Anda di halaman 1dari 18

KONSEP KEBAHAGIAAN DALAM KAWRUH BEJO

SAWENTAH KI AGENG SURYOMENTARAM

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam Jawa

Dosen Pengampu :

Dra. Hj. Siti Nurlaili M, M. Hum.

Disusun Oleh :

Muhammad Yuwan Wahyudi 201121015

Muhammad Luqmanul Hakim 201121016

PROGRAM STUDI AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


JURUSAN USHULUDDIN DAN HUMANIORA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID
SURAKARTA
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tanpa rahmat dan pertolongan-
Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad SAW
yang syafa’atnya kita nantikan kelak. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Filsafat Islam Jawa.

Dengan kerendahan hati, kami memohon maaf apabila ada kesalahan


penulisan. Kritik yang terbuka dan membangun sangat kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini. Demikian kata pengantar ini kami sampaikan. Terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Surakarta, 9 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2

BAB II .................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Biografi dan Riwayat Hidup ........................................................................ 3

B. Kawruh Bejo Sawentah ................................................................................ 6

C. Rasa Bahagia .............................................................................................. 10

BAB III ................................................................................................................. 14

PENUTUP ............................................................................................................ 14

Kesimpulan ........................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ki Ageng Suryomentaram merupakan seorang tokoh spiritual Jawa. Ia


seorang keturunan bangsawan yang meninggalkan derajat kebangsawanannya
demi pencarian atas makna hidup, yang akhirnya ditemukan olehnya dan
kemudian diajarkan bagi banyak orang, baik melalui wejangan, tulisan maupun
dalam wujud perilaku dan tindakannya yang menarik perhatian banyak orang
karena ternyata ajaran dan teladannya bermanfaat dalam kehidupan.

Apa yang beliau ajarkan bukanlah suatu hal yang bersifat mistik namun
lebih kearah penelitian ilmiah, dengan dirinya sebagai objeknya dalam
memahami dirinya sendiri. Penelitian ini berlangsung sepanjang hidupnya
hingga memunculkan petuah petuah yang tak ternilai jumlahnya, salah satunya
adalah kawruh bejo sawetah atau kawruh jiwo. Ilmu Kawruh Bejo Merupakan
hasil permenungan atas hidup manusia yang pada pada hakikatnya, proses rasa
hidup manusia yang sesuai dengan hukum alam serta tindakan yang mengikuti
hukum itu pasti berkembang dan berbuah dengan wajar.1

Wejangan kawruh jiwa tekniknya meliputi nyawang karep sebagai dimensi


mawas diri yang diwujudkan dalam rasa manusia tanpa ciri yang merupakan
cara mencandra segala keinginan yang berkecamuk dalam dunia rasa batin kita
untuk ngeweruhinya dan ngonanginya, sedangkan nyococken raos sebagai cara
untuk menyelarasakan rasa yang sama (raos sami) antara rasa dirinya dan rasa
orang lain.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah inti ajaran Kawruh Bejo Sawentah atau Kawruh Jiwo?

1
Pratisto Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram,” Arete: Jurnal Filsafat 7, no. 1
(2018): 67–82.
2
Abdul Kholik dan Fathul Himam, “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram,”
Gadjah Mada Journal of Psychology 1, no. 2 (2015): 120–134.

1
2. Bagaimana konsep rasa Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram?
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan inti ajaran Kawruh Bejo Sawentah
2. Memaparkan konsep rasa Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi dan Riwayat Hidup

Nama asli Ki Ageng Suryomentaram adalah Kudiarmaji. Lahir pada tanggal 20


Mei 1892 dalam kandungan Bendoro Raden Ayu (BRA) Retnomandoyo, beliau
merupakan anak ke-55 dari 79 bersaudara yang merupakan keturunan Sultan
Hamengku Buwono VII. Karenanya tak heran jika Kudiarmaj menyandang nama
Bendoro Raden Mas BRM).3 Ibunya bernama B.R.A (Bendoro Raden Ayu)
Retnomandoyo, istri kelas dua (Garwo Ampeyan), putri Patih Danurejo VI.
Bersama saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmaji belajar di
sekolah Srimanganti di lingkungan Keraton dengan pendidikan kurang lebih SD,
setelah itu ia mengikuti kursus Klein Ambtenaar dimana ia belajar bahasa Belanda,
Inggris, dan Arab.4

