tafsir para
ulama ahli tafsir mulai mempunyai arah sendiri-sendiri yang berbeda-beda
dalam menafsirkan Alquran. Perbedaan arah penafsiran tersebut dikarenakan
tafsir merupakan penjelasan Alquran, dan Alquran juga terkadang bersifat
umum, sulit untuk dipahami, memiliki berbagai kemungkinan, dan perlunya
adanya penjelasan lebih lanjut.

Didalam Alquran terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat


mutasyabihat, penafsiran ayat-ayat mutasyabihat para ulama berbeda
pendapat dalam menafsirkannya. Metodologi penafsirna Alquran
berhubungan erat dengan latar belakang si mufassir, tafsir Mafatih al-Gaib
al-Rizy membuktikan kesimpulan ini, ia berasal dari kalangan Asy'ariyah
Syafa'iyah.

Corak dan perangkat tafsir yang beliau gunakan dalam kitabnya ini
sangat kental dengan kajian kalam, aspek kebahasaan dan sisi legal fiqh.
Karakteristik yang membedakan dari ulama sebelumnya adalah statusnya
sebagai generasi akhir Ṭariqat al-Muta'khkhirin, yang mewarnai karyanya
dengan kajian filsafat, tasawuf.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian al-Muhakamat wa al-Mutasyabihat?

2. Apa itu Fawatih al-Suwar?

3. Bagaimana Sikap Ulama Terhadap Ayat al-Mutasyabihat?

4. Adakah Hikamh adanya ayat al-Mutasyabihat?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pengertian al-Muhkamat wa al-Mutasyabihat.

2. Untuk Mengetahui Fawatih al-Suwar.

3. Untuk Mengetahui Bagaimana Sikap Ulama Terhadap Ayat al-


Mutasyabihat.

4. Untuk Mengetahuin Hikamh adanya ayat al-Mutasyabihat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Muhkam Al-Mutasyabihah

Kata muhkam berasal dari ihkam, secara etimologis (bahasa)


muhkam bermakna kekukuhan, kesempurnaan, kesaksamaan, dan
pencegahan. Namun semua pengertian ini pada dasarnya kembali pada
makna pencegahan. Ahkam alzamr berarti ia menyempurnakan suatu hal dan
mencegahnya dari suatu kerusakan. Ahkam al-fars berarti ia membuat
kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari goncangan.
Sedangkankata mutasyabih berasal dari kata tasyabuh, secara bahasa berarti
keserupaan dan kesamaan. Biasanya membawa pada kesamaran antara dua
hal. Tasyabaha dan isytabaha berarti dua hal yang masing-masing
menyerupai lawannya.1

Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggunakan kedua kata


ini, atau kata jadiannga.

Pertama, firman Allah SWT:

‫كتاب أحكمت أياته‬


Sebuah kitab yang disempurnakan (dijelaskan) ayat-ayatnya (QS. Hud (11).2

Kedua, firman Allah SWT:

‫كتبا متشبها مثاني‬


Yaitu al-Qur'an yang serupa (mutasyabih) lagi berulang-ulang. (QS. al-
Zumar [39]:23)

1
Muhammad 'Abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-irfan fi Ulumul Qur'an ,jilid II (Beirut:
Dar al-Fikr, T.Th.), 270.
2
Jalàl al-Din al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an (Beirut: Dar al-Fikr), 2.

3
Ketiga, firman Allah SWT:

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu "


(Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-
pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang
mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya,
padahal tidak ada yang mengetahui takwiln ya kecuali Allah. Dan orang-
orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-
Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil
".pelajaran kecuali orang yang berakal

Sepintas ayat ini menimbulkan pemahaman yang bertentangan.


