Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tanpa rahmat dan pertolongan-
Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW
yang syafa’atnya kita nantikan kelak. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Filsafat Islam Jawa.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II .................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
PENUTUP ............................................................................................................ 14
Kesimpulan ........................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apa yang beliau ajarkan bukanlah suatu hal yang bersifat mistik namun
lebih kearah penelitian ilmiah, dengan dirinya sebagai objeknya dalam
memahami dirinya sendiri. Penelitian ini berlangsung sepanjang hidupnya
hingga memunculkan petuah petuah yang tak ternilai jumlahnya, salah satunya
adalah kawruh bejo sawetah atau kawruh jiwo. Ilmu Kawruh Bejo Merupakan
hasil permenungan atas hidup manusia yang pada pada hakikatnya, proses rasa
hidup manusia yang sesuai dengan hukum alam serta tindakan yang mengikuti
hukum itu pasti berkembang dan berbuah dengan wajar.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah inti ajaran Kawruh Bejo Sawentah atau Kawruh Jiwo?
1
Pratisto Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram,” Arete: Jurnal Filsafat 7, no. 1
(2018): 67–82.
2
Abdul Kholik dan Fathul Himam, “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram,”
Gadjah Mada Journal of Psychology 1, no. 2 (2015): 120–134.
1
2. Bagaimana konsep rasa Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan inti ajaran Kawruh Bejo Sawentah
2. Memaparkan konsep rasa Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram
2
BAB II
PEMBAHASAN
Setelah lulus sekolah dasar, karena kecerdasannya, Kudiarmaji lulus ujian Klein
Ambtenaar atau pegawai sipil junior dan menjadi pegawai administrasi Residen
Yogyakarta. Kudiarmaji bekerja dalam posisi tersebut selama 2 tahun. Karena
pekerjaan ini, Kudiarmaji harus belajar bahasa Belanda Selain itu, kecintaannya
pada ilmu pengetahuan juga memungkinkannya untuk belajar bahasa Arab, yang
kemudian mendukung pengetahuannya tentang mata pelajaran agama. Selain
menguasai kedua bahasa tersebut, Sudiarmaji juga belajar bahasa Inggris untuk
memperdalam pengetahuannya dibidang ilmu umum.5
3
Alimul Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral
untuk Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak,” Proceedings of Annual Conference for
Muslim Scholars, no. Series 2 (2018): 742–750. h.743
4
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik” (Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016). h.43
5
Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk
Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.” h.743
3
Kudiarmaji menghabiskan masa mudanya di keraton. Pada usia 18 tahun, BRM
Kudiarmaji diangkat menjadi pangeran dan diberi gelar Bendoro Pangeran Haryo
Suryomentaram (RM Suryomentaram). Keadaan Keraton Yogyakarta pada masa
muda Suryomentaram dapat dikatakan sebagai keadaan terbaik pada masa jayanya.
Oleh karena itu, pada usia muda, Suryomentaram mendapat fasilitas berupa mobil,
kuda, dan harta benda lainnya.6
Kendati demikian Ki Ageng merasa tidak puas dengan kehidupan di istana yang
dinilainya serba semu atau kaku. Di lingkungan kraton, ia merasa tidak pernah
bertemu “orang”. Yang ia jumpai adalah orang yang disembah dan yang
menyembah, orang yang diperintah dan yang memerintah, orang yang marah, dan
orang yang minta (nyuwun). Artinya, di kraton ia merasa hanya menjumpai sembah,
perintah, marah, dan minta. Dengan kondisi yang semacam itu, Ki Ageng tidak
merasa kerasan hidup di lingkungan istana.7
Selain kondisi yang serba semu, Ki Ageng juga mengalami beberapa peristiwa
yang mengguncang hatinya dan makin membuatnya tidak betah tinggal di kraton.
Yang pertama adalah diberhenrikannya kakeknya yakni Patih Danurejo VI, yang
bergelar Pangeran Cakraningrat, dari jabatan Patih dan tidak lama kemudian ia
meninggal. Yang kedua, Ibunya diceraikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII
dan diminta tinggal di luar lingkungan istana, kemudian selanjutnya diserahkan
kepada Ki Ageng untuk dirawat sebagai tanggungjawabnya. Yang terakhir, istri
yang dicintainya, meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40
hari. Beberapa peristiwa tersebut kemudian mendorongnya untuk mengajukan
permohonan pengunduran diri dari jabatan sebagai Pangeran. Namun
permintaannya tersebut ditolak oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Ki Ageng juga
meminta untuk diijinkan naik haji ke Mekkah, namun hal itupun juga tidak
dikabulkan oleh ayahnya.8
6
Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk
Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.” h743-744
7
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.” h.69
8
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
4
Dengan menanggung beberapa hal yang membebani hatinya ini kemudian Ki
Ageng melarikan diri dan meninggalkan kehidupan istana tanpa izin sultan. Ki
Ageng melarikan diri ke Cilacap dan menjadi pedagang Batik. Di Cilacap, ia
mengubah namanya menjadi Notodongso. Selama pelariannya ia juga bekerja
sebagai pembuat sumur. Pelariannya berakhir ketika datang perintah dari Sri Sultan
Hamengkubuwono VII untuk kembali ke Yogyakarta. Diceritakan bahwa selama
pelariannya, Ki Ageng menanggalkan semua kebangsawananya dan hidup sebagai
rakyat jelata, mengenakan celana pendek, sarung disampirkan di bahu dan kaos
oblong, dengan rambut hampir dicukur habis dan kaki telanjang.9
9
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
10
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
11
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
12
Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk
Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.”