Setelah lulus sekolah dasar, karena kecerdasannya, Kudiarmaji lulus ujian Klein
Ambtenaar atau pegawai sipil junior dan menjadi pegawai administrasi Residen
Yogyakarta. Kudiarmaji bekerja dalam posisi tersebut selama 2 tahun. Karena
pekerjaan ini, Kudiarmaji harus belajar bahasa Belanda Selain itu, kecintaannya
pada ilmu pengetahuan juga memungkinkannya untuk belajar bahasa Arab, yang
kemudian mendukung pengetahuannya tentang mata pelajaran agama. Selain
menguasai kedua bahasa tersebut, Sudiarmaji juga belajar bahasa Inggris untuk
memperdalam pengetahuannya dibidang ilmu umum.5

3
Alimul Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral
untuk Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak,” Proceedings of Annual Conference for
Muslim Scholars, no. Series 2 (2018): 742–750. h.743
4
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik” (Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016). h.43
5
Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk
Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.” h.743

3
Kudiarmaji menghabiskan masa mudanya di keraton. Pada usia 18 tahun, BRM
Kudiarmaji diangkat menjadi pangeran dan diberi gelar Bendoro Pangeran Haryo
Suryomentaram (RM Suryomentaram). Keadaan Keraton Yogyakarta pada masa
muda Suryomentaram dapat dikatakan sebagai keadaan terbaik pada masa jayanya.
Oleh karena itu, pada usia muda, Suryomentaram mendapat fasilitas berupa mobil,
kuda, dan harta benda lainnya.6

Kendati demikian Ki Ageng merasa tidak puas dengan kehidupan di istana yang
dinilainya serba semu atau kaku. Di lingkungan kraton, ia merasa tidak pernah
bertemu “orang”. Yang ia jumpai adalah orang yang disembah dan yang
menyembah, orang yang diperintah dan yang memerintah, orang yang marah, dan
orang yang minta (nyuwun). Artinya, di kraton ia merasa hanya menjumpai sembah,
perintah, marah, dan minta. Dengan kondisi yang semacam itu, Ki Ageng tidak
merasa kerasan hidup di lingkungan istana.7

Selain kondisi yang serba semu, Ki Ageng juga mengalami beberapa peristiwa
yang mengguncang hatinya dan makin membuatnya tidak betah tinggal di kraton.
Yang pertama adalah diberhenrikannya kakeknya yakni Patih Danurejo VI, yang
bergelar Pangeran Cakraningrat, dari jabatan Patih dan tidak lama kemudian ia
meninggal. Yang kedua, Ibunya diceraikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII
dan diminta tinggal di luar lingkungan istana, kemudian selanjutnya diserahkan
kepada Ki Ageng untuk dirawat sebagai tanggungjawabnya. Yang terakhir, istri
yang dicintainya, meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40
hari. Beberapa peristiwa tersebut kemudian mendorongnya untuk mengajukan
permohonan pengunduran diri dari jabatan sebagai Pangeran. Namun
permintaannya tersebut ditolak oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Ki Ageng juga
meminta untuk diijinkan naik haji ke Mekkah, namun hal itupun juga tidak
dikabulkan oleh ayahnya.8

6
Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk
Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.” h743-744
7
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.” h.69
8
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”

4
Dengan menanggung beberapa hal yang membebani hatinya ini kemudian Ki
Ageng melarikan diri dan meninggalkan kehidupan istana tanpa izin sultan. Ki
Ageng melarikan diri ke Cilacap dan menjadi pedagang Batik. Di Cilacap, ia
mengubah namanya menjadi Notodongso. Selama pelariannya ia juga bekerja
sebagai pembuat sumur. Pelariannya berakhir ketika datang perintah dari Sri Sultan
Hamengkubuwono VII untuk kembali ke Yogyakarta. Diceritakan bahwa selama
pelariannya, Ki Ageng menanggalkan semua kebangsawananya dan hidup sebagai
rakyat jelata, mengenakan celana pendek, sarung disampirkan di bahu dan kaos
oblong, dengan rambut hampir dicukur habis dan kaki telanjang.9