Karena itu Ibn Habib al-Nisaburi menceritakan adanya tiga pendapat tentang
masalah ini. Pertama, yang berpendapat bahwa al-Qur'an seluruhnya
muhkam berdasarkan ayat pertama. Kedua, yang berpendapat bahwa al-
Qur'an seluruhnya mutasyabih berdasarkan ayat kedua. Ketiga berpendapat
bahwa sebagian ayat al-Qur'an muhkam dan lainnya mutasyabih
berdasarkan ayat ketiga. Tetapi pendapat ketiga inilah yang sesuai.

Makna secara istilah yaitu dalam mengkategorikan ayat muhkamat


dan ayat mutasyabihat, ditemukan perbedaan yang cukup banyak di
kalangan ulama. Perbedaan ini tak lepas dari perbedaan dalam
mendefinisikan ayat muhkamat dan mutasyabihat. Di antara perbedaan-
perbedaan itu antara lain:

1. Ayat muhkamat adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui baik


melalui takwil atau tidak. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat yang
maskudnya hanya diketahui oleh Allah, seperti tentang terjadinya hari
kiamat, keluarnya Dajjal dan potongan-potongan huruf pada awal surat
(fawatih alsuwar).

4
2. Ayat mutasyabihat hanya menyangkut huruf-furuf pembuka surat
(fawatih al-suwar) saja, selebihnya merupakan ayat muhkamat Ayat
muhkamat adalah ayat yang dapat dipahami tanpa memerlukan adanya
takwil, sedangkan ayat mutasyabihat sebaliknya, membutuhkan takwil agar
dapat diketahui maksudnya.

3. Imam Ahmad. r.a. mendefinisikan Muhkam sebagai ayat yang


berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Sedangkan Mutasyâbih
ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu
dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula
karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Kelima, menurut Imam
Al-Haramain,Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang
membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan.
Mutasyâbih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi
bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal
musytarak masuk ke dalam Mutasyâbih menurut pengertian ini.

4. Ayat muhkamat adalah ayat yang dapat dipahami oleh akal, seperti
bilangan rakaat shalat dan kekhususan bulan Ramadhan untuk pelaksanaan
puasa wajib, sedangkan ayat mutasyabihat sebaliknya.

Di antara sekian banyak pendapat ulama di atas, Subhi ashShalih kemudian


merangkumnya dan menyimpulkan bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang
bermakna jelas. Sedangkan Mutasyâbih adalah ayat yang maknanya tidak
jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.3

Al-Zarqani mengemukakan sebelas definisi Muhkan yang


sebagiannya dikutip dari Al-Suyuthi. Diantara definisi yang dikemukakan
al-Zarqani adalah sebagai berikut.

Pertama, muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang
tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabib ialah ayat yang
tersembunyi (maknanya),tidak diketahui maknanya baik secara akli maupun
nakli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahuinya, seperti
datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat.
Pendapat ini dibangsakan oleh al-Alusi pada pemimpin-pemimpim mazhab
Hanafi.

3
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur'an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 171-
175.

5
Kedua, muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya, baik secara
nyata maupun melalui takwil. Mutasyabib ialah ayat yang hanya Allah
mengetahui maksudnya, seperti datangnya hari kimat, keluarnya dajjal,
huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awak surat. Pendapat ini
dibangsakan kepada ahli sunnah sebagai pendapat yang terpilih dikalangan
mereka.

Ketiga, muhkam ialah ayat yang tidak mengandung kecuali satu


krmungkinan makna takwil. Mutasyabib ialah ayat yang mengandung bsnyk
kemungkinan makna Takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibn Abas dan
kebanyakan ahli Ushul Fiqh mengikutinya.

Keempat, muhkam ialah ayat yang berdiri sediri yang tidak


memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri,
tetapi memerlukan keterangan. Kadang-kadang diterangkan dengan ayat
atau keterangan tertentu dan kali yang lin diteangkan dengan ayat atau
keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya.
Pendapat ini dicertakan dari Imam Ahmad RA.

Kelima, muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya


yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan.
Mutasyabib ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi
bahaa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal
musytarak masuk ke dalam mutasyabib menurut pengertian pendapat ini
dibangsakan kepada Imam al-Haramain.