5
Dalam paguyuban Selasa Kliwon, Suryomentaram dikenal juga sebagai Ki
Gede Suryomentaram. Paguyuban Selasa Kliwon merupakan suatu gerakan moral
yang memiliki tujuan memberikan landasan dan semangat kebangsaan pada
masyarakat. Berangkat dari paguyuban ini, Taman Siswa didirikan yang kemudian
diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Taman siswa dibentuk untuk mendidik generasi
muda, sementara untuk generasi yang lebih senior dididik oleh Ki Gede
Suryomentaram. Pada suatu sarasehan di Paguyuban Selasa Kliwon, Ki Hajar
Dewantoro mengusulkan untuk merubah nama Ki Gede Suryomentaram menjadi
Ki Ageng Suryomentaram.13
Ilmu Kawruh bejo pertama kali diceramahkan oleh Ki Ageng di Surakarta pada
tahun 1931 dengan judul lengkap: Ilmu Kawruh Bejo sawetah. Ilmu Kawruh Bejo
Merupakan hasil permenungan atas hidup manusia yang pada pada hakikatnya,
proses rasa hidup manusia yang sesuai dengan hukum alam serta tindakan yang
mengikuti hukum itu pasti berkembang dan berbuah dengan wajar. Ilmu ini
dilandasi kesadaran akan keinginan yang disebut sebagai Ilmu mulur mungkret,
Kesadaran akan realitas hidup yang disebut Rasa Hidup dan kesadaran atas Aku
sebagai diri pribadi.14
13
Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk
Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.”
14
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.” h.72-73
6
ini tidak ada barang yang pantas dicari secara mati-matian, ataupun
dihindari atau ditolak secara mati-matian).15
Manusia adalah keinginan. “Keinginan itu menjadi penyebab terjadi hidup yang
paling dalam.” Keinginan itu bersifat mulur mungkret (berkembang-menyusut),
keinginan akan bertambah bila terpenuhi dan menyusut jika tidak tercapai. Bila
kemauan terpenuhi bahagia rasanya, sebaliknya jika gagal susah rasanya.
Seterusnya ditegaskan bahwa “manusia adalah keinginan” (tiyang punika karep).
Keinginan yang terpenuhi dapat mulur atau memanjang pada hal-hal yang irasional.
Oleh karena itu, menurut Ki Ageng, kesenangan atau rasa senang itu sifatnya tidak
15
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik.” H,56
16
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik.” h.56-61
17
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik.” h. 57
18
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
7
tetap, terus berubah. Demikian pula dengan rasa susah dikarenakan tidak
tercapainya keinginan. Munculnya rasa susah juga beraneka macam seperti tidak
enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan
sebagainya.19
Ketiga, mengenai rasa sama (raos sami). Hukum pergantian susah dan senang,
merupakan sesuatu yang dialami semua orang. Semua manusia, tanpa melihat suku
bangsa, warna kulit, status sosial, agama, dan usia, pasti merasakan hukum
pergantian susah dan senang. Seorang pemeluk Islam, yang meyakini bahwa Islam
mengajarkan kedamaian, pasti pernah susah, bahkan bergantian susah dan
senang.Hukum pergantian susah senang, berlaku pada semua manusia, karena
setiap manusia memiliki keinginan. Inilah yang dalam istilah Ki Ageng, sebagai
“raos sami”, bahwa semua manusia sama-sama akan mengalami pergantian susah
dan senang.
Keempat, mengenai rasa abadi (raos langgeng). Hukum pergantian susah dan
senang, juga mengenai manusia sejak berabad-abad yang lalu. Sejak masa pra
sejarah, masa kebudayaan nomaden, bercocok tanam, hingga abad modern dengan
peradaban industrinya, manusia tetap mengalami pergantian susah dan senang.