Kembali ke kraton membuat hidup Ki Ageng resah kembali. Ki Ageng


merasakan kebosanan yang amat sangat dan keresahannya atas arti hidup
mendorongnya mencari –cari sumber penyebabnya. Pertama, ia mengira gelar dan
harta kepemilikan yang menyebabkannya. Ki Ageng memutuskan untuk menjual
semua harta miliknya dan memberikannya kepada para pembantunya. Ternyata hal
inipun tidak menjawab keresahannya. Ki Ageng juga melakukan tirakat (askese)
dan pergi ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti gua Langse, Kadilangu
dan lainnya. Namun hal inipun juga tidak menjawab keresahan dalam dirinya.
Demikian juga dengan melakukan ibadah agama dan belajar ilmu-ilmu agama juga
tidak memuaskan dirinya.10

Setelah Sri Sultan Hamengkubowono mangkat (meninggal dunia) dan kakak


kandungnya yakni Raden Mas Sujadi diangkat sebagai Sultan dengan gelar Sri
Sultan Hamengkubuwono VIII, Ki Ageng mengajukan diri lagi untuk
mengundurkan diri dan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran dan
permohonannya dikabulkan11 Kemudian ia memilih tinggal di Kroya dan
memimpin paguyuban Selasa Kliwon. Di Paguyuban ini Suryomentaram kemudian
bertemu dengan beberapa tokoh diantaranya adalah Ki Hajar Dewantara.12

9
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
10
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
11
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
12
Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk
Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.”

5
Dalam paguyuban Selasa Kliwon, Suryomentaram dikenal juga sebagai Ki
Gede Suryomentaram. Paguyuban Selasa Kliwon merupakan suatu gerakan moral
yang memiliki tujuan memberikan landasan dan semangat kebangsaan pada
masyarakat. Berangkat dari paguyuban ini, Taman Siswa didirikan yang kemudian
diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Taman siswa dibentuk untuk mendidik generasi
muda, sementara untuk generasi yang lebih senior dididik oleh Ki Gede
Suryomentaram. Pada suatu sarasehan di Paguyuban Selasa Kliwon, Ki Hajar
Dewantoro mengusulkan untuk merubah nama Ki Gede Suryomentaram menjadi
Ki Ageng Suryomentaram.13

B. Kawruh Bejo Sawentah

Ilmu Kawruh bejo pertama kali diceramahkan oleh Ki Ageng di Surakarta pada
tahun 1931 dengan judul lengkap: Ilmu Kawruh Bejo sawetah. Ilmu Kawruh Bejo
Merupakan hasil permenungan atas hidup manusia yang pada pada hakikatnya,
proses rasa hidup manusia yang sesuai dengan hukum alam serta tindakan yang
mengikuti hukum itu pasti berkembang dan berbuah dengan wajar. Ilmu ini
dilandasi kesadaran akan keinginan yang disebut sebagai Ilmu mulur mungkret,
Kesadaran akan realitas hidup yang disebut Rasa Hidup dan kesadaran atas Aku
sebagai diri pribadi.14

Ki Ageng Suryomentaram, membuka konsep pemikirannya dengan pernyataan


yang mendasar dan menjadi benih konsepsinya mengenai kebahagiaan.

“Salumahing bumi, sakurebing langit punika boten wonten barang


ingkang pantes dipun padosi kanti mati-matian, utawi dipun ceri-
ceri dipun tampik kanti mati-matian.” (Di atas bumi, di kolong langit

13
Muniroh, “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk
Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.”
14
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.” h.72-73

6
ini tidak ada barang yang pantas dicari secara mati-matian, ataupun
dihindari atau ditolak secara mati-matian).15

Pernyataan tersebut memberikan arti bahwa manusia tidak sepantasnya


mengejar sesuatu atau menolak sesuatu secara berlebihan atau diluar batas
kewajaran. Adanya pernyataan tersebut juga menyiratkan bahwa pada umumnya
manusia, pasti mengejar sesuatu secara berlebihan, sekaligus menolak sesuatu juga
secara berlebihan. Pertanyaan itu mengambarkan kondisi manusia pada umumnya,
yang bekerja pagi, siang, sore untuk mendapatkan kekayaan, sekaligus untuk
menolak secara mati-matian menolak kemiskinan.