Keenam, muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk
kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya. muhkam terdiri
atas lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabib terdiri atas-atas isim-isim (kata-
kata benda) musytarak dan lafal-lafal mubbamab (samar-samar). Ini adalah
pendapat At-Thibi.

Ketujuh, muhkam ialah ayat yang menunjukan maknanya kuat, yaitu


lafal naskh dan lafal zahir. Mutsyabih ialah ayat yang menunjukan
maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal (lafal yang beraifat global dan
memerlukan perincian), mu'awal (lafal yang perlu ditakwilkan agar
dipahami), dan musykil (maknanya mengandung kepemilikan dan maknanya
sulit diketahui). Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi.

Sesudah mengemukakan berbagai definisi-definisi ini, al-Zarqani


berkomentar bahwa definisi-definisi tersebut tidak saling bertentangan.
Diantara definisi tersebut tidak saling bertentangan. Diantara definisi

6
tersebut terdapat persamaan dan kedekatan makna. Menurutnya, pendapat
al-Razi lebih jelas, karena masalah ihkam dan tasyabuh kembali pada jelas
dan tidaknya makna yang dimaksud Allah SWT dari waktu yang
diturunkannya.

Dari sudut pandang pemaknaan ini, definisi yang diberikan al-Razi


lebih jami' (mencakup person-person) dan mani' (menolak segala yang diluar
person-personnya) dengan demikian tidak akan masuk

pada muhkam ayat atau lafal yang maknanya tersembunyi dan tidak masuk
ke mutasyabih ayat atau lafal yang maknanya jelas. Dari paparan di atas,
dapat disimpulkan bahwa dalam memahami ayat muhkam ini seseorang
tidak akan menemui kesulitan, karena jelas maknanya.4

Menurut al-Zarqani, ayat-ayat mutasyabih dapat dibagi kedalam tiga


macam. Pertama, ayat-ayat yang seluruh manusiatidak.sampai kepada
maksudnya, seperti pengetahuan tentang Dzat Allah SWT dan hakikat sifat-
sifatnya, dan pengetahuan tentang waktu Kiamat. Allah SWT berfirman;

"Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang
mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut.
Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada
sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah
atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh). (QS. al-An'am[6]:59)"

Kedua, ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya


melalui pengkajian dan penelitian, seperti ayat-ayat mutasyabih dan
kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang urutan, dan sejenisnya. Allah
SWT berfirman;

4
Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, Jilid II, hlm. 272-275.

7
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir
tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba
sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar
kamu tidak berbuat zalim. (QS. an-Nisa[4]:3)

Ketiga, ayat-ayat mutasyabihat yang dapat.diketahui oleh para ulama


tertentu dan bukan semua ulama. Maksudya ialah makna yang tinggi yang
memenuhi hatiorang-orang yang jernih jiwanya dan mujtahid.5

B. Fawatih al-Suwar

Salah satu ciri ayat-ayat Makkiyah adalah menggunakan huruf-huruf


potongan (muqaththa'ah) atau pembukaan surah-surah (fawatih al-suwar).
Pembuka susurat tersebut dapat dikategorikan kedalam beberapa bentuk.
Pertama, terdiri dari satu huruf terdapat pada tiga surah, yakni surah Shàd
(38), surah Qàf (50), dan surah al-Qalam (68), yang dimulai dengan huruf .‫ن‬

Kedua, terdiri dari dua huruf, terdapat pada sepuluh surah, tujuh
diantaranya disebut hawamim yaitu surah-surah yang diawali dengan ‫ح‬dan .‫م‬
Surah-surah ini adalah suraah Ghafar, Fushilat, al-Syurà, al-Zukrûf, al-
Duhkan, al-Jatsiyah, dan al-Ahqaf. Khusus pada surah al-Syurà
pembukaannya tergabung antara .‫حم عسق‬Surah lain adalah surah Thaha,
Thasin, dan Yasin.