Hingga masa depan manusia berabad-abad yang akan datang, manusia tidak akan
19
Uswatun Marhamah, Ali Murtadlo, dan Awalya, “Indigenous Konseling ( Studi
Pemikiran Kearifan Lokal Ki Ageng Suryomentaram Dalam Kawruh Jiwa ),” Jurnal Bimbingan
Konseling 4, no. 2 (2015): 100–108.
8
lepas dari pergantian susah dan senang. Inilah yang disebut rasa abadi (raos
langgeng), bahwa pergantian susah dan senang bersifat abadi, karena keinginan
manusia juga sifatnya abadi.
Kelima, mengenai rasa tentram (raos tentrem). Pemahaman terhadap rasa sama
(raos sami), dan penerimaan terhadapnya, akan membuahkan rasa tentram (raos
tentrem). Ketentraman ini lahir dari permakluman bahwa dimanapun tempatnya,
ketika itu disebut manusia, maka sama-sama akan mengalami susah dan senang.
Ketentraman ini juga mengikis rasa iri, karena bagaimanapun setiap orang memiliki
kesamaan nasib bahwa mereka sama-sama mengalami susah dan senang.
Keenam, mengenai rasa tabah (raos tatag). Pemahaman terhadap rasa abadi,
menjadikan manusia tabah dalam menjalani hari-harinya. Pemahaman ini muncul
karena dari berbagai generasi, baik masa kini, masa dahulu, dan masa depan, juga
mengalami pergantian susah dan senang. Manusia zaman dahulu yang sudah
meninggal, kehidupan mereka juga pasti berisi kesusahan dan kesenangan. Terbukti
manusia zaman dahulu bisa menjalaninya. Manusia masa kini pun sebaiknya tidak
terlalu khawatir, karena sama seperti manusia zaman dahulu, kehidupan masa kini
juga pasti berisi susah dan senang. Jika orang-orang zaman dahulu bisa menjalani
kehidupan, maka orang-orang masa kini pun pasti bisa menjalani kehidupan.
Pemahaman semacam inilah yang menghasilkan sikap tabah (tatag)
Ketentraman dan ketabahan yang lahir dari pemahaman terhadap rasa sama dan
rasa abadi, akan meningkatkan pemahaman seseorang terhadap rasa susah dan
senang itu sendiri. Seseorang tidak lagi terlalu khawatir dengan kesusahan, karena
suatu saat pasti akan berganti dengan kesenangan. Sebaliknya, seseorang juga
menjadi waspada, ketika merasakan kesenangan, karena sebentar lagi akan berganti
dengan kesusahan. Pada akhirnya, susah dan senang akan dimaklumi dan keduanya
menjadi sesuatu yang biasa. Seseorang tidak perlu putus asa ketika susah, dan
seseorang menjadi tidak sombong serta sewenang-wenang ketika merasakan
kesenangan.Penerimaan terhadap rasa susah dan senang, menimbulkan
penghayatan yang mendalam, bahwa sesungguhnya yang susah dan senang itu
9
bukan lah aku. Aku yang sebenarnya tidaklah mengalami susah dan senang. Pada
saat itu, seseorang sudah bisa melacak aku-nya. Seseorang bisa mengenali
(ngonangi) dirinya sendiri, yang sedang susah atau yang sedang senang.
C. Rasa Bahagia
Ki Ageng mengajarkan bahwa manusia dapat mencapai Bejo atau untung atau
bahagia, apabila manusia pertama-tama bisa menyadari bahwa rasa senang dan
susah itu menetap dan selalu ada dalam diri manusia dan sifatnya akan datang
bergantian, sebentar senang, sebentar susah. Rasa senang dan susah itu bersifat
20
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik.”
10
abadi akibat dari keinginan yang juga sifatnya abadi karena berasal dari manusia
yang kodratnya abadi. Manusia yang memahami bahwa dirinya abadi, termasuk
memahami keinginannya, akan mencapai Bejo atau bahagia.21
Untuk sampai pada rasa bejo, manusia perlu mengawasi segala keinginan yang
muncul dari dalam dirinya, sehingga timbul pengawas yang paham akan
keinginannya sendiri. Pengawas keinginan sendiri itulah yang disebut oleh Ki
Ageng sebagai Rasa Aku, rasa ada. Rasa Aku merupakan sebuah kesadaran akan
apa yang dialami oleh dirinya sebagai manusia yang merasa, seperti dia merasa
sakit, merasakan kepedasan, atau merasakan malu dan lainnya. Rasa Aku dikatakan
mengerti dan memahami apa yang dialami oleh dirinya namun tidak hanyut dalam
merasakan dan perasaan apa yang dialami dirinya. Dengan demikian, Rasa Aku,
menurut ki Ageng, dapat menyatakan, “Aku bukanlah keinginan”. “Yang malu,
yang kepedasan, yang ingin buang air bukanlah aku”.22
21
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
22
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
11
untuk menanggapi berbagai rasanya sendiri yang pokok agar dapat memisahkan
dengan jelas rasa suka, rasa susah, bahagia dan derita.23
Dalam menelaah rasa yang ada pada diri manusia, Ki Ageng mengajak untuk
membagi dua hal yakni rasa yang dihayati dan rasa yang menghayati. Rasa yang
dihayati berkenaan atas rasa pada manusia berkenaan dengan sakit, senang, susah
dan lainnya. Sedangkan rasa yang menghayati adalah kesadaran atas “Aku” yang
sedang merasa dan mengalami sesuatu. “Aku” tidak dapat sakit, menderita, senang
ataupun susah. “Aku” hanya mengerti bahwa diriku sedang mengalami susah,
senang dan sebagainya. Dengan jalan memiliki kesadaran tentang “Aku” atas rasa
dan pikiran, maka manusia mencapai hidup bejo/ bahagia.