Secara sistematis wejangan pokok ilmu bahagia diuraikan sebagai berikut:16


Pertama, wejangan pokok ilmu bahagia dimulai dengan pembahasan mengenai
keinginan (karep). Keinginan merupakan hulu (pangkal) dari munculnya masalah-
masalah dan problem ketidakbahagiaan.17 Jalan untuk memahami kebahagiaan atau
urip bejo menurut Ki Ageng adalah dengan memahami kesadaran akan keinginan
yang mulur-mungkret atau memanjang dan memendek yang merupakan orientasi
manusia atas keinginan yang ada dalam dirinya, yang memiliki kecenderungan ke
arah semakin kompleks daripada keinginan yang sederhana atau simpleks.18

Manusia adalah keinginan. “Keinginan itu menjadi penyebab terjadi hidup yang
paling dalam.” Keinginan itu bersifat mulur mungkret (berkembang-menyusut),
keinginan akan bertambah bila terpenuhi dan menyusut jika tidak tercapai. Bila
kemauan terpenuhi bahagia rasanya, sebaliknya jika gagal susah rasanya.
Seterusnya ditegaskan bahwa “manusia adalah keinginan” (tiyang punika karep).
Keinginan yang terpenuhi dapat mulur atau memanjang pada hal-hal yang irasional.
Oleh karena itu, menurut Ki Ageng, kesenangan atau rasa senang itu sifatnya tidak

15
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik.” H,56
16
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik.” h.56-61
17
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik.” h. 57
18
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”

7
tetap, terus berubah. Demikian pula dengan rasa susah dikarenakan tidak
tercapainya keinginan. Munculnya rasa susah juga beraneka macam seperti tidak
enak, menyesal, kecewa, tersinggung, marah, malu, sakit, terganggu dan
sebagainya.19

Kedua, mengenai hukum pergantian. Sifat keinginan yang mengembang dan


menyusut menjadikan kesenangan dan kesusahan bersifat bergantian. Susah dan
senang akan dialami oleh manusia secara silih berganti. Tidak mungkin seseorang
susah selamanya, juga mustahil seseorang akan terus-menerus bahagia. Inilah yang
disebut hukum pergantian susah dan senang (susah bungah). Bahkan Ki Ageng
memberikan wejangan, bahwa tidak mungkin seseorang susah selama lebih dari
tiga hari ataupun senang lebih dari tiga hari. Manusia dalam kehidupannya, akan
selalu mengalami susah, kemudian senang, lalu berganti susah, selanjutnya berganti
senang, demikian seterusnya.

Ketiga, mengenai rasa sama (raos sami). Hukum pergantian susah dan senang,
merupakan sesuatu yang dialami semua orang. Semua manusia, tanpa melihat suku
bangsa, warna kulit, status sosial, agama, dan usia, pasti merasakan hukum
pergantian susah dan senang. Seorang pemeluk Islam, yang meyakini bahwa Islam
mengajarkan kedamaian, pasti pernah susah, bahkan bergantian susah dan
senang.Hukum pergantian susah senang, berlaku pada semua manusia, karena
setiap manusia memiliki keinginan. Inilah yang dalam istilah Ki Ageng, sebagai
“raos sami”, bahwa semua manusia sama-sama akan mengalami pergantian susah
dan senang.

Keempat, mengenai rasa abadi (raos langgeng). Hukum pergantian susah dan
senang, juga mengenai manusia sejak berabad-abad yang lalu. Sejak masa pra
sejarah, masa kebudayaan nomaden, bercocok tanam, hingga abad modern dengan
peradaban industrinya, manusia tetap mengalami pergantian susah dan senang.
Hingga masa depan manusia berabad-abad yang akan datang, manusia tidak akan

19
Uswatun Marhamah, Ali Murtadlo, dan Awalya, “Indigenous Konseling ( Studi
Pemikiran Kearifan Lokal Ki Ageng Suryomentaram Dalam Kawruh Jiwa ),” Jurnal Bimbingan
Konseling 4, no. 2 (2015): 100–108.

8
lepas dari pergantian susah dan senang. Inilah yang disebut rasa abadi (raos
langgeng), bahwa pergantian susah dan senang bersifat abadi, karena keinginan
manusia juga sifatnya abadi.

Kelima, mengenai rasa tentram (raos tentrem). Pemahaman terhadap rasa sama
(raos sami), dan penerimaan terhadapnya, akan membuahkan rasa tentram (raos
tentrem). Ketentraman ini lahir dari permakluman bahwa dimanapun tempatnya,
ketika itu disebut manusia, maka sama-sama akan mengalami susah dan senang.
Ketentraman ini juga mengikis rasa iri, karena bagaimanapun setiap orang memiliki
kesamaan nasib bahwa mereka sama-sama mengalami susah dan senang.