Ketiga, terdiri dari lima huruf terdapat pada tiga belas tempat. Enam
diantaranya dengan huruf ،‫الم‬yaitu surah al-Baqarah, ali-Imran, al-Ankabut,
al-Rum, Luqman,dan al-Sajadah. Lima dengan huruf ,‫الر‬yaitu pada surah
Yunus, Hus, Yusuf, Ibrahim, dan al-Hijr. Dua susunan hurufnya ‫طسم‬terdapat
pada pembukaan surah al-Syu'ara dan al-Qhashash.

5
Ibid, hlm. 281-282.

8
Keempat, terdiri dari empat huruf yaitu ،‫المص‬pada surah al-A'raf
dan ,‫المر‬terdapat pada surah al-Ra'ad. Kelima, terdiri atas lima huruf yang
terdapat pada satu tempat saja, yaitu ،‫كهيعص‬yaitu pada surah Maryam.6

Menurut al-Suyuthi, huruf-huruf pembukaan tersebut masuk kedalam


kajian mutasyabihay. Para ulama berbeda pendapatdalam memahami dan
menafsirkannya. 7 Pertama, kelompok yang meyakinisebagai rahasia tuhan
dan hanya dapat diketahui oleh Allah SWT. Al-Suyuthi memandang
pendapat ini sebagai pendapat yang dipilih. Ibn al-Mundzir meriwayatkan
bahwa ketika al-Sya'bi ditanya tentang pembukaan pembukaan surah ini, ia
berkata:

‫ان لكل كتاب سراو ان سر هذا القران فوأتح السور‬


"Sesungguhnya tiap kitab ada rahasianya, dan rahasia al-Qur'an
terletak pada pembuka-pembuka surahnya."8

C. Sikap Ulama Terhadap Ayat al-Mutasyabihat

Di atas dijelaskan bahwa ayat-ayat Mutasyabihat itu beragam jenis


dan bentuknya . Dalam bagaian ini, akan dibahas secara khusus ayat-ayat
mutasyabihah yang menyangkut sifat-sifat tuhan, dalam istilah al-Suyuti
"ayat al-shifah". 9 Subhi al-Shalih menyebutnya dengan mutasyabihah al-
shifa.10 Ayat-ayat tersebut diantaranya:

‫الرحمن على العرش آستوى‬


Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas 'Arsy.
(QS. Thaha:5)

‫وجآء ربك والملك صفا صفا‬


6
Al-Shalih, Mabahits fi 'Ulum Al-Qur'an, hlm. 234-235.
7
Al-Suyuthi, al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Jilid II, hlm. 6.
8
Ibid., hlm. 8.
9
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulúm Al-Qur'an, Jilid II, hlm. 6.
10
Al-Shalih, Mabahits fi Ulúm Al-Qur'an, hlm. 284.

9
"Dan datanglah Tuhanmu sedang malaikat berbaris-baris (QS. al-
Fajr:22)

‫وهو القاهر فوق عبادة‬


Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas hamba-Nya.
(QS. al-An'am:61).

Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata-kata bersemayam,datang, di


atas yang dibangsakan menjadi sifat-sifat Allah. Kata-kata ini menunjukan
keadaan, tempat dan anggota yang layak bagi makhluk yang baru. Karena
dalam ayat-ayat tersebut dibangsakan kepada Allah yang qodim (absolut),
maka sulut dipahami maksud sebenarnya. Karena iti, ayat-ayat tersebut
dinamakan mutasyabihah al-shifat.

Selanjutnya dipertanyakan apakah maksud ayat-ayat ini dapat


diketahui manusia atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini Suhbi al-
Shahih membedakan pendapat ulama kedalam dua mazhab. Pertama,
mazhab Salaf yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-
sifat mutasyabihat itu dan menyerahkan kepada Allah sendiri. 11 Mereka
mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur'an serta
menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri.