Dalam dimensi keempat, manusia perlu belajar untuk mampu menghayati rasa
sendiri dan rasa orang lain. Seringkali manusia menghayati rasa orang lain dari
rasanya sendiri sehingga menyebabkan kesalahpahaman dan kekeliruan. Menurut
Ki Ageng, yang sering membuat kacau dalam dimensi keempat adalah karena
manusia masih mengutamakan kepentingannya sendiri, baik dalam merasa, berpikir
atau merasakan hidup orang lain.25
Ki Ageng mengajarkan untuk dapat mencapai Aku yang bahagia, manusia perlu
melakukan olah rasa. Menurut Ki Ageng, “ Rasa orang lain yang dipelajari timbul
23
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
24
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
25
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
12
dalam rasa orang yang mempelajarinya mula-mula seolah rasa yang
mempelajarinya. Dengan kesadaran bahwa rasa itu bukan aku, ia akan membedakan
dan menyamakan rasa itu dengan rasanya sendiri yang juga “bukan Aku”. Demikian
cara merasakan rasa orang lain sehingga menjadi ilmu.”
Apabila olah rasa semakin maju, maka manusia dapat menghayati rasa yang
lebih rumit, tanpa dirintangi oleh kepentingan dirinya sendiri. Sebagai contoh, kita
dapat mendengarkan seseorang berbicara, kita dapat menghayati rasa orang yang
berbicara tersebut, meskipun rasa tersebut tidak diungkapkan dalam kata-katanya.
Dengan berkembangnya olah rasa, saat membaca buku, tulisan atau surat kabar,
manusia dapat menghayati rasa pengarangnya tanpa dirintangi kepentingannya
sendiri.
Latihan olah rasa yang paling baik bagi manusia adalah saat seseorang berjumpa
dengan sesama manusia yang hidup bersama dan terdekat dengan dirinya. Olah rasa
dapat dimulai dengan meneliti dan kritis atas rasa yang muncul dalam relasi dengan
suami, istri, anak, tetangga, teman dan yang lainnya. Merasakan perasaan orang lain
tanpa prasangka, tanpa tafsir, tanpa sudut pandang diri sendiri atau kepentingan diri
sendiri menjadikan jiwa manusia dapat menyatu dengan siapapun juga yang
berelasi dengannya. Jiwa tersebut disebut sebagai jiwa bersatu atau manunggal.
Jiwa manunggal ialah rasa “bukan kamu” terhadap siapapun yang dihadapi. Dengan
tidak lagi merasakan “bukan Kamu” sebagai mekanisme hidup yang kuat, manusia
dapat mencapai Bejo/bahagia26
26
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk sampai pada rasa bejo, manusia perlu mengawasi segala keinginan yang
muncul dari dalam dirinya, sehingga timbul pengawas yang paham akan
keinginannya sendiri. Pengawas keinginan sendiri itulah yang disebut oleh Ki
Ageng sebagai Rasa Aku, rasa ada. Rasa Aku merupakan sebuah kesadaran akan
apa yang dialami oleh dirinya sebagai manusia yang merasa, seperti dia merasa
sakit, merasakan kepedasan, atau merasakan malu dan lainnya. Rasa Aku dikatakan
mengerti dan memahami apa yang dialami oleh dirinya namun tidak hanyut dalam
merasakan dan perasaan apa yang dialami dirinya. Dengan demikian, Rasa Aku,
menurut ki Ageng, dapat menyatakan, “Aku bukanlah keinginan”. “Yang malu,
yang kepedasan, yang ingin buang air bukanlah aku”
14
DAFTAR PUSTAKA
Kholik, Abdul, dan Fathul Himam. “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng
Suryomentaram.” Gadjah Mada Journal of Psychology 1, no. 2 (2015): 120–
134.
15