Keenam, mengenai rasa tabah (raos tatag). Pemahaman terhadap rasa abadi,
menjadikan manusia tabah dalam menjalani hari-harinya. Pemahaman ini muncul
karena dari berbagai generasi, baik masa kini, masa dahulu, dan masa depan, juga
mengalami pergantian susah dan senang. Manusia zaman dahulu yang sudah
meninggal, kehidupan mereka juga pasti berisi kesusahan dan kesenangan. Terbukti
manusia zaman dahulu bisa menjalaninya. Manusia masa kini pun sebaiknya tidak
terlalu khawatir, karena sama seperti manusia zaman dahulu, kehidupan masa kini
juga pasti berisi susah dan senang. Jika orang-orang zaman dahulu bisa menjalani
kehidupan, maka orang-orang masa kini pun pasti bisa menjalani kehidupan.
Pemahaman semacam inilah yang menghasilkan sikap tabah (tatag)

Ketentraman dan ketabahan yang lahir dari pemahaman terhadap rasa sama dan
rasa abadi, akan meningkatkan pemahaman seseorang terhadap rasa susah dan
senang itu sendiri. Seseorang tidak lagi terlalu khawatir dengan kesusahan, karena
suatu saat pasti akan berganti dengan kesenangan. Sebaliknya, seseorang juga
menjadi waspada, ketika merasakan kesenangan, karena sebentar lagi akan berganti
dengan kesusahan. Pada akhirnya, susah dan senang akan dimaklumi dan keduanya
menjadi sesuatu yang biasa. Seseorang tidak perlu putus asa ketika susah, dan
seseorang menjadi tidak sombong serta sewenang-wenang ketika merasakan
kesenangan.Penerimaan terhadap rasa susah dan senang, menimbulkan
penghayatan yang mendalam, bahwa sesungguhnya yang susah dan senang itu

9
bukan lah aku. Aku yang sebenarnya tidaklah mengalami susah dan senang. Pada
saat itu, seseorang sudah bisa melacak aku-nya. Seseorang bisa mengenali
(ngonangi) dirinya sendiri, yang sedang susah atau yang sedang senang.

Ketujuh, mengenai mengawasi keinginan (nyawang karep). Seseorang


menyadari adanya jarak antara aku yang mengalami susah dan senang, dengan aku
yang sebenarnya. Gambarannya adalah seperti melihat diri sendiri dari luar diri.
Inilah yang disebut aku si pengawas. Seseorang bisa melihat jelas dirinya yang
sedang menangis, dirinya yang sedang tertawa terbahak-bahak, dan kesadaran
sublimnya bisa mengenali bahwa yang sedang menangis dan tertawa itu bukan aku.
Saat itulah, seseorang bisa merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang lepas
dari aku (yang selalu susah dan senang). Kebahagiaan inilah yang disebut
kebahagiaan yang sebenarnya, yang tidak terkait lagi dengan keinginan.Pada saat
itu, seseorang dengan mudah mentertawakan dirinya sendiri, tidak lagi merasa
tersinggung, malu, terancam, takut, marah, merasa hebat dan semacamnya.
Kebahagiaan yang dirasakan tidak lagi sementara, melainkan kebahagiaan abadi
yang terasa penuh dan utuh.

Inilah ilmu bahagia (kawruh begja), konsepsi pokok pemikiran Ki Ageng


Suryomentaram mengenai kebahagiaan yang menjadi dasar bagi konsepnya
mengenai manusia. Jadi, wejangan pokok Ilmu Bahagia membahas tentang
bagaimana seseorang mencapai kondisi kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang tidak
terikat kepada hukum pergantian senang dan susah, karena sudah berhasil menjadi
pengawas dari keinginannya sendiri.20

C. Rasa Bahagia

Ki Ageng mengajarkan bahwa manusia dapat mencapai Bejo atau untung atau
bahagia, apabila manusia pertama-tama bisa menyadari bahwa rasa senang dan
susah itu menetap dan selalu ada dalam diri manusia dan sifatnya akan datang
bergantian, sebentar senang, sebentar susah. Rasa senang dan susah itu bersifat

20
Nikmaturrohmah, “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan
Pembentukan Karakter Sufistik.”

10
abadi akibat dari keinginan yang juga sifatnya abadi karena berasal dari manusia
yang kodratnya abadi. Manusia yang memahami bahwa dirinya abadi, termasuk
memahami keinginannya, akan mencapai Bejo atau bahagia.21