Kedua, mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang


makna lahirnya mustahil kepada makna yang layak dengan Dzat Allah SWT.
Karena itu, mereka disebut mu'awwilah atau mazhab ta'wip. Mereka
mengartikan istiwa dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian
Allah SWT terhadap alam ini, tanpa rasa kepayahan. Kedatangan Allah
SWT diartikan dengan kedatangan perintah-Nya, Allah SWT nerada di atas
hamba-Nya, dengan Allah SWT Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat.
Sisi Allah dengan hak Allah, wajah dengan Dzat, mata dengan pengawasan,
tangan dengan kekuasaan, dan diri dengan siksa. Demikian sistem
penafsiran ayat-ayat mutasyabih yang ditempuh ulama Khalaf. Semua lafal
yang mengandung makna cinta, murka, dan malu bagi Allah ditakwilkan
dengan makan majaz yang terdekat.12 Mereka mengatakan:

‫كل صفة يستحل حقيقتها على هللا تعالى تفسر بال زمها‬
11
Ibid.
12
Al-Shalih, Mabahits fi Ulúm Al-Qur'an, hlm. 284-285

10
"Setiap sifat yang makna hakikatnya mustahil bagi Allah ditafsirkan
(ditakwilkan) dengan kelazimannya."

Imam Fakhr al-Din mengatakan, "semua sifat kejiwaan yaitu kasih


sayang, gembira, suka, murka, malu, tipu daya, dan ejekan mempunyai
makna permulaan dan makna akhir. Misalnya, murka, awalnya merupakan
gejolak, darah hati dan akhirnya keinginan berbuat mudharat terhadap orang
yang dimurkai, maka lafal marah atau murka, pada hak Allah SWT tidak
diartikan dengan makna awalnya beruoa gejolak darah hati, tetapi dengan
tujuan kehendak berbhat mudarat.13

Disamping kedua mazhab itu, masih ada pendapat ketiga.


Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Suyuthi bahwa Ibn Daqiq al-Id
mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab diatas. Ibn Daqiq
berpendapt bahwa jika takwil itu dekat dengan bahasa Arab, maka tidak
dipungkiri dan jika takwil itu jauh, maka kita tawaqquf (menangguhkannya).
Kita meyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan
Tuhan dari sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya. Sesuatu yang maknanyadari
lafal-lafal tersebutini nyata dan dapat dipahami dari percakapan orang Arab,
kita terima yang demikian tanoa tawaqquf. Seperti firman Allah:

Amat besar penyesalanku atas kelalaianku di sisi Allah SWT. (QS. al-
Zumar[39]:56).

Menurutnya disisi Allah diartikan dengan hak Allah.14 Tampaknya,


ketiga pendapat tersebut mempunyai dasar, dan apabila dipahami secara
lebih kritis lagi ketiganya daoat di kompromikan. Setiap orang percaya
bahwa makna yang diambil dari hasil pentakwilan dan penafsiran bukanlah
makna yang pasti bagi lafal-lafal ayt mutasyabihat. Tidak seorangpun yang
menjamin bahwa makan itulah yang benar dan secara pasti dimaksudkan
Allah. Jika inilah makna yang diserahkan kepada Tuhan untuk
mengetahuinya dan ia saja yang mwngetahuinya, maka semua pihak akan
dapat menerimanya.