Untuk sampai pada rasa bejo, manusia perlu mengawasi segala keinginan yang
muncul dari dalam dirinya, sehingga timbul pengawas yang paham akan
keinginannya sendiri. Pengawas keinginan sendiri itulah yang disebut oleh Ki
Ageng sebagai Rasa Aku, rasa ada. Rasa Aku merupakan sebuah kesadaran akan
apa yang dialami oleh dirinya sebagai manusia yang merasa, seperti dia merasa
sakit, merasakan kepedasan, atau merasakan malu dan lainnya. Rasa Aku dikatakan
mengerti dan memahami apa yang dialami oleh dirinya namun tidak hanyut dalam
merasakan dan perasaan apa yang dialami dirinya. Dengan demikian, Rasa Aku,
menurut ki Ageng, dapat menyatakan, “Aku bukanlah keinginan”. “Yang malu,
yang kepedasan, yang ingin buang air bukanlah aku”.22

Dengan memiliki kesadaran Aku yang mampu mengawasi segala keinginan ,


maka aku dapat merasa senang, merasa bejo/bahagia. Dengan demikian, dalam
menjalani kehidupannya, manusia tidak terjebak dan hanyut dalam rasa
perasaannya dan mampu mengambil jarak serta bersikap karena memiliki pengawas
atau kontrol atas apa yang dialami, dirasakan dan diperbuatnya. Rasa Aku bersifat
abadi, sehingga dalam kondisi apapun juga dan bagaimanapun juga, baik itu susah
maupun senang, menurut Ki Ageng, manusia tetap akan dapat merasa bahagia.

Dalam berhubungan dengan benda-benda yang diinginkan dan dikehendaki


manusia, serta relasinya dengan sesama, Ki Ageng mengajarkan agar manusia
sampai pada dimensi keempat, yakni dimensi mengolah perasaan atas benda dan
manusia. Untuk itu manusia perlu pendidikan yang mencakup hati, pikiran dan
merasakan perasaan orang lain. Dalam mendidik hati, manusia diajak untuk tidak
salah dalam memilah-milah rasa yang munculnya tidak teratur. Hati harus terlatih

21
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
22
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”

11
untuk menanggapi berbagai rasanya sendiri yang pokok agar dapat memisahkan
dengan jelas rasa suka, rasa susah, bahagia dan derita.23

Dalam mendidik pikiran, Ki Ageng mengajarkan untuk mampu merinci sifat


dan manfaat benda bagi hidup manusia. Hal-hal yang dipikirkan juga dipisahkan
menjadi dua yakni benda dan rasa itu sendiri. Seringkali manusia dikacaukan antara
memikirkan rasa atas benda dengan memikirkan benda itu sendiri. Benda
sebenarnya tidak menyebabkan senang atau susah. Seringkali yang menimbulkan
susah atau senang adalah rasa manusia itu sendiri atas benda. Dengan kemampuan
berpikir memisahkan antara benda dan rasa, manusia dapat menelaah dan
mengoreksi keruwetan hidupnya yang disebabkan karena kebutuhan hidup.24

Dalam menelaah rasa yang ada pada diri manusia, Ki Ageng mengajak untuk
membagi dua hal yakni rasa yang dihayati dan rasa yang menghayati. Rasa yang
dihayati berkenaan atas rasa pada manusia berkenaan dengan sakit, senang, susah
dan lainnya. Sedangkan rasa yang menghayati adalah kesadaran atas “Aku” yang
sedang merasa dan mengalami sesuatu. “Aku” tidak dapat sakit, menderita, senang
ataupun susah. “Aku” hanya mengerti bahwa diriku sedang mengalami susah,
senang dan sebagainya. Dengan jalan memiliki kesadaran tentang “Aku” atas rasa
dan pikiran, maka manusia mencapai hidup bejo/ bahagia.

Dalam dimensi keempat, manusia perlu belajar untuk mampu menghayati rasa
sendiri dan rasa orang lain. Seringkali manusia menghayati rasa orang lain dari
rasanya sendiri sehingga menyebabkan kesalahpahaman dan kekeliruan. Menurut
Ki Ageng, yang sering membuat kacau dalam dimensi keempat adalah karena
manusia masih mengutamakan kepentingannya sendiri, baik dalam merasa, berpikir
atau merasakan hidup orang lain.25

Ki Ageng mengajarkan untuk dapat mencapai Aku yang bahagia, manusia perlu
melakukan olah rasa. Menurut Ki Ageng, “ Rasa orang lain yang dipelajari timbul

23
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
24
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”
25
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”

12
dalam rasa orang yang mempelajarinya mula-mula seolah rasa yang
mempelajarinya. Dengan kesadaran bahwa rasa itu bukan aku, ia akan membedakan
dan menyamakan rasa itu dengan rasanya sendiri yang juga “bukan Aku”. Demikian
cara merasakan rasa orang lain sehingga menjadi ilmu.”

Apabila olah rasa semakin maju, maka manusia dapat menghayati rasa yang
lebih rumit, tanpa dirintangi oleh kepentingan dirinya sendiri. Sebagai contoh, kita
dapat mendengarkan seseorang berbicara, kita dapat menghayati rasa orang yang
berbicara tersebut, meskipun rasa tersebut tidak diungkapkan dalam kata-katanya.
Dengan berkembangnya olah rasa, saat membaca buku, tulisan atau surat kabar,
manusia dapat menghayati rasa pengarangnya tanpa dirintangi kepentingannya
sendiri.

Latihan olah rasa yang paling baik bagi manusia adalah saat seseorang berjumpa
dengan sesama manusia yang hidup bersama dan terdekat dengan dirinya. Olah rasa
dapat dimulai dengan meneliti dan kritis atas rasa yang muncul dalam relasi dengan
suami, istri, anak, tetangga, teman dan yang lainnya. Merasakan perasaan orang lain
tanpa prasangka, tanpa tafsir, tanpa sudut pandang diri sendiri atau kepentingan diri
sendiri menjadikan jiwa manusia dapat menyatu dengan siapapun juga yang
berelasi dengannya. Jiwa tersebut disebut sebagai jiwa bersatu atau manunggal.
Jiwa manunggal ialah rasa “bukan kamu” terhadap siapapun yang dihadapi. Dengan
tidak lagi merasakan “bukan Kamu” sebagai mekanisme hidup yang kuat, manusia
dapat mencapai Bejo/bahagia26

26
Trinarso, “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.”

13
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Secara sistematis wejangan kawruh begjo di uraikan menjadi beberapa bagian


yaitu : keinginan (karep), Hukum pergantian, rasa sama (raos sami), rasa abadi
(raos langgeng), rasa tentram (raos tentrem), rasa tabah (raos tatag), mengawasi
keinginan (nyawang karep)

Untuk sampai pada rasa bejo, manusia perlu mengawasi segala keinginan yang
muncul dari dalam dirinya, sehingga timbul pengawas yang paham akan
keinginannya sendiri. Pengawas keinginan sendiri itulah yang disebut oleh Ki
Ageng sebagai Rasa Aku, rasa ada. Rasa Aku merupakan sebuah kesadaran akan
apa yang dialami oleh dirinya sebagai manusia yang merasa, seperti dia merasa
sakit, merasakan kepedasan, atau merasakan malu dan lainnya. Rasa Aku dikatakan
mengerti dan memahami apa yang dialami oleh dirinya namun tidak hanyut dalam
merasakan dan perasaan apa yang dialami dirinya. Dengan demikian, Rasa Aku,
menurut ki Ageng, dapat menyatakan, “Aku bukanlah keinginan”. “Yang malu,
yang kepedasan, yang ingin buang air bukanlah aku”

14
DAFTAR PUSTAKA
Kholik, Abdul, dan Fathul Himam. “Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng
Suryomentaram.” Gadjah Mada Journal of Psychology 1, no. 2 (2015): 120–
134.

Marhamah, Uswatun, Ali Murtadlo, dan Awalya. “Indigenous Konseling ( Studi


Pemikiran Kearifan Lokal Ki Ageng Suryomentaram Dalam Kawruh Jiwa ).”
Jurnal Bimbingan Konseling 4, no. 2 (2015): 100–108.

Muniroh, Alimul. “Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-


Prinsip Moral untuk Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak.”
Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, no. Series 2 (2018):
742–750.

Nikmaturrohmah. “Konsep Manusia Ki Ageng Suryomentaram Relevansi dengan


Pembentukan Karakter Sufistik.” Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang, 2016.

Trinarso, Pratisto. “Ilmu Kawruh Bejo Ki Ageng Suryamentaram.” Arete: Jurnal


Filsafat 7, no. 1 (2018): 67–82.

15

Anda mungkin juga menyukai