13 Al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulúm Al-Qur'an, Jilid II, hlm. 8

14 Ibid.

11
Ulama Khalaf jug tidak memastikan pentakwilan mereka sebagai
makna yang pasti bagi ayat-ayat tersebut. Karena itu, tafsir dan pentakwilan
yang mereka berikan juga bervariasi, tidak selamnya sama sama antara
seorang dan lainnya. Misalnya kata al-nafsu (diri) pada surah ali-Imran
(3):28, ditemukan berbagai pentakwilan beberapa ulama, seperti siksa-Nya,
kepada-Nya, hakikat wujud-Nya, Dzatzl, dan ghaib. Dengan demikian,
mereka tidak mendakwakan bahwa mereka mengetahui hakikat maknanya.
Mereka hanya berusaha menakwil dan menafsirkan ayat-ayat yang
menyangkut sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan mereka, swhingga
dapat memenuhi tuntutan akal mereka sebagai orang-orang yang beriman.
Mereka berupaya menakwil dan menfsirkan ayat-ayat yang menyangkut
sifat Allah dan tidak memaksakan diri untuk menakwil hal-hal yang ghaib
seperti tentang Hari Kiamat dan Dabbah (binatang yang akan keluar sebagai
tanda dekatnya Hari Kiamat).

Adapun sebab timbulnya perbedaan mazhab diatas, maka pada


dasarnya kembali kepada dua masalah. Pertama, masalah pemahaman ayat
"....dan orang-orang yang mendalam ilmunya..." (QS. Ali-Imran: 7),
disambungkan kepada kalimat sebelumnya (ma'tuf) atau tidak? Dalam pada
itu terdapaat beberapa Hadis dan atsar sahabat yang mencela orang-orang
yang membicarakan ayat-ayat mutasyabihat, karena yang demikian dianggap
sebagai masalah yang hanya diketahui oleh Allah. Atsar yang menunjukan
maksud sebaliknya sebagaimana telah dipaparkan terdahulu. Kedua,
permasalahan apakah mungkin sebagian ayat al-Qur'an tidak diketahui sama
sekali, atau hanya diketahui oleh orang-orang yang mendalami ilmunya.
Menurut ulama salaf, boleh saja sebagian ayat al-Qur'an tidak diketahui oleh
manusia. Adapun menurut mazhab Khalaf , hal yang dwmikian tidak
mungkin terjadi. Setidaknya, ayat itu dapat dipahami oleh ulama tertentu.15

Pendapat ulama Khalaf ini bertambah jelas jika ayat ketujuh dari
surah Ali 'Imran diatas dipahami dalam konteks sebab turunnya. Para
musafir meriwayatkan bahwa ayat ini dan sekitar 80 ayat sesudahnya turun
menyangkut hal orang-orang Kristen Najran. Enam puluh diantara mereka
datang menemui Rasulullah SAW dan menjelaskan serta mengemukakan
argumen tentang Trinitas dan Ketuhanan 'Isa al-Màsih, karena diciptakan
tidak menurut hukum kebiasaan yang dikenal dalam proses kelahiran
manusia. Mereka juga mengemukakan argumen dengan mukjizat yang

15 Ibid, hlm. 6

12
berlaku pada diri Ìsa, dan keterangan al-Qur'an sendiri. Sehubungan dengan
peristiwa ini, ayat-ayat itu diturunkan oleh Allah SWT.16

Sebab turunnya ayat ini menunjukan, bahwa orang-rang Kristen


Najran telah mengambil kata-kata yang mutasyabihat dalam al-Qu'an seperti
,‫وكلماته القاها الي مريم روح منه‬menjadi argumen tentang ketuhanan Ìsa
dan Trinitas, tanpa memperhatikan ayat-ayat muhkamat yang menguatkan
keesaan Allah SWT dan Kemahasucian-Nya dari keadaan mempunya anak
dan sekutu.

D. Hikamh Adanya Ayat al-Mutasyabihat

Ada pepatah yang mengatakan, khudil hikmata min ayyiwi’ain


kharajat, ambillah hikmah dari manapun keluar. Begitupun dalam masalah
muhkam dan Mutasyâbih. Ini karena ayatayat muhkamatdan Mutasyâbih
adalah dua hal yang saling melengkapi dalam Al-Qur’an. Muhkamsebagai
ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai
bayan (penjelas) dan hudan (petunjuk). Sedangkan Mutasyâbih sebagai ayat
yang tersirat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat
dan kitab sastra terbesarsepanjang sejarah manusia yang tidak akan habis-
habisnya untuk dikaji dan diteliti.

Dari sini, dapat disimpulkan setidaknya ada tiga hikmah yang dapat
diambil dari persoalan muhkam dan Mutasyâbihtersebut, hikmah-hikmah itu
adalah:17 Pertama, Andaikata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat
muhkamat, niscaya akan sirnalah ujian keimanan dan amal lantaran
pengertian ayat yang jelas. Kedua, Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an
Mutasyâbihat, niscaya akan lenyaplah kedudukannya sebagai penjelas dan
petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa Al-
Qur’an seluruhnya dari sisi Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti
hak dan tidak mungkin bercampur dengan kebatilan.

Ketiga, Dengan adanya ayat-ayat yang muhkamat dan ayatayat


Mutasyâbihat dalam al-Qur’an, tentunya menjadi motivasi bagi umat Islam
untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga mereka

16
Sayyid Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid III (Kairo: Maktabah al-Wira'ah II Shahibiha
'Ali Yusuf Sulaiman, 1960) hlm. 161.
17
Muhammad chirzin, Al-Qur'an dan Ulumul Qur'an. Hlm. 74-75.

13
akan terhindar dari taklid, bersedia membaca Al-Qur’an dengan khusyu’
sambil merenung dan berpikir.

Keempat, adanya ayat muhkamat memudahkan manusia untuk


menghayatinya lalu diamalkan. Di sisi lain, adanya ayat mutasyabihat
mendorong manusia untuk senantiasa mengoptimalkan akalnya dalam
memahami ayat-ayat itu dengan bantuan dalil-dalil al-Qur’an maupun hadis
.yang ada

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ayat-ayat mutasyabih merupakan salah satu ilmu atau pelajaran


dalam Al-qur’an sehingga para ulama menilainya dengan alasannya masing-
masing yang terbagi menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan
Khalaf, Muhkam adalah ayat yang sudah jelas arti dan maksudnya ketika
kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan
pentakwilan, Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu
ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang
maksud ayat-ayat itu.

Dan Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu


Muhkam. Jika maksud Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat
pula mengatakan bahwa semua ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud
Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal Balaghah dan
I’jaznya.

Ayat-ayat muhkam dan mutasyabih adalah dua hal yang saling


melengkapi satu sama lain di dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang
tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai bayan atau
penjelas dan hudan “petunjuk”. Mutasyabih sebagai ayat yang tersirat
merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat yang

15
diturunkan oleh Allah dan kitab sastra terbesar sepanjang sejarah, manusia
yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan diteliti.

Sebagai ummat islam hendaknya kita lebih merenungi lagi maksud-


maksud Allah menurunkan ayat-ayat tersebut dalam bentuk yang berlainan.
Dan menjadikannya pedoman dalam setiap langkah kita.

B. Saran

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak


kekurangan dan perlu untuk diperbaiki. Dan kepada para pembaca agar
mengkritik dan memasukkan pendapat mengenai makalah yang telah kami
buat ini. Semoga pembaca bisa mengambil sedikit ilmu dari apa yang kita
sampaikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

As-Shalih, Subhi. 1995. Membahas ilmu-ilmu al-Qur'an dan Terjemah.

Jakarta: Pustaka Firdaus

Ridha, Syaid R. 1960. Tafsir al-Manar. Kairo: Maktabah al-Wira'ah III

Shahibuha 'Ali Yusuf Sulaiman.

As-Suyuthi, Jalaludin. 1979. Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an. Mesir: Darul

Hadist.

Churzin, M. 1998. Al-Qur'an dan Ulum al-Qur'an. Yogyakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa.

Al-Zarqani, Muhammad. 2001. Manahil fi Ulum Al-Qur'an. Beirut.

Dar al-Fikr.

Drajat, A. 2017. Ulumul Qur'an Pengantar Ilmu-ilmu Qur'an. Depok.

Kencana.

17

Anda mungkin juga menyukai